Rabu, 30 Oktober 2024

Konsep Takwa (3)

"Untuk meningkatkan ketakwaanmu melalui refleksi diri, engkau dapat menerapkan beberapa strategi praktis yang mendorong kesadaran dan akuntabilitas dalam kehidupan sehari-hari. Berikut beberapa cara efektif menggunakan refleksi diri guna meningkatkan ketakwaanmu," jawab Lavender.
"Pertama, sisihkan waktu khusus setiap hari untuk refleksi diri. Lakukan di pagi hari atau sebelum tidur. Selama waktu ini, renungkan tindakan, niat, dan interaksimu sepanjang hari. Tanyakan kepada diri sendiri pertanyaan-pertanyaan seperti:
Sesuaikah tindakanku dengan prinsip-prinsip Islami hari ini?
Sucikah niatlku dalam tindakanku?
Bagaimana diriku memperlakukan orang lain, dan apakah aku mewujudkan kebaikan dan rasa hormat?
Kedua, buatlah jurnal khusus perjalanan spirituamu. Tuliskan refleksimu tentang pengalaman sehari-hari, pemikiran tentang imanmu, dan area yang dapat engkau tingkatkan. Menulis jurnal membantu memperjelas pikiranmu dan menyediakan cara nyata melacak kemajuanmu dalam menumbuhkan ketakwaan. Ketiga, temukan teman atau anggota keluarga tepercaya yang berkomitmen sama dalam meningkatkan ketakwaan. Diskusikan refleksimu secara teratur, saling bertanggungjawab atas pertumbuhan pribadi. Dukungan timbal balik ini dapat memotivasimu agar tetap fokus pada tujuan spiritualmu. Keempat, setelah merenungkan hari-harimu, bandingkan tindakanmu dengan ajaran Islam. Identifikasi setiap perbedaan antara perilakumu dan nilai-nilai Islam. Misalnya, jika dirimu terlibat dalam gosip atau hal-hal negatif, secara sadar ganti perilaku tersebut dengan percakapan dan tindakan yang positif.
Kelima, masukkan permohonan maaf ke dalam praktik refleksi dirimu. Akui kesalahan atau kekurangan yang engkkau temukan selama refleksi dan mohon ampun kepada Allah dengan tulus. Pertobatan ini membersihkan qalbu dan memperkuat ketakwaan.
Keenam, berdasarkan refleksimu, tetapkan tujuan yang spesifik dan dapat dicapai untuk meningkatkan aspek ketakwaanmu. Misalnya, jika engkau menyadari kurangnya kesabaran dalam situasi yang membuat stres, usahakan melatih kesabaran dengan lebih sadar dalam interaksi sehari-hari.
Ketujuh, renungkan ayat-ayat Al-Qur'an yang beresonansi denganmu selama sesi refleksi diri. Pertimbangkan bagaimana ajaran ini berlaku dalam hidupmu dan bagaimana dirimu dapat menerapkannya lebih penuh dalam tindakanmu.
Kedelapan, masukkan praktik kesadaran ke dalam rutinitasmu yang mendorong kesadaran akan kehadiran Allah, seperti dzikir (mengingat Allah) atau merenungkan tentang sifat-sifat-Nya. Praktik ini dapat membantumu membumi secara spiritual dan menjaga ketakwaan di garis depan pikiranmu. Dengan memadukan teknik refleksi diri ini ke dalam rutinitas harianmu, engkau dapat menumbuhkan rasa takwa yang lebih dalam dan meningkatkan kesadaran akan Tuhan dari waktu ke waktu. Ingatlah bahwa ini adalah perjalanan berkelanjutan yang membutuhkan usaha dan dedikasi yang konsisten untuk menyelaraskan pikiran, perkataan, dan perbuatanmu dengan prinsip-prinsip Islam.

