Selasa, 30 Oktober 2018

Pelajaran dari Sirah : Penuh Kepastian (2)

Sang politisi melanjutkan, "Rasulullah (ﷺ), seperti nabi-nabi lain sebelum beliau, dididik langsung oleh Allah, dan iman beliau, diperkokoh dalam kekokohan yang belum pernah ada; untuk mengajak orang lain agar beriman. Allah memerintahkan,
"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat." - [QS.26:214]
Tantangan pertama datang ketika Allah memerintahkan Baginda Nabi (ﷺ) mengundang kaum-kerabatnya agar beriman dan memperingatkan mereka tentang akibat bila melanjutkan gaya hidup saat itu, yakni politeisme dan kerusakan sosial didalam masyarakat. Telah disebutkan peristwa ketika Baginda Nabi (ﷺ) keluar dan berdiri di Bukit Safa dan menyeru, ‘Wa Subahaa’.
Inilah cara para Nabi, yang diperintahkan Allah dalam menyampaikan pesan, jelas, tanpa ragu-ragu dan tak membingungkan. Jadi, para Nabi itu, tak berbelit-belit, bermanis-manis dalam ucapan atau cara lain. Baginda Nabi (ﷺ), berbicara dengan jelas dan langsung. Kaumnya terkejut. Bagi masyarakat materialis, entitas itu, sangat penting. Mereka yakin pada apa yang dapat mereka lihat dan sentuh, dapat dibeli dan dijual. Namun membicarakan tentang kematian dan akhirat, mata merekapun sayu dan memandang curiga pada sang pembicara, seolah-olah kecewa. Di mata mereka, membicarakan sesuatu yang ghaib, menampakkan bahwa engkau tak cerdas, modern atau ilmiah. Masyarakat materialistis hidup seolah-olah mereka takkan pernah mati dan seakan tiada kebangkitan dan perhitungan. Dan siapapun yang mengingatkan mereka tentang realitas maut dan akhirat, takkan disambut, bahkan ditentang. Aturan yang sama terjadi pada masa sekarang ini, 15 abad kemudian.

Kehidupan Rasulullah (ﷺ) di Mekah adalah rangkaian kesulitan demi kesulitan, yang semakin bertambah, dan perlawanan yang semakin berat. Namun perlawanan akan membangun kekuatanmu, selama engkau tak menyerah padanya. Semakin besar perlawanan itu, akan semakin membangun kekuatanmu selama engkau berdiri-tegak melawannya. Seperti dalam pembentukan tubuh, angkat bebanlah yang membangun kekuatan pada ototmu. Begitu pula dalam Dakwah, menyerukan kebenaran dan bersikap-tegas serta sabar terhadap perlawanan, membangun Imanmu. Inilah praktik yang dilakukan umat Islam di Mekah. Ada banyak kisah tentang segala jenis penganiayaan yang dialami Baginda Nabi (ﷺ). Mereka yang berani mengikutinya, juga mengalami penganiayaan yang kejam, bahkan penyiksaan dan ada diantara mereka yang terbunuh. Semua ini dilakukan dengan blangko-mandat penuh oleh para penguasa Quraisy, yang kaya dan berkuasa. Namun semua yang terjadi ini, malah membuat keyakinan mereka kepada Allah, semakin kokoh.
Kaum Quraisy Mekah, dimana Baginda Nabi (ﷺ) sendiri adalah anggotanya, dan termasuk yang paling unggul di antara mereka - Bani Hasyim - yang paling dominan menganiaya beliau. Mereka mencoba segala cara yang mereka bisa. Mereka mengancam, menyebarkan propaganda, memfitnah nama baik dan karakternya, dan bahkan menyerangnya secara fisik. Ketika tak satupun dari semua itu berfungsi mengancam atau menghentikan beliau dari dakwahnya, mereka memutuskan, menggoda beliau dengan status, raja dan kekayaan.

