"Assalamualaikum, bolehkah aku turut bergabung dengan kalian?" burung Jalak menyapa. Nuri berkata, "Silahkan, majulah ke depan, saudaraku!" Jalak lalu berkata, "Aku mendengar percakapan kalian, bolehkah aku turut berbagi apa yang pernah kudengar?" Nuri berkata, "Tentu saja saudaraku, silahkan, sampaikanlah!" Jalak berkata, "Atas kewibawaan Abu Dzar al-Ghifari, radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah (ﷺ), dari antara perkataan yang ia sampaikan dari Rabb-nya, bahwa Dia, Subhanahu wa Ta'ala berkata, "Wahai hamba-hamba-Ku, Aku telah mengharamkan kezhaliman bagi-Ku dan Aku telah melarangnya bagimu. Karena itu, janganlah saling menzhalimi. Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian semua tersesat, kecuali orang-orang yang telah Aku tuntun. Karena itu, mintalah petunjuk dari-Ku dan Aku akan menuntunmu. Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua lapar kecuali orang-orang yang telah Ku-berikan makan. Karena itu, mintalah makanan dari-Ku dan Aku akan memberimu makan. Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua tak berpakaian kecuali orang-orang yang telah Aku beri pakaian. Karena itu, mintalah pakaian dari-Ku dan Aku akan mengenakan pakaian untukmu. Wahai hamba-hamba-Ku, kalian berdosa pada malam dan siang hari, dan Aku mengampuni segala dosa. Karena itu, mohonlah ampunan-Ku dan Aku akan mengampunimu. Wahai hamba-hamba-Ku, kalian takkan dapat merugikan-Ku, juga takkan dapat membawa kerugian bagi-Ku, dan kalian takkan dapat memberi manfaat kepada-Ku, juga takkan dapat membawa manfaat untuk-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku, jika yang pertama dan yang terakhir darimu, dan manusia dan jin dari kalian sama salehnya dengan orang-orang yang paling saleh di antara kalian, itu takkan menambah apapun bagi kekuasaan-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku, jika yang pertama dan yang terakhir darimu, dan manusia dan jin dari kalian, sama durhakanya dengan orang yang paling durhaka diantara siapapun, takkan mengurangi apapun dari kekuasaan-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku, jika yang pertama dan yang terakhir darimu, dan manusia dan jin dari kalian, berkumpul di kawasan yang sama, dan meminta pertolongan-Ku, dan jika Aku memberi setiap orang dari mereka apa yang ia minta, itu takkan mengurangi apa yang Ku-miliki kecuali itu sekedar sebuah jarum yang dibenamkan ke dalam lautan. Wahai hamba-hamba-Ku, perbuatanmulah yang akan Ku-perhitungkan. Lalu Aku akan memberikan balasannya. Barang siapa yang banyak menemukan kebaikan, hendaklah bersyukur kepada Allah. Barang siapa yang menemukan selain itu, janganlah menyalahkan siapapun kecuali dirinya sendiri."
Hadis ini sahih. Dicatat oleh Muslim, al-Bukhari dalam bukunya al-Adab al-Mufrad, Ibnu Khuzaima dalam bukunya at-Tauhid, at-Tabarani dalam al-Dua dan Musnad al-Syamiyin, al-Baihaqi, al-Hakim dan banyak yang lain melalui rantai Said bin Abdul Aziz dari Rabiah ibnu Yazid, dari Abu Idris al-Khaulani, dari Abu Dzar. Juga tercatat, dengan kata-kata yang sedikit berbeda, oleh Muslim, Ahmad, al-Tayalisi dan ibnu Khuzaima dalam at-Tauhid, dari Humaam, dari Qataadah, dari Abu Qilaabah, dari Abu Dzar. Abdul Razzaq juga mencatatnya dari Mamar, dari Ayyub, dari Abu Qilaabah, dari Abu Dzar. At-Tirmidzi, ibnu Maajah, ibnu Abu Syaibah dan yang lainnya mencatatnya dari Syahr ibn Hausyab, dari Abdul Rahman ibnu Ghanam, dari Abu Dzar.
"Hadis ini, hadis qudsi." Burung Flaminggo bertanya, "Sebentar, apa hadis Qudsi itu?" Jalak berkata, "Hadis Qudsi adalah hadits yang disampaikan oleh Rasulullah (ﷺ) dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mullah Ali al-Qaari memberikan definisi yang sangat baik bagi hadis qudsi. Ia menulis, "Itulah yang diriwayatkan dengan para perawi terkemuka dan yang paling dapat diandalkan, semoga berkah dan penghormatan kepada mereka, dari Allah; kadang melalui malaikat Jibril, alahissalam, dan terkadang oleh wahyu, ilham dan mimpi. Allah telah mempercayakan padanya (ﷺ) agar menyampaikannya sesuai dengan kata-kata yang ia (ﷺ) inginkan. Ini berbeda dengan Al-Qur'an, karena wahyu ini hanya melalui malaikat Jibril, dan terbatas pada kata-kata yang secara khusus diwahyukan dari Lauh Mahfuzh."
Hadis seperti ini biasanya terbentuk dari salah satu dari berikut ini: pertama, ada yang diawali dengan, "Rasulullah (ﷺ) mengatakan dari antara perkataan yang ia ketahui dari Tuhannya ..."; Kedua, terkadang dimulai dengan, "Allah Yang Maha Kuasa telah berfirman, dari antara perkataan yang berhubungan dengan-Nya, oleh Rasulullah ..."; Ketiga, atau, "Rasulullah (ﷺ) mengatakan bahwa Allah telah berfirman ..."; Keempat, firman Allah dapat disebut sebagai tulisan daripada diucapkan; Kelima, terkadang firman Allah ada di antara atau diperkenalkan dengan pernyataan Rasulullah (ﷺ). Dan akhirnya, referensi yang tak langsung tapi jelas dapat dibuat bagi firman Allah dalam perkataan Rasulullah (ﷺ).
Allah memulai firman-Nya dengan menyeru manusia sebagai "hamba-hamba-Ku". Ini penting karena sejumlah alasan. Pertama, dari sudut pandang manusia, menyoroti hubungan antara yang dipanggil dan pemanggil. Allah adalah Tuhan dan Majikannya. Mereka adalah hamba dan budak-Nya. Mengingatkan pendengar tentang hal ini dipermulaan kalimat, semestinya membuat mereka sangat memperhatikan apa yang akan diucapkan. Ini bukan berasal dari siapapun melainkan berasal dari Majikan dan Tuhan mereka. Kedua, ini juga menunjukkan hubungan antara Allah dan manusia. Dialah Penguasa dan Tuhan semua ciptaan. Dia tak membutuhkan mereka. Mereka sama sekali tak bisa menguntungkan bagi-Nya. Mereka hanyalah hamba-Nya karena Dia menciptakannya, jika Dia menghendaki, Dia dapat menjadikan mereka semua orang beriman atau orang kafir semuanya. Sesungguhnya, jika Dia berkehendak, Dia dapat melakukan apapun terhadap mereka semua. Aspek ini terkait langsung dengan pesan yang diberikan dalam hadits ini. Selanjutnya, seperti yang ditunjukkan Tatay, seruan ini umum bagi seluruh umat manusia. Hal ini tidak untuk waktu atau tempat tertentu. Semua umat manusia adalah hamba Allah. Larangan berbuat zhalim bukanlah sesuatu yang khusus hanya untuk Ummat Nabi Muhammad (ﷺ). Sesungguhnya, itulah sesuatu yang diajarkan kepada seluruh umat manusia dan diteruskan ke dalam semua agama yang murni.
Di banyak tempat dalam Al-Qur'an, Allah menolak bahwa Dia pernah atau hendak melakukan kezhaliman atau ketidakadilan terhadap siapapun. Allah tak pernah dan takkan pernah melakukan kesalahan apapun. Ungkapan, "Aku telah mengharamkan penindasan (zhulm) bagi-Ku," mengungkapkan bahwa zhulm adalah sesuatu yang secara teori adalah mungkin bagi Allah, tetapi bahwa Dia telah melarang bagi Diri-Nya dan telah mengesampingkan kemungkinannya. Namun, jika segala sesuatu dalam ciptaan ini benar-benar milik Allah dan tak ada okekuasaan yang lebih besar dari pada Dia, jenis zhulm apa yang mungkin telah dilakukan Allah? Allah telah mempertidakkan bahwa Dia akan melakukan zhulm dalam hadits ini, dan Dia secara khusus menolak bahwa Dia akan melakukan bentuk zhulm yang tertentu. Masalahnya bukan sekadar peniadaan zhulm. Juga, dan yang lebih penting, menurut ibnu Taimiya, penegasan kebalikannya, keadilan, dari sisi Allah. Bahkan ketika Allah menghukum seseorang, itu semata-mata didasarkan pada apa yang adil, sesuai dengan perbuatan mereka. Bila Dia memberi pahala kepada orang, itu karena anugerah dan rahmat dari Allah. Oleh karena itu, seperti yang dikatakan ibnu Uthaimin, segala tindakan Allah adalah tindakan keadilan atau anugerah.
Allah, dalam rahmat-Nya dan oleh hikmat-Nya, telah memutuskan bagi-Nya bahwa Dia takkan melakukan ketidakadilan. Bukanlah hal yang "berdasarkan sifat-sifat-Nya" Dia tak mungkin melakukan ketidakadilan. Dia pasti memiliki kemampuan untuk melakukan banyak bentuk ketidakadilan, namun Dia, tak ada orang lain, yang telah memutuskan bahwa Dia takkan melakukannya. Allah-lah yang telah menetapkan bagi-Nya bertindak dengan cara ini. Dengan memahami fakta ini , seyogyanya menambah cinta orang-orang beriman kepada Allah. Juga, seyogyanya meningkatkan puja dan puji mereka kepada-Nya.
Kata zhulm sering diterjemahkan sebagai "penindasan" dan ini memberi kesan hanya mengacu pada, misalnya, hubungan antara penguasa dan rakyatnya. Namun, meski hal itu jelas sejenis zhulm, bukanlah pemahaman lengkap tentang kata zhulm. Untuk menghindari kesalahpahaman itu, telah diterjemahkan dalam pengertian yang jauh lebih umum sebagai "kezhaliman" daripada "penindasan," sementara penindasan hanyalah salah satu bentuk zhulm. Dalam hadits ini, Allah telah melarang zhulm dalam pengertian umum, termasuk berbagai macam bentuknya.
Lexicon Lane mendefinisikan ظلم (Zhulm) sebagai berikut: "ظلم [Zhalama] ketika dalam kata intransitif, biasanya berarti: dia salah; Atau bertindak salah, tidak adil, merugikan, atau tirani: dan ketika transitif: ia melakukan kesalahan; atau bertindak salah, atau secara tak adil, merugikan, atau secara kejam.
الظلم [azh-Zhulm] menandakan meletakkan sesuatu di tempat yang bukan miliknya; memasukkan ke tempat yang salah; salah meletakkannya; ... dan dengan cara melebihi batas atau kurang, atau dengan menyimpang dari waktu dan tempat yang tepat: atau bertindak sesuai keinginan seseorang dalam membagikan hak milik orang lain; dan pelanggaran batas yang benar.
Ada tiga bentuk utama zhulm yang berbeda. Pertama, zhulm bahwa seseorang berbuat durhaka kepada Allah: jenis zhulm ini terdiri dari banyak tindakan tapi yang paling keji darinya, sebagaimana disebutkan di atas, adalah menyekutukan Allah. Selain itu, segala jenis perbuatan dosa adalah jenis zhulm terhadap diri sendiri. Orang yang berbuat dosa, merugikan dirinya sendiri dan tak berperilaku benar terhadap jiwanya sendiri saat ia mengerjakan dosa. Itulah sebabnya mengapa Allah menjelaskan bahwa melampaui batas apa yang telah Dia tetapkan, adalah zhulm.Kedua, zhulm yang dilakukan seseorang terhadap orang lain: Segala macam bahaya yang dilakukan seseorang terhadap orang lain adalah bentuk zhulm dan dilarang. Seorang Muslim tak boleh membahayakan kehormatan, kekayaan atau kehidupan orang lain.Jenis ketiga dari zhulm adalah bahwa komitmen terhadap makhluk-makhluk lain yang telah diciptakan Allah atau terhadap ciptaan pada umumnya. Misalnya, jika seseorang membunuh seekor binatang hanya untuk olahraga atau kesenangan, ia telah melakukan zhulm. Jika seseorang memutilasi seekor binatang dengan biadab, ia telah melakukan zhulm dan pantas dicela. Al-Bukhari mencatat dari ibnu Umar bahwa Rasulullah (ﷺ) mengutuk orang yang memutilasi binatang.
