Jumat, 26 Januari 2018

Fitrah

"Assalamualaikum," burung Merak memberi salam. "Waalaikumussalam!" jawab para uanggas. "Bolehkah aku bergabung?" Nuri dengan gembira menjawab. "Tentu saja, silahkan!" Merak lalu tampir ke depan, kemudian berkata, "Wahai saudara-saudariku, asas pertama 'aqidah adalah beriman kepada Allah. Inilah prinsip yang paling penting dalam iman dan amal, dan inilah titik fokal Islam dan esensi Al-Qur'an.
Dapat kita katakan bahwa iman kepada Allah adalah dasar dari semua prinsip lain, dasar agama. Semakin beriman seseorang kepada Allah, semakin ia berkembang dalam Islam. Oleh karena itu, seseorang seyogyanya memperhatikan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan mengenal Allah, yang dapat dicapai dengan dua cara dalam Al-Qur'an, pertama, memahami keunikan penciptaan yang merujuk pada keagungan kekuasaan Allah dan kesempurnaan penciptaan-Nya; kedua, mempelajari ayat-ayat Al-Qur'an yang membicarakan tentang Allah, esensi-Nya, Nama-Nya, sifat-Nya dan tindakan-Nya. Ia harus tegas nyatakan bahwa hanya Allah-lah, Satu-satu-Nya Yang harus disembah, tanpa sekutu, dan menolak apapun yang disembah selain Dia, Subhanahu wa Ta'ala.

Al-Qur'an tak membahas panjang lebar soal pembuktian keberadaan Allah, karena al-Qur'an menyatakan bahwa naluri manusia yang sehat, dan pikiran yang tak terkotori oleh syirik, akan menegaskan keberadaan-Nya tanpa memerlukan bukti lebih lanjut. Tak hanya itu, Tauhid atau penegasan Keesaan Ilahi, adalah sesuatu yang alami dan naluriah. Inilah yang disebut Fitrah.
Dari riwayat sahih Ibnu Abbas, radhiyallahu 'anhu, yang dikumpulkan oleh Imam Ahmad, rahimahullah, Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Ketika Allah menciptakan Adam, Dia mengambil sebuah kesaksian darinya di sebuah tempat bernama Na'man pada hari 'Arafah, lalu Dia mengambil daripadanya seluruh keturunannya yang akan lahir sampai akhir dunia, dari generasi ke generasi, dan membentangkan mereka di hadapan-Nya untuk juga mengambil kesaksian mereka. Dia berfirman, bertatap muka dengan mereka, berfirman, 'Bukankah Aku ini Tuhanmu? Dan mereka semua menjawab, 'Ya, kami bersaksi untuk itu.' Allah kemudian menjelaskan mengapa Dia mengambil kesaksian seluruh umat manusia, bahwa Dia-lah Pencipta mereka dan Tuhan sejati yang patut disembah. Dia berfirman, 'Itu karena jika manusia harus mengatakan pada Hari Kiamat,' Sesungguhnya, kami tak mengetahui semua ini, kami tak tahu bahwa Engkau, Allah, adalah Rabb kami. Tak ada yang mengatakan kepada kami bahwa kami seharusnya hanya menyembah Engkau." Allah kemudian menjelaskan bahwa akan ada juga orang yang mengatakan: 'Nenek moyang kamilah yang menyekutukan Allah dan kami hanyalah keturunan mereka; Akankah Engkau, lalu membinasakan kami karena perbuatan pendusta itu? '

Inilah penjelasan Rasulullah (ﷺ) tentang ayat Al-Quran dimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (Al Qur'an Surah Al-A'raf: 172-173): Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Rabb-mu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kalian tak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini. Atau agar kalian mengatakan, “Sesungguhnya nenek moyang kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami adalah keturunan yang (datang) setelah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang (dahulu) yang sesat?”
Penjelasan ayat tersebut menegaskan fakta bahwa setiap orang bertanggungjawab beriman kepada Allah, dan saat di Hari Pengadilan, segala alasan takkan diterima. Setiap manusia punya iman kepada Allah yang terpateri di dalam jiwanya dan Allah menunjukkan pada setiap hamba, sepanjang hidupnya, tanda bahwa berhalanya bukanlah Tuhan. Oleh karena itu, setiap manusia yang waras, seharusnya beriman kepada Allah melampaui ciptaan-Nya dan tak mengejawantah di dalamnya.