Ibnu Abbas, radhiyallahu 'anhu, berkata, “Para pemimpin Quraisy mengutus seseorang, mengundang Rasulullah (ﷺ), yang kemudian datang dengan penuh semangat, mengira bahwa mereka mungkin telah berubah sikap dan melunak. Utbah berkata, ‘Kami memanggilmu untuk berdamai. Kami belum pernah melihat orang yang telah membawa begitu banyak keburukan pada kaumnya. Engkau telah mencaci leluhur kami, mengkritik agama kami, melaknat tuhan-tuhan kami, dan melakukan segalanya untuk menimbulkan keretakan di antara kami. Jika engkau melakukan ini karena butuh uang, kami akan mengumpulkan uang dan memberinya padamu sampai engkaulah yang terkaya di antara kami. Jika engkau menginginkan kekuasaan, kami akan memilihmu menjadi raja kami. Jika engkau menginginkan wanita, kami akan memilihkan 10 wanita tercantik dan menyerahkannya padamu. Jika engkau kerasukan setan, kami akan menghabiskan seluruh uang kami, sampai engkau sembuh.
Baginda Nabi (ﷺ) berkata, ‘Apa yang engkau katakan, takkan berlaku bagiku. Tiadalah kubawa pesan ini untuk mencari kekayaan atau kehormatan darimu. Aku juga tak tertarik pada kekuasaan atasmu. Allah telah mengutusku sebagai seorang Utusan. Dia telah mewahyukan pesan kepadaku dan telah memerintahkan padaku agar mewartakan berita baik dan memperingatkanmu. Aku telah membawakan untukmu pesan dari Rabb-ku, dan telah menasihatimu. Jika engkau menerima pesanku itu, akan baik untukmu di dunia ini dan akhirat kelak. Jika tidak, aku akan menunggu keputusan Allah saat Dia memutuskan urusan antara engkau dan aku.'
Mereka berkata, ‘Jadi, engkau menolak tawaran kami. Engkau telah tahu, betapa sempitnya tanah kami dan betapa miskinnya kami, serta betapa sulitnya hidup kami. Mengapa engkau tak menyampaikan kepada Rabb-mu agar memindahkan gunung-gunung itu, dan memberi kami sungai-sungai seperti yang ada di Suriah dan Irak. Dan sampaikanlah pada-Nya agar menghidupkan kembali nenek-moyang kami (Kusai bin Kilab) dan jika mereka berkata kepada kami bahwa engkau mengatakan yang sebenarnya, kami akan mengikutimu." Baginda Nabi (ﷺ) berkata," Itu bukanlah alasan mengapa aku diutus. Aku hanya membawa dari Allah apa yang telah diwahyukan dan aku telah menyampaikannya kepadamu. Jika engkau menerimanya, itu baik bagimu di dunia dan akhirat. Jika engkau menolaknya, maka aku akan menunggu dengan sabar, agar Allah menengahi perkara di antara kita. "
Kemudian mereka berkata, "Mengapa engkau tak meminta Rabb-mu agar mengutus malaikat agar bersaksi bahwa engkau mengatakan yang sebenarnya? Dan mengapa engkau tak meminta pada-Nya agar memberikan kami istana, ladang, serta emas dan perak. Dan juga, mengapa engkau tak meminta pada-Nya agar memberimu nafkah tanpa harus bekerja. Kami melihat bahwa engkau juga berdagang seperti kami. Sampaikan pada Rabb-mu, agar menganugerahkanmu kekayaan, sehingga engkau menjadi orang yang terpandang di antara kami. Engkau tampak sama saja seperti kami semua." Beliau menolak.

Kemudian mereka berkata, ‘Baiklah, bermohonlah kepada Rabb-mu agar menjatuhkan adzab yang telah engkau janjikan kepada kami. Sampaikan kepada Rabb-mu agar menjatuhkan langit di atas kepala kami, jika engkau berkata benar. Tidakkah Rabb-mu mengetahui pertanyaan-pertanyaan yang akan kami tanyakan kepadamu? Bagaimana mungkin Dia tak menolongmu menjawabnya? Kami tahu siapa yang mengajarimu semua hal ini. Dialah lelaki dari Yamama bernama ar-Rahman. Kami takkan percaya padanya ataupun padamu. "
Baginda Nabi (ﷺ) pulang dengan perasaan sedih atas penolakan itu. Aqil bin Abi Talib, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan bahwa kaum Quraisy mengeluh kepada Abu Talib, bahwa Baginda Nabi (ﷺ) mengacaukan pertemuan mereka. Abu Talib dengan lembut meminta Rasulullah (ﷺ) agar menghentikan Dakwahnya. Baginda Nabi (ﷺ) berkata, ‘Paman, lihatkah engkau matahari itu? Aku tidaklah mampu menghentikan matahari itu dan engkau tidaklah mampu mendapatkan nyalanya dibandingkan aku menghentikan pesan ini." Abu Thalib berkata,"Aku mempercayaimu. Teruskan dan lakukanlah apa yang harus engkau lakukan.'
Insiden terakhir inilah segel yang menunjukkan dengan baik dalam kepastian penuh beliau pada pesan yang telah dituntutnya, dan komitmen terhadap tanggungjawab beliau. Tak ada yang bisa mencegahnya atau memperlambatnya, atau membujuknya untuk melemahkan pesannya. Tak ada yang bisa membenarkannya secara politis atau menakutinya atau memaksanya berhenti berdakwah atau mengkompromikan pesan dengan cara apapun, agar menyenangkan siapapun. Beliau hanya peduli dengan ridha Sang Pencipta dan hanya berupaya mencapainya, berapapun biaya yang harus dibayar.


