Kutipan dan Rujukan:"Seringkali, kita tak melihat sesuatu itu, sebagaimana adanya. Persepsi kita tentang 'kenyataan', tak didasarkan pada sesuatu yang sebenarnya, melainkan versi yang disaring melalui lensa pengalaman kita," sang Purnama memulai sebuah tema. "Ada cerita tentang seorang anggota keluarga penguasa kota Termez. Telah lama ia berteman dengan seorang badut. Keduanya menjalin keterhubungan yang sesuai, tak ternoda selama bertahun-tahun. Sang badut membuatnya—yang lebih tua dan lebih tajir—tertawa setiap kali mereka saling-melihat, dan sang tajir melintir, selalu memastikan bahwa sang badut, ternafkahi dengan baik.Suatu hari, saat mereka duduk-berdua, yang lebih tua, yang telah mendengar bahwa sang badut baru saja menikah dengan, maaf, seorang wanita rendahan, dan merasa bingung mengapa hal tersebut terjadi, bertanya kepada sang badut, 'Bestie, ada banyak wanita terhormat di kalangan kita, yang kukenal secara pribadi. Mengapa engkau tak bilang padaku agar meminta untukmu, juluran-tangan salah seorang dari mereka? Mengapa engkau seketika mengambil keputusan penting dan menikahi wanita yang bereputasi buruk?''Denmas tajir, engkau telah maklum bahwa aku telah menikahi sembilan wanita terkemuka!' jawabnya, tersenyum-kecut pada sang rekan yang peduli. 'Engkau mungkin memperhatikan pula, bahwa tak satupun yang tetap setia padaku, dan aku menceraikan mereka! Aku selalu merasakan patah-hati, dan tak sanggup lagi bila melihat istriku berselingkuh. Maka, aku memutuskan menikahi seorang wanita yang telah tercoreng arang di keningnya, tanpa perlu mengenalnya, dan mengambil kesempatan-kedua. Aku telah mengusahakan peruntunganku dengan menggunakan daya-pikir dan daya-nalarku; kali ini, aku sedang mencoba suatu kegilaan, sebagai alternatifnya!'Melihat dengan jelas dan berkomunikasi secara efektif, bukanlah ilmu roket; melainkan straightforward-skills. Perangkat-otak kita, sejak lahir telah terporgram untuk keduanya. Namun lebih sering dari yang ingin kita akui, kita tak pernah mempergunakan keterampilan ini. Kita masuk ke terminal bandara yang keliru dan berusaha naik ke pesawat yang keliru pula, kita mengirim email ke penerima yang keliru dengan mengomongkan sesuatu yang tak sepantasnya kita tuturkan, kita kehilangan penggalan bukti-kunci, yang memelotot tepat ke muka kita. Mengapa? Sebab kita telah terprogram pula terhadap kekeliruan seperti itu. Otak kita dapat melihat begitu banyak, namun cuma sanggup memproses lebih sedikit.Kemampuan melihat, memperhatikan apa yang sering tersedia tepat di depan kita, tak semata sebagai sarana mencegah bencana, melainkan pula, penanda dan prasyarat akan temuan dahsyat. Tak seperti para pahlawan di film-film lama dan dongeng-dongeng jagoan, kita tak perlu menjadi orang yang terkuat, tercepat, terpintar, terkaya, tertampan, atau paling beruntung agar maju atau tampil beda di dunia ini. Orang-orang tersukses di zaman modern ini, membuktikan bahwa atribut fisik apa yang kita miliki, tingkat pendidikan kita, profesi kita, maqam kehidupan kita, atau dimana tempat tinggal kita, bukanlah masalah. Kita dapat bertahan dan berkembang di saat ini, jika kita tahu cara melihat.Melihat apa yang ada di luar sana, yang tak dipunyai orang lain. Melihat apa yang sebenarnya tiada. Melihat peluang, solusi, tanda peringatan, jalan tercepat, jalan keluar, kemenangan. Melihat apa yang penting. Bahkan jika kita tak menginginkan penghargaan, pengamatan yang tajam dan akurat, dapat menghasilkan penghargaan besar dan kecil dalam segala aspek kehidupan. Leonardo da Vinci mengaitkan semua pencapaian ilmiah dan artistiknya dengan konsep yang sama, yang disebutnya 'saper vedere'—tahu cara melihat. Kita mungkin juga menyebut bakatnya sebagai 'kecerdasan visual'.Kedengarannya mudah bukan? Engkau