Mengapa Kita Disini? (1)
Nuri berkata, "Setelah semua pembicaraan kita ini, ada sesuatu yang ingin kutanyakan kepada kalian." Para unggas berkata, "Cobalah!" Nuri berkata, "Aku penasaran, adakah kalian temukan jawaban dari beberapa pertanyaan yang selalu ada dalam benakku. Mengapa kita di sini? Apa yang kita lakukan di dunia ini? Mengapa Allah menciptakan kita?" Murai berkata, "Pertanyaan-pertanyaan ini, adalah pertanyaan yang masing-masing, dan setiap orang dari kita, merenungkannya di setiap titik kehidupan mereka. Kita masing-masing punya jawabannya, yang ada secara umum, tapi biasanya jawaban ini, tak memuaskan kita, karena tampak terlalu sederhana. Kita masih bertanya-tanya. "Mengapa aku? Mengapa disini?"
Bagi umat manusia, sangatlah penting agar mengetahui jawabannya. Tanpa mengetahui jawaban yang benar, manusia takkan dapat dibedakan dari margasatwa di sekitar mereka. Bagi seorang Muslim, saat kita membahas masalah ini, kita hendaknya mengambil pemahaman kita dari wahyu Ilahi dan bukan spekulasi manusia. Karena spekulasi manusia tak ada batasnya, kita bisa membayangkan segala hal, dan bila kita mempelajari filsafat, kita dapat melihat berapa banyak pendapat tentang penciptaan manusia dan eksistensinya. Karena beragam filosofi, yang ada di luar sana, tak ada yang dapat mengatakan yang ini benar atau yang salah, karena tak ada alasan kuat di belakangnya. Tak ada wahyu ilahi. Hanya dari wahyu Ilahilah kita dapat menentukan realitas penciptaan kita, karena Allâh-lah Yang telah menciptakan kita, dan Dia mengetahui tujuan penciptaan kita. Kita hampir tak dapat memahami diri kita sendiri, apalagi berusaha memahami esensi dari sesuatu.
Jadi, kembali kepada Allâh-lah, Yang menyampaikan kepada kita melalui wahyu di dalam Al-Qur'an dan Sunnah, yang dibawa oleh Rasul terakhir-Nya (ﷺ) dan para nabi sebelumnya. Sekarang jika kita ingin melihat, bermula dari wahyu, untuk menentukan mengapa manusia diciptakan. Ada pertanyaan yang lebih mendalam, yang seharusnya kita tanyakan sebelum itu. "Mengapa Allâh mencipta?" Sebelum kita sampai pada manusia, mengapa Allâh mencipta, karena manusia bukanlah ciptaan yang teragung, sehingga kita jadi begitu terfokus pada manusia. Bukan, sebenarnya Allâh berfirman di Sûrah Ghâfir [40], ayat 57, "Sungguh, penciptaan langit dan bumi itu lebih besar daripada penciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tak mengetahui."
Manusia bukanlah ciptaan terbesar, alam semesta ini jauh lebih kompleks dan jauh lebih megah dibandingkan manusia. Jadi, masalah penciptaan kemudian harus masuk kepada, mengapa mencipta? Berbeda dengan mengapa menciptakan manusia? Pada dasarnya, kita dapat mengatakan bahwa penciptaan adalah konsekuensi alami dari sifat pencipta. Allâh adalah Sang Pencipta. Inilah salah satu sifat-Nya. Inilah yang telah Dia firmankan kepada kita. Bahwa menjadi sifat-Nya, Mencipta, dan konsekuensi alami atau produk dari sifat inilah, ciptaan-Nya.
Seorang pelukis, jika kita ingin mengibaratkannya dalam tingkat yang lebih rendah, yang berkata bahwa ia adalah pelukis, dan jika engkau bertanya kepadanya, di mana lukisannya, dan ia menjawab, aku tak memilikinya? Pelukis macam apa ini? Konsep pelukis yang tak melukis, ada beberapa hal yang tak cukup sinkron di sini, tentu saja Allâh berada di luar ini. Tapi jika kita harus memahami pada tingkat yang paling sederhana, keduanya bisa dipadukan. Kesempurnaan seorang pelukis terletak pada lukisannya. Kualitas dan kemampuannya melukis, terwujud dalam lukisannya. Dan Allâh, di luar semua itu, sebagai Pencipta, kualitas ciptaan ini terwujud dalam ciptaan itu sendiri. Allâh tak menciptakan dari kebutuhan. Tidak, fakta bahwa Dia-lah Sang Pencipta, terwujud dalam penciptaan.