Cara lain yang penting untuk mengkategorikan zhulm adalah ke dalam tiga pembagian berikut, seperti yang dilakukan oleh al-Hakimi, pertama, zhulm yang tak dimaafkan oleh Allah (kecuali dengan bertobat), yaitu syirik. Kedua, zhulm yang takkan diabaikan sampai diselesaikan dalam kehidupan ini atau kehidupan berikutnya, dan itulah kesalahan terhadap manusia lain. Kesalahan semacam ini tak dapat dibiarkan tanpa diselesaikan - baik dengan pemberian maaf dari orang yang terzhalimi atau hukuman dalam kehidupan ini atau di Akhirat. Ketiga, zhulm yang Allah dapat mengabaikan atau menghukumnya. Inilah dosa-dosa selain syirik, dimana seseorang melakukannya dan yang hanya mempengaruhi dirinya sendiri.Orang yang melakukan zhulm harus menyadari bahwa Allah mengetahui apa yang sedang ia lakukan. Allah akan meminta pertaggungjawabannya meskipun mungkin saat ini Allah membiarkannya. Salah satu alasan bahwa orang-orang dihancurkan oleh Allah adalah zhulm yang mereka lakukan. Ada juga banyak hadits Nabi (ﷺ) yang mengutuk dan mengecam zhulm. Orang yang melakukan zhulm haruslah sangat takut saat ia menyadari bahwa permohonan orang yang ia zhalimi akan dijawab oleh Allah, walau jika orang yang terzhalimi itu adalah orang yang tak beriman. Di sisi lain, Allah memuji kebalikan dari zhulm, yang merupakan karakteristik keadilan dan integritas."
Flaminggo bertanya, "Bagaimana menjaga diri dari melakukan zhulm?" Jalak berkata, "Di dalam Al-Quran, Allah telah menggambarkan umat manusia sebagai orang yang cenderung banyak melakukan zhulm bagi dirinya sendiri dan orang lain. Sangat mudah bagi manusia, mengingat sifatnya, melakukan zhulm, dan cenderung sering melakukan zhulm. Ketika seorang Muslim menyadari fakta ini dan ia juga menyadari betapa berbahayanya zhulm terhadap agama dan kesejahteraannya, ia akan mencari cara yang akan membantunya menghindari zhulm sebanyak mungkin.
Sultaan menyebutkan cara berikut yang dapat membantu seseorang mencegah dirinya melakukan zhulm. Pertama, orang tersebut harus mengembangkan taqwa di dalam dirinya sendiri. Taqwa akan membantu orang tersebut menjauh dari zhulm karena zhulm adalah tindakan yang sangat tidak diridhai Allah dan Dia telah melarangnya. Kedua, orang tersebut harus berusaha mengembangkan kerendahan hati di dalam dirinya. Sultaan menyebutkan hal ini karena kerendahan hati adalah kebalikan dari keangkuhan dan kesombongan, yang merupakan dua faktor yang menyebabkan banyak orang melakukan zhulm. Ketiga, orang tersebut harus berusaha membebaskan diri dari perasaan hasad (iri hati) karena hasad juga merupakan penyebab utama dibalik banyak zhulm. Keempat, orang tersebut harus membaca tentang pahala yang besar karena bersikap adil dan benar (kebalikan dari zhulm) dan betapa menyenangkannya itu bagiAllah. Dengan kata lain, ia harus membaca ayat-ayat tersebut di dalam Quran dan hadis, yang akan mendorongnya mengambil karakteristik yang patut dipuji tersebut. Kelima, ia harus kembai kepada Allah dan berdoa memohon petunjuk dan bantuan dalam mensucikan jiwanya dari kejahatan besar ini. Keenam, orang tersebut harus memikirkan dan menganggap serius hasil buruk dari melakukan zhulm. Ia harus menyadari bahwa tak ada kesuksesan atau kemakmuran sejati yang akan datang kepada orang-orang yang zhalimin (orang-orang yang zhalim). Ia harus merenungkan kenyataan bahwa melakukan zhulm dapat menghalangi seseorang mendapat petunjuk Allah. Dalam doa-doanya, saat membaca surah al-Faatiha, ia mungkin meminta Allah petunjuk ke jalan yang lurus, tapi mungkin ia tak diberi tuntunan karena tindakan zhulmnya yang merupakan penghalang bagi tuntunan yang lengkap baginya. Ia juga harus mempertimbangkan hukuman bagi orang-orang yang zalim. Ia harus ingat bahwa hukuman bagi orang-orang yang zalim tak hanya di kehidupan berikutnya tapi, dengan satu atau lain cara, mereka akan menerima hukuman dalam hidup ini."
Jalak lalu berkata, "Wahai saudara-saudariku, inilah salah satu hadits yang sangat penting, adalah suatu kewajiban kita mengingatnya dan merenungkan maknanya, karena memiliki poin penting yang tak terhitung jumlahnya. Hadits ini melarang segala bentuk ketidakadilan dan penindasan, sehingga dengan demikian akan mengarah pada penegakan keadilan, yang merupakan salah satu tujuan utama Hukum Islam, dan mendorong seseorang agar berdoa kepada Allah, memohon bimbingan dan kebutuhan duniawi, karena do'a adalah salah satu bentuk ibadah yang teragung. Hadis ini juga membahas beberapa sifat-sifat Allah, seperti Dia bebas dari kebutuhan akan ciptaan ini.
Salah satu karakteristik yang harus membedakan orang mukmin sejati dengan yang lain, adalah keadilan mereka, bahkan menghormati orang yang mereka benci. Kebencian mereka pada orang lain, tak membuat mereka menyimpang dari keadilan dengan cara apa pun. Para Sahabat, radhiyallahu 'anhum, memahami dengan baik bahwa penegakan keadilan adalah salah satu tujuan utama Dien Islam. Ketika ditanya oleh Kaisar Persia apa yang membawa para Muslim ke tanah mereka, dua sahabat yang berbeda menjawab dengan kata yang sama, "Allah telah mengutus kami untuk membawa siapa saja yang berharap dari perbudakan umat manusia kepada penghambaan Allah, dan dari sempitnya dunia ini, hingga kelegaannya, serta dari ketidakadilan cara hidup di dunia ini, hingga keadilan Islam.
Kebalikan dari zhulm adalah 'adl atau adil. 'Adl adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Jadi, intinya adalah, bahwa umat manusia harus menegakkan keadilan atau 'Adl. Namun, keadilan hanya ditegakkan dengan mengikuti apa yang Allah telah firmankan. Kaum politeis mendirikan beberapa praktik mereka sendiri dan melarang banyak hal tanpa kewenangan dari Allah. Allah mewahyukan kepada Rasulullah (ﷺ) untuk menyampaikan kepada mereka bahwa hal-hal seperti itu tak hanya hal-hal yang telah Allah perintahkan untuk dikerjakan.
Keadilan terbesar adalah tauhid dan ketidakadilan terbesar adalah syirik. Allah adalah Satu-satu-Nya Yang memiliki sifat-sifat yang membuat Dia berhak disembah. Allah juga menciptakan setiap manusia dan memberikan banyak karunia. Bagi manusia, beralih ke manusia lain dan menyembah manusia selain Allah, adalah bentuk ketidakadilan terbesar. Allah menganugerahkan kepada mereka karunia dan kemudian mereka menyembah dan berterima kasih kepada manusia. Ini seperti seseorang yang melakukan kebaikan untuk seseorang dan kemudian orang itu pergi dan berterima kasih kepada orang ketiga atas bantuannya. Seperti itu bukan perilaku yang tepat atau adil dengan cara apa pun.
Sumber kebenaran dan kebenaran yang sejati dapat ditemukan dalam apa yang Allah telah firmankan. Sumber terbesar dari kejahatan dan ketidakadilan adalah pengabaian terhadap apa yang telah diwahyukan Allah. Allah menjelaskan orang-orang yang tak mematuhi apa yang telah dinyatakan-Nya sebagai orang-orang yang zalim dan penindas.
Allah lebih mengetahui apa itu kebenaran dan keadilan. Dengan rahmat-Nya, Dia telah mewahyukan Kitab-kitab dan mengutus para Nabi dan Rasul untuk menegakkan keadilan yang benar. Namun, kebodohan manusia benar-benar memalingkan muka mereka dari wahyu Allah atas nama keadilan. Mereka percaya bahwa mereka dapat menegakkan keadilan melalui hukum dan sistem buatan mereka sendiri. Gerakan demokratis, slogan liberal, filosofi sekuler, gerakan pembebasan perempuan dan sebagainya, semuanya mereka klaim, dimaksudkan untuk membawa keadilan. Tetapi mereka tak pernah bisa mewujudkan keadilan. Mereka tak pernah bisa mewujudkan keadilan karena landasan mereka adalah ketidakadilan atau kezhaliman. Landasan mereka adalah mengabaikan Allah sebagai sumber petunjuk dan untuk menggantikan-Nya oleh manusia itu sendiri. Ini menempatkan manusia sebagai tuhan dan tiada kezhaliman yang lebih besar dari itu. Inilah kenyataannya, meskipun mereka mungkin tak menyadarinya, atau mungkin mereka mengkalim untuk menyeru apa yang adil dan baik.
Dan tahukah kalian, saudara dan saudariku, jika keadilan ditegakkan, apa yang mengikutinya?" Murai berkata," Kemakmuran!" Jalak menjawab," Itu benar, saudaraku! Wallahu a'lam."
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu-bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan." - [QS.4:135]
Referensi :
- Jamaal al-Din M. Zarabozo, Commentary On The Forty Hadith Of Al Nawawi Volume 2, Al-Basheer Publications
"Assalamualaikum," burung Merak memberi salam. "Waalaikumussalam!" jawab para uanggas. "Bolehkah aku bergabung?" Nuri dengan gembira menjawab. "Tentu saja, silahkan!" Merak lalu tampir ke depan, kemudian berkata, "Wahai saudara-saudariku, asas pertama 'aqidah adalah beriman kepada Allah. Inilah prinsip yang paling penting dalam iman dan amal, dan inilah titik fokal Islam dan esensi Al-Qur'an.
Dapat kita katakan bahwa iman kepada Allah adalah dasar dari semua prinsip lain, dasar agama. Semakin beriman seseorang kepada Allah, semakin ia berkembang dalam Islam. Oleh karena itu, seseorang seyogyanya memperhatikan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan mengenal Allah, yang dapat dicapai dengan dua cara dalam Al-Qur'an, pertama, memahami keunikan penciptaan yang merujuk pada keagungan kekuasaan Allah dan kesempurnaan penciptaan-Nya; kedua, mempelajari ayat-ayat Al-Qur'an yang membicarakan tentang Allah, esensi-Nya, Nama-Nya, sifat-Nya dan tindakan-Nya. Ia harus tegas nyatakan bahwa hanya Allah-lah, Satu-satu-Nya Yang harus disembah, tanpa sekutu, dan menolak apapun yang disembah selain Dia, Subhanahu wa Ta'ala.
Al-Qur'an tak membahas panjang lebar soal pembuktian keberadaan Allah, karena al-Qur'an menyatakan bahwa naluri manusia yang sehat, dan pikiran yang tak terkotori oleh syirik, akan menegaskan keberadaan-Nya tanpa memerlukan bukti lebih lanjut. Tak hanya itu, Tauhid atau penegasan Keesaan Ilahi, adalah sesuatu yang alami dan naluriah. Inilah yang disebut Fitrah.
Dari riwayat sahih Ibnu Abbas, radhiyallahu 'anhu, yang dikumpulkan oleh Imam Ahmad, rahimahullah, Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Ketika Allah menciptakan Adam, Dia mengambil sebuah kesaksian darinya di sebuah tempat bernama Na'man pada hari 'Arafah, lalu Dia mengambil daripadanya seluruh keturunannya yang akan lahir sampai akhir dunia, dari generasi ke generasi, dan membentangkan mereka di hadapan-Nya untuk juga mengambil kesaksian mereka. Dia berfirman, bertatap muka dengan mereka, berfirman, 'Bukankah Aku ini Tuhanmu? Dan mereka semua menjawab, 'Ya, kami bersaksi untuk itu.' Allah kemudian menjelaskan mengapa Dia mengambil kesaksian seluruh umat manusia, bahwa Dia-lah Pencipta mereka dan Tuhan sejati yang patut disembah. Dia berfirman, 'Itu karena jika manusia harus mengatakan pada Hari Kiamat,' Sesungguhnya, kami tak mengetahui semua ini, kami tak tahu bahwa Engkau, Allah, adalah Rabb kami. Tak ada yang mengatakan kepada kami bahwa kami seharusnya hanya menyembah Engkau." Allah kemudian menjelaskan bahwa akan ada juga orang yang mengatakan: 'Nenek moyang kamilah yang menyekutukan Allah dan kami hanyalah keturunan mereka; Akankah Engkau, lalu membinasakan kami karena perbuatan pendusta itu? '
Inilah penjelasan Rasulullah (ﷺ) tentang ayat Al-Quran dimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (Al Qur'an Surah Al-A'raf: 172-173): Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Rabb-mu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kalian tak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini. Atau agar kalian mengatakan, “Sesungguhnya nenek moyang kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami adalah keturunan yang (datang) setelah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang (dahulu) yang sesat?”
