Senin, 01 Januari 2018

Kata Pembuka

Bismillah, inilah pujian sejati, dan segala puja-puji itu, hanyalah milik Allah, Yang Maha Esa, Yang tak dapat ditolak, Yang Maha Tinggi, dan Yang Maha Pengampun. Segala puja dan puji bagi Allah, Yang membalikkan siang menjadi malam, sebagai pengingat bagi mereka yang memiliki qalbu yang sadar. Kita memuji-Nya dengan segala pujian dan bersaksi bahwa tiada yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah  dan tiada sekutu bagi-Nya. Segala kemutlakan adalah milik-Nya, dan segala sanjung adalah untuk-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Kuasa.
Penutur, al-faqir, juga bersaksi bahwa  baginda Nabi Muhammad Rasul Allah (ﷺ), yang menyampaikan Risalah, mengajak kita ke Dien yang lurus, dan membimbing kita ke Jalan yang lurus. Selawat dan salam teruntuk baginda (ﷺ), juga bagi para Nabi dan Rasul, beserta keluarga mereka.

Al-Qur'an Mulia telah secara jelas menetapkan tujuan penciptaan manusia dan jin. Umat manusia hendaknya memahami bahwa Allah-lah Sang Pencipta dan Yang Maha memulai  segala sesuatu dan setiap makhluk. Mereka diciptakan untuk menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan dengan demikian, mereka seyogyanya memperhatikan tujuan penciptaan mereka. Mereka hendaknya mencamkan bahwa kehidupan ini hanya sementara, tak kekal; dan karenanya, mereka menjauhkan diri  dari kesenangannya yang sementara. Inilah jembatan dimana mereka menyeberang ke negeri akhirat.
Hal yang paling penting, yang Allah tetapkan bagi putra-putri Adam agar mempelajari dan melakukan, sebelum mengerjakan shalat, menunaikan zakat, atau amal-ibadah lainnya, adalah mengakui Keesaan Allah dan menolak adanya illah lain. Karena alasan inilah, Allah menciptakan makhluk, mengutus para Nabi, dan mewahyukan Kitab-kitab-Nya. Salah satu kelas dari tanda-tanda Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah penciptaan satwa, dengan segala kualitas, spesies, penampilan, penggunaan dan layanan, warna, dan keunikan yang tak terlihat lainnya. Al-Qur'an mengulangi banyak tanda-tanda, menekankan berkali-kali, mendesak manusia agar berupaya sekuat tenaga merenungkannya.
Imam Malik, rahimahullah, berkata, "Manusia itu ada banyak ragamnya, ibarat burung, merpati berkumpul dengan merpati, burung elang dengan kumpulan elang, bebek dengan bebek dan burung kecil dengan burung kecil lainnya. Demikian pula, setiap manusia bergaul dengan ragamnya sendiri." Ibnu Qayyim, rahimahullah, berkata, "Qalbu itu, dalam perjalanannya menuju Allah Subhanahu wa Ta'ala, ibarat seekor burung. Cinta bagaikan kepalanya, takut dan harapan laksana sayap-sayapnya. Selagi kepalanya sehat, maka sayap-sayapnya akan mengepak dengan baik. Namun bila kepalanya terpenggal, maka ia akan mati. Jika sayapnya cacat, maka ia akan rentan terhadap pemburu dan pemangsa." Para pendahulu yang shalih, ada yang berkata, "Yang terbaik adalah menyelaraskan harapan dan rasa takut serta memperbanyak cinta. Sebab cinta itu ibarat kendaraan, harapan ibarat dorongan, rasa takut ibarat pengendaranya, dan Allah-lah yang menghantarkan sampai ke tujuan dengan karunia-Nya."