Karakter Baginda Nabi (ﷺ), qadarullah, sehingga bahkan musuh-musuhnya harus mengakui kebenaran dan ketulusannya. Salah satu kisah yang paling dikenal, yang menggambarkan hal ini, adalah tentang pertemuan Abu Sufyan dengan Heraclius, Kaisar Bizantium. Ini terjadi sebelum Abu Sufyan memeluk Islam dan merupakan pemimpin oposisi terhadap Baginda Nabi (ﷺ) dan musuhnya yang paling kuat di Mekah.
Pada periode setelah Perjanjian Hudaibiyah, antara Quraisy Mekah dan Baginda Nabi (ﷺ), beliau berkirim surat kepada raja-raja negeri seberang untuk mengundang mereka masuk Islam. Baginda Nabi (ﷺ) bersabda kepada para Sahabat, ‘Aku hendak mengutus beberapa dari kalian kepada raja-raja negeri seberang. Janganlah berbantah di antara kalian tentangku, seperti Bani Israil berbantah tentang Isa putra Maryam." Mereka berkata, "Wahai Rasulullah! Kami takkan pernah menentangmu mengenai apapun juga. Perintahkanlah kami untuk bergerak.' Pergi menemui raja di negeri asing, yang sebagian besar menunjukkan sikap permusuhan, bukanlah tugas yang mudah. Perjalanan yang penuh marabahaya, namun, semangat para Sahabat, qadarullah, sehingga masing-masing bersaing dengan yang lain untuk kehormatan terpilih sebagai Duta Besar Rasulullah (ﷺ).
Baginda Nabi (ﷺ) menunjuk Dihyah Wahi al-Kalbi, radhiyallahu 'anhu, untuk menyampaikan surat beliau kepada Heraclius, Kaisar Romawi Timur atau Kekaisaran Bizantium. Inilah nama yang mereka pergunakan untuk menyebut diri mereka, dan kaum Muslimin biasa menyebut mereka sebagai bangsa Rum. Bizantium adalah kata yang dibuat kurang dari seabad yang lalu dan tak digunakan pada zaman Baginda Nabi (ﷺ). Ibukota Kekaisarannya adalah Konstantinopel, sekarang dikenal sebagai Istanbul. Kekaisaran Romawi terpecah menjadi bagian Barat dengan ibukotanya di Roma, dan bagian Timur dengan ibukotanya di Kontantinopel. Heraclius adalah seorang komandan militer asal Qart Hadast, atau Kartago, dekat kota Tunis, di Tunisia, yang naik pangkat menjadi Kaisar Romawi Timur pada tahun 610 Masehi.