Selanjutnya, perhatikan perbuatan penciptaan, tindakan ini, yang berkaitan dengan Allâh, unik. Walaupun kita menggunakan istilah, misalnya, si Anu menciptakan sebuah meja dll, sebenarnya itu dalam arti terbatas. Manusia tak benar-benar mencipta, mereka memanipulasi, karena mereka hanya bisa "menciptakan" apa yang sudah ada. Saat kita membuat kursi atau meja, kita tak menciptakan kayu, kita harus mengambilnya dari pohon, kita tak menciptakan logam, yang membuat sekrup dll, kita harus melelehkan batu dan mengambil logamnya. Jadi kita tak mencipta dari tiada. Kita memanipulasi hal-hal yang telah Allah ciptakan dalam bentuk dan rupa yang berbeda, yang berguna bagi kita. KIta menyebutnya "mencipta," namun tindakan penciptaan sesungguhnya, adalah ciptaan dari tiada, dan ini unik hanya bagi Allâh.
Masalahnya, kita selalu mencoba menafsirkan penciptaan Allâh seperti cara kita mencipta, maka kita telah menjadikan Dia seperti ciptaan-Nya, dan pada akhirnya kita akan terjerumus ke dalam syirik. Inilah produk ketidakmampuan kita memahami konsep penciptaan dari ketiadaan, yang unik bagi Allâh. Allâh berfirman dalam Surah asy-Syuraa [42]: 11, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat."
Allâh adalah Sang Pencipta, dan segala sesuatu selain Dia, adalah ciptaan-Nya, yang Dia ciptakan dari ketiadaan. Sesuatu itu bukan Dia, dan Dia bukan sesuatu. Inilah konsep murni yang diajarkan oleh Rasulullah (ﷺ), para sahabat, dan generasi awal ulama yang shaleh, murid-murid para sahabat dan mereka yang datang setelahnya. Generasi terbaik. Begitulah cara mereka memahami hal ini. Tak ada keraguan dalam benak mereka.
Apa yang kita miliki di hadapan kita, bahwa Allâh menciptakan alam semesta ini dari ketiadaan, dan segala sesuatu yang ada di dalamnya diciptakan. Inilah kenyataannya. Hal ini ditekankan bagi kita, agar kita menyadari bahwa pada akhirnya, segala kebaikan, segala kejahatan, yang terjadi di dunia ini, hanya terjadi atas seizin Allâh. Oleh sebab itu, kita tak boleh mencari saluran lain untuk melindungi diri kita dari kejahatan, atau untuk mengumpulkan kebaikan kita sendiri, seperti yang orang lakukan sekarang. Mereka pergi ke peramal, inilah bisnis besar sekarang ini, semua majalah punya berbagai bentuk alat peraga seperti memutar sebuah horoskop dll dalam masyarakat yang telah kehilangan kontak dengan Allâh, inilah yang terbuka bagi mereka. Allâh telah menekankan kepada kita bahwa tak ada bencana yang akan menimpa kita kecuali dengan seizin Allâh. Apa yang dibutuhkan dari kita adalah bergantung pada Allâh, tawakkal kita pada Allâh. Inilah yang harus kita ambil dari sifat Allâh sebagai Pencipta. Penciptaan ini ada karena sifat itu. Makna praktisnya bagi kita, terletak pada tawakkal kita pada Allâh.
Dari perspektif umat manusia, pertanyaan "Mengapa Allah menciptakan manusia?" menyiratkan "Untuk tujuan apa manusia diciptakan?" Dalam wahyu terakhir, pertanyaan ini dijawab tanpa sumir. Manusia pertama kali diberitahu oleh Allâh bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kesadaran bawaan iman kepada Allah. Dalam Surah AlA'raf [7]: 172-173, Allah berfirman, "Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Rabb-mu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini. Atau agar kamu mengatakan, “Sesungguhnya nenek moyang kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kamilah keturunan yang (datang) setelah mereka. Maka akankah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang (dahulu) yang sesat?”