Dari riwayat sahih Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, yang dikumpulkan oleh Imam Tirmidzi,rahimahullah, Rasulullah (ﷺ) kemudian berkata, 'Allah kemudian menempatkan cahaya di antara kedua mata setiap manusia yang menunjukkan Iman mereka, dan menunjukkan semuanya kepada Nabi Adam, alaihissalam. Nabi Adam terpukau melihat semua makhluk yang tak terhitung jumlahnya itu, dengan kilatan cahaya di antara mata mereka, sehingga ia bertanya kepada Allah, 'Wahai Rabb-ku, siapakah mereka?' Allah berfirman kepadanya bahwa mereka semua adalah keturunannya. Adam kemudian mulai melihat dari dekat, yang kilasan cahayanya paling menakjubkan, lalu ia bertanya siapa itu, dan Allah berfirman, 'Itulah manusia yang bernama Daud dari bangsa-bangsa terakhir di antara keturunanmu.' Nabi Adam kemudian bertanya berapa umurnya, dan ketika Allah berfirman kepadanya bahwa usianya enam puluh, ia berkata, 'Wahai Tuhanku, tambahkanlah umurnya dengan mengambil empat puluh tahun dari umurku.' Namun saat rentang hidup Adam mencapai akhir dan malaikat kematian menjemput, ia berkata, 'Bukankah masih ada empat puluh tahun lagi hidupku yang masih tersisa?' Malaikat menjawab, 'Bukankah telah engkau berikan kepada keturunanmu Daud?' Nabi Adam menyangkal bahwa ia telah memberikannya dan para pengikutnya menolak janji mereka kepada Allah. Nabi Adam kemudian melupakan perjanjiannya kepada Allah dan begitu juga keturunannya, dan mereka semua jatuh dalam kesesatan."
Nabi Adam, alaihissalam, makan dari pohon terlarang karena ia melupakan janjinya kepada Allah dan dorongan setan yang menipu, dan sebagian besar umat manusia telah mengabaikan tanggung jawab mereka agar beriman kepada Allah dan hanya menyembah-Nya, dan telah terjerumus ke dalam penyembahan makhluk ciptaan.

Kemudian, Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Kemudian Allah menunjuk beberapa keturunan yang telah Dia ambil dari Adam dan anak-anaknya dan berfirman, 'Aku telah menciptakan orang-orang ini untuk surga dan mereka akan mengerjakan amalan penduduk surga." Dia, Subhanahu Wa Ta'ala, lalu menunjuk sisanya dan berkata, 'Aku telah menciptakan orang-orang ini untuk neraka dan mereka akan melakukan perbuatan penghuni neraka.' Saat Raulullah (ﷺ) menyampaikan hal ini, salah seorang Sahabat, bertanya, 'Wahai Rasulullah, lalu apa gunanya amal-shaleh?' Rasulullah (ﷺ) menjawab, 'Sesungguhnya, ketika Allah menciptakan seorang hamba untuk surga, Allah membuat orang tersebut melakukan amalan penghuni surga hingga ia meninggal dalam kondisi melakukan salah satu amalan penghuni surga, sehingga dengan amalan itu ia masuk surga. Dan ketika Allah menciptakan seorang hamba untuk neraka, Allah membuat orang tersebut melakukan amalan penghuni neraka hingga ia meninggal dalam kondisi melakukan salah satu amalan penghuni neraka, sehingga dengan amalan itu ia masuk neraka'."

Hadis Rasulullah (ﷺ) ini bukan berarti bahwa manusia tak memiliki kehendak atau pilihan bebas antara yang baik dan yang buruk, karena jika memang demikian, penghakiman, penghargaan dan hukuman, semuanya akan menjadi tak masuk akal. Penciptaan Allah atas seseorang agar surga berarti bahwa Allah mengetahui betul sebelum penciptaan-Nya, bahwa orang seperti itu akan berada di antara penduduk surga karena pilihan imannya melampaui kekafiran, dan kebaikan melampaui keburukan.
Jika seseorang dengan tulus beriman kepada Allah dan berusaha beramal-shalih, Allah akan memberinya banyak kesempatan untuk memperkuat keimanannya dan meningkatkan amal-shalihnya. Allah takkan pernah menyebabkan iman yang tulus itu sia-sia, bahkan jika orang beriman itu keluar dari jalur, Dia akan membantunya kembali ke dalamnya. Allah bisa menghukumnya dalam kehidupan ini saat ia keluar dari jalur yang benar agar mengingatkan akan kesalahannya dan membangunkannya agar menebus kesalahannya itu. Sesungguhnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala, akan sangat berbelas-kasih mengambil nyawa orang beriman yang tulus saat ia melakukan perbuatan baik, sehingga menjamin bahwa orang beriman itu akan berada di antara penghuni surga yang beruntung. Jika seseorang, di sisi lain, tak beriman kepada Allah dan menolak kebenaran, maka Allah menjadikan perbuatan buruk itu mudah baginya. Allah memberinya kesuksesan saat ia berbuat keburukan dan itu mendorongnya melakukan lebih banyak keburukan sampai ia meninggal dalam keadaan berdosa dan dilemparkan ke neraka yang kekal karena perbuatan buruknya itu. 