Penutur, al-faqir, berharap agar semua yang baik dalam karyanya, diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala, namun ia tetap manusia dan upaya manusia takkan pernah sepenuhnya bebas dari kesalahan. Al-faqir memohon ampunan kepada Allah, dan agar memberi kita ketulusan dan menerima pekerjaan kita, dan memungkinkan kita melakukan semua yang diridhai-Nya. Al-faqir dengan kedunguannya, dengan ilmu yang tak sempurna, menuturkan kisah,
Konon di suatu masa, di sebuah negeri, Kampung Bayan sebutannya, saat para unggas dan ciptaan lain diperbolehkan berbicara—entah ini benar atau dusta, atau mungkin hanya rekaan penutur, yang akalnya belum sempurna hendak menyampaikan ilmu—para unggas sedang berkumpul. Burung Nuri, yang ditunjuk sebagai guru pertama bangsa unggas, berkata, "Segala puji hanya bagi Allah, Rabb atas langit dan bumi, Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang kepada semua hamba-Nya. Sesungguhnya, dalam menuntut ilmu, tiada perbedaan usia dan tak ada batasan waktu. Dengan demikian, pembelajaran itu, tak saja kenal dengan kawula muda, melainkan juga dengan para sesepuh yang kita hormati."
Sebagai tanggapan terhadap ajakan Burung Nuri, setiap unggas menunjukkan sikap yang berbeda. Ada yang bersemangat dengan undangan tersebut, tapi ada juga yang enggan mengikutinya. Elang, yang lebih tua dari Nuri, berkata, "Wahai Nuri, saudaraku, aku sudah lupa ilmu yang pernah kupelajari." Merpati yang antusias menanggapi undangan tersebut, menjawab, "Kita tak boleh tertipu oleh hasrat memperoleh kekayaan, para unggas memiliki sifat yang mudah terbengkalai oleh kehidupan duniawi dan kemewahan makan berlebih. Ini akan memudarkan ilmu yang telah diperoleh dan, kita akan melupakan amal-shaleh yang harus dikerjakan. Jadi, sebelum seluruh ilmu kita itu hilang, dan kita menyesal ilmu itu tak dapat diterapkan, sebaiknya kita menjawab persoalan yang ada sebagai sarana untuk mengingat kembali ilmu yang sejauh ini telah diperoleh."
Murai-batu, yang pandai berpuisi—ia memiliki banyak koleksi syair dari pujangga ternama, terutama syair-syair indah dari Negeri yang jauh—dan juga ditunjuk sebagai guru kedua bangsa unggas, menyambut undangan yang sungguh-sungguh itu, dengan berkata, "Sesungguhnya, ilmu tentang Kitabullah, hendaklah terus digali. Setelah mempelajarinya, kita akan bisa menjalani hidup kita dengan aman dan nyaman. Kitabullah berisi berbagai ilmu, termasuk ilmu sosial, hukum, ekonomi, bahkan pernikahanpun, semuanya, diatur di dalamnya, jadi tak ada alasan untuk tak mempelajarinya."
Para unggas mulai berdebat, ada yang menunjukkan sikap positif, yang lain menunjukkan sikap negatif. Kemudian, Nuri berkata, "Sesungguhnya, amal-perbuatan itu dikendalikan oleh niatnya, dan seseorang hanya akan memperoleh sesuai apa yang diniatkannya." Mendengar ini, para unggas terdiam. Elang berkata, "Wahai Nuri, sekarang aku ingat, kata-kata yang engkau ucapkan itu, dari Nabi kita tercinta (ﷺ). Sampaikanlah lebih banyak tentang hadis tersebut." Nuri melanjutkan, "Dari Amirul Mukminin Abu Hafs Umar ibnu al-Khattaab : Aku mendengar Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Sesungguhnya, amal-perbuatan itu dikendalikan oleh niatnya, dan seseorang hanya akan memperoleh sesuai apa yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai kemana ia berhijrah." Hadits ini dicatat oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, at-Tahaawi, al-Daraqutni, Ibnu Khuzaima, Ibnu Hibbaan, Ibnu Asakir, Ibnu al-Jarud, al-Baihaqi, Abu Awaana, Abu Nuaim dan masih banyak lagi.
