Selasa, 16 Januari 2018

Hayaa'

"Ada lagi yang mau berbagi?" tanya Nuri. Para unggas diam, hingga akhirnya burung Dara tampil ke depan dan berkata, "Wahai saudara-saudariku, aku senang kalian tak menyia-nyiakan waktu membicarakan hal yang tak berguna, tapi dengan berbagi ilmu agama. Aku juga ingin berbagi sesuatu yang pernah aku dengar." Para unggas berkata, "Mohon, sampaikanlah kepada kami!" Burung dara berkata, "Atas kewibawaan Abu Mas'ud Uqbah ibnu Amr al-Ansari, radhiyallahu 'anhu, yang mengatakan: Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tak malu, berbuatlah sesukamu'."
Ini hadits yang sahih. Dicatat oleh al-Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, al-Baihaqi, Ibnu Abu Shaiba, Ibnu Hibban, at-Tabarani dan banyak lainnya dari rantai Mansur Ibnu Mutamir dari Rabi Ibnu Hirasy dari Abu Mas'ud.
Jika hadits ini, dan hadis lain yang menyatakan, "Tinggalkan perbuatan yang membuatmu ragu dengan yang tak membuatmu ragu," diterapkan bersama, seseorang akan dapat memahami bahwa jika seorang Muslim tak ragu lagi tentang sebuah perbuatan, maka ia bebas melakukannya. Demikian pula, jika sebuah perbuatan tak punya rasa malu yang terkait dengannya, maka, sekali lagi, orang tersebut diperbolehkan melakukannya. Oleh karena itu, perbuatan seorang Muslim harus terbebas dari masalah yang meragukan dan juga masalah yang memalukan.

Murai bertanya, "Apa arti hadits ini?" Burung dara berkata, "Agar hadits ini dapat dipahami secara lengkap, konsep al-hayaa' harus dipahami dengan baik. Kata hayaa' dapat dipahami sebagai rasa malu, kerendahan hati, rasa segan dan kesadaran moral. Kata hayaa' berasal dari kata al-hayaah, yang berarti kehidupan. Hujan, misalnya, disebut hayaa' karena membawa kehidupan di bumi dan tumbuh-tumbuhan. Disebut bahwa orang yang tak memiliki hayaa' bagai orang mati dalam kehidupan ini. Sebenarnya, qalbunya bisa dianggap sudah mati, jika ia punya kerendahan hati dan rasa malu, qalbunya akan hidup dan sehat. Semakin banyak kebersahajaan yang ia miliki, semakin sehat qalbunya. Kurangnya kerendahan hati yang dimiliki seseorang, semakin sedikit kehidupan dan kesehatan yang dimiliki qalbunya.
Intinya, perasaan di dalam qalbulah yang membuat orang tersebut menjauh dari melakukan perbuatan buruk. Hal ini terkait langsung dengan apa yang biasa disebut "kesadaran moral seseorang". Jika seseorang tak memiliki kesadaran moral, ia akan melakukan apapun yang ia suka. Ia tak peduli apa yang orang pikirkan atau katakan tentang dirinya. Sesungguhnya, ia bahkan tak peduli dengan apa yang ia pikirkan tentang dirinya sendiri. Ini karena qalbunya benar-benar telah mati dan ia tak merasa malu sama sekali. Di sisi lain, hati nurani seseorang mungkin mengganggunya, bahkan jika tak ada yang menyaksikan tindakan yang membuatnya malu. Qalbunya tak nyaman dan tak bahagia karena ia malu dengan apa yang ia lakukan.