Kekaisaran Romawi, saat itu, sedang mengalami masa krisis dan dihajar oleh Persia, dan mereka kalah dalam perang demi perang. Pada tahun 613 M, Damaskus jatuh, dan kemudian pada tahun 614 M, Yerusalem jatuh, dan orang-orang Persia membawa apa yang disebut 'Salib Sejati'. Inilah kayu salib yang dipercaya oleh orang Nasrani tempat Yesus disalibkan. Namun karena Nabi Isa, alaihissalam, tak disalibkan sama sekali, itu bukanlah hal yang shahih, namun orang-orang Nasrani yakin bahwa itulah peninggalan yang paling penting dari kaum Nasrani. Heraclius adalah pemimpin yang kuat dan komandan militer yang baik, tetapi pasukannya kalah dari Persia. Pada tahun 621 M, Heraclius sendiri memimpin pasukan melawan Persia dan mengambil-alih kota demi kota dan mengambil apa yang diambil dari mereka termasuk Salib Sejati. Ia akhirnya memasuki Persia dan mengalahkan bangsa Persia di negara mereka sendiri. Allah mewahyukan peristiwa ini dalam Sura ar-Rum (1-4). Pada tahun 630 M, Heraclius berarak menuju Yerusalem tanpa alas kaki sebagai seorang peziarah Nasrani, untuk memenuhi sumpahnya dan ia mengembalikan Salib Besar ke tempatnya di Gereja Makam Suci. Ia disambut dengan luar biasa, dengan karpet dan bunga, serta diterima dengan sangat hormat. Pada saat itulah, ketika ia berada di puncak kekuasaan dan kemuliaan, ia menerima surat dari Baginda Nabi (ﷺ).
Heraclius memperhatikan Dakwah Baginda Nabi (ﷺ), namun pada akhirnya ia menolak. Allah memutarbalik kemenangan Romawi, dan iapun kehilangan kota demi kota, Mesir, Suriah, Palestina, Yordania, dan Libanon, dan pada akhirnya, pada masa Muhammad al-Fatih, tak ada lagi Kekaisaran Romawi Timur, di saat Konstantinopel jatuh kepada kaum Muslimin.

Dihyah al-Kalbi, adalah lelaki yang sangat tampan. Ketika Jibril menemui Baginda Nabi (ﷺ) dalam bentuk manusia, ia tampak mirip dalam rupa Dihyah al-Kalbi. Heraclius membaca surat itu dan berkata, "Geledah Asy-Syam dan bawakan aku beberapa orang dari kaum ini." Prajuritnya menemukan Abu Sufyan dan kawan-kawannya di Gaza dan membawanya menjumpai Heraclius. Heraclius memerintahkan para prajurit yang mengawal Abu Sufyan berdiri di belakangnya, dan berkata kepada mereka, "Jika ia berbohong, berilah isyarat padaku." Abu Sufyan berkata, "Aku belum pernah bertemu orang yang lebih lihai dan cerdas dari orang ini. Aku tahu orang-orangku takkan mengkhianatiku di hadapannya, namun aku, orang yang terhormat dan bermartabat, serta tak ingin berdusta di hadapan mereka. Aku juga khawatir mereka akan menyampaikan kepada orang lain dan aku akan dikenal sebagai pembohong."
Heraclius bertanya, 'Siapa Muhammad (ﷺ)?' Abu Sufyan berkata, 'Huwa Saahirul Kazzab' - Ia seorang penyihir yang pembohong.' Heraclius berkata, 'Aku tak tertarik mendengar umpatan. Yang kuinginkan agar engkau menceritakan tentang dirinya.' Heraclius, ' Silsilah keluarga seperti apa yang ia miliki di antara kalian? ' Abu Sufyan, 'Leluhurnya, orang terhormat.' Heraclius, 'Adakah leluhur-leluhurnya yang menjadi raja?' Abu Sufyan, 'Tidak.' Heraclius, 'Adakah di antara kalian yang keluar dengan pernyataan yang sama sebelumnya?' Abu Sufyan, 'Tidak.' Heraclius, 'Apakah mayoritas pengikutnya termasuk bangsawan atau orang miskin?' Abu Sufyan, 'Orang miskin.' Heraclius, ‘Bertambah atau berkurangkah mereka? ' Abu Sufyan, 'Mereka mulai bertambah.' Heraclius, 'Adakah di antara mereka yang murtad dari agamanya setelah menerimanya?' Abu Sufyan, 'Tidak.' Heraclius, 'Pernahkah engkau tahu, ia berbohong sebelum ia mulai membuat pernyataan itu? 'Abu Sufyan,' Tidak. 'Heraclius,' Adakah alasan ia dianggap pengkhianat? 'Abu Sufyan, 'Tidak. Namun kami memiliki perjanjian gencatan senjata dengannya, namun kami tak tahu, apa yang akan ia lakukan pada periode itu. "(Abu Sufyan berkata," Inilah satu-satunya hal negatif yang dapat kuselipkan.') Heraclius, 'Pernahkah kalian berperang melawannya? "Abu Sufyan," Ya. "Heraclius," Bagaimana pertempurannya? "Abu Sufyan," Kadang-kadang ia menang dan kadang-kadang kami menang. "
Heraclius, ‘Seruan apa yang ia sampaikan kepada kalian? 'Abu Sufyan, "Ia menyampaikan agar kami menyembah hanya Allah tanpa ada tuhan yang lain. Ia menyampaikan agar kami tak mengikuti ajaran leluhur kami. Ia memerintahkan agar kami menegakkan shalat, berlaku jujur ​​dan bersih, bersikap baik kepada sesama manusia.'

