Selasa, 29 Maret 2022

Dua Kadal

"Awalnya, pokok bahasan kali ini, hendak kupasangkan tajuk, 'Dua Pisang,' namun, setelah kutimang-timang, menirukan kata Bang Ucok, 'Tak tegalah awak!' Alasannya, meminjam kata rekan P'lembang, 'Dio'nyo, wong kito jugo!'" Rembulan mengawali kalimatnya, usai sampaikan Basmalah dan Salam. "Lalu kuputuskan, mengganti kata 'Pisang' menjadi 'Kadal.' Memang, ada perbedaan di antara keduanya, yang satu dari alam Nabatah, dan yang lain, dari alam Fauna.

Dalam simbolisme, Pisang punya bertandan makna, bahwa Pisang itu, simbol Buddhis bagi kesia-siaan segala hal duniawi. Pisang itu, simbol kedermawanan, kemakmuran dan kebebasan. Pohon pisang itu, cerminan dari komitmen kita. Umumnya, bermimpi tentang pisang, melambangkan keberlimpahan dalam cinta, gairah, dan kesenangan. Emoji buah pisang terkupas, merupakan emoji yang digunakan untuk mengekspresikan buah itu sendiri. Pula, emoji ini, sangat sering dipakai sebagai Kiasan bagi alat kelamin lelaki, namun selain berkonotasi seksual, pun, merujuk pada pola makan yang sehat. Banana Emoji, kata kawan Londho kita, dapat berarti, 'That's Bananas!' yang maknanya, bukan 'Enak gila!,' melainkan, 'Itu gila, tauk!'

Adapun Kadal, secara umum, istilah bahasa Inggris 'Lizard' mencakup kelompok cecak, tokek, bunglon, cecak-terbang, biawak, iguana, dan lain-lain. Sedangkan secara sempit, dalam bahasa Melayu, 'Kadal' atau 'Bengkarung' hanya merujuk kepada kelompok kadal yang umumnya bertubuh kecil, padat, bersisik licin dan berkilau, serta hidup di tanah. Kata Melayu 'Biawak,' merujuk pada kadal besar seperti dhubb di Arab, nyambik di Jawa, iguana di Meksiko, dll. Buaya, berbentuk seperti Kadal, dan di masa lalu, dipuja di Mesir. Ada di antaranya, punya panjang empat puluh kaki.
Simbolisme kadal tersebar luas dan menarik. Dalam beberapa tradisi, Kadal melambangkan cahaya yang bersinar. Dari dewi Romawi, Minerva, hingga orang Moche di Peru, Kadal punya aneka arti dan makna. Bagi orang Romawi, Kadal itu, simbol kehancuran, kematian, dan kekacauan. Bagi orang Yunani, Kadal merepresentasikan hikmah ilahi dan keberuntungan.

Jadi, mari kita kita lanjut ke tekapeh!

Konon, di penjuru sebuah hutan, di sepanjang tepi Sungai, terdapat Kerajaan Kadal, Bumi Balli namanya. Dua Kadal—bestie—sedang mengadakan pertemuan dengan para Kades Kadal. Salah satunya, sang Raja Kadal, dan yang satunya, sang Perdana Menteri.

'Para Sahabatku,' berkata sang Perdana Menteri kepada seluruh Kadal yang hadir. 'Betapa hina dan tak berharganya keberadaan kita! Adakah sesuatu yang seperti itu, di dunia! Dalam segala sudut pandang, kukira, kitalah makhluk hidup yang paling tak bahagia, yang pernah hidup. Memang, kita bernafas—dan kita dapat memanfaatkannya sebaik mungkin—namun cukup itu belaka; jarang ada yang mengenal kita. Tiada pangkat, tiada keistimewaan. nasib-buruk yang berulang, yang tak memberi kita takdir lain selain merangkak dan merayap di Dunia, bagaikan cacing!

Selain itu, seperti kata khalayak, ada di negara lain—dalam kedalaman laut—Kadal berukuran luar biasa besar, Buaya—kukira, mereka menyebutnya seperti itu, andai aku dilahirkan dalam jelma salah satu dari mereka, 'kan mungkin jadi sesuatu, yang boleh jadi, kukan mendapatkan bagianku, Kehormatan dan Penghormatan. Aku bakalan mengangkat Gaya lama, saat Umat Manusia menerima Hukum mereka dari Sungai Nil: Maka sepantasnyalah, aku dipuja dalam Kabut Cendana, bagai sebuah Pagoda, dan telah melanggengkan marwah Pangkat dan Maqam-ku yang tinggi.

'Para Sahabatku,' imbuh sang Perdana Menteri yang ambisius, 'Para oposisi, pernah bertanya dan berkata padaku, 'Apa penyebab dari segala Kegalauanmu? Mengapa engkau mengeluh demikian? Tidakkah engkau menganggap bermakna hidup dalam Kemerdekaan, bebas dari Kecemasan dan Masalah? Udara, serta seluruh Tumpah Darah dan Air, Matahari, semuanya milik kita. Karena itu, mari menikmatinya, tiada yang menyusahkan kita di sini.'