Hayaa' adalah sesuatu yang setiap manusia alami. Salah satu aspek hayaa' yang secara alami ditemukan pada umat manusia adalah, perasaan menutupi bagian pribadi seseorang. Seperti semua karakteristik alami, kualitas ini dapat dipelihara dan dibiarkan tumbuh atau mungkin terhambat, sampai-sampai orang tersebut benar-benar kehilangan ini. Al-Muqaddam menunjukkan bahwa hayaa' adalah sifat yang benar-benar membedakan manusia dari binatang. Secara umum, hewan mengikuti keinginan atau naluri mereka tanpa perasaan benar atau salahkah apa yang mereka lakukan itu. Mereka tak merasa malu dengan tindakan mereka. Oleh karena itu, semakin sedikit hayaa' yang dimiliki seseorang, semakin dekat ia mendekati tingkat hewan daripada menjadi manusia bermoral.
Di luar perasaan alami hayaa', bisa diperoleh aspek yang berhubungan langsung dengan kekuatan iman seseorang. Inilah hayaa' yang timbul dengan menyadari bahwa Allah selalu hadir dan Dia melihat segala sesuatu yang dilakukan seseorang. Takkan ada yang bisa lepas dari Allah. Ketika seseorang menyadari hal ini, ia akan merasa malu melakukan tindakan yang tak menyenangkan Allah. Ingat kepada Allah inilah salah satu sarana terpenting, yang dengannya seseorang meningkatkan hayaa'nya. Jika seseorang memikirkan segala berkah yang diterimanya dari Allah, ia akan merasa sangat malu menggunakan berkah yang telah diberikan Allah kepadanya itu dengan cara-cara yang tak diridhai Allah. Misalnya, jika ia benar-benar memikirkan betapa besar pengabdiannya, ia akan merasa malu bila menggunakan berkah dari Allah ini dengan cara yang tak di ridhai-Nya.
Cara lain, yang dengannya seseorang dapat meningkatkan hayaa'nya, adalah bergaul dengan orang-orang yang berhayaa'. Seseorang dapat belajar dari keteladanan dan perilaku mereka. Yang lebih penting lagi, di hadapan mereka, orang akan marasa sangat malu atau segan melakukan sesuatu yang memalukan. Perasaan malu dan kerendahan hati ini, insyaallah, akan berkembang dan tumbuh dalam diri seseorang, bahkan juga di hadapan orang lain, ia akan terus memiliki karakteristik itu.

Ada beberapa penafsiran tentang hadis ini. Pertama, beberapa ulama mengatakan bahwa meskipun ungkapan ini berbentuk imperatif, sebenarnya tak dimaksudkan sebagai perintah. Sebaliknya, menjadi bentuk ancaman atau peringatan. Artinya, dengan kata lain, "Jika engkau tak punya rasa malu atau kerendahan hati, maka lakukan apapun yang engkau inginkan dan Allah akan membalasmu-menghukummu-terhadap apa yang engkau lakukan."
Penafsiran kedua hadis ini, juga menyatakan bahwa imperatif atau bentuk perintah bukanlah yang dimaksud dengan pernyataan ini. Sebagai gantinya, ini sebuah perintah yang digunakan sebagai pernyataan fakta. Dengan kata lain, artinya, "Jika seseorang tak memiliki rasa malu, maka ia melakukan apapun yang ia inginkan." Hayaa' (rasa malu atau kerendahan hati) adalah salah satu faktor terpenting yang membuat seseorang menjauh dari melakukan maksiat atau perbuatan dosa. Jika seseorang tak memiliki rasa malu atau kerendahan hati, maka tak ada yang mencegahnya melakukan banyak hal. Ia akan melakukan hampir semua hal karena ia tak memiliki apa-apa di dalam dirinya yang mengatakan kepadanya bahwa itu bukan perilaku yang baik, dan bahwa ia seharusnya, merasa malu bertindak dengan cara itu.
Penafsiran ketiga adalah bahwa perintah di sin, dalam bentuk pembolehan. Dengan kata lain, "Jika engkau merenungkan sebuah tindakan dan tindakan itu sedemikian rupa hingga tak ada alasan malu melakukannya di depan Allah atau orang lain, maka engkau boleh melakukannya." Oleh karena itu, menurut penafsiran ini, kerendahan hati atau rasa malu menjadi standar mengenai haruskah seseorang melakukan tindakan tersebut atau tidak. Jika tak ada yang merasa malu dengan tindakan tersebut, maka tak mengapa bila melakukan tindakan tersebut. Namun, jika ada alasan untuk malu melakukan tindakan itu, baik terhadap Allah maupun orang lain, maka orang tersebut seharusnya tak melakukannya.
Penafsiran keempat hadits ini adalah bentuk dorongan agar memiliki karakteristik kerendahan hati dan secara tak langsung menunjukkan kebajikan kesantunan. Dengan cara ini, hadis ini dipahami sebagai, "Karena tak diperbolehkan melakukan tindakan yang engkau inginkan, maka tak diperbolehkan meninggalkan kerendahan hati dan rasa malu."
Keempat penafsiran tersebut memiliki arti yang sangat baik dan dapat diterima. Sulit menentukan mana yang terkuat dari penafsiran di atas. Setiap interpretasi itu, dengan kemungkinan pengecualian yang terakhir, memiliki bukti yang mendukungnya. Karena keempatnya patut diterima, mungkin seluruhnya harus diingat dan diterapkan dalam kehidupan seseorang. 