Kemudian Heraclius berkata, 'Engkau telah berkata bahwa ia berasal dari keturunan orang yang terhormat. Inilah perkara yang sama dengan semua nabi dan rasul. Engkau telah menyampaikan bahwa tak ada yang membuat pernyataan seperti itu di antara kalian sebelumnya. Jadi, aku tak dapat mengatakan bahwa ia meniru siapapun. Engkau juga menafikan bahwa leluhurnya adalah raja, jadi ia tak menuntut hak waris kerajaan. Engkau juga mengatakan bahwa ia tak pernah berbohong sebelum menyampaikan pesan ini. Karenanya, aku tahu bahwa ia takkan memulai kebohongannya tentang Allah. Engkau menyatakan bahwa orang-orang miskinlah pengikutnya. Ini semua sama dengan para utusan Allah. Fakta bahwa pengikutnya terus bertambah, selalu dikaitkan dengan iman yang benar hingga mencapai kesempurnaan. Engkau juga telah menyebutkan bahwa tak ada seorangpun yang murtad dari agamanya setelah memeluknya. Inilah karakteristik dari iman sejati, ketika cahayanya menyinari qalbu manusia. Engkau juga menafikan bahwa ia pengkhianat dan tiada Utusan Allah yang khianat. Engkau juga mengatakan kepadaku bahwa ia mengajakmu agar beriman pada Keesaan Allah, menegakkan shalat, berlaku jujur ​​dan bersih. Jika apa yang engkau katakan padaku benar, maka ia akan memiliki kekuasaan tertinggi di sini, di tempatku berdiri. Aku tahu, waktunya telah tiba, namun tak mengira bahwa ia akan berasal dari kaum kalian. Andai itu dibawah kekuasaanku, aku pasti akan menempuh kesulitan, bertemu dengannya dan membasuh kakinya."

Surat kepada Heraclius, yang disampaikan oleh Dihyah al-Kalbi, berisi
Bismillahirrahmanirrahiim
Dari Muhammad, hamba Allah dan utusan-Nya
Kepada Heraclius, raja Romawi
Salaamun ‘ala manit-taba’al huda, amma ba’du
(keselamatan bagi yang mengikuti petunjuk, selanjutnya)
Aku mengajakmu dengan seruan Islam. Masuklah Islam, kelak engkau akan selamat. Allah akan menggandakan pahala kepadamu. Jika engkau berpaling (tidak menerima), maka engkau menanggung semua dosa kaum Arisiyin (para pengikut dari kalangan keluarga kerajaan).
Katakanlah, “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tak menyembah selain Allah dan kita tak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan bahwa kita tak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.”
Setelah surat itu dibacakan, Abu Sufyan berkata, ‘Ketika ia mengatakan apa yang ia katakan, dan ia telah selesai membacakan surat itu, terdengar suara riuh di sekeliling, sehingga kami tergiring keluar. Aku berkata kepada kaumku, ‘Perkara (Ibnu Abu Kabsya) ini, telah mencapai titik dimana ia bahkan menakuti sang raja berkulit kuning. Setelah itu, aku yakin bahwa ia akan menang, dan setelahnya, Allah menarikku ke dalam Islam.'
Heraclius berusaha menyampaikan kepada para tetuanya, bahwa mereka seyogyanya menerima Islam, namun mereka sangat marah sehingga berkata kepada mereka bahwa ia hanya menguji keyakinan mereka. Ia takut akan kehilangan kekuasaannya. Abu Sufyan mengatakan bahwa keringat turun dari dahi Heraclius ketika surat itu dibacakan kepadanya. Ia tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun tak berani menerimanya. Ia menyampaikan kepada seseorang, jika ia dapat menghubungi Muhammad (ﷺ), ia akan melakukannya, akan tetapi, ia takut kehilangan kerajaannya dan tak menerima Islam.