Penjelasan ayat tersebut menegaskan fakta bahwa setiap orang bertanggungjawab beriman kepada Allah, dan saat di Hari Pengadilan, segala alasan takkan diterima. Setiap manusia punya iman kepada Allah yang terpateri di dalam jiwanya dan Allah menunjukkan pada setiap hamba, sepanjang hidupnya, tanda bahwa berhalanya bukanlah Tuhan. Oleh karena itu, setiap manusia yang waras, seharusnya beriman kepada Allah melampaui ciptaan-Nya dan tak mengejawantah di dalamnya.
Dari riwayat sahih Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, yang dikumpulkan oleh Imam Tirmidzi,rahimahullah, Rasulullah (ﷺ) kemudian berkata, 'Allah kemudian menempatkan cahaya di antara kedua mata setiap manusia yang menunjukkan Iman mereka, dan menunjukkan semuanya kepada Nabi Adam, alaihissalam. Nabi Adam terpukau melihat semua makhluk yang tak terhitung jumlahnya itu, dengan kilatan cahaya di antara mata mereka, sehingga ia bertanya kepada Allah, 'Wahai Rabb-ku, siapakah mereka?' Allah berfirman kepadanya bahwa mereka semua adalah keturunannya. Adam kemudian mulai melihat dari dekat, yang kilasan cahayanya paling menakjubkan, lalu ia bertanya siapa itu, dan Allah berfirman, 'Itulah manusia yang bernama Daud dari bangsa-bangsa terakhir di antara keturunanmu.' Nabi Adam kemudian bertanya berapa umurnya, dan ketika Allah berfirman kepadanya bahwa usianya enam puluh, ia berkata, 'Wahai Tuhanku, tambahkanlah umurnya dengan mengambil empat puluh tahun dari umurku.' Namun saat rentang hidup Adam mencapai akhir dan malaikat kematian menjemput, ia berkata, 'Bukankah masih ada empat puluh tahun lagi hidupku yang masih tersisa?' Malaikat menjawab, 'Bukankah telah engkau berikan kepada keturunanmu Daud?' Nabi Adam menyangkal bahwa ia telah memberikannya dan para pengikutnya menolak janji mereka kepada Allah. Nabi Adam kemudian melupakan perjanjiannya kepada Allah dan begitu juga keturunannya, dan mereka semua jatuh dalam kesesatan."
Nabi Adam, alaihissalam, makan dari pohon terlarang karena ia melupakan janjinya kepada Allah dan dorongan setan yang menipu, dan sebagian besar umat manusia telah mengabaikan tanggung jawab mereka agar beriman kepada Allah dan hanya menyembah-Nya, dan telah terjerumus ke dalam penyembahan makhluk ciptaan.
Kemudian, Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Kemudian Allah menunjuk beberapa keturunan yang telah Dia ambil dari Adam dan anak-anaknya dan berfirman, 'Aku telah menciptakan orang-orang ini untuk surga dan mereka akan mengerjakan amalan penduduk surga." Dia, Subhanahu Wa Ta'ala, lalu menunjuk sisanya dan berkata, 'Aku telah menciptakan orang-orang ini untuk neraka dan mereka akan melakukan perbuatan penghuni neraka.' Saat Raulullah (ﷺ) menyampaikan hal ini, salah seorang Sahabat, bertanya, 'Wahai Rasulullah, lalu apa gunanya amal-shaleh?' Rasulullah (ﷺ) menjawab, 'Sesungguhnya, ketika Allah menciptakan seorang hamba untuk surga, Allah membuat orang tersebut melakukan amalan penghuni surga hingga ia meninggal dalam kondisi melakukan salah satu amalan penghuni surga, sehingga dengan amalan itu ia masuk surga. Dan ketika Allah menciptakan seorang hamba untuk neraka, Allah membuat orang tersebut melakukan amalan penghuni neraka hingga ia meninggal dalam kondisi melakukan salah satu amalan penghuni neraka, sehingga dengan amalan itu ia masuk neraka'."
Hadis Rasulullah (ﷺ) ini bukan berarti bahwa manusia tak memiliki kehendak atau pilihan bebas antara yang baik dan yang buruk, karena jika memang demikian, penghakiman, penghargaan dan hukuman, semuanya akan menjadi tak masuk akal. Penciptaan Allah atas seseorang agar surga berarti bahwa Allah mengetahui betul sebelum penciptaan-Nya, bahwa orang seperti itu akan berada di antara penduduk surga karena pilihan imannya melampaui kekafiran, dan kebaikan melampaui keburukan.
Jika seseorang dengan tulus beriman kepada Allah dan berusaha beramal-shalih, Allah akan memberinya banyak kesempatan untuk memperkuat keimanannya dan meningkatkan amal-shalihnya. Allah takkan pernah menyebabkan iman yang tulus itu sia-sia, bahkan jika orang beriman itu keluar dari jalur, Dia akan membantunya kembali ke dalamnya. Allah bisa menghukumnya dalam kehidupan ini saat ia keluar dari jalur yang benar agar mengingatkan akan kesalahannya dan membangunkannya agar menebus kesalahannya itu. Sesungguhnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala, akan sangat berbelas-kasih mengambil nyawa orang beriman yang tulus saat ia melakukan perbuatan baik, sehingga menjamin bahwa orang beriman itu akan berada di antara penghuni surga yang beruntung. Jika seseorang, di sisi lain, tak beriman kepada Allah dan menolak kebenaran, maka Allah menjadikan perbuatan buruk itu mudah baginya. Allah memberinya kesuksesan saat ia berbuat keburukan dan itu mendorongnya melakukan lebih banyak keburukan sampai ia meninggal dalam keadaan berdosa dan dilemparkan ke neraka yang kekal karena perbuatan buruknya itu.
Karena Allah telah menjadikan semua manusia bersaksi atas Ketuhanan-Nya saat Dia menciptakan Adam, sumpah ini terpateri dalam jiwa manusia, bahkan saat janin belum memasuki bulan kelima masa kehamilan. Jadi ketika seorang anak lahir, ia memiliki keyakinan alamiah kepada Allah. Keyakinan alamiah ini disebut dalam bahasa Arab sebagai "Fitrah." Fitrah ini, mengajak manusia agar kembali ke Sang Pencipta, namun manusia dikelilingi oleh banyak pengaruh lain yang membuatnya menyimpang menuju pemujaan kepada tuhan yang lain. Jika anak itu tak diusik, maka ia akan tumbuh dalam keimanan kepada Allah, namun semua anak dipengaruhi oleh tekanan lingkungan mereka, baik secara langsung maupun tak langsung. Orangtua, penulis, guru dan lain-lain menanamkan dalam pikiran anak-anak ide yang mengubah dan mencemari fitrah ini, menyelubungi fitrah ini sehingga mereka tak dapat beralih menuju kebenaran. Namun, karena telah tercetak dalam jiwa setiap manusia, biasanya, fitrah ini akan muncul saat kesulitan menghinggap. Ketika seorang anak manusia merasa terjepit oleh musibah, ia akan menjerit menyebut nama-Nya.
Rasulullah (ﷺ) menyampaikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dengan agama yang benar, tetapi Iblis menyesatkan mereka." Al-Bukhari dan Muslim, rahimakumullah, meriwayatkan atas otoritas Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah (ﷺ) juga bersabda, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan "fitrah", namun orang tuanya menjadikannya seorang Yahudi atau Nasrani. Ini seperti jalannya seekor binatang melahirkan keturunan yang normal. Pernahkah kalian perhatikan seekor binatang muda yang bagian tubuhnya buntung sebelum kalian memotongnya?"
Jadi, sama seperti raga seorang anak tunduk pada hukum fisika yang telah Allah letakkan pada alam, jiwanya juga tunduk secara alami pada kenyataan bahwa Allah adalah Tuhan dan Penciptanya. Namun, orang tuanya berusaha membuatnya mengikuti jalan mereka sendiri dan anak itu tak cukup kuat pada tahap awal kehidupannya, menolak atau menentang orangtuanya. Agama yang diikuti anak tersebut pada tahap ini adalah kebiasaan dan didikan, dan Allah tak meminta pertanggungjawaban atau menghukumnya atas agama ini. Bila anak tersebut masuk dalam tahap masa muda, dan bukti yang jelas tentang kepalsuan agamanya tersaji, anak yang tumbuh dewasa ini sekarang harus mengikuti agama ilmu dan akal. Pada titik ini, setan berusaha sekuat tenaga mendorongnya agar tetap berada dijalan ini atau tersesatkan lebih dalam lagi. Maksiat dibuat tampak menyenangkan baginya, dan sekarang ia harus tinggal di alam perjuangan antara fitrah dan keinginannya untuk menemukan jalan yang benar. Jika ia memilih fitrahnya, Allah akan membantunya mengalahkan hasratnya, walau itu mungkin membutuhkan sebagian besar masa hidupnya, karena banyak orang kembali ke Islam di masa tua mereka, walaupun kebanyakan cenderung ingin melakukannya sebelum masa itu.
Karena segala kekuatan dahsyat melawan Fitrah ini, Allah memilih orang-orang shalih tertentu dan mewahyukan dengan jelas jalan yang benar dalam hidup ini. Orang-orang ini, yang kita sebut para nabi, diutus untuk membantu Fitrah kita mengalahkan musuh-musuhnya. Segala kebenaran dan praktik yang baik didalam masyarakat seluruh dunia saat ini, berasal dari ajaran mereka, dan jika bukan karena ajaran mereka, takkan ada kedamaian atau keamanan di dunia ini sama sekali.
Jadi, adalah tugas manusia untuk mengikuti jalan para nabi, karena inilah satu-satunya cara yang benar-benar selaras dengan sifatnya. Ia juga harus berhati-hati agar tak melakukan sesuatu hanya karena orang tuanya dan apa yang orang tua mereka lakukan, terutama jika sampai kepadanya pengetahuan bahwa praktik ini salah. Jika ia tak mengikuti kebenaran itu, ia akan seperti orang-orang yang sesat.
Kesaksian yang dilakukan setiap manusia kepada Allah selama masa pra-penciptaan, adalah bahwa ia akan mengenal Allah, Yang Maha Kuasa, sebagai Tuhannya, dan tak mengarahkan segala bentuk pemujaan kepada yang lain selain Dia. Inilah makna penting syahadat, yang setiap orang harus lakukan agar menjadi seorang Muslim yang utuh; La ilaaha illallah, juga dikenal sebagai Kalimat Tauhid, pernyataan Keesaan Allah. Dengan bersaksi tentang Keesaan Allah dalam kehidupan ini, merupakan sebuah konfirmasi deklarasi primordial yang dibuat dalam keadaan spiritual.
Mereka yang beruntung dilahirkan dalam keluarga Muslim harus sadar bahwa semua "Muslim" tak secara otomatis dijamin masuk surga, karena Rasulullah (ﷺ) memperingatkan bahwa sebagian besar ummat Islam akan mengikuti mereka yang telah dimurkai, dan mereka yang sesat, begitu dekatnya sehingga jika mereka masuk lubang kadal, orang-orang Muslim seperti itu, akan mengikuti mereka. Rasulullah (ﷺ) juga mengatakan bahwa sebelum Akhir Zaman, ada umat Islam yang benar-benar menyembah berhala. Orang-orang ini memiliki nama Muslim dan menganggap diri mereka Muslim, tetapi tak bermanfaat bagi mereka pada Hari Kiamat.