Ada banyak cara di mana hayaa' akan menunjukkan dirinya. Yang terpenting, bagaimanapun, seseorang seyogyanya memiliki hayaa' sehubungan dengan Allah. Seseorang merasa malu diawasi Allah, melihatnya melakukan sesuatu yang tak menyenangkan Allah. Ia harus malu di hadapan Allah, misalnya ketika ia tak melakukan shalat pada waktu yang tepat dan dengan cara yang benar. Jika seseorang memiliki hayaa' yang total kepada Allah, ia takkan melakukan tindakan apapun yang tak menyenangkan Allah, ia akan marasa sangat malu melakukan sesuatu dari sifat itu. Bahkan, Ia seharusnya memiliki lebih banyak hayaa' terhadap Allah dibandingkan ciptaan apapun. Ini karena semua yang dimilikinya sebagai berkah dari Allah dan ia tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ia lakukan.
Selain memiliki hayaa' berkenaan dengan Allah, seseorang harus menampilkan hayaa' kepada malaikat dan manusia lainnya. Sesusngguhnya, seseorang bahkan harus memiliki hayaa terhadap diri sendiri. Manusia yang memiliki hayaa' satu sama lain adalah karakteristik penting yang membuat orang tak saling merugikan dan melakukan tindakan tak senonoh yang mungkin disadari orang lain.
Malaikat adalah makhluk mulia dan bermartabat. Mereka menyaksikan tindakan yang dilakukan manusia. Setiap manusia, ada malaikat yang menyertainya, menyaksikan segala kelakuannya. Malaikat-malaikat itu dilukai oleh hal yang sama dengan yang melukai manusia. Oleh karena itu, umat Islam harus menyadari kehadiran mereka dan malu melakukan perbuatan memalukan di hadapan mereka, dengan cara yang sama seperti mereka malu melakukan perbuatan memalukan di depan manusia lain.
Seseorang juga harus memiliki hayaa' terhadap dirinya sendiri. Hal ini serupa dengan harga diri. Seseorang harus malu pada dirinya sendiri saat melakukan perbuatan yang memalukan. Ia bahkan seharusnya tak suka hidup dengan dirinya sendiri. Ini ibarat dua orang, dan orang itu malu pada yang lain, dan tak ingin dikaitkan dengannya. Ini takkan terjadi jika orang tersebut tak memiliki perasaan atau pengertian tentang hayaa'. Secara umum, semakin orang dihormati atau bermartabat, semakin banyak orang lain yang malu berperilaku tak benar di hadapannya.