cuma perlu melihat. Kita dilahirkan dengan kemampuan bawaan; dalam realita, tubuh kita melakukannya tanpa sadar. Jika matamu terbuka, engkau melihat. Namun ada lebih banyak proses neurobiologis ketimbang sekadar menjaga kelopak-mata tetap membeliak.Kita tak 'melihat' dengan mata kita; kita melihat dengan otak kita—dan tentu saja dengan: sempena-hati, tapi dalam tema ini, mari kita fokus saja pada penglihatan mata. Kemampuan kita melihat, memahami apa yang kita lihat, dan bertindak berdasarkan informasi, bergantung pada kekuatan pemrosesan otak yang mengagumkan; kekuatan yang sepenuhnya bersandar pada koneksi saraf kita. Dengan asumsi semua kabel fisik kita sehat dan utuh, mengubah input visual menjadi gambar yang bermakna, membutuhkan waktu, yang bertambah lama seiring melajunya usia atau kurangnya penggunaan.Para ilmuwan telah menemukan bahwa saat kita memperlambat atau berhenti melenturkan otot mental kita, kecepatan transmisi saraf, secara dramatis melambat, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan kecepatan pemrosesan visual, kemampuan mendeteksi perubahan dan gerakan, dan kemampuan melakukan visualisasi pencarian. Lantaran otak kita mengendalikan setiap fungsi tubuh kita, setiap keterlambatan dalam pemrosesan saraf, akan menyebabkan pula keterlambatan pada sistem lain, termasuk apa yang kita lihat dan bagaimana kita bereaksi terhadapnya. Refleks dan waktu mengingat yang lebih lambat, tak semata disebabkan oleh penuaan fisik. Boleh jadi, kita kurang melatih otak kita atau tak menggunakannya dengan jalan yang benar.Beruntung bagi kita semua, sepanjang hidup kita, otak terus-menerus membuat koneksi baru dan memperkuat koneksi lama berdasarkan pengalaman belajar . . . asalkan kita terus belajar. Para peneliti telah menemukan bahwa stimulasi environmental input—semisal mempelajari sesuatu yang baru, membaca tentang konsep yang menjadikanmu berpikir, atau memainkan segala jenis 'brain games'—akan meningkatkan pertumbuhan kortikal pada setiap usia, bahkan di antara manusia yang paling tua sekalipun. Sama seperti cognitive conditioning dapat digunakan untuk mencegah demensia, dapat dipakai pula mempertajam kemampuan kita untuk mengamati, memahami, dan berkomunikasi. Jika kita dapat menjaga indra dan akal kita dengan cepat, reaksi kita akan mengikuti, menjadikan kita karyawan yang lebih baik, pengemudi yang lebih baik, dan lebih mampu merawat diri kita sendiri dan orang lain lebih lama, selama hayat masih di kandung badan.Ada banyak teknik guna merangsang indra kita dan mengobarkan neuron kita. Salah satunya, mempelajari Seni. Mengamati lukisan dan pahatan kuno—dan untuk yang ini, bagi seorang Muslim/Muslimah, diperlukan keberhati-hatian, sebaiknya berpegangan pada tuntunan syariah. Tapi mari kita bicarakan secara umum dulu—jelas bukanlah sesuatu yang pertamakali, yang terpikir oleh kebanyakan orang, dikala engkau menyampaikan bahwa kita akan membuat neuronnya berpijar dan meningkatkan kecepatan pemrosesan otaknya. Seni takkan berjalan-pergi begitu saja. Jika engkau hendak mempelajari perilaku manusia, engkau dapat mojok di suatu tempat di keramaian, memperhatikan para insan yang lalu-lalang: tebak siapa mereka, mengapa mereka berpakaian seperti itu, kemana perginya . . . dst dst sampai mereka hilang dari pandanganmu. Dan engkau takkan pernah tahu, engkau benar apa enggak. Atau, engkau dapat menganalisis karya-seni: siapanya, apanya, dimananya, kapannya, dan mengapanya. Sejarawan seni David Joselit menggambarkan seni sebagai 'timbunan pengalaman dan informasi, yang sangat tinggi.' Seni berisi semua yang kita butuhkan guna mengasah pengamatan, persepsi, dan keahlian komunikasi kita.Jika engkau dapat berbicara tentang apa yang terjadi dalam sebuah karya seni, engkau dapat pula