Burung Cendrawasih bertanya, "Bagaimana cara memenuhi kesaksian itu?" Merak berkata, "Kesaksian itu dipenuhi dengan meyakini Tauhid secara tulus dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tauhid dipraktikkan dengan menghindari segala perbuatan syirik dan dengan mengikuti Rasul terakhir (ﷺ) yang Allah utus sebagai teladan hidup yang praktis dan hidup berdasarkan asas Tauhid. Karena manusia telah menyatakan bahwa Allah adalah Tuhannya, maka ia seyogyanya mempertimbangkan bahwa amal-perbuatannya hanyalah yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai yang halal atau yang haram. Dengan demikian, prinsip Tauhid dipraktikkan secara mental. Metode ini penting karena setiap perbuatan mungkin tampak baik padahal sebenarnya buruk. Misalnya, jika seorang miskin menginginkan seorang raja melakukan sesuatu untuknya, menurutnya. ia lebih baik mencari seorang pangeran atau seseorang yang dekat dengan raja agar berbicara atas namanya. Berdasarkan hal tersebut, selanjutnya dikatakan bahwa jika seseorang benar-benar menginginkan agar Allah menjawab doanya, Dia harus berdoa kepada salah seorang nabi atau orang suci agar meminta kepada Allah atas namanya, karena ia kotor, banyak dosa yang ia lakukan setiap hari. Ini mungkin tampak logis, namun baik Allah maupun Rasul-Nya (ﷺ) telah dengan jelas menyampaikan kepada manusia agar segala permohonan ditujukan langsung kepada Allah, tanpa perantara."
Kemudian, Merak berkata, "Wahai saudara-saudariku, beriman kepada Allah, Yang Mahaesa, Yang Maha Tunggal, Yang Maha Tinggi, adalah inti dari ajaran Islam. Segala aspek kehidupan Islami, sosio-ekonomi, politik, hubungan internasional, dll., berkisar seputar keyakinan pada, hanya ada satu Illah, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam."
"Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu takkan dikembalikan kepada Kami?" - [QS.23:115]
Referensi :
- Umar S. Al-Ashqar, Believe in Allah-In the Light of the Qur'an and Sunnah, IIPH
- Abu Ameenah Bilal Philips, The Fundamental of Tawheed, IIPH
Nuri bertanya, "Mengapa Allah menciptakan umat manusia di bumi? Mengapa Allah menciptakan Dunia?" Murai berkata, "Jawaban atas pertanyaan ini dapat dengan mudah ditemukan dalam al-Quran, di Surah al-Mulk [67]:2, "Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun."
Dan dalam Surah al-Kahfi [18]:7, "Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya."
Dengan demikian, tujuan penciptaan manusia di dunia ini adalah ujian terhadap perilaku manusia. Kehidupan dan kematian, kekayaan dan kemiskinan, penyakit dan kesehatan, dicipta untuk menyaring jiwa-jiwa yang baik dari jiwa-jiwa buruk. Perilaku manusia di dunia ini diukur dengan iman. Namun, ujian perilaku bukanlah untuk memberi tahu kepada Allah tentang manusia, karena Dia, Subhanahu Wa Ta'ala, mengetahui segala sesuatu yang perlu diketahui tentang mereka sebelum Dia menciptakannya. Ujian tersebut berfungsi untuk mengkonfirmasi pada Hari Kiamat bahwa orang-orang yang masuk Jahannam layak mendapatkannya, dan orang-orang yang masuk ke Jannah, sampai di sana hanya karena rahmat Allah. Sehubungan dengan manusia dalam kehidupan ini, ujian perilaku menyuguhkan dua tujuan dasar: pertama, pertumbuhan spiritual manusia, dan yang lainnya, pahala atau siksa.
Ujian di dunia ini terutama untuk pengembangan rohani manusia. Sama seperti api yang intens memisahkan emas murni dari bijih kasar yang terikat di alam, ujian memurnikan karakter moral orang-orang beriman. Ujian ini mendorong agar orang-orang beriman memilih kualitas spiritual mereka yang lebih tinggi atas hasrat mereka yang lebih rendah. Meskipun tak setiap ujian dilalui, bahkan dalam kegagalan, orang beriman tumbuh dengan belajar pelajaran spiritual untuk membantunya dalam ujian di masa depan.
Ujian dalam hidup ini, bisa dalam bentuk musibah dan bencana yang berkontribusi pada pertumbuhan spiritual orang mukmin sejati dan menyucikan mereka dari dosa. Sebaliknya, ujian kemalangan hidup, mengingatkan orang-orang yang beriman agar kembali ke jalan yang benar, dan menghukum orang-orang kafir dalam kehidupan saat ini sebelum Hari Kiamat.
Musibah merupakan pondasi dimana kualitas kesabaran spiritual semakin tinggi dikembangkan. Karenanya, tak mengherankan bila mendapati bahwa orang beriman banyak tertimpa tragedi dan kesulitan dalam hidup mereka. Manusia diuji menurut tingkat imannya. Jika imannya kokoh, cobaannya meningkat dalam tingkat yang berat, dan jika imannya lemah, ia akan dicoba sesuai dengan kemampuannya.
Kesabaran sejati adalah produk keimanan penuh pada Allah pada saat bencana. Iman pada Allah adalah aspek penting dari ibadah dan konsekuensi alami dari iman yang nyata. Karena iman kepada Allah berarti menerima bahwa tak ada yang terjadi di alam semesta tanpa seizin-Nya, maka hanya Allah yang pantas diimani sepenuhnya oleh manusia. Sebab, hanya janji Allah-lah yang tak pernah diingkari. Tak peduli betapapun benarnya manusia, ia bisa salah. Manusia akan selalu saling mengecewakan karena selalu berbuat khilaf.
Ujian dan cobaan, yang dengannya Allah menguji manusia, secara khusus disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan masing-masing. Allah menjadikan cobaan bagi setiap orang sesuai kemampuan mereka untuk menghasilkan yang terbaik dari mereka. Tak wajar dan tak adil bagi manusia bila diadili di luar kemampuan mereka, dan kemudian dihukum atas kegagalan mereka. Jika Allah benar-benar adil, itu berarti bahwa cobaan yang dihadapi manusia dalam kehidupan ini, tak berada di luar kemampuan mereka, untuk meyakinkan manusia.
Selanjutnya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berjanji bahwa keadaan sulit yang dihadapi manusia dalam hidup takkan tanpa selang waktu istirahat. Jika cobaan itu terus-menerus, pasti akan tak tertahankan. Karenanya, setiap masa ujian dan cobaan, selalu diikuti dengan masa kelegaan.
Janji-janji Ilahi atas keadilan dan rahmat Allah, mengisi orang-orang mukmin dengan rasa percaya diri yang diperlukan untuk menghadapi kesulitan hidup dengan sabar. Akibatnya, harapan akan rahmat Allah adalah bagian penting dari iman. Mereka yang beriman kepada Allah, dan dengan sabar berusaha melakukan apa yang benar, berhak mengharapkan rahmat-Nya, karena Dia telah berjanji membantu dan mendukung mereka yang sabar. Tentu saja, Jannah adalah pahala bagi kesabaran berdasarkan iman yang tulus kepada Allah. Kesabaran juga didasarkan pada keyakinan bahwa apapun yang menimpa umat manusia pada dasarnya merupakan konsekuensi dari perbuatan buruk mereka sendiri.
Faktanya adalah, Allah telah memaafkan manusia bagi sebagian besar kejahatan mereka. Bila Dia mengazab manusia sesuai dengan perbuatan mereka semata, mereka dan semua yang ada di atas bumi ini, akan hancur. Konsekuensinya, baik cobaan maupun ujian yang berat, menguntungkan bagi orang mukmin. Kehidupan orang-orang mukmin sejati seimbang di antara kelakuan manusia yang ekstrim. Mereka tak merasa bahagia dengan keberhasilan hidup sehingga mereka melupakan Allah, dan juga tak merasa tertekan dengan kesulitan dan kegagalan hidup sehingga mereka kehilangan harapan akan rahmat Allah. Sebaliknya, mereka mengingat Tuhan dan Penolong mereka, dan yakin pada keputusan-keputusan-Nya.
Di sisi lain, jika orang-orang mukmin mengalami hidup tanpa masalah, harus dianggap sebagai pertanda bahwa ada sesuatu yang salah. Dalam keadaan seperti itu, orang mukmin sejati harus meluangkan waktu dan merenungkan realitas kehidupannya. Ujiannya tak jelas, dan mereka tak menyadarinya atau mereka telah menyimpang dari jalan yang benar. Allah berfirman kepada orang-orang beriman bahwa kenikmatan nyata yang diambil orang-orang kafir dari kekayaan dan anak-anak mereka, hanyalah awal dari hukuman mereka.
Ini bukan untuk mengatakan bahwa orang-orang mukmin harus merindukan masalah dan malapetaka dalam hidup mereka, karena Allah telah mengajarkan mereka sebuah do'a, dalam Surah al-Baqarah [2]: 286, "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami." Sebaliknya, mereka harus bersyukur kepada Allah atas segala lindungan Allah atas cobaan mereka. Namun, pada saat kemudahan itu, mereka harus tetap waspada dan tak melupakan ujian itu, karena kesuksesan dan kebahagiaan sering membutakan manusia terhadap cobaan hidup.
Cobaan terkadang berfungsi sebagai peringatan yang menghukum mereka yang telah tersesat, dan dorongan bagi mereka agar kembali ke jalan yang benar. Ketika manusia menyimpang, mereka jarang mendengarkan saran orang-orang di sekitar mereka. Namun, ketika sebuah bencana menimpa diri mereka atau diri orang-orang yang dekat dan mereka sayangi, itu ibarat sebuah hentakan bagi orang-orang yang masih punya iman, agar menyadari kesalahan mereka.
Mereka yang melanggar batas yang ditetapkan Allah, membuka diri mereka terhadap azab dalam kehidupan ini dan dalam kehidupan mendatang. Azab bisa datang dalam berbagai cara yang berbeda. Melalui Al-Qur'an, Allah menggambarkan banyak bangsa di masa lalu yang menolak tuntunan Ilahi, dan kemudian hancur. Kisah-kisah ini menjadi peringatan bagi ummat manusia, akibat pemberontakan melawan perintah-perintah Allah.
Akhirnya, tujuan dunia dan isinya diciptakan, relatif terhadap manusia, secara khusus telah ditentukan dalam Al-Quran. Dalam Surah Ibrahim [14]: 32-33, "Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air (hujan) dari langit, kemudian dengan (air hujan) itu Dia mengeluarkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan kapal bagimu agar berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagimu. Dan Dia telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan malam dan siang bagimu." Juga di Surah Al-An'am [96]: 96-97, "Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketetapan Allah Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui. Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Kami telah menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepada orang-orang yang mengetahui."
Isi dunia ini dicipta untuk melayani umat manusia. Baik itu produk dari penemuan manusia, seperti kapal, maupun alam itu sendiri, semuanya telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala bagi kepentingan manusia. Namun, pemberian semacam itu bukan tanpa tanggung jawab. Manusia diharuskan mengenali karunia dan rahmat Allah, serta bersyukur dan memuliakan-Nya.
Manusia juga bertanggung jawab mengatur makhluk ciptaan lain sesuai dengan perintah Allah. Inilah tujuan manusia relatif terhadap ciptaan lainnya. Mereka diperintahkan untuk memanfaatkan isi dunia ini sesuai dengan perintah atau aturan Allah. Dalam Sahih Muslim, Abu Sa'id al-Khudri, radhiyallahu 'anhu, mengutip Rasulullah (ﷺ) yang bersabda, "Dunia ini indah dan hijau, dan Allah telah menjadikanmu penguasanya, untuk melihat bagaimana perbuatanmu." Manusia tak bebas berbuat sesuka hatinya di dunia ini.
Menurut Al-Qur'an, membunuh binatang untuk olahraga, dilarang, dan berdosa di sisi Allah. Mencabut nyawa binatang yang hidup, tak diperkenankan, kecuali untuk makanan, perlindungan kehidupan manusia, atau untuk pakaian. Membunuh binatang untuk hobi dan kesenangan semata, pada dasarnya sangat buruk. Dan, bahkanpun ketika hidup seorang anak manusia harus diambil karena kejahatannya terhadap masyarakat, atau kehidupan seekor hewan diambil untuk makanan, seharusnya dilakukan tanpa rasa sakit. Merawat hewan diabadikan dalam hukum Ilahi, bahkanpun dalam kasus anjing, yang umumnya tak diperbolehkan berada di dalam rumah seorang Muslim. Menganiaya binatang adalah dosa besar menurut hukum Islam.
Ada keadaan dimana perlu menimbulkan sedikit rasa sakit pada hewan, seperti memecutnya agar mau bergerak dan menandai agar mudah diidentifikasi. Namun, meski dalam situasi seperti ini, Allah memerintahkan agar melindungi mereka. Jabir, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) melarang memukul binatang pada wajah mereka atau mencap mereka di bagian wajah.
