Jumat, 04 Maret 2022

Yang Sakit

"'Inilah situasi yang menarik,' Sang Pengelana menyampaikan sesuatu padaku, kala suatu hari, ia berkelana di Belantara Gambut Lamuri, dalam musim kemarau, saat Muson berdesir lantam," Rembulan memulai warita sampul-kertasnya, usai mengucapkan Basmalah dan menyapa dengan Salam. "Ia telah jauh berkendara, oleh lelah dan lapar, lalu turun dari kuda demi mengisap pipa-rokoknya. Namun saat ia meraba-raba ke dalam sakunya, ia hanya menemukan dua batang korek-api. Ia memantik macis pertama, tapi tak memarak.

'Merana oleh rokok; cuma sebatang korek-api yang tersisa; dan itupun bakalan, luput! Pernahkah ada makhluk yang sarau? Namun,' gumam sang Pengelana, 'misalkan, aku menyalakan korek-api ini, dan mengisap pipaku, dan mengibaskannya ke atas ilalang ini—sang ilalang mungkin melalak, karena kering laksana rabuk; dan bila menghindar dari api yang, di hadapanku, menyambar, sang jago-merah mungkin mengelak dan menjelanak di belakangku, dan menjilat belukar beracun; sebelum aku mampu mencapainya, ia 'kan bergelegak; di atas semak.
Kusaksikan sebatang pohon pinus yang berlumur lumut; ia bakal pula diterjang oleh sang agni hingga ke dahan paling atas; dan nyala ketaya panjang itu—sebagaimana Muson 'kan membawa dan mengayunkannya melalui jenggala yang mudah terbakar! Dalam sekejap, aku mendengar deraman lembah-kecil tenggelam dalam deru gugusan sang bayu dan sang agni, aku melihat diriku, berpacu demi nyawaku, dan api yang melambung, mengejar dan mengepungku melalui perbukitan. Api menabun, menyebrang ke negeri jiran, demi setetes minyak-goreng, demi kepulan-asap Pongah dan Tamak, demi pembagian-lahan yang, kadarullah, terlontar oleh Mukidi karena baper, ketika sebuah tinjauan, terhatur.
Aku melihat Rimba yang menyenangkan ini, bergelora selama berhari-hari, dan ternak-ternak pun terpanggang, mata-air mengering, para petani ambruk, serta anak-anaknya, terbuang di dunia. Betapa Ibu Pertiwi, bersusah-hati, air-matanya berlinang, mas-intannya terkenang, mengelih semua ini!'

Sang Pengelana diam sejenak, lalu berkata padaku, 'Duhai Bulan Badar! Dengarkan tuturan berikut ini,
Pernah, ada seorang lelaki yang sakit, di dalam sebuah rumah yang terbakar, dan demi menolongnya, masuklah seorang petugas pemadam kebakaran. 'Jangan selamatkan abdi,' kata sang gering. 'Selamatkan mereka yang kuat.'
"Naha?" tanya petugas pemadam kebakaran, walau bagaimanapun, lelaki yang gering itu, anggota masyarakat sipil.
'Tiada yang lebih adil,' jawab sang gering. 'Yang kuat, kudu diutamakan dalam segala hal, sebab mereka, bakal lebih mampu mengabdi di dunia.'
Sang petugas pemadam kebakaran merenung sejenak, lantaran ia orang yang punya filosofi tertentu. 'Ditarima,' akhirnya ia berkata, ketika sebagian atap runtuh, 'namun demi kasopanan, sok atuh, berbaringlah di atas tandu, sebagai layanan bagi orang yang kuat! '
'Tiada yang lebih mudah,' balas sang gering, 'PELAYANAN YANG TEPAT BAGI YANG KUAT ITU, MENOLONG YANG LEMAH.'
Sekali lagi, sang petugas pemadam kebakaran, tercenung, sebab, makhluk extra-ordinary, yang dihadapinya ini, tak sedikitpun merasa panik. 'Aku bisa memaafkanmu karena gering,' katanya walhasil, tatkala sebagian dinding runtuh, 'akan tetapi, aku tak tahan, anjeun menjadi orang bodoh seperti itu.' Dan seketika, ia mengangkat kapak pemadam kebakarannya, lantaran ia sangat berhak melakukannya, kemudian, mencengkam sang gering ke atas tandu.'
Sang Pengelana melihat sekeliling, sang bayu menerpa wajahnya, dan mengibas rambutnya. Setelah itu, ia memantik korek-api terakhir, dan luput, tak nyala. 'Syukurlah,' kata sang Pengelana, dan memasukkan pipanya kembali dalam saku. Lalu, ia naik ke atas kendaraannya, memacunya, seraya bersenandung,
Hutan, gunung, sawah, lautan
Simpanan kekayaan
Kini, Ibu sedang lara
Merintih dan berdoa *)
Rembulan menutup dengan kata, "Duhai engkau para penggiat Kebenaran, bersemangat dan gigihlah, karena engkau, orang-orang yang Kuat! Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Robert Louis Stevenson, Fables, Charles Scribner's Sons
*) "Ibu Pertiwi" karya Kamsidi Samsuddin