membincangkan tentang adegan kehidupan sehari-hari; Engkau dapat bertutur tentang ruang rapat dan ruang kelas, tempat kejadian perkara kriminal, dan lantai pabrik. Mendeskripsikan tentang apa yang engkau lihat dalam sebuah lukisan seorang wanita, yang mengenakan empat-lapis kerah kaku setinggi satu kaki, menggunakan keahlian yang sama seperti memvisualkankan apa yang engkau lihat di pasar luar negeri atau bandara internasional.Seni memberi kita banyak sekali kesempatan menganalisis keadaan yang kompleks, serta situasi yang tampaknya lebih mudah. Ironisnya, seringkali yang sederhana, keseharian kita, dan keakraban yang sulit kita gambarkan, lantaran kita tak lagi memperhatikan apa yang membuatnya menarik atau tak biasa. Pada masa dewasa, kita menjadi lebih terbiasa dengan kompleksitas dunia sehingga yang menarik perhatian kita, hanya yang baru, yang inovatif, dan yang mendesak serta yang mendominasi bidang visi kita. Kita mengandalkan pengalaman dan intuisi ketimbang mencari nuansa dan detail yang dapat membuat perbedaan dalam kesuksesan kita. Namun hal-hal yang kita lihat dan negosiasikan secara teratur itulah, yang hendaknya kita selaraskan secara spesifik.Seni membawa kita menjauh dari kehidupan kita sehari-hari guna memikirkan kembali bagaimana kita melihat dan memahami, serta berkomunikasi. Seni menginspirasi percakapan, terutama di saat ia membuat kita menggeliat. Coba perhatikan lukisan karya Salvador Dali, kita akan melihat gambar wanita yang hidungnya dimana-matanya dimana, lelaki memakai rol pengeriting-rambut dengan kukunya yang berkuteks, jam yang luluh di atas pohon, gajah berkaki laba-laba, dan lukisan orang banyak berteriak, mirip the Scream-nya Edvard Munch.Bagian dari keindahan seni, terutama bagian yang lebih meresahkan, bahwa siapapun boleh mendiskusikannya. Engkau tak perlu menjadi sejarawan seni untuk mempercakapkan apa yang engkau lihat. Kita tak perlu mempelajari sapuan kuas atau palet atau periode sejarah. Kita semata menggunakan seni sebagai data visual yang dapat dikonfirmasi, berbicara tentang apa yang kita lihat—atau apa yang kita kira, kita lihat.Kita semua melihat sesuatu secara berbeda. Namun kita selalu lupa, dan bertindak seolah-olah hanya ada satu cara yang benar untuk melihat. Namun, dengan menyadari bahwa kita semua rentan terhadap kerabunan yang tak disengaja dan kesalahan persepsi lainnya, kita tak dapat berasumsi bahwa orang lain melihat apa yang kita lihat, bahwa kita melihat apa yang mereka lihat, atau bahwa salah seorang dari kita, secara akurat melihat apa yang sebenarnya ada.Tiada dua orang yang bakal melihat sesuatu, dengan cara yang persis sama. Segala sesuatu dimulai dari biologi yang kita warisi hingga bias yang kita pelajari mempengaruhi cara kita menghadapi dunia. Kita sebagai individu, tak semata mengamati, memperhatikan, dan mengumpulkan informasi secara berbeda, kita melihat pula, apa yang telah kita kumpulkan secara berbeda.Persepsi ialah bagaimana kita menginterpretasikan informasi yang kita kumpulkan selama observasi; memandangnya sebagai filter internal. Persepsi bisa mewarnai, mengaburkan, atau mengubah apa yang benar-benar ada menjadi apa yang kita kira, sedang kita lihat. Sama seperti melihat, proses persepsi itu, lembut, otomatis, dan sulit dikenali, jika kita tak menyadarinya. Menyadari betapa mudahnya persepsi kita dapat berubah, dan tetap tak mau berubah, dapat membantu kita menyesuaikan diri dengannya. Filter perseptif kita dibentuk oleh pengalaman unik kita sendiri di dunia. Setiap orang, berbeda dengan orang lain, terkadang sangat liar.Engkau takkan pernah bisa berasumsi bahwa orang lain mengalami hal yang sama sepertimu, kendatipun engkau ada di sana bersama mereka. Jika dua orang tua yang seumuran, dan berasal dari ras, kelas sosial