Jumat, 05 Januari 2018

Yang Seperti Ini Saja

Burung Nuri berkata, "Wahai para unggas, adakah diantara kalian yang dengan sukarela mau berbagi sebuah kisah?" Para unggas menunduk, Nuri berkata kepada Elang, "Wahai saudaraku Elang, adakah kisah darimu?" Burung Elang melirik keatas, seolah berpikir, lalu berkata, "Tidak, belum ada!" Angsa, yang sedari tadi tak banyak bicara, tampil ke depan, berkata, "Wahai saudara-saudariku, aku ingin berbagi kisah tentang seorang manusia." Pipit bertanya, "Adakah itu cerita para pahlawan super?" Angsa menjawab, "Tidak, kisahku ini bukanlah cerita tentang manusia yang dapat terbang, atau yang dapat menembakkan sinar laser dari matanya, atau yang bisa menghancurkan batu besar dengan tinju atau anak-panahnya. Bukan pula cerita tentang seorang lelaki yang memakai topeng dan berpakaian laksana kelelawar hitam, atau lelaki yang mampu merangkak di dinding bagai lelabah. Dan juga, ini bukanlah cerita tentang seorang wanita yang memegang pedang dewa, laso kebenaran di pinggangnya, gelang bertenaga, dan sepasang sepatu bot baru. Bukan pula cerita khayal seorang raksasa dengan dagu lebarnya, beserta lima batu permata sakti, rampasannya. Bukan, kisahku ini hanyalah tentang kisah seorang manusia biasa, yang meringis saat dicubit, makan saat lapar dan tidur saat letih." Pipit berkata, "Sampaikanlah pada kami tentangnya!"
Angsa berkata, "Di tepi sebuah danau, ada seorang pemuda yang duduk sendirian. Rupanya, ia sedang memikirkan sesuatu." Pipit menyela, "Apa yang dipikirkannya? Selain itu, anak muda ini masuk dalam generasi yang mana?" Angsa menjawab, "Anak muda ini adalah cucu dari Generasi X, anak dari Generasi Y atau yang kita kenal sebagai Millenials, jadi ia adalah seorang Generasi Z atau Gen-i." Elang berkata, "Wahai Pipit, mohon jangan banyak tanya, dengarkan kisahnya! Lanjutkanlah saudariku!" Angsa melanjutkan, "Pemuda ini baru saja menyelesaikan pendidikan di salah satu perguruan tinggi ternama di Negeri Entah-Berantah. Ia berpikir, setelah ini, mau kemana? Banyak alternatif pilihan yang dipunyainya, tapi manakah yang baik untuknya? Lama ia berpikir, hingga ia mengingat apa yang ayahnya sampaikan padanya. Ketika ia duduk bersama ayahnya, sang ayah berkata, "Wahai bunayya, suatu hari nanti, engkau akan meninggalkan dunia ini, jadi, jalanilah hidup yang takkan pernah engkau sesali." Sang pemuda bertanya, "Wahai Abati, jelaskan padaku maksud kata-kata itu, aku masih belum memahaminya."

Sang ayah berkata, "Atas kewibawaan Ibnu Umar, radhiyallahu 'anhum, yang berkata: Rasulullah (ﷺ) memegang bahuku dan berkata," Jadilah di dunia ini seolah-olah engkau adalah orang asing atau seorang musafir di lintasan yang panjang." Dan Ibnu Umar berkata, "Jika engkau bertahan hingga sore hari, jangan berharap hidup di pagi hari. Jika engkau bertahan hingga pagi hari, jangan berharap hidup di sore hari, Ambillah dari sehatmu bagi sakitmu dan dari hidupmu bagi matimu."Ini hadits yang sahih, yang dicatat oleh al-Bukhari, al-Baihaqi, Ibnu al-Mubarak dalam al-Zuhud, al-Baghawi, al-Shihaab dalam Musnad-nya, dan Ibnu Hibban.Hadits ini sangat penting karena mengatur disisi mana semestinya kita berdiri dalam kehidupan ini dan bagaimana kita memandangnya. Hadits ini memiliki makna yang mendalam, dengan penerapan yang luas. Jika seseorang merenungkan makna hadis ini dan menerapkannya dengan benar, dapat membawa banyak kebajikan, karena kehidupan duniawi ini dapat menjadi ancaman besar dalam hidup bertakwa. Hadis ini, pengingat yang nyata tentang sifat sebenarnya dunia ini. Orang beriman yang memahami dan menerapkan hadis ini, akan sadar bahwa derajat dirinya lebih tinggi di atas kehidupan duniawi ini daripada menjadi budaknya.

