Selasa, 22 Maret 2022

Kang Bewok (2)

Rembulan berkata, "Oleh karenanya, sangatlah penting agar selalu mencamkan aspek-aspek Etika masyarakat dan negara. Selalu ada bahaya jika entitas organik yang kita sebut negara, dianggap sebagai entitas impersonal, dan tindakannya, tak punya makna moral. 

Masalah Etika negara dapat secara longgar dibagi menjadi dua kelas: kewajiban warga negara terhadap negara, dan kewajiban negara terhadap warganya. Lalu apa kewajiban warga negara terhadap negaranya?

Pertama, para warga hendaknya, mencintai negaranya. Kewajiban ini mendasar dan dalam arti tertentu, mencakup setiap kewajiban lainnya. Patriotisme, merupakan tema yang telah usang, namun orang tak dapat dengan mudah menetapkannya. Ia memiliki dua bentuk utama, bela-diri atau konservatif, dan patriotisme sipil atau konstruktif. Patriotisme bela-diri atau yang kita kenal bela-negara, pada waktu-waktu tertentu, menjadi lebih utama, namun bila diurutkan, berada di peringkat kedua. Fungsinya, untuk membela negara pada saat bahaya, namun tak boleh didorong ke arah Jingoisme. Seiring kemajuan peradaban, bentuk patriotisme bela-diri ini, surut. Ia tak terlalu dibutuhkan, tetapi sekali lagi, bentuk bela-diri patriotisme ini, surut sebelum semangat filantropi umum, lebih maju.
Patriotisme sipil atau konstruktif, tumbuh lebih lambat daripada bentuk yang baru saja disebutkan, tetapi lebih unggul dalam karakter dan nilai yang langgeng. Tujuan utamanya, bukan untuk melestarikan kehidupan negara, melainkan untuk meningkatkan karakter negara, membangunnya dalam Keadilan, Kebajikan, dan Kekuatan moral. Manusia berjuang demi melanggengkan negara, bukan untuk memperbaikinya. Jika "revolusi tak pernah mundur," kaum revolusioner jarang maju. Hasil progresif bersifat insidental, sudah ada sebelumnya dalam takdir, tak diragukan lagi, tetapi, tidak dalam benak mereka yang berjuang. Bukankah kita perlu berikhtiar? 
Kewajiban kedua warga negara itu, menaati negara. Ada tiga kemungkinan. Pertama, dimana suatu hukum diyakini bijaksana dan baik. Dalam hal ini, ketaatan yang sesuai dan seketika, merupakan kewajiban nyata warga negara, tak peduli seberapa beratnya itu, bagi dirinya sendiri secara pribadi.
Kemungkinan kedua, dimana suatu hukum diyakini tak bijaksana. Dalam hal ini, warga diminta agar tetap patuh. Tentu saja, suatu undang-undang yang sangat tidak bijak, pada akhirnya, bakal merugikan negara, dan harus dicabut. Tetapi tiap warga negara, yang tak dikaruniai infalibilitas, tak dapat dengan pasti memutuskan tentang tak bijaknya suatu hukum.
Kemungkinan ketiga, hukum yang tidak adil. Haruskah warga negara mematuhi hukum negara yang ia yakini salah? Sekarang, pertanyaan ini melibatkan pertanyaan yang lebih besar, yaitu, haruskah kecerdasan moral yang bebas, selalu menuruti hati nuraninya sendiri? Bila ia melakukannya, itu pasti akan membuatnya tersalahkan. Jika tidak, ia menolak satu-satunya penuntun moralnya, yang mungkin, melepaskan kejantanannya dan alih-alih menjadi seorang manusia, ia 'kan jadi benda-mati. Jawabannya, ia seyogyanya mengikuti hati-nuraninya, dalam setiap masalah. Jika, dalam contoh tertentu, ia disalahkan olehnya, maka kesalahannya melekat pada beberapa pembelotan kewajiban sebelumnya, dan bukan pada kesetiaannya pada hati-nurani.
Jika prinsip umum etika ini benar, maka jawaban negatif, hendaknya dikembalikan ke pertanyaan di hadapan kita. Warga negara tak boleh mematuhi hukum yang bengkok. Dalam menentukan karakter moralnya, ia seyogyanya mencari segala kemungkinan pencerahan pribadi, tetapi keputusan akhir, harus ditangannya sendiri. Negara tak bisa menjaga hati-nurani untuknya. Namun, bila ia tak menaati hukum, ia semestinya tak berusaha menghindari hukumannya. Biarlah ia berdiri-tegak bagai seorang jantan, dan menerima konsekuensi penuh dari ketidaktaatannya. Dengan demikian, ia 'kan jadi warga negara yang taat hukum, membuktikan kesetiaannya sendiri dan mengutuk hukum yang ia langgar.