Inilah salah satu sabda Nabi (ﷺ) yang paling menyeluruh. Ia menyentuh hampir segala amal-perbuatan Islam. Imam Abu Dawud, rahimahullah, menyatakan bahwa hadis inilah setengah bagian dari Islam; Artinya, Islam terdiri dari apa yang nampak, yakni amal-perbuatan Islam, dan juga apa yang tak tampak, yaitu niat dibalik perbuatan itu. Imam As-Syafi'i, rahimahullah, juga mengatakan bahwa hal ini melingkupi separuh dari ilmu, yang berarti bahwa agama menyangkut hal lahiriah maupun yang bersifat batiniah. Amal-perbuatan adalah aspek lahiriah dan niat dibaliknya adalah aspek batiniah. Hadits ini juga mencakup sepertiga ilmu. Imam Al-Baihaqi menjelaskan pernyataan ini dengan mengatakan, "Ini terjadi karena orang tersebut memperoleh pahala dengan qalbu, lidah dan tubuhnya. Jadi, niat terlibat dalam salah satu dari ketiga komponen ini. "Imam Ahmad menyatakan bahwa dasar pemikiran Islam berkisar pada tiga hadis, "Amal-perbuatan itu hanyalah berdasarkan niat," "Barangsiapa memperkenalkan sesuatu ke dalam urusan agama kita yang bukan daripadanya, maka hal itu akan ditolak," dan, "Yang halal itu jelas dan yang haram itu sudah jelas." Imam Abu Dawud menyatakan bahwa ilmu fiqih berkisar pada lima hadis: "Perbuatan itu berdasarkan niat," "Agama adalah nasihat yang tulus," "Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas," "Tak boleh membahayakan diri sendiri atau orang lain, " "Apapun yang aku larang, hendaknya jauhilah. Apapun yang aku perintahkan dikerjakan, segeralah tunaikan sebanyak yang engkau mampukan."
Dasar dari amal-shaleh adalah ketulusan hati kepada Allah, sebagaimana yang telah Allah wahyukan dalam kitab-kitab-Nya, mengirim utusan-utusan-Nya dan menciptakan makhluk ciptaan dengan tujuan menyembah-Nya. Oleh karena itu, para pendahulu yang saleh lebih suka memulai segala pertemuan dan perkumpulan mereka dengan hadits ini. Demikian pula, banyak ulama lebih memilih memulai karya atau koleksi mereka dengan hadits ini, seperti Imam al-Bukhari, rahimahullah, dalam Shahih al-Bukhari. Ada yang bilang, niat itu mencari sesuatu. Ada yang mengatakan bahwa itu berarti keseriusan dalam pencarian seseorang. Dalam bahasa Arab, niat disebut niyyah. Arti niyyah dapat digambarkan sebagai: usaha, maksud, tujuan, resolusi, sasaran, karsa, penentuan, rencana, dan lain sebagainya. Bukan hanya pemikiran yang sampai pada pikiran seseorang tapi inilah tekad, keinginan dan cita-cita untuk melakukan sesuatu. Karena itu, jika seseorang memiliki niat atau niyyah untuk melakukan sesuatu, berarti ia akan mengerjakannya selama tak ada yang mencegahnya atau selama ia tak mengubah niatnya. Misalnya, jika seseorang berniat puasa pada hari Senin dan kemudian hari Senin tiba, dan tak ada yang mencegahnya berpuasa, namun ia tak berpuasa, ini berarti ia tak sungguh-sungguh memiliki niat saat hari Senin benar-benar datang.Menurut Ibnu Taimiya, rahimahullah, para ulama sepakat bahwa "tempat niyyah" adalah qalbu atau hati nurani. Keinginan seseorang mungkin mulia atau jahat. Namun, bagi orang beriman, tujuannya adalah membuat niatnya, yaitu motif perbuatannya, murni karena Allah. Sebelum memulai ibadah, seseorang harus memastikan bahwa ia melakukan tindakan pemujaan itu semata-mata karena Allah. Jika ia menyimpang dari tujuan itu, maka ia melakukan bentuk syirik utama (menyekutukan Allah) yang membawanya keluar dari Islam, atau bentuk syirik kecil, yakni Riya'.