Dunia ini disebut dalam bahasa Arab sebagai ad-Duniya'. Secara linguistik, duniya' berasal dari akar kata, yang bermakna kedekatan, dan sesuatu yang tercela atau rendah. Dunia ini disebut duniya' karena dua alasan: pertama, pada saat sekarang, lebih dekat (adnaa) bagi manusia daripada negeri akhirat. Kedua, tercela atau menurunkan martabat (daniiyah) dibandingkan dengan negeri akhirat. Hadis ini pertanda jelas bahwa seorang mukmin sejati tak menaruh karsa dan qalbunya pada dunia ini. Dunia ini bukan rumah yang sebenarnya. Sebaliknya, dalam pikirannya, ia bergerak menuju tujuan sebenarnya, yakni rumah sejati dan tempat peristirahatan yang sesungguhnya. Ia takkan menanamkan terlalu kuat qalbu dan akalnya ke dalam bumi ini. Cinta, pikiran dan motifnya bagi dunia dan eksistensi yang sama sekali berbeda. Di antara implikasinya di sini, bahwa jika orang beriman kehilangan sesuatu dari dunia ini atau tak dapat mencapai sesuatu di dunia ini, takkan berpengaruh besar ke dalam qalbu dan emosinya. Hanya mereka yang tertipu oleh kilau yang terlihat di sekitar mereka, terhanyut oleh dunia ini dan mendambakannya, hingga kematian mereka. Ketika seseorang menyadari sifat sejati dunia ini, seperti yang diajarkan dalam Al-Quran dan Sunnah, akan sangat mudah baginya "terlepas" dari ikatan dunia ini, dan mengatasinya dengan cara yang benar. Itulah sebabnya ia bagaikan orang asing atau musafir bila bersangkutan dengan dunia ini.

Kehidupan duniawi ini, hanyalah hiburan dan pengalih perhatian, sesuatu yang tak punya tujuan atau manfaat yang nyata. Semua hanyalah hal-hal yang menempati jiwa dan menyebabkan tersia-sianya waktu dan tak melibatkan diri dalam hal-hal yang lebih penting. Orang-orang jahil menghabiskan seluruh hidup mereka dalam mengejar kesia-siaan semacam ini tanpa ada keuntungan bagi diri mereka sendiri kelak di negeri Akhirat. Kehidupan duniawi ini, sesuatu yang memikat, indah, atau juga menarik. Oleh karenanya, mata dan lahiriah seseorang merasa nyaman dan merasa pantas menyukainya. Namun, jika qalbu ini menyadari realitasnya, bahaya apa yang dapat ia hadirkan terhadap Dien dan hubungan seseorang dengan Allah, dan bahaya apa yang digiring oleh kesenangan yang ada didalamnya, dunia takkan menyenangkannya, dan qalbu kemudian berkonsentrasi pada kampung Akhirat. Dunia ini dapat membuat seseorang berasyik-masyuk hingga ia lupakan kampung akhirat. Ia terjebak dalam keyakinan bahwa tujuan hidup ini selayaknya dijalani, namun itu bukan berarti bahwa seseorang harus mengabaikan kewajibannya kepada Allah. Inilah beberapa cara yang membuat Setan menggoda manusia dan membuatnya melupakan tujuan sebenarnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mewahyukan bahwa Dia akan memberikan dunia ini kepada siapapun yang Dia kehendaki, beriman atau kafir; Harta duniawi semacam itu tak terlalu penting. Namun, negeri Akhirat, yang merupakan karunia sejati dan masalah yang sangat penting, yang hanya Dia sediakan bagi orang-orang beriman pada-Nya dan orang-orang yang Dia ridhai.