Karena Allah telah menjadikan semua manusia bersaksi atas Ketuhanan-Nya saat Dia menciptakan Adam, sumpah ini terpateri dalam jiwa manusia, bahkan saat janin belum memasuki bulan kelima masa kehamilan. Jadi ketika seorang anak lahir, ia memiliki keyakinan alamiah kepada Allah. Keyakinan alamiah ini disebut dalam bahasa Arab sebagai "Fitrah." Fitrah ini, mengajak manusia agar kembali ke Sang Pencipta, namun manusia dikelilingi oleh banyak pengaruh lain yang membuatnya menyimpang menuju pemujaan kepada tuhan yang lain. Jika anak itu tak diusik, maka ia akan tumbuh dalam keimanan kepada Allah, namun semua anak dipengaruhi oleh tekanan lingkungan mereka, baik secara langsung maupun tak langsung. Orangtua, penulis, guru dan lain-lain menanamkan dalam pikiran anak-anak ide yang mengubah dan mencemari fitrah ini, menyelubungi fitrah ini sehingga mereka tak dapat beralih menuju kebenaran. Namun, karena telah tercetak dalam jiwa setiap manusia, biasanya, fitrah ini akan muncul saat kesulitan menghinggap. Ketika seorang anak manusia merasa terjepit oleh musibah, ia akan menjerit menyebut nama-Nya.
Rasulullah (ﷺ) menyampaikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dengan agama yang benar, tetapi Iblis menyesatkan mereka." Al-Bukhari dan Muslim, rahimakumullah, meriwayatkan atas otoritas Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah (ﷺ) juga bersabda, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan "fitrah", namun orang tuanya menjadikannya seorang Yahudi atau Nasrani. Ini seperti jalannya seekor binatang melahirkan keturunan yang normal. Pernahkah kalian perhatikan seekor binatang muda yang bagian tubuhnya buntung sebelum kalian memotongnya?"

Jadi, sama seperti raga seorang anak tunduk pada hukum fisika yang telah Allah letakkan pada alam, jiwanya juga tunduk secara alami pada kenyataan bahwa Allah adalah Tuhan dan Penciptanya. Namun, orang tuanya berusaha membuatnya mengikuti jalan mereka sendiri dan anak itu tak cukup kuat pada tahap awal kehidupannya, menolak atau menentang orangtuanya. Agama yang diikuti anak tersebut pada tahap ini adalah kebiasaan dan didikan, dan Allah tak meminta pertanggungjawaban atau menghukumnya atas agama ini. Bila anak tersebut masuk dalam tahap masa muda, dan bukti yang jelas tentang kepalsuan agamanya tersaji, anak yang tumbuh dewasa ini sekarang harus mengikuti agama ilmu dan akal. Pada titik ini, setan berusaha sekuat tenaga mendorongnya agar tetap berada dijalan ini atau tersesatkan lebih dalam lagi. Maksiat dibuat tampak menyenangkan baginya, dan sekarang ia harus tinggal di alam perjuangan antara fitrah dan keinginannya untuk menemukan jalan yang benar. Jika ia memilih fitrahnya, Allah akan membantunya mengalahkan hasratnya, walau itu mungkin membutuhkan sebagian besar masa hidupnya, karena banyak orang kembali ke Islam di masa tua mereka, walaupun kebanyakan cenderung ingin melakukannya sebelum masa itu.
Karena segala kekuatan dahsyat melawan Fitrah ini, Allah memilih orang-orang shalih tertentu dan mewahyukan dengan jelas jalan yang benar dalam hidup ini. Orang-orang ini, yang kita sebut para nabi, diutus untuk membantu Fitrah kita mengalahkan musuh-musuhnya. Segala kebenaran dan praktik yang baik  didalam masyarakat seluruh dunia saat ini, berasal dari ajaran mereka, dan jika bukan karena ajaran mereka, takkan ada kedamaian atau keamanan di dunia ini sama sekali.
Jadi, adalah tugas manusia untuk mengikuti jalan para nabi, karena inilah satu-satunya cara yang benar-benar selaras dengan sifatnya. Ia juga harus berhati-hati agar tak melakukan sesuatu hanya karena orang tuanya dan apa yang orang tua mereka lakukan, terutama jika sampai kepadanya pengetahuan bahwa praktik ini salah. Jika ia tak mengikuti kebenaran itu, ia akan seperti orang-orang yang sesat.