Meski kata niyyah dan turunannya bisa ditemukan sepanjang hadis, Al-Quran biasanya menggunakan kata-kata yang berbeda yang setara dengan niyyah. Kata-kata itu adalah al-iraada (kehendak), al-qasd (maksud) dan al-azm (penentuan). Kata-kata ini sangat dekat satu sama lain dalam hal makna, namun masing-masing memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya satu sama lain. Semuanya menyiratkan ingin melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang spesifik. Sebenarnya, semuanya kadang-kadang digunakan untuk arti yang sama dalam bahasa Arab. Niyyah adalah subset dari apa yang mencakupi iraada atau kehendak. Iraada, menurut al-Qaradai, meliputi niat, tekad, pertimbangan, keinginan, tujuan, pilihan dan kemauan. Orang melihat tempatnya didalam qalbu.
Qasd (maksud) menyiratkan berpaling ke sesuatu dan menginginkannya. Terkadang digunakan untuk menyebut hal yang sama dengan niyyah. Memang, maknanya sangat dekat. Namun, istilah qasd dapat digunakan untuk apa yang seseorang inginkan bagi dirinya sendiri dan juga apa yang diinginkannya dari orang lain. Kata niyyah tak dapat digunakan dalam arti sebelumnya. Kedua, kata qasd hanya bisa digunakan untuk tindakan yang berada dalam kemampuan orang itu sendiri, sementara niyyah dapat digunakan untuk tindakan yang berada di luar kemampuan seseorang. Artinya, seseorang dapat berniat bahwa jika ia memiliki sejumlah uang tertentu, ia akan memberikan semuanya. Ia mungkin punya niat itu meskipun tindakan itu mungkin tak sesuai dengan kekuatannya, karena kenyataannya, ia tak memiliki uang. Bagi sesuatu yang seperti ini, kata niyyah boleh digunakan, tapi bukan qasd.
Niyyah, qasd dan iraada, semuanya menyiratkan ilmu dan tindakan. Pertama, harus ada ilmu tentang tindakan yang ingin dipenuhi seseorang. Setelah itu, baru diikuti dengan tindakan, asalkan tak ada faktor penghalang. Sebenarnya, tak ada tindakan yang terlaksana kecuali ada tiga komponen: ilmu tentang tindakan tersebut, ingin melakukan tindakan dan cakap untuk melakukannya. Tak ada orang yang menginginkan sesuatu yang tak diketahuinya dan tak ada orang yang bisa melakukan sesuatu yang tak mampu ia lakukan. Bila niat (niyyah) terkait dengan tindakan yang sedang dilakukan saat ini, maka juga disebut qasd. Jika itu berhubungan dengan tindakan yang harus dilakukan di masa depan, itu disebut azm. Iraada digunakan untuk tindakan sekarang dan masa mendatang.
Pernyataan, "Sesungguhnya, amal-perbuatan itu didorong oleh niat" berlaku bagi semua jenis amal-perbuatan: baik dalam bentuk pernyataan maupun perbuatan fisik yang diwajibkan, yang disarankan atau yang diperbolehkan. Perlu juga disadari bahwa amal-perbuatan apapun yang dilakukan bukan karena Allah, takkan diterima oleh Allah. Jika sebuah amal-perbuatan dilakukan dengan niat tulus untuk ridha Allah dan mengikuti perintah-Nya, maka perbuatan itu akan dihargai oleh Allah terlepas dari aspek kehidupan yang berhubungan dengan perbuatan itu. Tindakan tersebut bisa dikaitkan dengan tindakan ibadah, transaksi bisnis, bergaul dengan teman atau tetangga, dan sebagainya.