Tanggung jawab manusia menjaga dunia ini tak berhenti pada dunia fauna. Dunia flora, juga sangat dihargai dalam hukum Ilahi. Dengan demikian, umat Islam yang terlibat dalam peperangan, dilarang menghancurkan pepohonan, dan bahkan penanaman pohon dianggap sebagai sedekah. Manusia bertanggung jawab menjaga agar seluruh aspek lingkungan dimana mereka diciptakan sebagai tugas suci dari Allah. Karenanya, dibutuhkan perlawanan aktif terhadap polusi dan penghancuran habitat alami secara besar-besaran."
Kemudian Murai berkata, "Wahai saudara-saudariku, tanpa mengetahui tentang tujuan penciptaan, manusia berkeliaran tanpa tujuan dalam kehidupannya, bagaikan kapal laut tanpa kemudi. Oleh karena itu, penting bagi kebugaran mereka sendiri agar mereka tahu mengapa Allah menciptakannya. Pada dasarnya, Allah mencipta untuk memanifestasikan sifat-sifat-Nya. Akibatnya, ciptaan adalah konsekuensi dari keberadaan-Nya sebagai Sang Pencipta, Jannah memanifestasikan rahmat dan kasih-sayang-Nya, Jahannam sebagai keadilan-Nya, kesalahan manusiawi sebagai ampunan-Nya, makhluk hidup dan makhluk yang tak hidup bagi kedermawanan-Nya, dan sebagainya. Penting mengetahui bahwa ciptaan adalah sarana, yang dengannya Allah memanifestasikan sifat-sifat-Nya, bahwa manusia dapat dengan benar mengenal Allah dan menerima keputusan dan takdir-Nya. Namun, sekali lagi, penting bahwa manusia mengetahui tujuan penciptaannya. Wahyu terakhir, Al-Qur'an, mengajarkan bahwa tujuan itu adalah menyembah Allah, karena manusia harus menyembah-Nya guna mencapai kebenaran dan status spiritual yang diperlukan agar mencapai Jannah. Pentingnya ilmu ini agar manusia memahami bahwa ibadah sama pentingnya dengan makan dan bernafas, dan bahwa, hal itu bukanlah kebaikan yang mereka lakukan untuk Allah.
Hakikatnya adalah, hendaknya manusia memahami pentingnya karunia dan cobaan di dunia ini. Tanpa ilmu tentang tujuan di balik penciptaan mereka, manusia cenderung memandang dunia ini sebagai musuh mereka. Namun, Allah menciptakannya terutama untuk keuntungan mereka. Cobaan yang baik dan yang buruk dirancang untuk menghasilkan kualitas spiritual manusia yang lebih tinggi. Namun, manusia tak dapat memperoleh manfaat dari cobaan kecuali jika mereka tawakkal kepada Allah dan bersabar atas apa yang telah Dia tentukan bagi mereka. Mereka yang menolak Allah, cobaan dunia ini menjadi hukuman bagi mereka, dalam kehidupan ini, sebelum hukuman kekal di dunia berikutnya.
Ilmu tentang tujuan dunia, juga membuat orang beriman sadar akan lingkungannya. Umat manusia bertanggungjawab memanfaatkan karunia hidup ini dengan adil. Makhluk bumi dan lautan, alam flora dan atmosfer telah dimasukkan ke dalam tanggungjawabnya. Akibatnya, manusia harus berhati-hati, melestarikan lingkungan dan makhluk hidup di dalamnya sebagai sarana untuk bersyukur kepada Allah. Dengan kesadaran tujuan yang komprehensif ini, manusia menjadi utuh. Mereka bertransformasi menjadi petunjuk bagi sesama umat manusia, memperlihatkan jalan menuju keshalihan. Wallahu a'lam."
"Aku tak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh." - [QS. 51:57-58]"
(Bagian 1)
Referensi :
- Dr. Abu Ameenah Bilal Philips, The Purpose of Creation, IIPH
Nuri berkata, "Setelah semua pembicaraan kita ini, ada sesuatu yang ingin kutanyakan kepada kalian." Para unggas berkata, "Cobalah!" Nuri berkata, "Aku penasaran, adakah kalian temukan jawaban dari beberapa pertanyaan yang selalu ada dalam benakku. Mengapa kita di sini? Apa yang kita lakukan di dunia ini? Mengapa Allah menciptakan kita?" Murai berkata, "Pertanyaan-pertanyaan ini, adalah pertanyaan yang masing-masing, dan setiap orang dari kita, merenungkannya di setiap titik kehidupan mereka. Kita masing-masing punya jawabannya, yang ada secara umum, tapi biasanya jawaban ini, tak memuaskan kita, karena tampak terlalu sederhana. Kita masih bertanya-tanya. "Mengapa aku? Mengapa disini?"
Bagi umat manusia, sangatlah penting agar mengetahui jawabannya. Tanpa mengetahui jawaban yang benar, manusia takkan dapat dibedakan dari margasatwa di sekitar mereka. Bagi seorang Muslim, saat kita membahas masalah ini, kita hendaknya mengambil pemahaman kita dari wahyu Ilahi dan bukan spekulasi manusia. Karena spekulasi manusia tak ada batasnya, kita bisa membayangkan segala hal, dan bila kita mempelajari filsafat, kita dapat melihat berapa banyak pendapat tentang penciptaan manusia dan eksistensinya. Karena beragam filosofi, yang ada di luar sana, tak ada yang dapat mengatakan yang ini benar atau yang salah, karena tak ada alasan kuat di belakangnya. Tak ada wahyu ilahi. Hanya dari wahyu Ilahilah kita dapat menentukan realitas penciptaan kita, karena Allâh-lah Yang telah menciptakan kita, dan Dia mengetahui tujuan penciptaan kita. Kita hampir tak dapat memahami diri kita sendiri, apalagi berusaha memahami esensi dari sesuatu.
Jadi, kembali kepada Allâh-lah, Yang menyampaikan kepada kita melalui wahyu di dalam Al-Qur'an dan Sunnah, yang dibawa oleh Rasul terakhir-Nya (ﷺ) dan para nabi sebelumnya. Sekarang jika kita ingin melihat, bermula dari wahyu, untuk menentukan mengapa manusia diciptakan. Ada pertanyaan yang lebih mendalam, yang seharusnya kita tanyakan sebelum itu. "Mengapa Allâh mencipta?" Sebelum kita sampai pada manusia, mengapa Allâh mencipta, karena manusia bukanlah ciptaan yang teragung, sehingga kita jadi begitu terfokus pada manusia. Bukan, sebenarnya Allâh berfirman di Sûrah Ghâfir [40], ayat 57, "Sungguh, penciptaan langit dan bumi itu lebih besar daripada penciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tak mengetahui."
Manusia bukanlah ciptaan terbesar, alam semesta ini jauh lebih kompleks dan jauh lebih megah dibandingkan manusia. Jadi, masalah penciptaan kemudian harus masuk kepada, mengapa mencipta? Berbeda dengan mengapa menciptakan manusia? Pada dasarnya, kita dapat mengatakan bahwa penciptaan adalah konsekuensi alami dari sifat pencipta. Allâh adalah Sang Pencipta. Inilah salah satu sifat-Nya. Inilah yang telah Dia firmankan kepada kita. Bahwa menjadi sifat-Nya, Mencipta, dan konsekuensi alami atau produk dari sifat inilah, ciptaan-Nya.
Seorang pelukis, jika kita ingin mengibaratkannya dalam tingkat yang lebih rendah, yang berkata bahwa ia adalah pelukis, dan jika engkau bertanya kepadanya, di mana lukisannya, dan ia menjawab, aku tak memilikinya? Pelukis macam apa ini? Konsep pelukis yang tak melukis, ada beberapa hal yang tak cukup sinkron di sini, tentu saja Allâh berada di luar ini. Tapi jika kita harus memahami pada tingkat yang paling sederhana, keduanya bisa dipadukan. Kesempurnaan seorang pelukis terletak pada lukisannya. Kualitas dan kemampuannya melukis, terwujud dalam lukisannya. Dan Allâh, di luar semua itu, sebagai Pencipta, kualitas ciptaan ini terwujud dalam ciptaan itu sendiri. Allâh tak menciptakan dari kebutuhan. Tidak, fakta bahwa Dia-lah Sang Pencipta, terwujud dalam penciptaan.
Selanjutnya, perhatikan perbuatan penciptaan, tindakan ini, yang berkaitan dengan Allâh, unik. Walaupun kita menggunakan istilah, misalnya, si Anu menciptakan sebuah meja dll, sebenarnya itu dalam arti terbatas. Manusia tak benar-benar mencipta, mereka memanipulasi, karena mereka hanya bisa "menciptakan" apa yang sudah ada. Saat kita membuat kursi atau meja, kita tak menciptakan kayu, kita harus mengambilnya dari pohon, kita tak menciptakan logam, yang membuat sekrup dll, kita harus melelehkan batu dan mengambil logamnya. Jadi kita tak mencipta dari tiada. Kita memanipulasi hal-hal yang telah Allah ciptakan dalam bentuk dan rupa yang berbeda, yang berguna bagi kita. KIta menyebutnya "mencipta," namun tindakan penciptaan sesungguhnya, adalah ciptaan dari tiada, dan ini unik hanya bagi Allâh.
Masalahnya, kita selalu mencoba menafsirkan penciptaan Allâh seperti cara kita mencipta, maka kita telah menjadikan Dia seperti ciptaan-Nya, dan pada akhirnya kita akan terjerumus ke dalam syirik. Inilah produk ketidakmampuan kita memahami konsep penciptaan dari ketiadaan, yang unik bagi Allâh. Allâh berfirman dalam Surah asy-Syuraa [42]: 11, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat."
Allâh adalah Sang Pencipta, dan segala sesuatu selain Dia, adalah ciptaan-Nya, yang Dia ciptakan dari ketiadaan. Sesuatu itu bukan Dia, dan Dia bukan sesuatu. Inilah konsep murni yang diajarkan oleh Rasulullah (ﷺ), para sahabat, dan generasi awal ulama yang shaleh, murid-murid para sahabat dan mereka yang datang setelahnya. Generasi terbaik. Begitulah cara mereka memahami hal ini. Tak ada keraguan dalam benak mereka.
Apa yang kita miliki di hadapan kita, bahwa Allâh menciptakan alam semesta ini dari ketiadaan, dan segala sesuatu yang ada di dalamnya diciptakan. Inilah kenyataannya. Hal ini ditekankan bagi kita, agar kita menyadari bahwa pada akhirnya, segala kebaikan, segala kejahatan, yang terjadi di dunia ini, hanya terjadi atas seizin Allâh. Oleh sebab itu, kita tak boleh mencari saluran lain untuk melindungi diri kita dari kejahatan, atau untuk mengumpulkan kebaikan kita sendiri, seperti yang orang lakukan sekarang. Mereka pergi ke peramal, inilah bisnis besar sekarang ini, semua majalah punya berbagai bentuk alat peraga seperti memutar sebuah horoskop dll dalam masyarakat yang telah kehilangan kontak dengan Allâh, inilah yang terbuka bagi mereka. Allâh telah menekankan kepada kita bahwa tak ada bencana yang akan menimpa kita kecuali dengan seizin Allâh. Apa yang dibutuhkan dari kita adalah bergantung pada Allâh, tawakkal kita pada Allâh. Inilah yang harus kita ambil dari sifat Allâh sebagai Pencipta. Penciptaan ini ada karena sifat itu. Makna praktisnya bagi kita, terletak pada tawakkal kita pada Allâh.
Dari perspektif umat manusia, pertanyaan "Mengapa Allah menciptakan manusia?" menyiratkan "Untuk tujuan apa manusia diciptakan?" Dalam wahyu terakhir, pertanyaan ini dijawab tanpa sumir. Manusia pertama kali diberitahu oleh Allâh bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kesadaran bawaan iman kepada Allah. Dalam Surah AlA'raf [7]: 172-173, Allah berfirman, "Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Rabb-mu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini. Atau agar kamu mengatakan, “Sesungguhnya nenek moyang kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kamilah keturunan yang (datang) setelah mereka. Maka akankah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang (dahulu) yang sesat?”