Lihatlah sekitar kita. Ketika ada orang-orang yang didekatkan dengan kemiskinan, mereka insaf dan takut kepada Allah. Ketika harta mulai bertambah dan melimpah, semakin banyak orang mulai berpaling dari jalan Allah dan kezaliman pun tampil ke depan. Saat ini, orang merindukan gemerlap dan daya pikat dunia ini, kendaraan, rumah, mebel, pakaian. Dan mereka membanggakan semua ini dihadapan orang lain. Dan juga, mereka berpaling dari apa yang bermanfaat bagi mereka di kampung Akhirat. Koran dan majalah hanya berbicara tentang kehidupan mewah dan apa yang berhubungan dengan dunia ini. Mereka mengalihkan manusia dari kampung Akhirat dan menghancurkan mereka, kecuali orang-orang yang dihendaki Allah.
Dalam kaitannya dengan dunia, manusia terbagi menjadi dua kategori. Yang pertama adalah orang-orang yang menolak gagasan bahwa bagi manusia, ada tempat tinggal setelah kehidupan di dunia ini untuk mendapatkan pahala dan ganjaran. Mereka hanya memperhatikan orang-orang yang menikmati dunia ini dan memanfaatkan kesenangannya sebelum mereka mati. Kategori kedua adalah, mereka yang menyadari bahwa ada tempat tinggal setelah kematian, dan akan memperoleh penghargaan dan balasan. Inilah mereka yang mengikuti para nabi. Orang-orang ini juga terbagi menjadi tiga subkategori: orang yang menzhalimi diri-sendiri, yang rata -rata hitung, dan orang yang berlomba-lomba mengerjakan amal-shaleh atas seizin Allah.

Adapun orang-orang yang menzalimi diri-sendiri: inilah yang terbanyak. Ramai dari mereka melihat kilau dan keindahan dunia ini dan mengambilnya dengan cara yang tak benar serta menggunakannya dengan cara yang tak pantas. Dunia ini menjadi perhatian terbesar mereka. Di dunia inilah mereka senang; dan karena dunia ini pulalah mereka gusar; hanya karena dunialah mereka beraliansi dengan orang lain atau menentang orang lain. Inilah orang-orang yang bermain-main, teralihkan perhatiannya, dan terpikat oleh dunia. Meskipun mereka beriman pada negeri Akhirat pada tingkat yang umum, mereka tak memahami apa tujuan dunia ini. Mereka tak menyadari bahwa di dunia inilah tempat mereka mengumpulkan bekal bagi apa yang kelak akan terjadi.

Untuk yang rata-rata hitung: Mereka orang-orang yang mengambil dari dunia ini dengan cara yang diperbolehkan; Mereka memenuhi kewajibannya; Mereka mengambil untuk diri sendiri bekal yang diwajibkan dan melampaui batas dalam menikmati sebagian dari apa yang dunia ini tawarkan. Tak ada hukuman bagi mereka atas apa yang telah mereka lakukan. Namun, mereka telah mengurangi jatah pahala mereka di Akhirat.
Adapun orang-orang yang berpacu dengan amal-shaleh dengan izin Allah: Mereka mengerti apa tujuan dunia ini dan mereka bekerja sesuai dengan yang dibutuhkannya. Mereka tahu betul bahwa Allah telah menempatkan hamba-hamba-Nya di tempat tinggal ini untuk menguji mereka, untuk melihat siapa yang terbaik dalam amal-perbuatannya.

Hadits ini menunjukkan bahwa seorang mukmin seyogyanya memiliki salah-satu dari dua sikap terhadap dunia ini. Yang pertama adalah menjadi orang asing di negeri yang asing. Ia merasa bahwa ia berada di tempat dimana ia bukan anggotanya. Ini bukan rumahnya, dan ia tak merasa sepenuhnya bahagia disini. Qalbunya tak pernah bisa terikat di negeri seperti itu. Sebaliknya, qalbu dan pikirannya disibukkan dengan bagaimana pulang kembali ke tanah-airnya. Waktu dan upayanya dipenuhi dengan tujuan itu. Ia menghabiskan waktu, uang dan kemampuannya untuk mengumpulkan apa yang ia butuhkan guna kembali ke kampungnya. Waktunya tak dihabiskan atau disia-siakan untuk melibatkan diri dalam lingkungan dimana ia tahu bahwa itu bukan miliknya.
Yang kedua, bersikap bagai seorang musafir di lintasan yang panjang. Hal ini menyiratkan bahwa orang tersebut sebenarnya tak menetap, melainkan selalu bergerak menuju tujuan akhir atau sasarannya. Akhir perjalanannya, tentu saja, akan menjadi kematiannya. Oleh karena itu, satu-satunya keasyikannya adalah mengumpulkan bekal yang ia butuhkan untuk melanjutkan perjalanannya dan menjadikan perjalanannya itu, sebuah keberhasilan. Imam An-Nawawi, rahimahullah, menyatakan bahwa seseorang di dunia ini, ibarat seorang budak yang dikirim majikannya ke negeri lain untuk memenuhi beberapa tujuan. Tujuannya hanya untuk pemenuhan sasaran saja, secepat mungkin dan kemudian pulang kembali ke tanah-air dan majikannya. Selama ia berada di negeri itu, ia tak mau sibuk dengan hal lain di sepanjang jalan, atau tak mengumpulkan sebanyak-banyaknya barang-barang dari negeri itu. Ibnu Hajar, rahimahullah, menyatakan, "Dengan cara yang sama, seorang musafir tak membutuhkan lebih dari apa yang akan membawanya ke tempat tujuannya, orang mukmin tak membutuhkan apapun dari dunia ini lebih dari apa yang akan membantunya mencapai tempat tujuannya."