Rasulullah (ﷺ) menjelaskan bahwa ketika Allah menciptakan Nabi Adam, alaihissalam, Dia mengambil darinya sebuah perjanjian di sebuah tempat bernama Na'maan pada hari ke-9 bulan ke-12. Dia, Subhanahu wa Ta'ala kemudian mengekstraksi dari Adam semua keturunannya yang akan lahir sampai masa akhir dunia, generasi demi generasi, dan membentangkan mereka di hadapan-Nya untuk mengambil sebuah perjanjian darinya juga. Dia berfirman kepada mereka, bertatap-muka, membuat mereka bersaksi bahwa Dia-lah Rabb mereka. Konsekuensinya, setiap manusia bertanggung jawab beriman kepada Allah, yang terpateri pada setiap jiwa. Hal ini didasarkan pada keyakinan awal bahwa Allah menetapkan tujuan penciptaan manusia di Surah adz-Dzariyat [51]: 56: "Aku tak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."Jadi, tujuan esensial diciptakannya manusia adalah beribadah kepada Allah. Namun, Allah Subhanahu Wa Ta'ala tak membutuhkan penyembahan manusia. Dia tak menciptakan manusia dari kebutuhan akan bagian-Nya. Jika tak satupun manusia menyembah Allah, takkan mengurangi kemuliaan-Nya sedikitpun, dan jika seluruh umat manusia menyembah-Nya, takkan menambah kemuliaan-Nya dengan cara apapun. Allah itu sempurna. Dia sendiri ada tanpa kebutuhan apapun. Seluruh makhluk yang diciptakan memiliki kebutuhan. Konsekuensinya, manusialah yang perlu menyembah-Nya."
Nuri bertanya, "Apa yang dimaksud dengan istilah 'menyembah'?" Murai berkata, "Menyembah berarti pernyataan hormat dan khidmat, atau kata atau perkataan yang ditujukan kepada orang yang dimuliakan. Sedangkan Ibadah berarti perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Didalam Surah An-Nasr[110]:3, Allah berfirman, "maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu." Dalam memuliakan Allah, manusia berjalan harmonis. dengan ciptaan yang lain, yang secara alami memuliakan Penciptanya. Dalam bahasa Arab, bahasa wahyu terakhir, menyembah disebut 'ibaadah', yang terkait erat dengan kata benda 'abd', yang berarti 'hamba'. Seorang hamba adalah orang yang diharapkan melakukan apapun yang diinginkan majikannya. Konsekuensinya, ibaadah, menurut wahyu terakhir, berarti 'ketaatan tunduk kepada kehendak Allah.' Inilah inti dari pesan semua nabi yang diutus oleh Allah kepada umat manusia. Akibatnya, ketaatan kepada aturan Ilahi adalah dasar ibadah. Dalam pengertian ini, memuliakan Allah juga menjadi ibadah ketika manusia memilih mematuhi petunjuk Allah tentang tatacara memuliakan-Nya."
Nuri bertanya, "Mengapa manusia perlu menyembah dan memuliakan Allah dengan mematuhi aturan-aturan yang diwahyukan itu?" Murai berkata, "Karena ketaatan kepada aturan Ilahi adalah kunci sukses dalam kehidupan ini, dan kehidupan manusia yang pertama, Adam dan Hawa, diciptakan di surga dan kemudian dikeluarkan dari surga karena tak menaati petunjuk Ilahi. Satu-satunya cara agar manusia dapat kembali ke surga adalah dengan mematuhi petunjuk Ilahi. Tuntunan Ilahi menyajikan bimbingan bagi umat manusia dalam segala lapisan masyarakat. Mereka dapat mendefinisikan yang mana yang benar dan yang mana yang salah, dan menawarkan kepada manusia sebuah sistem yang lengkap, yang mengatur segala urusan mereka. Sang Pencipta sendiri tahu apa yang terbaik, yang bermanfaat bagi ciptaan-Nya dan apa yang tidak. Tuntunan Ilahi memerintahkan dan melarang berbagai tindakan dan substansi untuk melindungi jiwa manusia, tubuh manusia dan masyarakat manusia dari bahaya. Agar manusia dapat memenuhi potensi mereka dengan menjalankan kehidupan yang benar, mereka perlu menyembah Allah melalui ketaatan kepada perintah-perintah-Nya. Segala tindakan penyembahan yang terkandung dalam tuntunan Ilahi, dirancang untuk membantu manusia mengingat Allah. Adalah sesuatu yang wajar bagi manusia yang terkadang melupakan hal yang sangat penting. Manusia sering terbenam dalam keasyikan memenuhi kebutuhan jasmani mereka sehingga mereka benar-benar melupakan kebutuhan rohani mereka. Shalat yang rutin disediakan untuk mengelola keseharian orang-orang mukmin dalam mengingat Allah. Ini menjalin kebutuhan rohani dengan kebutuhan jasmani harian. Kebutuhan harian seperti makan, bekerja dan tidur bila dikaitkan dengan kebutuhan sehari-hari untuk memperbarui hubungan manusia dengan Allah, inilah yang berkenaan dengan shalat rutin.