Rasulullah (ﷺ) menjelaskan bahwa ketika Allah menciptakan Nabi Adam, alaihissalam, Dia mengambil darinya sebuah perjanjian di sebuah tempat bernama Na'maan pada hari ke-9 bulan ke-12. Dia, Subhanahu wa Ta'ala kemudian mengekstraksi dari Adam semua keturunannya yang akan lahir sampai masa akhir dunia, generasi demi generasi, dan membentangkan mereka di hadapan-Nya untuk mengambil sebuah perjanjian darinya juga. Dia berfirman kepada mereka, bertatap-muka, membuat mereka bersaksi bahwa Dia-lah Rabb mereka. Konsekuensinya, setiap manusia bertanggung jawab beriman kepada Allah, yang terpateri pada setiap jiwa. Hal ini didasarkan pada keyakinan awal bahwa Allah menetapkan tujuan penciptaan manusia di Surah adz-Dzariyat [51]: 56: "Aku tak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."Jadi, tujuan esensial diciptakannya manusia adalah beribadah kepada Allah. Namun, Allah Subhanahu Wa Ta'ala tak membutuhkan penyembahan manusia. Dia tak menciptakan manusia dari kebutuhan akan bagian-Nya. Jika tak satupun manusia menyembah Allah, takkan mengurangi kemuliaan-Nya sedikitpun, dan jika seluruh umat manusia menyembah-Nya, takkan menambah kemuliaan-Nya dengan cara apapun. Allah itu sempurna. Dia sendiri ada tanpa kebutuhan apapun. Seluruh makhluk yang diciptakan memiliki kebutuhan. Konsekuensinya, manusialah yang perlu menyembah-Nya."
Nuri bertanya, "Apa yang dimaksud dengan istilah 'menyembah'?" Murai berkata, "Menyembah berarti pernyataan hormat dan khidmat, atau kata atau perkataan yang ditujukan kepada orang yang dimuliakan. Sedangkan Ibadah berarti perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Didalam Surah An-Nasr[110]:3, Allah berfirman, "maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu." Dalam memuliakan Allah, manusia berjalan harmonis. dengan ciptaan yang lain, yang secara alami memuliakan Penciptanya. Dalam bahasa Arab, bahasa wahyu terakhir, menyembah disebut 'ibaadah', yang terkait erat dengan kata benda 'abd', yang berarti 'hamba'. Seorang hamba adalah orang yang diharapkan melakukan apapun yang diinginkan majikannya. Konsekuensinya, ibaadah, menurut wahyu terakhir, berarti 'ketaatan tunduk kepada kehendak Allah.' Inilah inti dari pesan semua nabi yang diutus oleh Allah kepada umat manusia. Akibatnya, ketaatan kepada aturan Ilahi adalah dasar ibadah. Dalam pengertian ini, memuliakan Allah juga menjadi ibadah ketika manusia memilih mematuhi petunjuk Allah tentang tatacara memuliakan-Nya."
Nuri bertanya, "Mengapa manusia perlu menyembah dan memuliakan Allah dengan mematuhi aturan-aturan yang diwahyukan itu?" Murai berkata, "Karena ketaatan kepada aturan Ilahi adalah kunci sukses dalam kehidupan ini, dan kehidupan manusia yang pertama, Adam dan Hawa, diciptakan di surga dan kemudian dikeluarkan dari surga karena tak menaati petunjuk Ilahi. Satu-satunya cara agar manusia dapat kembali ke surga adalah dengan mematuhi petunjuk Ilahi. Tuntunan Ilahi menyajikan bimbingan bagi umat manusia dalam segala lapisan masyarakat. Mereka dapat mendefinisikan yang mana yang benar dan yang mana yang salah, dan menawarkan kepada manusia sebuah sistem yang lengkap, yang mengatur segala urusan mereka. Sang Pencipta sendiri tahu apa yang terbaik, yang bermanfaat bagi ciptaan-Nya dan apa yang tidak. Tuntunan Ilahi memerintahkan dan melarang berbagai tindakan dan substansi untuk melindungi jiwa manusia, tubuh manusia dan masyarakat manusia dari bahaya. Agar manusia dapat memenuhi potensi mereka dengan menjalankan kehidupan yang benar, mereka perlu menyembah Allah melalui ketaatan kepada perintah-perintah-Nya. Segala tindakan penyembahan yang terkandung dalam tuntunan Ilahi, dirancang untuk membantu manusia mengingat Allah. Adalah sesuatu yang wajar bagi manusia yang terkadang melupakan hal yang sangat penting. Manusia sering terbenam dalam keasyikan memenuhi kebutuhan jasmani mereka sehingga mereka benar-benar melupakan kebutuhan rohani mereka. Shalat yang rutin disediakan untuk mengelola keseharian orang-orang mukmin dalam mengingat Allah. Ini menjalin kebutuhan rohani dengan kebutuhan jasmani harian. Kebutuhan harian seperti makan, bekerja dan tidur bila dikaitkan dengan kebutuhan sehari-hari untuk memperbarui hubungan manusia dengan Allah, inilah yang berkenaan dengan shalat rutin.
Orang-orang beriman dianjurkan agar mengingat Allah sebanyak mungkin. Meskipun, sikap yang wajar dari segala sisi kehidupan, baik jasmani maupun rohani, umumnya dianjurkan oleh tuntunan Ilahi, pengecualian berlaku sehubungan dengan mengingat Allah. Pada hakekatnya, mengingat Allah dengan sangat banyak itu hampir tak mungkin. Karenanya, dalam Surah al-Ahzab [33]: 41, Allah mendorong orang-orang beriman agar mengingat Allah sesering mungkin, "Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya,"
Mengingat Allah sangat ditekankan, karena dosa, umumnya dilakukan saat Allah dilupakan. Kekuatan iblis sangat bebas beroperasi saat hilangnya ingatan kepada Allah. Akibatnya, kekuatan setan berusaha menguasai pikiran manusia dengan pikiran dan keinginan yang bukan-bukan, agar menjadikan manusia melupakan Allah. Seketika Allah dilupakan, orang rela bergabung dengan unsur-unsur yang merusak. Allah, melalui Tuntunan atau Hukum Ilahi, telah melarang minuman keras dan perjudian karena menyebabkan manusia melupakan Allah. Pikiran dan tubuh manusia dengan mudah kecanduan minuman yang memabukkan dan permainan judi. Begitu kecanduan, hasrat manusia terus terpicu olehnya, yang membawa mereka ke dalam segala bentuk kerusakan dan kekejaman di antara mereka sendiri.
Akibatnya, manusia perlu mengingat Allah demi keselamatan dan pengembangan diri mereka sendiri. Seluruh manusia punya saat-saat yang lemah dimana mereka berbuat dosa. Jika mereka tak punya cara untuk mengingat Allah, mereka tenggelam dalam kerusakan yang lebih dalam dan lebih dalam lagi dengan segala dosa-dosa itu. Namun, mereka yang mengikuti petunjuk Ilahi, akan selalu diingatkan kepada Allah, yang akan memberi mereka kesempatan bertobat dan memperbaiki diri mereka sendiri.
Dalam sistem Islam, setiap perbuatan manusia dapat diubah menjadi ibadah. Sebenarnya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala memerintahkan orang-orang beriman agar mempersembahkan seluruh hidup mereka kepada-Nya. Namun, agar bhakti itu bisa diterima Allah, setiap tindakan harus memenuhi dua syarat dasar: pertama, tindakan itu harus dilakukan dengan tulus, berharap akan ridha Allah, dan bukan untuk pengakuan dan pujian manusia. Orang beriman juga harus selalu ingat kepada Allah saat mengerjakan suatu perbuatan. agar memastikan bahwa itu bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah atau Rasul-Nya (ﷺ). Untuk memfasilitasi transformasi perbuatan duniawi ini menjadi ibadah, Allah menginstruksikan Rasulullah (ﷺ) agar meresepkan doa singkat yang diucapkan sebelum tindakan yang paling sederhana sekalipun. Doa terpendek yang bisa digunakan dalam situasi apapun adalah, 'Bismillah (dengan nama Allah).' Ada banyak doa lain yang diresepkan untuk kesempatan-kesempatan tertentu.
Syarat kedua adalah bahwa tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan tuntunan Rasulullah, yang disebut dalam bahasa Arab, Sunnah. Semua nabi menginstruksikan pengikut mereka agar mengikuti jalan mereka karena mereka dibimbing oleh Allah. Apa yang mereka ajarkan, mewahyukan kebenaran, dan hanya mereka yang mengikuti jalan mereka dan menerima kebenaran itu, yang akan mewarisi hidup kekal di surga. Satu-satunya cara yang dapat diterima untuk menyembah Allah adalah sesuai dengan jalan para nabi. Karena itulah, setiap pembaruan dalam urusan agama, akan dianggap Allah sebagai salah satu kejahatan terburuk. Pembaruan dalam urusan agama, dilarang dan tak dapat diterima oleh Allah. Diriwayatkan, Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Yang terburuk dari segala urusan adalah urusan agama yang diada-adakan, setiap urusan agama yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di jahannam.”
(Bagian 2)
"Ada lagi yang mau berbagi?" tanya Nuri. Para unggas diam, hingga akhirnya burung Dara tampil ke depan dan berkata, "Wahai saudara-saudariku, aku senang kalian tak menyia-nyiakan waktu membicarakan hal yang tak berguna, tapi dengan berbagi ilmu agama. Aku juga ingin berbagi sesuatu yang pernah aku dengar." Para unggas berkata, "Mohon, sampaikanlah kepada kami!" Burung dara berkata, "Atas kewibawaan Abu Mas'ud Uqbah ibnu Amr al-Ansari, radhiyallahu 'anhu, yang mengatakan: Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tak malu, berbuatlah sesukamu'."
Ini hadits yang sahih. Dicatat oleh al-Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, al-Baihaqi, Ibnu Abu Shaiba, Ibnu Hibban, at-Tabarani dan banyak lainnya dari rantai Mansur Ibnu Mutamir dari Rabi Ibnu Hirasy dari Abu Mas'ud.
Jika hadits ini, dan hadis lain yang menyatakan, "Tinggalkan perbuatan yang membuatmu ragu dengan yang tak membuatmu ragu," diterapkan bersama, seseorang akan dapat memahami bahwa jika seorang Muslim tak ragu lagi tentang sebuah perbuatan, maka ia bebas melakukannya. Demikian pula, jika sebuah perbuatan tak punya rasa malu yang terkait dengannya, maka, sekali lagi, orang tersebut diperbolehkan melakukannya. Oleh karena itu, perbuatan seorang Muslim harus terbebas dari masalah yang meragukan dan juga masalah yang memalukan.
Murai bertanya, "Apa arti hadits ini?" Burung dara berkata, "Agar hadits ini dapat dipahami secara lengkap, konsep al-hayaa' harus dipahami dengan baik. Kata hayaa' dapat dipahami sebagai rasa malu, kerendahan hati, rasa segan dan kesadaran moral. Kata hayaa' berasal dari kata al-hayaah, yang berarti kehidupan. Hujan, misalnya, disebut hayaa' karena membawa kehidupan di bumi dan tumbuh-tumbuhan. Disebut bahwa orang yang tak memiliki hayaa' bagai orang mati dalam kehidupan ini. Sebenarnya, qalbunya bisa dianggap sudah mati, jika ia punya kerendahan hati dan rasa malu, qalbunya akan hidup dan sehat. Semakin banyak kebersahajaan yang ia miliki, semakin sehat qalbunya. Kurangnya kerendahan hati yang dimiliki seseorang, semakin sedikit kehidupan dan kesehatan yang dimiliki qalbunya.
Intinya, perasaan di dalam qalbulah yang membuat orang tersebut menjauh dari melakukan perbuatan buruk. Hal ini terkait langsung dengan apa yang biasa disebut "kesadaran moral seseorang". Jika seseorang tak memiliki kesadaran moral, ia akan melakukan apapun yang ia suka. Ia tak peduli apa yang orang pikirkan atau katakan tentang dirinya. Sesungguhnya, ia bahkan tak peduli dengan apa yang ia pikirkan tentang dirinya sendiri. Ini karena qalbunya benar-benar telah mati dan ia tak merasa malu sama sekali. Di sisi lain, hati nurani seseorang mungkin mengganggunya, bahkan jika tak ada yang menyaksikan tindakan yang membuatnya malu. Qalbunya tak nyaman dan tak bahagia karena ia malu dengan apa yang ia lakukan.
Hayaa' adalah sesuatu yang setiap manusia alami. Salah satu aspek hayaa' yang secara alami ditemukan pada umat manusia adalah, perasaan menutupi bagian pribadi seseorang. Seperti semua karakteristik alami, kualitas ini dapat dipelihara dan dibiarkan tumbuh atau mungkin terhambat, sampai-sampai orang tersebut benar-benar kehilangan ini. Al-Muqaddam menunjukkan bahwa hayaa' adalah sifat yang benar-benar membedakan manusia dari binatang. Secara umum, hewan mengikuti keinginan atau naluri mereka tanpa perasaan benar atau salahkah apa yang mereka lakukan itu. Mereka tak merasa malu dengan tindakan mereka. Oleh karena itu, semakin sedikit hayaa' yang dimiliki seseorang, semakin dekat ia mendekati tingkat hewan daripada menjadi manusia bermoral.