Kesaksian yang dilakukan setiap manusia kepada Allah selama masa pra-penciptaan, adalah bahwa ia akan mengenal Allah, Yang Maha Kuasa, sebagai Tuhannya, dan tak mengarahkan segala bentuk pemujaan kepada yang lain selain Dia. Inilah makna penting syahadat, yang setiap orang harus lakukan agar menjadi seorang Muslim yang utuh; La ilaaha illallah, juga dikenal sebagai Kalimat Tauhid, pernyataan Keesaan Allah. Dengan bersaksi tentang Keesaan Allah dalam kehidupan ini, merupakan sebuah konfirmasi deklarasi primordial yang dibuat dalam keadaan spiritual.
Mereka yang beruntung dilahirkan dalam keluarga Muslim harus sadar bahwa semua "Muslim" tak secara otomatis dijamin masuk surga, karena Rasulullah (ﷺ) memperingatkan bahwa sebagian besar ummat Islam akan mengikuti mereka yang telah dimurkai, dan mereka yang sesat, begitu dekatnya sehingga jika mereka masuk lubang kadal, orang-orang Muslim seperti itu, akan mengikuti mereka. Rasulullah (ﷺ) juga mengatakan bahwa sebelum Akhir Zaman, ada umat Islam yang benar-benar menyembah berhala. Orang-orang ini memiliki nama Muslim dan menganggap diri mereka Muslim, tetapi tak bermanfaat bagi mereka pada Hari Kiamat.

Burung Cendrawasih bertanya, "Bagaimana cara memenuhi kesaksian itu?" Merak berkata, "Kesaksian itu dipenuhi dengan meyakini Tauhid secara tulus dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tauhid dipraktikkan dengan menghindari segala perbuatan syirik dan dengan mengikuti Rasul terakhir (ﷺ) yang Allah utus sebagai teladan hidup yang praktis dan hidup berdasarkan asas Tauhid. Karena manusia telah menyatakan bahwa Allah adalah Tuhannya, maka ia seyogyanya mempertimbangkan bahwa amal-perbuatannya hanyalah yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai yang halal atau yang haram. Dengan demikian, prinsip Tauhid dipraktikkan secara mental. Metode ini penting karena setiap perbuatan mungkin tampak baik padahal sebenarnya buruk. Misalnya, jika seorang miskin menginginkan seorang raja melakukan sesuatu untuknya, menurutnya. ia lebih baik mencari seorang pangeran atau seseorang yang dekat dengan raja agar berbicara atas namanya. Berdasarkan hal tersebut, selanjutnya dikatakan bahwa jika seseorang benar-benar menginginkan agar Allah menjawab doanya, Dia harus berdoa kepada salah seorang nabi atau orang suci agar meminta kepada Allah atas namanya, karena ia kotor, banyak dosa yang ia lakukan setiap hari. Ini mungkin tampak logis, namun baik Allah maupun Rasul-Nya (ﷺ) telah dengan jelas menyampaikan kepada manusia agar segala permohonan ditujukan langsung kepada Allah, tanpa perantara."

Kemudian, Merak berkata, "Wahai saudara-saudariku, beriman kepada Allah, Yang Mahaesa, Yang Maha Tunggal, Yang Maha Tinggi, adalah inti dari ajaran Islam. Segala aspek kehidupan Islami, sosio-ekonomi, politik, hubungan internasional, dll., berkisar seputar keyakinan pada, hanya ada satu Illah, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam."
"Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu takkan dikembalikan kepada Kami?" - [QS.23:115]

Referensi :
- Umar S. Al-Ashqar, Believe in Allah-In the Light of the Qur'an and Sunnah, IIPH
- Abu Ameenah Bilal Philips, The Fundamental of Tawheed, IIPH