Kewajiban ketiga warga negara itu, mendukung negara. Ada dua jenis dukungan yang akan diberikan, dukungan material dan moral. Negara tanpa dana, ibarat layar tanpa angin, mesin tanpa uap. Namun, negara tak punya sumber-dayanya sendiri, kecuali dari warganya. Negara ada, hanya demi keuntungan seluruh, bukan segolongan, warga negaranya. Negara melaksanakan pelayanan-pelayanan tertentu, yang sangat diperlukan demi mereka, yang untuk itu, suatu Kesetaraan, seyogyanya dipersembahkan dengan gembira, setidaknya, sejauh mungkin diperlukan demi mendukung negara. Menghindar dari pajak, yang tentu saja hendaknya berimbang, berarti merampok negara dari dukungan material yang menjadi hak setiap warga negara.

Kewajiban lain warga negara itu, bekerja sama dengan negara. Setiap orang seyogyanya menjadi politisi yang aktif. Warga negara dapat bekerja sama dengan negara, dengan berpartisipasi dalam pemungutan suara; dengan berafiliasi dengan partai politik; dengan menerima jabatan; dan yang paling penting, dengan bergabung secara pribadi dan tak resmi dengan warga negara lainnya.

Sekarang kita sampai pada kewajiban negara itu sendiri. Guna mempertimbangkannya dengan lebih cerdas, pertama-tama, kita asumsikan bahwa geografi, bahasa, ras, dan agama, ditiadakan. Lalu, harus ada masyarakat, organisasi, kedaulatan. Seseorang yang tinggal di sebuah gubuk di Treasure Island selama tujuh tahun, tak dapat membentuk sebuah negara. Orang-orang liar, bajak laut, atau gipsi yang tak terorganisir, juga tak dapat membentuk sebuah negara. Kedaulatan terorganisir itu, karakteristik penting dari negara. Kapanpun suatu kesepakatan sosial menjalankan kedaulatan atas para anggotanya, maka ia menjadi sebuah negara. Kapanpun ia berhenti melakukannya, maka ia pensiun jadi negara.

Kewajiban pertama negara itu, Kedaulatan. Inilah hak dan kewajiban, yang berkaitan dengan segala macam negara, terlepas dari ukuran, kekayaan, atau kekuasaannya. Dan hal ini, sangat berarti.
Negara berdaulat atas dirinya sendiri. Dengan ini, dimaksudkan bahwa tiada otoritas manusia di belakang negara dari mana hak-haknya diperoleh, dan tiada pengadilan di atas negara tempat musuh-musuhnya dapat mengajukan banding. Kedaulatan tertinggi, tentu saja, berada dalam genggaman Allah semata. Namun Dia telah mempercayakan kepada negara begitu banyak hal yang berkaitan dengan Tatanan Sosial. Dan tiada kekuatan manusia yang berhak ikut campur di dalamnya. Setiap tindakan negara itu, otoritas diri, pengendalian diri, titik. Andai ada kesalahan terjadi, hanya dapat diperbaiki oleh negara itu sendiri.  Jika ada tangan-tangan manusia yang mengendalikan negara, maka ia tak lagi berdaulat.
Negara berdaulat atas wilayahnya sendiri. Dan ini mencakup seluruh tanah, seluruh wilayah negara. Itu semua, awalnya milik negara. Baik sebagian maupun seluruhnya, bila dimiliki oleh individu, merupakan pertanyaan yang hendaknya ditentukan oleh negara sendiri.
Negara berdaulat atas warganya. Seseorang dilahirkan ke dalam masyarakat tanpa persetujuannya sendiri, dan tak dapat melarikan diri darinya. Aristoteles telah lama berkata, "Negara ada secara alami, dan manusia pada dasarnya, satwa politik." Ia mungkin membuang keberpihakannya, dengan berpindah dari satu negara ke negara lain. Namun ini cuma agar berganti majikan. Ia, dengan demikian, tak luput dari kedaulatan negara. Kedaulatan ini mencakup tiga hal, yaitu kehidupan, kemerdekaan, dan hak milik warga negara. Negara boleh mengambil nyawa warga negara dengan syarat ada alasannya. Tiada kekuatan lain yang bisa. Karenanya, tiada hak individu yang tersisa, kecuali dalam pembelaan diri yang diperlukan, untuk mengambil nyawanya sendiri atau nyawa orang lain. Negara juga dapat mengambil milik pribadi warga negara guna segala keperluan dengan lingkup kewenangan negara. Bahkan milik warga negara, tunduk pada negara. Negara yang adil, takkan pernah menjalankan wewenang atas warga negara atau miliknya, dengan cara sewenang-wenang atau tidak adil. Pemerintah hendaknya menahan-diri terhadap individualitas seperti itu, karena tak sejalan dengan masyarakat, sementara itu, mendorong kecenderungan evolusi sosial.