Di luar perasaan alami hayaa', bisa diperoleh aspek yang berhubungan langsung dengan kekuatan iman seseorang. Inilah hayaa' yang timbul dengan menyadari bahwa Allah selalu hadir dan Dia melihat segala sesuatu yang dilakukan seseorang. Takkan ada yang bisa lepas dari Allah. Ketika seseorang menyadari hal ini, ia akan merasa malu melakukan tindakan yang tak menyenangkan Allah. Ingat kepada Allah inilah salah satu sarana terpenting, yang dengannya seseorang meningkatkan hayaa'nya. Jika seseorang memikirkan segala berkah yang diterimanya dari Allah, ia akan merasa sangat malu menggunakan berkah yang telah diberikan Allah kepadanya itu dengan cara-cara yang tak diridhai Allah. Misalnya, jika ia benar-benar memikirkan betapa besar pengabdiannya, ia akan merasa malu bila menggunakan berkah dari Allah ini dengan cara yang tak di ridhai-Nya.
Cara lain, yang dengannya seseorang dapat meningkatkan hayaa'nya, adalah bergaul dengan orang-orang yang berhayaa'. Seseorang dapat belajar dari keteladanan dan perilaku mereka. Yang lebih penting lagi, di hadapan mereka, orang akan marasa sangat malu atau segan melakukan sesuatu yang memalukan. Perasaan malu dan kerendahan hati ini, insyaallah, akan berkembang dan tumbuh dalam diri seseorang, bahkan juga di hadapan orang lain, ia akan terus memiliki karakteristik itu.
Ada beberapa penafsiran tentang hadis ini. Pertama, beberapa ulama mengatakan bahwa meskipun ungkapan ini berbentuk imperatif, sebenarnya tak dimaksudkan sebagai perintah. Sebaliknya, menjadi bentuk ancaman atau peringatan. Artinya, dengan kata lain, "Jika engkau tak punya rasa malu atau kerendahan hati, maka lakukan apapun yang engkau inginkan dan Allah akan membalasmu-menghukummu-terhadap apa yang engkau lakukan."
Penafsiran kedua hadis ini, juga menyatakan bahwa imperatif atau bentuk perintah bukanlah yang dimaksud dengan pernyataan ini. Sebagai gantinya, ini sebuah perintah yang digunakan sebagai pernyataan fakta. Dengan kata lain, artinya, "Jika seseorang tak memiliki rasa malu, maka ia melakukan apapun yang ia inginkan." Hayaa' (rasa malu atau kerendahan hati) adalah salah satu faktor terpenting yang membuat seseorang menjauh dari melakukan maksiat atau perbuatan dosa. Jika seseorang tak memiliki rasa malu atau kerendahan hati, maka tak ada yang mencegahnya melakukan banyak hal. Ia akan melakukan hampir semua hal karena ia tak memiliki apa-apa di dalam dirinya yang mengatakan kepadanya bahwa itu bukan perilaku yang baik, dan bahwa ia seharusnya, merasa malu bertindak dengan cara itu.
Penafsiran ketiga adalah bahwa perintah di sin, dalam bentuk pembolehan. Dengan kata lain, "Jika engkau merenungkan sebuah tindakan dan tindakan itu sedemikian rupa hingga tak ada alasan malu melakukannya di depan Allah atau orang lain, maka engkau boleh melakukannya." Oleh karena itu, menurut penafsiran ini, kerendahan hati atau rasa malu menjadi standar mengenai haruskah seseorang melakukan tindakan tersebut atau tidak. Jika tak ada yang merasa malu dengan tindakan tersebut, maka tak mengapa bila melakukan tindakan tersebut. Namun, jika ada alasan untuk malu melakukan tindakan itu, baik terhadap Allah maupun orang lain, maka orang tersebut seharusnya tak melakukannya.
Penafsiran keempat hadits ini adalah bentuk dorongan agar memiliki karakteristik kerendahan hati dan secara tak langsung menunjukkan kebajikan kesantunan. Dengan cara ini, hadis ini dipahami sebagai, "Karena tak diperbolehkan melakukan tindakan yang engkau inginkan, maka tak diperbolehkan meninggalkan kerendahan hati dan rasa malu."
Keempat penafsiran tersebut memiliki arti yang sangat baik dan dapat diterima. Sulit menentukan mana yang terkuat dari penafsiran di atas. Setiap interpretasi itu, dengan kemungkinan pengecualian yang terakhir, memiliki bukti yang mendukungnya. Karena keempatnya patut diterima, mungkin seluruhnya harus diingat dan diterapkan dalam kehidupan seseorang.
Ada banyak cara di mana hayaa' akan menunjukkan dirinya. Yang terpenting, bagaimanapun, seseorang seyogyanya memiliki hayaa' sehubungan dengan Allah. Seseorang merasa malu diawasi Allah, melihatnya melakukan sesuatu yang tak menyenangkan Allah. Ia harus malu di hadapan Allah, misalnya ketika ia tak melakukan shalat pada waktu yang tepat dan dengan cara yang benar. Jika seseorang memiliki hayaa' yang total kepada Allah, ia takkan melakukan tindakan apapun yang tak menyenangkan Allah, ia akan marasa sangat malu melakukan sesuatu dari sifat itu. Bahkan, Ia seharusnya memiliki lebih banyak hayaa' terhadap Allah dibandingkan ciptaan apapun. Ini karena semua yang dimilikinya sebagai berkah dari Allah dan ia tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ia lakukan.
Selain memiliki hayaa' berkenaan dengan Allah, seseorang harus menampilkan hayaa' kepada malaikat dan manusia lainnya. Sesusngguhnya, seseorang bahkan harus memiliki hayaa terhadap diri sendiri. Manusia yang memiliki hayaa' satu sama lain adalah karakteristik penting yang membuat orang tak saling merugikan dan melakukan tindakan tak senonoh yang mungkin disadari orang lain.
Malaikat adalah makhluk mulia dan bermartabat. Mereka menyaksikan tindakan yang dilakukan manusia. Setiap manusia, ada malaikat yang menyertainya, menyaksikan segala kelakuannya. Malaikat-malaikat itu dilukai oleh hal yang sama dengan yang melukai manusia. Oleh karena itu, umat Islam harus menyadari kehadiran mereka dan malu melakukan perbuatan memalukan di hadapan mereka, dengan cara yang sama seperti mereka malu melakukan perbuatan memalukan di depan manusia lain.
Seseorang juga harus memiliki hayaa' terhadap dirinya sendiri. Hal ini serupa dengan harga diri. Seseorang harus malu pada dirinya sendiri saat melakukan perbuatan yang memalukan. Ia bahkan seharusnya tak suka hidup dengan dirinya sendiri. Ini ibarat dua orang, dan orang itu malu pada yang lain, dan tak ingin dikaitkan dengannya. Ini takkan terjadi jika orang tersebut tak memiliki perasaan atau pengertian tentang hayaa'. Secara umum, semakin orang dihormati atau bermartabat, semakin banyak orang lain yang malu berperilaku tak benar di hadapannya.
Ada banyak tindakan yang dilakukan seseorang atas nama rasa malu dan segan yang tak termasuk dalam definisi Islam tentang hayaa'. Definisi Islam tentang hayaa 'sedikit berbeda dari konsep alami hayaa'. Hayaa' dalam Islam menuntun seseorang agar menghindari perbuatan buruk dan memenuhi hak orang lain. Perbedaan mendasar antara kedua jenis hayaa' adalah bahwa diam atau takut berbicara dengan adanya kepalsuan atau penindasan tak merupakan bagian dari hayaa' dalam Islam.
Jika hayaa' seseorang berlebihan, sehingga hal itu mencegahnya tak mengatakan yang sebenarnya, maka ia tak lagi memiliki hayaa' terhadap Sang Pencipta. Ia hanya memiliki hayaa' terhadap ciptaan. Orang seperti itu telah terhalang mencapai manfaat hayaa'. Ia bercirikan kemunafikan dan riya'. Memiliki hayaa' sehubungan dengan Allah adalah pondasi dan dasar, Allah memiliki hak yang paling tepat agar orang malu kepada-Nya. Seseorang harus melindungi dan menjaga pondasi ini, karena sangat bermanfaat.
Oleh karena itu, hayaa' tak dapat dijadikan alasan agar tidak mengerjakan amar ma'ruf nahi mungkar. Jika seseorang tak melakukan tindakan ini berdasarkan hayaa', maka ia memiliki bentuk hayaa' yang salah. Ia tak punya hayaa' yang tepat terhadap Allah, meskipun ia mungkin punya beberapa bentuk hayaa' terhadap umat manusia. Jika seseorang memperhatikan bahwa ia secara alami tak memiliki hayaa', dirinya seharusnya mengembangkan karakteristik ini, karena inilah salah satu karakteristik terpenting orang beriman."
Hayaa' adalah rasa malu karena penghormatan terhadap Allah atau manusia, yang secara unik dimiliki manusia, beda dengan segala sub-spesies. Hayaa' adalah salah satu kualitas moral terbaik, luar biasa dan bermanfaat; Sebenarnya, inilah sifat kardinal manusia - setiap manusia yang tak mempunyai kualitas moral ini, bukan lagi manusia kecuali penampilan luar dan fisik; ia tak memiliki jejak kebaikan tentang dirinya. Tanpa sifat ini, keramahan takkan ditunjukkan kepada tamu, tak ada janji yang akan dipenuhi, tak ada sumpah yang akan terlaksana, tak ada orang yang tak berdaya akan terbantu; seseorang takkan membedakan kebaikan dari kejahatan, memegang kebaikan dengan harga yang tinggi dan menghindari kejahatan; manusia takkan menyembunyikan kesalahannya atau menahan diri dari dosa. Memang benar bahwa bagi banyak orang, hanya al-hayaa' yang menstimulir mereka melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan; tanpanya, mereka takkan menghormati hak siapa pun, takkan mematuhi hak-hak kekerabatan dan tak menghormati orang tua. Stimulus bagi semua perbuatan ini bersifat religius, mengharapkan imbalan yang menguntungkan; Atau duniawi, orang yang khawatir akan apa yang orang lain perbincangkan. Bisa dikatakan bahwa tanpa al-hayaa' (takut akan Sang Pencipta, atau makhluk-Nya) manusia akan berhenti berbuat kebaikan.
Kemudian burung Dara berkata, "Wahai saudara-saudariku, hayaa' adalah tanda bahwa jiwa seseorang itu sehat. Jiwanya peduli dengan apa yang sedang ia lakukan dan tertekan saat ia melakukan sesuatu yang berbahaya atau berbuat dosa. Inilah orang yang punya hati nurani sejati, yang tak menerima dirinya melakukan kesalahan atau kejahatan. Wallahu a'lam."
"Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka yang lebih baik ataukah mereka yang datang dengan aman sentosa pada hari Kiamat? Lakukanlah apa yang kamu kehendaki! Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." - [QS.41:40]"
Referensi :
- Jamaal al-Din M. Zarabozo, Commentary On The Forty Hadith Of Al Nawawi Volume 1, Al-Basheer Publications
Elang melanjutkan, "Wahai saudara-saudariku, ketahuilah bahwa hadis ini juga menunjukkan pentingnya qalbu, seperti yang Rasulullah (ﷺ) sampaikan, "Di dalam raga ini, ada penggalan kecil daging yang, jika ia sehat, seluruh raga ini akan sehat, dan jika ia berpenyakit, seluruh raga ini juga ikut sakit. Bagian tubuh itulah qalbu." Seseorang harus berusaha membersihkan qalbunya karena inilah kunci sebenarnya agar berperilaku dengan benar dalam kehidupan ini, serta mendapatkan ridha dan surga Allah di kehidupan berikutnya.
Didalam Al-Quran, Allah Subhanahu Wa Ta'ala menggunakan tiga kata untuk menggambarkan "qalbu" kita: qalb, fu'aad dan sadr. Kita tahu bahwa setiap kata Arab dipilih karena sesuatu alasan, namun ketiga kata ini sebagian besar diterjemahkan sebagai "qalbu." Murai bertanya, "Jadi, apa bedanya?" Elang berkata, "Qalb adalah kata yang umum bagi qalbu atau "hati", berasal dari akar kata yang berarti sesuatu yang berbalik dan berputar-putar. Inilah sifat qalbu yang terus berubah, inilah keadaan normal hati kita. Bila Allah mengacu pada Iman dan penyakit hati, maka kata "qalb" digunakan.