Jadi, hadis ini dengan jelas menunjukkan bahwa seorang Muslim harus memiliki ilmu sebelum berbuat. Seseorang harus berniat untuk mengerjakan amal-shalih atau, paling tidak, yang diperbolehkan. Namun, ia tak dapat memiliki niat seperti itu kecuali jika ia tahu bahwa tindakan itu benar atau diperbolehkan. Jika seseorang melakukan suatu tindakan tanpa mengetahui aturan dari tindakan itu, maka ia tak boleh menggugat bahwa niatnya itu suci. Niatnya dicirikan oleh pemahamannya tentang tindakan itu dan apakah tindakan itu diperbolehkan atau tidak. Jika ia tak peduli apakah tindakan itu diperbolehkan atau tidak, maka ia melakukan tindakan tersebut dengan niat ceroboh. Artinya, ia tak peduli jika tindakan itu diperkenankan atau tidak.
Niat adalah salah satu tindakan qalbu dan, secara umum, tindakan qalbu berada di bawah kendali seseorang dan berada di bawah pilihan pribadinya. Ia diperintahkan mensucikan niatnya, tanpa kepalsuan dan menentukan apa tujuannya. Ia tak boleh berbuat syirik dalam niatnya, bukan untuk menyimpang dalam niatnya untuk melakukan sesuatu yang tak diperintahkan. Semua itu berada di bawah kemampuan dan kecakapan orang yang bertanggung jawab. Jika bukan itu masalahnya, perintah mensucikan niat dan larangan berbuat syirik akan menjadi kewajiban yang tak dapat dipenuhi seseorang.
Oleh karena itu, orang tersebut memiliki kemampuan untuk menentukan niatnya dan mengarahkannya serta mensucikan diri dengan cara yang sama sehingga ia dapat mengalihkan niatnya menjauh dari apa yang secara hukum seharusnya tak dikerjakannya. Ini karena Allah telah memberi manusia kecerdasan dan telah memberi mereka kehendak dan bebas memilih. Allah telah menjelaskan jalan kebaikan bagi mereka. Dia, Subhanahu Wa Ta'ala, telah menjelaskannya kepada manusia. Dia telah memerintahkan manusia untuk itu. Dia telah berjanji kepada orang yang berbuat baik dengan imbalan yang banyak dan pahala yang berlimpah. Dia juga menjelaskan kepada mereka tentang jalan kejahatan, telah memperingatkan mereka tentang hal itu, telah mengancam orang yang mengikutinya dan telah menunjukkan hukuman konsekuensial dalam kehidupan ini dan akhirat kelak. Selanjutnya, Dia telah mengirim utusan, mewahyukan kitab-Nya, yang diberi bukti dan penjelasan kuat, dan telah membuat segalanya menjadi jelas.
Seorang Muslim harus berusaha sebaik mungkin agar tulus kepada Allah dan mencari ridha-Nya dengan mengikuti cara-cara yang akan membawanya lebih dekat kepada Allah - seperti berusaha mengenal Allah dengan lebih baik, merenungkan ciptaan dan berkah-Nya, mengenali sifat-sifat-Nya dan seterusnya. Dengan demikian, orang tersebut akan mendorong dirinya agar lebih taat kepada Allah dan lebih tulus terhadap-Nya. Jika niat tulus ini menyusulnya, qalbunya akan dipenuhi dengan kecintaan kepada Allah, takwa dan berharap hanya kepada-Nya; Oleh karena itu, akan mudah baginya menginginkan apa yang Allah minta agar ia lakukan dan berusaha hanya untuk tujuan-Nya. Dalam hal ini, niatnya dengan tulus melayani Allah dan jiwanya secara otomatis akan mengantarnya melakukan perbuatan yang diridhai Allah.
Seseorang dibantu untuk mencapai keadaan ini dengan memahami kekuatan macam apa yang mungkin bekerja didalam qalbunya. Dengan memahami ini, seseorang tahu kemana harus mencari pertolongan. Ia juga mengerti sumber masalahnya dan sebab penyimpangan dirinya dari jalan yang lurus.