Ada banyak tindakan yang dilakukan seseorang atas nama rasa malu dan segan yang tak termasuk dalam definisi Islam tentang hayaa'. Definisi Islam tentang hayaa 'sedikit berbeda dari konsep alami hayaa'. Hayaa' dalam Islam menuntun seseorang agar menghindari perbuatan buruk dan memenuhi hak orang lain. Perbedaan mendasar antara kedua jenis hayaa' adalah bahwa diam atau takut berbicara dengan adanya kepalsuan atau penindasan tak merupakan bagian dari hayaa' dalam Islam.
Jika hayaa' seseorang berlebihan, sehingga hal itu mencegahnya tak mengatakan yang sebenarnya, maka ia tak lagi memiliki hayaa' terhadap Sang Pencipta. Ia hanya memiliki hayaa' terhadap ciptaan. Orang seperti itu telah terhalang mencapai manfaat hayaa'. Ia bercirikan kemunafikan dan riya'. Memiliki hayaa' sehubungan dengan Allah adalah pondasi dan dasar, Allah memiliki hak yang paling tepat agar orang malu kepada-Nya. Seseorang harus melindungi dan menjaga pondasi ini, karena sangat bermanfaat.
Oleh karena itu, hayaa' tak dapat dijadikan alasan agar tidak mengerjakan amar ma'ruf nahi mungkar. Jika seseorang tak melakukan tindakan ini berdasarkan hayaa', maka ia memiliki bentuk hayaa' yang salah. Ia tak punya hayaa' yang tepat terhadap Allah, meskipun ia mungkin punya beberapa bentuk hayaa' terhadap umat manusia. Jika seseorang memperhatikan bahwa ia secara alami tak memiliki hayaa', dirinya seharusnya mengembangkan karakteristik ini, karena inilah salah satu karakteristik terpenting orang beriman."
Hayaa' adalah rasa malu karena penghormatan terhadap Allah atau manusia, yang secara unik dimiliki manusia, beda dengan segala sub-spesies. Hayaa' adalah salah satu kualitas moral terbaik, luar biasa dan bermanfaat; Sebenarnya, inilah sifat kardinal manusia - setiap manusia yang tak mempunyai kualitas moral ini, bukan lagi manusia kecuali penampilan luar dan fisik; ia tak memiliki jejak kebaikan tentang dirinya. Tanpa sifat ini, keramahan takkan ditunjukkan kepada tamu, tak ada janji yang akan dipenuhi, tak ada sumpah yang akan terlaksana, tak ada orang yang tak berdaya akan terbantu; seseorang takkan membedakan kebaikan dari kejahatan, memegang kebaikan  dengan harga yang tinggi dan menghindari kejahatan; manusia takkan menyembunyikan kesalahannya atau menahan diri dari dosa. Memang benar bahwa bagi banyak orang, hanya al-hayaa' yang menstimulir mereka melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan; tanpanya, mereka takkan menghormati hak siapa pun, takkan mematuhi hak-hak kekerabatan dan tak menghormati orang tua. Stimulus bagi semua perbuatan ini bersifat religius, mengharapkan imbalan yang menguntungkan; Atau duniawi, orang yang khawatir akan apa yang orang lain perbincangkan. Bisa dikatakan bahwa tanpa al-hayaa' (takut akan Sang Pencipta, atau makhluk-Nya) manusia akan berhenti berbuat kebaikan.

Kemudian burung Dara berkata, "Wahai saudara-saudariku, hayaa' adalah tanda bahwa jiwa seseorang itu sehat. Jiwanya peduli dengan apa yang sedang ia lakukan dan tertekan saat ia melakukan sesuatu yang berbahaya atau berbuat dosa. Inilah orang yang punya hati nurani sejati, yang tak menerima dirinya melakukan kesalahan atau kejahatan. Wallahu a'lam."
"Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka yang lebih baik ataukah mereka yang datang dengan aman sentosa pada hari Kiamat? Lakukanlah apa yang kamu kehendaki! Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." - [QS.41:40]"

Referensi :
- Jamaal al-Din M. Zarabozo, Commentary On The Forty Hadith Of Al Nawawi Volume 1, Al-Basheer Publications