Orang-orang beriman dianjurkan agar mengingat Allah sebanyak mungkin. Meskipun, sikap yang wajar dari segala sisi kehidupan, baik jasmani maupun rohani, umumnya dianjurkan oleh tuntunan Ilahi, pengecualian berlaku sehubungan dengan mengingat Allah. Pada hakekatnya, mengingat Allah dengan sangat banyak itu hampir tak mungkin. Karenanya, dalam Surah al-Ahzab [33]: 41, Allah mendorong orang-orang beriman agar mengingat Allah sesering mungkin, "Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya,"
Mengingat Allah sangat ditekankan, karena dosa, umumnya dilakukan saat Allah dilupakan. Kekuatan iblis sangat bebas beroperasi saat hilangnya ingatan kepada Allah. Akibatnya, kekuatan setan berusaha menguasai pikiran manusia dengan pikiran dan keinginan yang bukan-bukan, agar menjadikan manusia melupakan Allah. Seketika Allah dilupakan, orang rela bergabung dengan unsur-unsur yang merusak. Allah, melalui Tuntunan atau Hukum Ilahi, telah melarang minuman keras dan perjudian karena menyebabkan manusia melupakan Allah. Pikiran dan tubuh manusia dengan mudah kecanduan minuman yang memabukkan dan permainan judi. Begitu kecanduan, hasrat manusia terus terpicu olehnya, yang membawa mereka ke dalam segala bentuk kerusakan dan kekejaman di antara mereka sendiri.
Akibatnya, manusia perlu mengingat Allah demi keselamatan dan pengembangan diri mereka sendiri. Seluruh manusia punya saat-saat yang lemah dimana mereka berbuat dosa. Jika mereka tak punya cara untuk mengingat Allah, mereka tenggelam dalam kerusakan yang lebih dalam dan lebih dalam lagi dengan segala dosa-dosa itu. Namun, mereka yang mengikuti petunjuk Ilahi, akan selalu diingatkan kepada Allah, yang akan memberi mereka kesempatan bertobat dan memperbaiki diri mereka sendiri.
Dalam sistem Islam, setiap perbuatan manusia dapat diubah menjadi ibadah. Sebenarnya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala memerintahkan orang-orang beriman agar mempersembahkan seluruh hidup mereka kepada-Nya. Namun, agar bhakti itu bisa diterima Allah, setiap tindakan harus memenuhi dua syarat dasar: pertama, tindakan itu harus dilakukan dengan tulus, berharap akan ridha Allah, dan bukan untuk pengakuan dan pujian manusia. Orang beriman juga harus selalu ingat kepada Allah saat mengerjakan suatu perbuatan. agar memastikan bahwa itu bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah atau Rasul-Nya (ﷺ). Untuk memfasilitasi transformasi perbuatan duniawi ini menjadi ibadah, Allah menginstruksikan Rasulullah (ﷺ) agar meresepkan doa singkat yang diucapkan sebelum tindakan yang paling sederhana sekalipun. Doa terpendek yang bisa digunakan dalam situasi apapun adalah, 'Bismillah (dengan nama Allah).' Ada banyak doa lain yang diresepkan untuk kesempatan-kesempatan tertentu.
Syarat kedua adalah bahwa tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan tuntunan Rasulullah, yang disebut dalam bahasa Arab, Sunnah. Semua nabi menginstruksikan pengikut mereka agar mengikuti jalan mereka karena mereka dibimbing oleh Allah. Apa yang mereka ajarkan, mewahyukan kebenaran, dan hanya mereka yang mengikuti jalan mereka dan menerima kebenaran itu, yang akan mewarisi hidup kekal di surga. Satu-satunya cara yang dapat diterima untuk menyembah Allah adalah sesuai dengan jalan para nabi. Karena itulah, setiap pembaruan dalam urusan agama, akan dianggap Allah sebagai salah satu kejahatan terburuk. Pembaruan dalam urusan agama, dilarang dan tak dapat diterima oleh Allah. Diriwayatkan, Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Yang terburuk dari segala urusan adalah urusan agama yang diada-adakan, setiap urusan agama yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di jahannam.”
(Bagian 2)