ekonomi, dan lokasi fisik yang sama, tak melihat hal-hal dengan cara yang sama, pikirkan betapa berbedanya para manusia: majikan dan karyawan, pengacara dan jaksa, guru dan mahasiswa, dokter dan pasien, pengasuh dan anak-anak. Apa yang kita lihat, mungkin benar-benar berbeda dari apa yang dilihat orang di sebelah kita, apalagi orang di lapak sebelah sana, di seberang telepon, atau di belahan dunia lain. Apa yang mungkin tampak bagi kita, mungkin diabaikan oleh orang lain. Kita semuanya, makhluk subjektif, namun yang penting dicermati bahwa subjektivitas kita, dapat mewarnai 'kebenaran' dari apa yang kita lihat.Perspektif, dari kata Latin perspicere, yang bermakna 'melihat melalui', didefinisikan sebagai sudut pandang darimana sesuatu, dipertimbangkan atau di evaluasi. Berasal dari abad keempat belas, kata perspektif awalnya dipakai menggambarkan objek fisik, khususnya kaca optik yang akan mengubah caramu melihat sesuatu. Perspektif teleskop, oleh karenanya, penggalan kaca lengkung sesungguhnya, yang ada di dalamnya. Kita dapat menggunakan definisi ini, untuk memikirkan perspektif dengan cara yang sama, sebagai lensa lain yang, melaluinya kita melihat.Untuk mengubah cara kita melihat sesuatu, dan hal-hal yang kita lihat berubah, sangat penting bagi kita, mendekati data yang tersedia, dari setiap sudut fisik yang memungkinkan. Lihatlah ke belakang, ke bawah, ke sudut, dan ke luar halaman. Mundur, berjongkok, dan mengitarinya. Sesuatunya itu, tak selalu seperti yang terlihat, terutama pada pandangan pertama dari satu sudut. Dengan perspektif baru, gambar berubah sepenuhnya.Setelah mengakses informasi dan menganalisis apa yang telah kita kumpulkan, sekarang, bagaimana kita memprioritaskan informasi itu, baik secara sadar atau tidak, akan langsung mempengaruhi tindakan kita. Segera setelah kita memiliki banyak titik data, kita punya pilihan: mana yang akan kita tindak lanjuti? Hasil tindakan kita, tak selalu berbentuk ekstrem dan fisik semisal memutuskan apakah akan menembak orang asing. Kita mungkin seyogyanya membuat keputusan yang tak terlalu mengancam jiwa, namun tetap kritis seperti menentukan bagian sumber daya mana yang akan kita curahkan untuk mengejar informasi, dan dalam urutan apa.Secara mental atau fisik, kita tak dapat menindaklanjuti, memburu, atau menyelidiki setiap informasi yang kita temukan, setidaknya, tak sekaligus. Dalam meninjau batas kognitif otak manusia dan mitos multitasking, kita telah belajar bahwa seorang manusia, tak dapat melakukan banyak hal sekaligus. Kalau berjalan sambil ngomong sih, bolehlah.Semua yang telah kita bicarakan itu, ada di dalam benak Hanoman saat melihat Sita. Ia sedang menimbang-nimbang, akankah segera mendekatinya, atau, menunda dulu sambil menunggu apa yang bakal terjadi selanjutnya. Dirinya merasa terdorong menghibur Sita. Tapi, bagaimana ia akan mendekatinya tanpa terlihat oleh para rakshasi? Namun, jika ia pulang kembali menyeberangi lautan tanpa berbicara dengan Sita, pangeran Rama bakalan sedih. Mungkin, Rama akan marah dan ngerujak Hanoman dengan tatapannya. Lebih buruk lagi, jika ia tak memberikan harapan kepada Sita dengan cepat, boleh jadi, Sita bunuh-diri sebelum Rama mendarat di pantai Alengka.'Aku berwujud monyet kecil,' kata Hanoman pada diri sendiri. 'Sekalipun para penjaga melihatku, mereka akan mengira aku tak berbahaya. Aku hanya berharap, Sita tak menyangkaku sebagai Rahwana, yang nyamar jadi kera untuk menipunya.’Ia termenung-menung, kala lamunan berpacu di hadapannya. 