Dan aku memberikan jawaban kepada mereka, 'Engkau sekalian, seharusnya berterima kasih kepada Raja yang memerintah sekarang ini, lantaran sang Rajalah yang mampu mewujudkan ini semua!'

'Oleh karena itu, kepada seluruh sahabatku, yang hadir di sini, kita akan menarik Mata seluruh Dunia dan dipandang serta dikagumi. Betapa kita iri kepada Rusa Jantan dengan sikapnya yang angkuh, dan Tanduk mengancamnya, menyerang kita dengan Teror dan Ketercengangan. Betapa sering kita melihat makhluk bahagia itu, memandang dirinya sendiri di sungai yang jernih, mengagumi berbagai keindahannya, sementara kita, merasa iri dan gusar, siap menenggelamkan diri kita sendiri.

Jadi, mari kita bulatkan tekad, bahwa kita akan mempertahankan sang Raja, bersama anak dan mantunya, agar dapat terus memerintah Kerajaan Kadal yang kita sayangi ini. Selain itu, mari kita persembahkan penghargaan kepada sang Raja, sebagai 'Bapak Kadal Nasional.'

Rupanya, ada Kadal lain yang tak diharapkan hadir, mereka hanya memperhatikan dari jauh. Salah satu bertanya kepada yang lain, 'Mengapa sih, Perdana Menteri ngotot mempertahankan sang Raja, padahal kita tahu, sang Raja, nggak bisa ngapa-ngapain?' Yang lain berkomentar, 'Bila sang Raja turun tahta, maka habislah sang Perdana Menteri, di sisi lain, sang Raja sedang risau tentang kelanjutan proyek Mercusuarnya, dan kasus anak-anaknya!"
'Ooo begituu ... lihat, sang Raja sedang berdiri di atas mimbar!'

Belumlah lagi sang Raja membuka mulutnya, ia disela oleh suara anjing dan pemburu, serta seekor Rusa yang malang, lelah dikejar-kejar, tersungkur tepat di hadapan mereka. Para Kades kadal, langsung berhamburan mencari persembunyian, pertemuan jadi berantakan.

Menjadi mangsa para anjing, sang Rusa meratap, lalu mati. Saat sang Rusa meregang nyawa, Raja Kadal, Perdana Menteri, dan para Kades Kadal, mendatangi, namun baik manusia maupun anjing, tak ada yang menghiraukan, sementara satwa bertanduk yang sombong itu, mendapatkan isi perutnya, dipasok ke anjing-anjing lapar.

Segera setelah petualangan berdarah itu, berakhir, para Kadal yang tak menerima undangan, menyaksikan dari kejauhan, berkata satu sama lain, 'Nah, kawan, bagaimana menurutmu sekarang? Masih maukah engkau menjadi rusa jantan seperti omongan sang Perdana Menteri?' Yang lain menjawab, 'Aduh! Siapa sangka? Yah, bahagialah selamanya, jadilah sebuah 'Private Life.' Kita orang-orang kecil, memang benar, tapi, sedemikian itu pula, resiko yang kita hadapi.'
Kemudian, bersama-sama, mereka pulang sambil bernyanyi,
I used to rule the world
[Kupernah kuasai dunia]
Seas would rise when I gave the word
[Samudera 'kan bangkit bila kubertitah]
Now in the morning I sleep alone
[Kini, di pagi hari, kuterlelap dalam lengang]
Sweep the streets I used to own
[Menyapu jalan yang pernah kupunya]

I used to roll the dice
[Kupernah lempar dadu]
Feel the fear in my enemy's eyes
[Rasakan gentarnya mata musuhku]
Listen as the crowd would sing
[Dengarkan khalayak melagukan]
"Now the old king is dead! Long live the king!"
[Raja lama telah mangkat! Hidup sang raja!]

Revolutionaries wait
[Para Revolusioner sedang menanti]
For my head on a silver plate
[Demi kepalaku di atas wadah selaka]
Just a puppet on a lonely string
[Bagai golek dengan seutas-tali yang hina]
O who would ever want to be king? *)
[Duhai, siapakah lagi yang hendak jadi raja?]
Sang Purnama beranjak dengan tinggalkan tanya, 'Jika seorang Raja, sudah tak sanggup berbuat apa-apa selain bermuka-licin dengan ekor-berkedal, masih pantaskah, bertahan? Allahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Sieur De La Motte, One Hundred New Court Fables, Peter-Nofter-Row
*) "Viva La Vida" karya Christopher Anthony John Martin, Guy Rupert Berryman, William Champion & Jonathan Mark Buckland.