Oleh karena itu, kehidupan orang mukmin, cita-cita jangka panjang, tujuan hidup, waktu, usaha, pekerjaan dan kekayaannya, seyogyanya tak pernah digunakan untuk tujuan kehidupan duniawi ini saja. Sebaliknya, semua itu hendaknya dituntun oleh desakan keinginan untuk mencapai rumah sejatinya, dimana ia tahu, disitulah tempatnya. Mereka semua hendaknya dipandu oleh keinginannya untuk menyenangkan Allah dan agar masuk di antara golongan hamba-hamba Allah yang shalih, di rumah surga yang kekal. Begitulah cara orang asing bertingkah laku saat berada di perantauan. Ia tak puas dengan kesehariannya kecuali jika ia merasa bahwa selama itu ia telah melakukan sesuatu yang pada akhirnya akan membawanya pulang ke rumahnya, atau yang telah membantunya mencapai tujuan akhirnya. Lebih jauh lagi, ia tak berusaha bersaing dengan penduduk di negeri orang, karena minatnya dan minat mereka benar-benar bertentangan. Selain itu, ia tak berusaha agar mendapatkan simpati atau pujian mereka, karena di dalam hati, ia hanya berusaha pulang ke negerinya. Orang asing ingin kembali ke negerinya. Namun, ia sadar bahwa ia tak dapat pulang ke tanah airnya jika ia kelaparan sampai mati di tempat dimana ia berada, atau jika ia berusaha keras agar dapat bertahan di tempatnya, ia sembari berusaha sekuat tenaga memenuhi bekal perjalanannya. Memang benar, bahwa qalbu orang mukmin tak terikat pada dunia ini, tapi pada saat yang bersamaan, ia menyadari bahwa ia hendaknya bekerja di dunia ini agar dapat kembali ke tanah airnya. Artinya, bagi orang mukmin, disinilah tempat bekerja—bekerja dengan tujuan menuju tempat dimana sebenarnya ia berada. Pekerjaan ini melibatkan iman yang benar dan mengerjakan amal-shalih yang wajib atau dianjurkan baginya. Sebenarnya, inilah bekal yang akan membantunya mencapai tanah air yang sangat dirindukannya. Namun, sejumlah dari "pekerjaan" itu melibatkan kehidupan duniawi ini. Meski ia orang asing, ia terpaksa melibatkan diri dengan dunia ini. Ia berkewajiban menafkahkan diri dan keluarganya. Ia berkewajiban menyerukan yang ma'ruf dan memberantas kemungkaran. Ia berkewajiban bersikap ramah dan baik terhadap orang lain, dan sebagainya. Oleh karena itu, ia orang asing, namun bukan dalam arti yang negatif; ia ikut menyumbang sesuatu yang baik bagi dunia ini, namun ia tak bekerja demi dunia ini."

Sang ayah kemudian berkata, "Wahai bunayya, setiap orang sedang dalam perjalanan, berarak pulang menuju pertemuannya dengan Allah, Sang Pencipta. Ketika ia telah bertemu dengan Allah, ia akan ditanya tentang perjalanannya dan bagaimana ia berperilaku selama perjalanan itu. Jika ia menyadari bahwa ia ada dalam perjalanan seperti itu, ia hendaknya mulai mempersiapkan diri menuju apa yang ditujunya. Dan persiapan itu hanyalah dengan mempertebal iman, mengerjakan amal-shalih dan bekerja untuk tujuan akhir, daripada mencapai tujuan lain yang sia-sia. Orang beriman seyogyanya selalu sadar dari kenyataan bahwa ia hidup di bawah naungan kematian. Setiap saat, ajal mungkin menjemputnya. Ketika kesadaran ini jelas di dalam benak seseorang, ia akan terus mempersiapkan kematiannya, dan cara agar benar-benar dapat mempersiapkan diri untuk kematian: dengan mengerjakan amal-shalih dan berpantang dari perbuatan buruk.