'Jika Sita menduga aku Rahwana atau rakshasa lainnya, ia mungkin bakal teriak. Setelah itu, pastilah, para rakshasi bakalan datang menangkapku. Bila aku terbunuh, Rama dan Sugriwa takkan pernah mendarat di Alengka, lantaran tiada lagi yang bisa melompati samudera. Semua akan sirna. Aku harus berhati-hati; waspadalah, waspadalah Hanoman, engkau tak menyadari, apa yang dipertaruhkan di sini, urusan keren bergantung padamu. Jangan membuat Sita terkejut, monyet kecil; bertindaklah perlahan-lahan.'Ia lalu teringat sebuah cerita dari Kapi Jembawan, sang wanara-sepuh, 'Dulu, ada seorang pedagang kelontong yang punya seekor burung nuri hijau, yang cakep, yang nyanyiannya mengasyikkan dan yang sangat fasih celotehannya. Sang nuri, bukan sekadar pendamping idaman, melainkan pula, penjaga toko kelontong perfecto. Sepanjang hari, sang unggas mengawasi toko dan menyapa para pelanggan dengan ramah, menghibur, dan dengan demikian, meningkatkan penjualan toko kelontong.Suatu hari, saat sang pedagang keluar makan siang, meninggalkan toko di bawah pengawasan sang nuri, mendadak seekor kucing meloncat masuk ke toko mengejar tikus, menakuti sang unggas. Tatkala sang nuri kabur menyelamatkan diri, ia menjatuhkan beberapa botol minyak almond dari rak, memecahkannya, sehingga sekujur tubuhnya dan lantai toko, berlumuran dan berceceran minyak.Tak lama kemudian, sang pedagang kembali dan melihat tokonya berantakan, lantainya licin oleh tumpahan minyak dan sang nuri baper, mojok bertengger. Sekejap mata, sang pedagang kalap dan mengemplang kepala sang unggas sekuat tenaga. Sang nuri apes, yang sudah merasa bersalah dan tertekan oleh kekikukannya, tak dapat menahan rasa-malu, belum lagi, rasa-sakit akibat pukulan itu, maka ia langsung merontokkan seluruh bulu-bulu di kepalanya.Segera setelah peristiwa pengkhianatan G-30S PKI, eh bukaan, maksudnya peristiwa minyak almond, sang nuri serius ngambek, mandek berceloteh dan bernyanyi. Sang pedagang kelontong menyadari alangkah berat kesalahannya melabrak sang nuri; tak semata kehilangan rekan cerianya, namun juga, menjadi September kelabu sepanjang sejarah, yang membatasi bisnisnya berkembang pesat. Tiada yang pantas disalahkan kecuali dirinya sendiri, kini ia terperanjat bahwa dirinya sendirilah, yang mengancam mata pencahariannya.'Kuberharap, tanganku patah!' keluhnya pilu. 'Kok bisa-bisanya, aku memukul burung bersuara merduku seperti itu? Kok bisa-bisanya, aku berperilaku kejam seperti itu? Mbok yao...' seraya menepuk jidatnya.Sang pedagang mulai bersedekah kepada setiap fakir-miskin yang melintasi tokonya, berharap bahwa tindakannya tersebut, sebagai pengumuman permohonan maafnya, dan burungnya nggak letoy lagi, serta bisa kembali mengeluarkan suaranya yang mempesona. Setelah tiga-hari tiga-malam menanggung sesal dan derita oleh diamnya sang nuri, sang pedagang beruntung. Seorang lelaki botak berbaju merah, masuk ke toko, dan seketika, sang nuri mulai berceloteh, 'Akankah engkau menumpahkan botol minyak almond juga?'Segelintir pelanggan di toko, tertawan dan tersenyum pada sang nuri, yang dengan polosnya mengira bahwa sang lelaki berbaju merah, mengalami nasib yang sama seperti dirinya! Maklum, tampangnya minta dikasihani.'Dear nuri-kecil yang baik-hati dan tidak sombong,' berkata salah seorang pelanggan dengan penuh kasih-sayang, 'jangan pernah menyamakan satu tindakan dengan tindakan lainnya. Seseorang tak boleh membandingkan dirinya dengan orang lain, meskipun mungkin tampak sama di permukaan kulit; sesungguhnya, takkan pernah ada seperti yang terlihat!'Hanoman sangat berharap menemui Waidehi, nama lain Sita. Tak jauh darinya, Hanoman menyaksikan para rakshasi yang, serem banget. Ada yang bermata satu, banyak telinga, atau dengan telinga menutupi sekujur tubuhnya, tak bertelinga, atau bertelinga ibarat kerucut dan dengan hidung mancung membujur sepanjang kepala. Ada yang kepalanya besar, ada pula yang lehernya panjang dan bangsai. Ada yang rambutnya acak-acakan, tanpa rambut atau rambut bagaikan selimut. Ada yang bertelinga