"Apa hubungan takwa dengan konsep rezeki?" tanya Anthurium.
Lavender menjawab, "Takwa sesungguhnya terkait erat dengan konsep rezeki dalam Islam. Al-Quran menegaskan bahwa orang yang bertakwa akan mendapatkan pertolongan dan rezeki dari Allah dengan cara yang tak terduga. Misalnya, Surat At-Talaq (65:2-3) menyatakan, "Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tak ia duga."
Hal ini menunjukkan bahwa takwa akan mendatangkan pertolongan Allah, termasuk rezeki.
Takwa tak semata mendatangkan pahala rohani,,melainkan pula memberikan manfaat nyata dalam kehidupan, termasuk bertambahnya rezeki. Surah Al-Maidah (5:112) menegaskan pentingnya takwa dan perannya dalam memperoleh berkah dan rezeki dari Allah,
اِذْ قَالَ الْحَوَارِيُّوْنَ يٰعِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ هَلْ يَسْتَطِيْعُ رَبُّكَ اَنْ يُّنَزِّلَ عَلَيْنَا مَاۤىِٕدَةً مِّنَ السَّمَاۤءِ ۗقَالَ اتَّقُوا اللّٰهَ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
(Ingatlah) ketika Hawariyun (para pengikut setia nabi Isa (alaihissalam)) berkata, “Wahai Isa putra Maryam, sanggupkah (bersediakah) Rabbmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?” Isa menjawab, “Bertakwalah kepada Allah jika kamu orang-orang mukmin.”
Hubungan antara takwa dan penyediaan materi merupakan tema yang berulang dalam ajaran Islam, yang menegaskan bahwa takwa dapat menuntun pada kesejahteraan. Mempraktikkan takwa mendorong perilaku beretika, yang dapat berdampak positif pada penghidupan seseorang. Dengan mematuhi prinsip-prinsip Islam, individu lebih cenderung pada pekerjaan yang jujur ​​dan menghindari praktik tak etis yang dapat membahayakan kelangsungan hidup mereka. Takwa menumbuhkan kepercayaan yang mendalam pada rencana Allah, yang memungkinkan individu agar tetap sabar dan penuh harapan selama masa-masa sulit. Ketergantungan ini dapat menuntun pada pandangan hidup yang lebih positif, yang dapat menarik lebih banyak berkah.

Dalam Islam Sunni, konsep rizki (rezeki) berakar kuat dalam pemahaman bahwa semata Allah-lah Yang Maha Pemberi Rezeki (Ar-Razzaq) dan telah menentukan porsi rezeki bagi setiap orang. Rezeki ini mencakup lebih dari sekadar kekayaan materi; rezeki ini mencakup kesehatan, hubungan, ilmu, spiritual well-being, dan sumber daya apa pun yang bermanfaat bagi kehidupan seseorang.
Allah-lah sumber utama rezeki, sebagaimana tercermin dalam Al-Qur’an:
اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ
"Sesungguhnya Allah Maha Pemberi Rezeki [Yang senantiasa menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh ciptaan-ciptaan-nya selama keberadaanyya yang ditetapkan. Rezeki-Nya mencakup petunjuk], Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh." [QS. Adz-Dzariyat (51):58]
Setiap orang telah ditentukan jatah rezekinya, dan meskipun manusia butuh usaha, namun Allah-lah yang akhirnya mengabulkannya.
Ulama Sunni menekankan pentingnya menyeimbangkan usaha dengan mengandalkan Allah. Sementara umat Islam didorong agar bekerja dan berjuang demi rezeki, mereka juga diajarkan agar mempercayakan kepada Allah atas hasilnya, sebagaimana digambarkan dalam hadits,
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi di waktu pagi dalam keadaan lapar dan kembali di waktu sore dalam keadaan kenyang.” [Sunan Ibnu Majah No. 4164; Sahih menurut Al-Albani; Ibnu HIbban & Al-hakim]
Ajaran Sunni sangat menekankan pencarian rezeki melalui cara-cara yang halal dan menghindari sumber-sumber yang haram. Memperoleh rezeki melalui cara-cara yang haram tak hanya mempengaruhi kesuksesan materi seseorang, tapi juga dapat berdampak negatif pada kondisi spiritual dan moral seseorang.
Konsep rizki mencakup keyakinan bahwa rasa syukur akan menambah rezeki seseorang. Allah berfirman,
لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ
“... Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu...." [QS Ibrahim (14):7].
Merasa cukup dengan apa yang Allah berikan, daripada berjuang tanpa henti untuk mendapatkan keuntungan materi, dipandang sebagai cara mencapai kedamaian dan kepuasan. Rizki juga dimaknai sebagai ujian; baik kekurangan maupun keberlimpahan merupakan cobaan dari Allah untuk melihat apakah seorang mukmin akan tetap istiqomah, bersyukur, dan taat.