Kewajiban kedua negara itu, melindungi warganya. Demi tujuan perlindungan itulah, negara ada. Setidaknya, inilah tujuan utamanya. Tetapi untuk tujuan ini, ia tak perlu menjalankan kedaulatan, baik atas dirinya sendiri maupun atas rakyatnya. Tak seorang pun dapat melindungi dirinya sendiri atau mengamankan haknya sendiri. Kekuatan alam yang tak kenal lelah, binatang buas dan lebih banyak manusia buas, terus-menerus melawannya dan mengalahkan upaya terbaiknya. Ia membutuhkan lengan yang lebih kuat dari miliknya, guna menahan kekuatan ini, dalam penyesuaian yang tepat, dan mengamankan tindakan bebas dari kekuatannya sendiri. Lengan pelindung seperti inilah, yang hendaknya diperlengkapi oleh Pejabat negara. Perlindungan ini ada tiga, yaitu pribadi, harta-benda, dan kehormatan.

Kewajiban ketiga negara itu, mengamankan kemajuan warganya. Tugas ini tentu agak tak terbatas. Akan tetapi, kesejahteraan umum harus diupayakan oleh negara, sama seperti keselamatan publik.

Kewajiban keempat negara itu, menghormati hak-hak warganya. Ada dua kelas hak-hak ini, satu yang mereka miliki, pegang, dan jalankan hanya dalam kapasitas gabungan mereka sebagai badan politik, yaitu sebuah persaudaraan. Secara nyata, ada beberapa hal yang secara sah dapat dilakukan oleh masyarakat secara keseluruhan, namun sebaliknya, ada yang warga negara, tak berhak melakukannya. Hal-hal ini, milik negara dan berada dalam ruang lingkup kedaulatannya. Kehidupan, kemerdekaan, dan hak kepemilikan, ketika dirampas oleh warga negara lain atau ketika dibutuhkan oleh negara, bolehlah diperhitungkan dalam daftar ini. Namun ada hak-hak lain warga negara yang ia miliki, pegang, dan jalankan sebagai makhluk individu, personalitas pribadi. Ini tak dapat diasingkan oleh dirinya sendiri atau diterima oleh negara. Artinya, warga negara telah memberikan banyak kepada negara, tetapi ia belum menyerahkan kepribadiannya. Engkau boleh mengambil secara paksa hak-hak milikku, kebebasanku, hidupku, akan tetapi, engkau tak boleh menyentuh benteng batinku. Itu milik Allah dan milikku.

Negara tak boleh melampaui batas-batas hak publik atau menyerang batas-batas hak pribadi. Perhatikan apa makna larangan ganda ini. Secara umum bermakna bahwa negara, bisa saja berbuat kekeliruan. Jika ia tak bisa berbuat salah, ia secara nyata, sebuah mesin belaka, dan tak mampu berbuat benar. Jika ia tak dapat menyalahgunakan hak-haknya, ia juga tak dapat mempertahankannya. Doktrin lama bahwa 'Raja tak boleh salah,' jelas, melecehkan sang raja. Namun lebih khusus lagi, larangan ini bermakna bahwa negara, hendaknya menjalankan hanya hak-haknya sendiri, dan ini semata dengan cara yang legal dan demi tujuan yang valid. Ada beberapa hal yang tak boleh dilakukan negara, ada alam, yang tak boleh ia masuki. Kemaslahatan rakyat hendaknya didorong, dan kemudharatan sosial, seyogyanya dibendung. Terhadap kebajikan pribadi intrinsik, menurut sifat kasusnya, tak ada hubungannya dengan negara."

Rembulan menutup dengan berkata, "Kang Bewok yang baik, tiada maksud menggurui, namun sebagaimana perintah Allah akan pernikahan, dan beralaskan Cinta, Allah memerintahkan pula bahwa sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, serta saling menasihati demi Kebenaran, dan saling menasihati demi Kesabaran."

Sang Purnama beranjak seraya berdendang,
Bayangkan bila harimu penuh warna
Itulah yang saat ini kurasakan
D'ya membuat, tidurku tak nyenyak
D'ya membuat, makanku tak enak
Kuterpikat akan kehangatan
Yang s'lalu diya berikan

Kurasa 'ku sedang dimabuk cinta
Nikmatnya kini 'ku dimabuk cinta
Dimabuk cinta *)
Melihat Rembulan ber-acting aneh, sang Pungguk cemberut, cemburu, lalu berkata, "Wallahu a'lam!"
Kutipan & Rujukan:
- Dr. Ali Albarghouthi, This is Love, Dakwah Corner
- D. B. Purinton, Ethics of the State, the University of Chicago Press
*) "Mabuk Cinta" karya Mai Armada Band