dan berdahi memanjang dan dengan payudara menjuntai. Ada yang berbibir dower dan berbibir mulai dari dagu. Ada yang wajahnya melempai dan ada yang lututnya mengampai. Ada yang pendek, tinggi, bongkok, cacat dan cebol.Taringnya menyembul keluar dan mulutnya somplak. Ada yang bermata-hijau dan berwajah rompang. Ada yang berbentuk nggak keruan dan berkulit gelap. Yang berkulit hitam, suka marah, dan suka bertengkar. Mereka memegang tombak, paku, dan tongkat raksasa yang terbuat dari besi hitam. Ada yang berwajah mirip babi hutan, rusa, harimau, kerbau, dan serigala. Ada yang berkaki seperti gajah, unta dan kuda, serta ada yang kepalanya seperti tertarik ke dalam. Ada yang bertangan atau berkaki satu, lalu ada yang telinganya bak keledai dan kuda. Yang lain, bertelinga laksana lembu, gajah, dan monyet. Ada juga yang tak berhidung, yang lain berhidung besar. Beberapa yang berhidung horizontal, yang lain dengan hidung compeng. Ada pula yang berbelalai seperti gajah. Yang lain, hidungnya nempel ke jidat. Ada yang berkaki seperti gajah, yang lain berkaki rakshasa.Yang lain berkaki seperti sapi, yang lain berambut di kakinya. Ada yang berkepala dan berleher besar, yang lain punya dada dan perut yang besar. Ada yang bermulut dan bermata besar, yang lain berlidah dan berkuku panjang. Ada yang berwajah seperti kambing, gajah, sapi, dan babi. Ada yang berwajah seperti kuda, unta, dan keledai. Para rakshasi, bila dilirik, sangat menakutkan, mereka memegang tombak dan tongkat di tangan mereka. Mereka pemarah dan suka bergaduh. Gigi-giginya menonjol dan warna rambutnya seperti asap. Para rakshasi punya bentuk wajah yang cacat. Mereka selalu minum. Mereka menyukai daging dan arak.Anggota tubuh mereka berlumuran serpihan daging dan darah. Mereka hidup dari daging dan darah. Sang wanara terbaik itu, melihat mereka. Tatapan mereka, sedemikian rupa, membuat bulu-kuduk bergidik.Mereka duduk di sekitaran pohon besar berbatang besar. Hanoman memperhatikan sang ratu dan putri raja yang sempurna, putri sang prabu Janaka, duduk di bawah pohon. Ia tersiksa oleh kesedihan dan pancaran wajahnya telah memudar. Rambutnya terbalur kotoran. Ia laksana kartika yang jatuh ke tanah setelah kesohorannya musnah. Kedahsyatan karakternya membuatnya beruntung, namun ia tak melihat suaminya dan ia berada di tengah bencana. Ia, tanpa ornamen sempurna, ornamen cinta sang suami.Perlahan, ia bersenandung lirih,I hear him, before I go to sleep[Aku mendengarnya, sebelum kupergi tidur]And focus on the day that's been[Dan fokus pada hari yang telah berlalu]I realise he's there[Kusadari, ia berada disana]When I turn the light off and turn over[Saat kumatikan lampu dan berpaling]Nobody knows about my man[Tiada yang tahu tentang kekasihku]They think he's lost on some horizon[Mereka kira, ia telah tersesat dalam sejenis cakrawala]And suddenly I find myself[Dan tiba-tiba kutemukan diriku]Listening to a man I've never known before[Mendengarkan lelaki yang belum pernah kukenal]Telling me about the sea, all his love, 'til eternity *)[Bercerita tentang laut, seluruh cintanya, hingga kelanggengan]Tiba-tiba terdengar suara, 'Sita, teruntuk akukah senandung itu?' Waidehi menoleh, itu Rahwana, dan ia menjawab, 'Idiih, siapa elu, bukan untukmu Rakshasa, itu buat Rama tauk!'"
- Ramesh Menon, The Ramayana: A modern Translation, HarperCollins
- Bibeck Debroy, The Valmiki Ramayana, Penguin Books
- Maryam Nafi (transl.), The Book of Rumi, 105 Stories and Fables, Hampton Roads Publishing
- Amy E. Herman, Visual Intelligence - Sharpen Your Perception, Change Your Life, Houghton Mifflin Harcourt
- John R. Searle, Seeing Things as They are - A Theory of Perception, Oxford University Press
*) "The Man with the Child in His Eyes" karya Kate Bush
[Bagian 9]
[Bagian 7]