Wahai bunayya, ambillah ini dari Ibnu Qayyim, rahimahullah, sebuah nasehat, "Seorang teman takkan sungguh-sungguh mau berbagi dengan pergumulanmu, orang yang engkau cintai takkan bisa secara fisik menghilangkan kepedihanmu, dan orang terdekatmu takkan bisa mewakilimu bangun di sepanjang malam. Maka perhatikanlah dirimu, lindungilah, rawatlah, dan jangan berikan setiap peristwa dalam hidupmu, lebih dari apa yang sepatutnya.
Pastikanlahlah bahwa jika engkau terluka, takkan ada yang mengurusmu kecuali dirimu sendiri, dan saat engkau kalah, takkan ada yang akan memenangkanmu kecuali tekadmu. Kemampuanmu untuk bangkit dan berjalan lagi, adalah tanggung jawabmu.
Jangan mencari dirimu terbenam di dalam mata orang lain, carilah nilai dirimu dari keshalihanmu. Jika keshalihanmu terpelihara, maka akan meninggikan derajatmu. Dan jika engkau sungguh telah mengenal dirimu, apa yang dikatakan tentang dirimu, takkan merugikanmu.
Jangan terus menerus meresahkan hidup ini, karena hidup ini untuk Allah. Jangan terus menerus cemas akan rezekimu, karena rezeki itu dari Allah. Dan jangan terus menerus gundah akan masa depanmu, karena masa depan itu berada di Tangan Allah. Genggamlah satu hal, "Bagaimana menyenangkan Allah!" Karena jika engkau mendapat ridha-Nya, Dia akan menyenangkanmu, memakbulkan dan mencukupkanmu. Janganlah hidup dari sesuatu yang membuat qalbumu menjerit. Cukup ucapkan, "Ya Allah, wahai Rabb-ku! Berikanlah kepadaku kebaikan dalam hidup di dunia ini dan di akhirat kelak."
Nestapa itu akan berlalu dengan sujud, kebahagiaan itu terbit dari doa yang tulus. Allah takkan melupakan kebaikan yang engkau kerjakan, juga takkan melupakan kebaikan yang engkau lakukan pada orang lain dan kepedihan yang engkau bebaskan dari mereka, dan Dia juga takkan melupakan matamu yang berlinang-tangis, walau engkau berusaha tertawa.
Jalani hidupmu dengan prinsip ini, bunayya. Jadilah orang baik walau jika engkau tak menerima kebaikan. Bukan karena manusia, tapi karena Allah, dan sesungguhnya, Dia mencintai orang-orang yang beramal-shalih."

Angsa melanjutkan, "Setiap kisah-cerita, punya awal dan akhir. Dalam hidup ini, kita punya banyak kisah yang bisa dituturkan, dan akhir dari setiap kisah kita, adalah sebuah awal dari kisah kita selanjutnya. Sang pemuda lalu berdiri tegak, mengenakan ikat kepala yang bertuliskan "لا اله الا الله محمد رسول الله" kemudian ia berkata pada dirinya sendiri, "Aku seorang musafir ... ya, aku seorang musafir!" Ia memejamkan mata, menarik napas panjang, menghembuskannya, lalu mengucapkan "Bismillah!" sebelum melangkah maju untuk memulai sebuah kisah baru." Setiap buku, ada kisah yang menjadi latarbelakangnya. Setiap perjalanan, ada semangat untuk melakukannya. Dan kisah perjalanan seorang Gen-I, atau lebih tepatnya, sebuah Generasi Islami, telah dimulai. Lalu, burung kenari pun berdendang,
"Aku tak menanti seseorang
dengan karunia hebatnya
semacam pahlawan super
semacam dongeng negeri impian
Cukup sesuatu yang dapat kusapa
seseorang yang boleh kukecup
Kudamba yang seperti ini saja" *)
"Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak (benar)? Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu), dan yang demikian itu tidak sukar bagi Allah." [QS. 14:19-20]

Referensi :
- Jamaal al-Din M. Zarabozo, Commentary On The Forty Hadith Of Al Nawawi Volume 2, Al-Basheer Publications 
*) terinspirasi dari "Something Just Like This" yang dibawakan oleh The Chainsmokers and Coldplay