Al-Haaritz al-Muhaasabi telah menyatakan tiga jenis kekuatan yang bekerja dalam qalbu seseorang. Yang pertama adalah sumber inspirasi dan tuntunan dari Allah yang telah Dia masukkan ke dalam qalbu orang-orang yang beriman. Inilah sumber pertama yang membantu seseorang agar tulus kepada Allah dalam qalbunya. Di luar itu, jika dan ketika ia benar-benar kembali kepada Allah, Allah akan berpaling kepadanya dengan cara yang lebih besar lagi. Namun, dua kekuatan lainnya yang bekerja dalam qalbu seseorang adalah Setan, melalui bisikan dan godaannya, dan jiwa itu sendiri. Terkadang menyimpang dari bersikap ikhlas kepada Allah karena bisikan dari setan, sementara pada saat lain, lebih berkaitan dengan keinginan dan hasrat yang telah dikembangkan seseorang dalam jiwanya sendiri. Jika orang kembali kepada Allah, maka Allah akan menghapuskan pengaruh Setan dari qalbunya. Oleh karena itu, seseorang harus selalu berusaha menyadari kekuatan-kekuatan ini, yang bekerja dalam qalbunya. Ia harus selalu berusaha terjaga dan tak pernah membiarkan dirinya terlalai. Jika ia lalai, ia akan menyimpang dari tujuan hidupnya yang satu: menjadi orang yang shaleh dan ikhlas kepada Allah dalam penyembahan kepada-Nya. Ia harus selalu mencoba mengikuti langkah-langkah yang akan meningkatkan imannya dan menjauhkannya dari penyesalan. Ia harus selalu kembali kepada Allah dan memohon agar Allah membimbingnya dalam hal ketulusan dan kesucian karena Allah."
Burung Nuri kemudian berkata, "Wahai saudara-saudariku, setiap tindakan sadar dan kehendak bebas memiliki niat di baliknya, yang mendorongnya dan mewujudkannya. Seseorang akan mencapai apapun yang ia inginkan. Jika ia bermaksud baik, insya Allah, niscaya akan terjadi. Jika ia menginginkan kejahatan, kejahatanlah yang akan terjadi - itulah hasilnya, akan menjadi buruk baginya. Jika seseorang mengerjakan perbuatan yang baik semata-mata karena Allah, tujuannya akan terpenuhi dan amal-perbuatan tersebut akan diterima oleh Allah. Bahkan perbuatan mulia seperti berhijrah pun, yang harus dilakukan karena Allah, dapat saja dilakukan dengan niat yang kurang mulia. Dalam kasus seperti itu, orang tersebut hanya akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Dunia dan khususnya, lawan jenis, adalah dua aspek yang mendorong seseorang agar melakukan perbuatan tertentu. Ini mempunyai pengaruh besar terhadap seseorang, sejauh orang itu bahkan melakukan perbuatan mulia bukan karena Allah, namun karena mereka.
Oleh karena itu, seorang Mujahid, hendaknya berupaya sekuat tenaga agar mengerjakan setiap tindakan dengan cara yang sadar sepenuhnya. Ia seyogyanya memikirkan apa yang akan ia lakukan sebelum ia mengerjakannya. Hendaknya ia mempertimbangkan maksud dan tujuan tindakannya, tanpa melihat tindakan apapun yang mungkin terjadi. Tanpa memperhatikan seberapa tingkat keduniawian tindakan itu, jika orang tersebut sungguh-sungguh berpikir tentang mengapa dan untuk siapa ia melakukannya, maka ia akan dapat beralih ke dalam alam pemujaan kepada Allah Azza wa Jalla. Wallahu a'lam."
"Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) Dien itu, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar)." [QS. 98:5]

Referensi:
- Jamaal al-Din M. Zarabozo, Commentary On The Forty Hadith Of Al Nawawi Volume 1, Al-Basheer Publications
- Imam An-Nawawi, Riyadus Saliheen Volume 1, Darussalam