Takwa mendorong individu agar memperlakukan orang lain dengan rasa hormat dan bermartabat. Ini termasuk menghormati orang yang lebih tua, menunjukkan kebaikan kepada generasi yang lebih muda, dan memperlakukan teman dengan adil. Penekanan pada pemeliharaan keharmonisan dalam hubungan keluarga dan sosial berasal dari keyakinan bahwa Allah mengawasi seluruh interaksi, mendorong orang beriman berperilaku etis.
Dalam Islam, toleransi merupakan konsep berharga yang berakar pada Al-Qur'an dan Sunnah. Toleransi menekankan kesabaran, rasa hormat, dan kasih sayang terhadap orang lain, apa pun latar belakangnya, dengan tetap menjunjung tinggi keyakinan dan prinsip-prinsip Islam.
Meskipun toleransi dianjurkan, ada batasan-batasan tertentu yang tak memperbolehkan toleransi. Batasan-batasan ini umumnya berkaitan dengan pemeliharaan iman, penegakan keadilan, dan perlindungan standar etika dan moral masyarakat. Berikut beberapa skenario dimana toleransi tak diperbolehkan:
1. Kompromi pada Keyakinan Inti. Kompromi pada keyakinan dasar Islam, semisal Keesaan Allah, finalitas Nabi Muhammad (ﷺ), dan pasal-pasal penting iman lainnya, tak dapat ditoleransi. Mempertahankan kemurnian keyakinan ditekankan dalam Al-Qur'an, "Katakanlah, 'Hai orang-orang kafir, kutakkan menyembah apa yang kamu sembah. Kamu juga bukan penyembah apa yang kusembah. Aku juga tak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Kamu tak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang kusembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku.'" (QS. Al Kafirun (109):1–6)
Surah ini menekankan agar tak mengorbankan keyakinan mendasar dengan menegaskan bahwa setiap orang punya cara beribadahnya sendiri. Surah ini menyampaikan pentingnya mempertahankan prinsip-prinsip Islam tanpa mengorbankan atau menggabungkannya dengan sistem kepercayaan lain.
2. Islam tak menoleransi ketidakadilan atau penindasan, bahkan jika itu berarti merugikan diri sendiri atau keluarga. Keadilan merupakan dasar ajaran Islam, dan segala bentuk ketidakadilan dikecam. Allah memerintahkan,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ ۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
"Wahai orang-orang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri atau terhadap kedua orang tua dan kaum kerabat. Baik orang kaya maupun orang miskin, Allah lebih mengetahui keduanya [yakni, lebih mengetahui kepentingan terbaik mereka. Karena itu, patuhilah apa yang telah Dia perintahkan kepadamu dan bersaksilah dengan jujur]. Karena itu, berpeganglah kepada apa yang telah diperintahkan-Nya kepadamu dan bersaksilah dengan jujur. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, yang dapat menyebabkan kamu tak berlaku adil. Dan jika kamu memutarbalikkan (keteranganmu) atau enggan (memberikan kesaksian), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qur'an, 4:135).
Perintah ini bermakna bahwa tiada toleransi yang diberikan terhadap ketidakadilan, baik yang terjadi dalam komunitas Muslim atau terhadap yang lain.
3. Islam tak menoleransi tindakan yang merugikan kesejahteraan moral, sosial, atau ekonomi masyarakat. Ini termasuk, misalnya, menyebarkan kerusakan (fitnah) atau tindakan yang mengancam kedamaian dan keamanan masyarakat. Allah berfirman,
اِنَّمَا جَزٰۤؤُا الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَسْعَوْنَ فِى الْاَرْضِ فَسَادًا اَنْ يُّقَتَّلُوْٓا اَوْ يُصَلَّبُوْٓا اَوْ تُقَطَّعَ اَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ مِّنْ خِلَافٍ اَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْاَرْضِۗ ذٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
"Sesungguhnya azab [hukuman setimpal] bagi orang-orang yang memerangi [yakni, melakukan tindakan kekerasan dan terorisme terhadap individu atau pengkhianatan dan agresi terhadap negara Islam] Allah dan rasul-Nya serta membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu merupakan kehinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat (kelak) mereka mendapat azab yang sangat berat,” [QS Al-Ma’idah (5):33]
Ayat ini membahas tindakan agresi dan kerusakan terbuka yang mengganggu stabilitas masyarakat, dan menetapkan langkah-langkah ketat guna menjaga kerukunan antar umat beragama.
4. Menghina atau menghujat secara terbuka terhadap Allah, Rasulullah (ﷺ), atau aspek-aspek suci Islam lainnya dipandang tak dapat ditoleransi. Menghina atau mengolok-olok Allah dan Rasulullah (ﷺ) dilarang keras, seperti yang dapat ditemukan dalam:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِى الْكِتٰبِ اَنْ اِذَا سَمِعْتُمْ اٰيٰتِ اللّٰهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَاُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوْا مَعَهُمْ حَتّٰى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهٖٓ ۖ اِنَّكُمْ اِذًا مِّثْلُهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ جَامِعُ الْمُنٰفِقِيْنَ وَالْكٰفِرِيْنَ فِيْ جَهَنَّمَ جَمِيْعًاۙ
"Sungguh, Allah telah menurunkan (ketentuan) bagimu dalam Kitab (Al-Qur’an) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Sesungguhnya kamu (apabila tetap berbuat demikian) tentulah serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang kafir di (neraka) Jahanam." [QS. An-Nisa (4):120]
5. Islam melarang sikap permisif terhadap perbuatan dosa atau amoral yang dapat merugikan masyarakat, semisal pencurian, perzinahan, dan mabuk-mabukan. Rasulullah (ﷺ) juga menganjurkan agar menjaga moral masyarakat:
مَنْ رَأَى مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ ‏
“Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tak mampu, maka dengan lisannya, jika tak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman.” [Sunan an-Nasai No. 5008; Shahih menurut Al-Albani]
Hadits ini mendorong orang-orang beriman agar bertindak terhadap perilaku yang merugikan secara terang-terangan dan mengikuti jalur yang benar, menunjukkan bahwa Islam tak menoleransi dosa besar yang nyata di depan publik, yang mengancam moral masyarakat.
Singkatnya, Islam menetapkan batasan seputar keyakinan inti, keadilan, kesejahteraan masyarakat, penghormatan terhadap hal-hal yang suci, dan moral masyarakat. Toleransi didorong dalam perilaku umum, akan tetapi, bila nilai-nilai inti ini dipertaruhkan, maka menjaga keimanan, keadilan, dan kesehatan masyarakat menjadi prioritas.