Fu'aad berasal dari kata kerja fa'ada yang berarti terbakar atau nyala api, kata-kata "lahmun fa'id", yang bermakna daging panggang di atas api. Fu'aad digunakan saat qalbu meradang dengan emosi, seperti yang jika diucapkan, "di saat-saat yang panas." Fu'aad digunakan di dalam Al-Qur'an untuk menggambarkan qalbu saat ia asyik dalam renjana: bahagia, sedih, berahi, kecewa, marah atau kesal. Ketika Allah memperkuat qalbu seseorang dengan rahmat-Nya, ketika orang itu mendapatkan kembali Imannya, kesabaran dan kepercayaan kepada-Nya, fu'aad menjadi qalb.
Sadr bermakna dada, dan ketika Allah mengelakkan suatu sebab atau rahasia, Dia menggunakan sadr karena memberi ilusi secara harfiah dari khazanah di dalam dada: sesuatu yang tersembunyi dan terkotakkan. Setan tak membuat waswas (berbisik) ke quluub kita, ia berbisik di dalam dada manusia. Ada perbedaan, karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menciptakan qalb dalam keadaan suci. Qalbu itu ibarat benteng, sedangkan mata, lidah, telinga, tangan sebagai pintu gerbang masuknya. Setan menunggu di luar benteng ini, menyerang gerbangnya dan berusaha masuk. Karena rahmat Allah, Dia tak memberikan jalan masuk kepada setan ke dalam quluub kita, tapi cenderung kepada suduur kita. Kitalah yang membiarkan pintunya terbuka.
Sama seperti qalbu yang dapat digambarkan dalam keadaan hidup atau mati, juga dapat dianggap sebagai salah satu dari tiga jenis; qalbu yang sehat, qalbu yang mati, dan qalbu yang sakit. Qalbu yang pertama adalah qalbu yang hidup atau Qalbun Salim, berserah-diri kepada Allah, rendah hati, peka dan sadar; Qalbu yang kedua, rapuh dan mati; yang ketiga, mengambang diantara selamat atau hancur. Pada Hari Kiamat, saat orang-orang berada di hadapan Allah, hanyalah orang yang dengan qalbun salimlah yang akan selamat."
Nuri bertanya, "Apa qalbu yang sehat itu?" Elang berkata, "Dalam menentukan qalbu yang sehat, disebutkan bahwa, "Qalbu yang bersih dari hasrat apapun yang menentang apa yang diperintahkan Allah, atau membantah apa yang dilarang-Nya. Ia bebas dari dorongan yang bertentangan dengan kebaikan-Nya. Karenanya, ia terlindung dari penyembahan apapun selain Dia, dan tak mencari pembenaran kepada siapapun selain Utusan-Nya. Bhaktinya secara menyeluruh diperuntukkan bagi Allah, dengan sukarela dan penuh kasih, dengan ketergantungan penuh, yang menghubungkan segala hal dengan-Nya, baik dalam ketakutan, harapan dan pengabdian yang tulus. Bila ada cinta, cintanya ada di jalan Allah, jika ada benci, ia membenci apa yang dibenci oleh-Nya. Bila memberi, ia memberi karena Allah. Jika berpantang, ia berpantang karena Allah. Namun demikian, semua ini takkan cukup bagi keselamatannya sampai ia bebas dari mengikuti, atau mengangangkat sebagai pembimbingnya, selain dari Rasul-Nya (ﷺ).
Seorang hamba dengan qalbu yang sehat harus mempersembahkannya di akhir perjalanannya dan tak mendasarkan tindakan dan ucapannya terhadap orang lain kecuali Rasulullah (ﷺ). Ia takkan memberikan pengabdian pada keyakinan lain, atau perkataan atau perbuatan lain selain perintah Allah dan Rasul-Nya (ﷺ)."
Nuri bertanya, "Apa qalbu yang mati itu?" Elang berkata, "Ini kebalikan dari qalbu yang sehat, ia tak mengenal Tuhannya dan tak menyembah-Nya sebagaimana yang Dia perintahkan, dengan cara yang Dia kehendaki, dan dengan yang Dia ridhai. Ia melekat pada hawa nafsu dan keinginannya, walau jika itu cenderung menimbulkan ketidaksenangan dan kemurkaan Allah. Ia memuja hal-hal selain Allah, dan cinta dan kebenciannya, serta memberi dan tak memberi, muncul bersama hasratnya, yang sangat penting baginya, dan lebih diutamakan daripada ridha Allah. Keinginannya adalah imamnya, nafsu-birunya adalah pembimbingnya, kebodohannya adalah pemimpinnya, kekuarangajarannya adalah prawarsanya, perhatiannya tenggelam ke dalam tujuan duniawi. Ia mabuk dengan khayalan dan kenikmatan yang cepat berlalu. Dari kejauhan, ia dipanggil ke jalan Allah dan Akhirat, namun ia tak menanggapinya, dan sebaliknya, ia mengikuti tipu muslihat licik dan cerdik dari setan. Kehidupan duniawi inilah yang membuatnya geram dan senang, dan hawa nafsu menjadikannya tuli dan buta terhadap apapun kecuali kejahatan.
Berteman dan menemani pemilik qalbu seperti ini, adalah cara mengundang penyakit: tinggal bersamanya ibarat meminum racun, dan berteman dengannya berarti kehancuran total."
Murai bertanya, "Lalu, bagaimana dengan qalbu yang sakit?" Elang berkata, "Inilah qalbu yang masih hidup, namun berpenyakit. Suatu saat ia sehat, di saat yang lain ia sakit, dan mengikuti salah satu dari dua hal yang berhasil mendominasinya. Ia beriman kepada-Nya, ketulusan terhadap-Nya, dan bergantung kepada-Nya, dan inilah yang memberinya kehidupan, namun juga, ia punya hasrat akan nafsu dan kesenangan, dan lebih menyukainya, dan berusaha merasakannya. Qalbu semacam ini penuh dengan pengidolaan diri, yang dapat menyebabkan kehancurannya sendiri, ia mendengarkan dua pemanggil: yang memanggilnya ke jalan Allah dan Rasul-Nya (ﷺ) serta akhirat, dan yang lain memanggilnya untuk kesenangan sesaat di dunia ini. Ia menjawab salah satu dari keduanya, yang berpengaruh paling besar pada saat itu.
Ada tanda-tanda yang dapat dilihat seseorang di dalam dirinya agar
dapat menentukan bersih dan sehatkah qalbunya. Banyak dari tanda-tanda
ini menunjukkan bahwa qalbu yang bersih dan sehat tak condong ke dunia
ini, tapi justru melekat pada Allah dan Akhirat.
Tanda-tanda
ini telah dibahas oleh Ibnu Qayyim dan meliputi: pertama, orang
tersebut menganggap dirinya sebagai milik dunia berikutnya dan bukan
dunia sekarang ini. Ia orang asing di dunia ini dan tak sabar pulang ke
tempat tinggalnya di Akhirat; kedua, orang tersebut akan terus marah
kepada dirinya sendiri setiap saat ia melakukan dosa sampai ia akhirnya,
dan sepenuhnya, bertobat kepada Allah; ketiga, jika dalam
kesehariannnya, orang tersebut melewatkan tilawah Al-Quran dan zikirnya,
ia merasa gusar dan tak bahagia, bila dibandingkan dengan kehilangan
kekayaannya; keempat, orang tersebut menemukan kesenangan dalam
menyembah Allah yang jauh lebih besar daripada kesenangan yang ia
temukan dalam makan atau minum; kelima, saat orang tersebut memulai
sholatnya, kekhawatiran dan keperihatinannya akan dunia ini
meninggalkannya; keenam, satu-satunya kekhawatiran dan keprihatinannya
hanyalah menyangkut Allah dan bertindak demi kepentingan Allah; ketujuh,
ia berhati-hati dalam membuang-buang waktu, dan lebih pelit dalam hal
membuang-buang waktunya daripada orang yang serakah berkenaan dengan
kekayaannya. Waktu adalah salah satu elemen kunci yang setiap orang
harus gunakan untuk menyembah Allah. Sayangnya, seringkali Allah
menganugerahkan seseorang dengan waktu luang yang banyak, namun mereka
tak tahu bagaimana cara menggunakannya, jadi mereka pun
menyia-nyiakannya; Akhirnya, orang tersebut lebih memperhatikan
kebenaran perbuatannya dibandingkan dengan amal-perbuatan itu sendiri.
Pada saat bersamaan, ada banyak tanda bahwa qalbu seseorang tak bersih atau sakit. Penting untuk memperhatikan tanda-tanda ini dan menyembuhkan qalbu. Banyak orang yang peduli dengan kesehatan fisik jantung mereka. Jika tekanan darah mereka naik, mereka segera mencari pertolongan. Namun, aspek yang lebih penting bukan kesehatan jantungnya, tapi kesehatan spiritual qalbu. Ini bukan berarti bahwa seseorang mengabaikan kesehatan fisik jantungnya. Namun, hal itu berarti bahwa jika seseorang hanya menjaga kesehatan fisik jantungnya, ia mengabaikan faktor yang lebih penting, faktor yang lebih penting bagi kesehatannya dalam kehidupan ini dan akhirat.
Ibnu Qayyim juga membahas tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ada penyakit di dalam qalbu. Tanda-tanda ini termasuk yang berikut: pertama, orang tersebut tak merasa sakit atau pedih saat melakukan maksiat dan dosa; Kedua, individu tersebut menemukan kesenangan dalam perbuatan ketidaktaatan kepada Allah dan merasa tenang setelah melakukannya; ketiga, orang tersebut memperhatikan hal-hal yang kurang penting dan tak peduli dengan hal yang lebih penting. Jelas, jika qalbu didengarkan, ia akan menjaga kepentingan terbaik seseorang. Bila qalbu tak peduli dengan hal-hal yang penting, ini jelas pertanda bahwa bukan hanya sakit, tapi mungkin, qalbu itu telah mati; keempat, orang tersebut tak menyukai kebenaran, dan sulit menerimanya atau menyodorkannya; kelima, orang tersebut tak merasa nyaman berada di antara orang-orang shalih, tetapi menemukan banyak hiburan dan kedamaian sementara di antara orang-orang jahat dan orang-orang berdosa; keenam, orang tersebut rentan terkena dampak kesalahpahaman dan keraguan. Ia tertarik pada diskusi, debat dan argumen yang mengelilingi kesalahpahaman daripada membaca Al-Quran dan amalan lainnya. Aspek ini benar-benar bisa dilihat saat ini di kalangan umat Islam. Saat ini, seorang Muslim bisa menghabiskan berjam-jam diskusi, misalnya, benarkah jilbab bagian dari Islam atau betulkah riba dilarang, dan sebagainya. Mereka yang menyukai jenis diskusi ini dan yang terpengaruh olehnya, seyogyanya sadar bahwa ini bisa menjadi pertanda penyakit di qalbu mereka; ketujuh, orang tersebut mungkin tak terpengaruh oleh segala jenis peringatan apapun. Ada orang, misalnya, bisa mendengarkan khutbah demi khutbah di setiap shalat Jumat - bahkan khutbah yang sangat bagus sekalipun-dan tak ada pengaruhnya terhadap mereka. Ini pertanda lain bahwa qalbu itu sakit atau benar-benar telah mati."
Elang lalu berkata, "Wahai saudara-saudariku, setiap muslim harus memastikan bahwa qalbunya bersih dan sehat. Qalbu adalah kunci dari segala perbuatan dan tingkah laku seseorang. Jika qalbu ini bersih dan sehat, perbuatan orang itu akan suci dan sehat, jika qalbu sakit, maka akan tercermin dalam perbuatannya. Rasa hati yang berlebihan, seperti malas dan lemah, rasa sedih yang berlarut-larut, egois dan keras kepala, berpikiran negatif, gelisah, dan sejenisnya, bersumber dari qalbu yang sakit, yang menyebabkan raga ini merasakan sakitnya. Karenanya, wahai saudara-saudariku, tetap menjauh dari hal-hal yang haram dan meragukan adalah salah satu cara terbaik untuk melindungi qalbu dari penyakit atau benar-benar mati. Wallahu a'lam."
"Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” - [QS.20:124]
Referensi :
- Ahmad Farid, The Purification of the Soul, Compiled from the works of Ibn Rajab, al-Hanbali, Ibn al-Qayyim al-Jawziyya, and Abu Hamid al-Ghazali, Al-Firdous Ltd, London
- Jamaal al-Din M. Zarabozo, Commentary On The Forty Hadith Of Al Nawawi Volume 1, Al-Basheer Publications