Takwa mendorong kerendahan hati dan kesederhanaan, hal ini penting agar menjaga hubungan yang sehat. Mengenali keterbatasan dan kelemahan diri membantu individu menghindari kesombongan dan keangkuhan, menumbuhkan sikap yang lebih empatik dan rendah hati terhadap orang lain. Kerendahan hati ini mencegah kesalahpahaman dan mendorong rekonsiliasi dalam perselisihan. Salah satu aspek utama takwa adalah dorongannya untuk memaafkan orang lain dan menunjukkan belas kasihan (selama tak melanggar apa yang dilarang, misalnya, apa yang telah disebutkan tentang hal-hal yang terlarang dalam toleransi). Sifat ini dimodelkan berdasarkan sifat penyayang Allah, mendesak orang-orang beriman memaafkan dan memberikan kebaikan bahkan ketika menghadapi kesulitan. Perilaku seperti itu memperkuat ikatan dalam keluarga dan persahabatan dengan membangun lingkungan yang mendukung.
Orang beriman yang bertakwa cenderung menghargai berkah yang mereka terima dari Allah, termasuk hubungan mereka. Mengungkapkan rasa syukur kepada keluarga dan teman membantu membangun ikatan yang lebih kuat dengan mengakui nilai hubungan ini. Penghargaan ini menumbuhkan rasa puas, mengurangi kecemburuan atau kebencian yang dapat merusak hubungan."

"Apa hubungan takwa dan tawakal?" Amarilis bertanya.
[Konsep Tawakal Bagian 1]