Ada pelajaran besar dalam masalah Heraclius ini, dimana jelas nampak kecintaanya akan kerajaannya, mengalahkan penerimaan imannya, dan ia menolak Islam serta memilih kerajaan di dunia ini. Berapa kali kita jatuh ke dalam perangkap yang sama, bukan yang berhubungan dengan memeluk Islam, melainkan yang terkait dengan menaati aturannya? Aturan bagi keuntungan kita sendiri, di dunia fana ini dan di dunia selanjutnya, namun kita terjatuh ke dalam perangkap Setan atau tunduk pada tekanan dari teman dan sahabat kita yang sesat, seperti yang dilakukan Heraclius dan melanggar aturan Allah. Kita lupa bahwa hidup ini adalah ujian, dan hasil dari ujian itu, adalah apa yang akan kita lihat ketika kita bertemu Allah.
Pelajaran kedua, yang kita pelajari, bahwa jika karakter pemimpin itu, bersih, dan ia tulus dalam misinya, maka bahkan musuh-musuhnya akan dipaksa berbicara sesuai keinginannya. Ini sangat jelas terlihat dalam kehidupan Baginda Nabi (ﷺ). Bahkan mereka yang berusaha memfitnahnya, tereduksi menjadi tuduhan palsu dan fitnah, karena mereka tak dapat menemukan apapun dalam karakternya yang dapat dikritik. Fitnah mereka jelas terlihat apa adanya; fristasi kemarahan yang takkan memungkinkan mereka menerima kebenaran.
Di sisi lain, dalam keadaan apapun, terutama yang berada dalam posisi netral, melihat dan mendengarkan, serta perlahan-lahan qalbu mereka tertarik pada orang yang mulia dan jujur. Dan lambat-laun, menjadi pengikut. Namun dalam dakwah Islam, kita tak boleh melupakan fakta bahwa pada akhirnya, hanya ridha Allah-lah yang penting; bukan jumlah pengikut atau tingkat popularitas. Inilah yang terjadi dalam situasi Baginda Nabi (ﷺ) dimana dalam kurun waktu 23 tahun, beliau berubah dari yang paling dibenci menjadi orang yang paling dicintai. Namun semua itu, butuh 23 tahun. Kesabaran itu tak mudah. Namun kesabaran, selalu membuahkan hasil."

Sang politisi kemudian berkata, "Wahai anak muda, bagi pemimpin manapun, penuh kepastian inilah satu-satunya syarat paling kritis, menjadi sendi kredibilitasnya. Seseorang hanya dapat memberikan apa yang dimilikinya. Jadi, jika sang pemimpin ingin menularkan semangatnya ke dalam qalbu pengikut-pengikutnya, keyakinannya tak boleh goyah. Sang pemimpin akan diuji keyakinannya, dan harus tetap berdiri-teguh dan menunjukkan komitmen totalnya sampai jelas bagi semua yang memperhatikan. Kemudian, ia akan melihat gelombang pasang dan orang-orang akan beralih ke sisinya, seperti juga yang terjadi pada Baginda Nabi (ﷺ). Orang mendengarkan dengan kedua-mata mereka. Mereka tak peduli apa yang engkau ucapkan, sampai mereka melihat apa yang engkau lakukan. Ketika mereka melihat sang pemimpin menunaikan apa yang pernah diucapkannya, maka mereka sadar bahwa ia bersungguh-sungguh dan mulai mempertimbangkan pesannya dengan serius. Kemudian ketika mereka melihat manfaat yang semakin bertambah, semakin banyak yang akan mengikutinya. Wallahu a'lam."
"Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan, dengan karunia Rabb-mu, engkau (Muhammad) bukanlah orang gila. Dan sesungguhnya engkau pasti mendapat pahala yang besar yang tiada putus-putusnya. Dan sesungguhnya, engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur. Maka kelak engkau akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat, siapa di antara kamu yang gila?" - [QS.68:1-6]
[Bagian 1]
Rujukan :
- Muhammad Al-Ghazali, Fiqh-us-Seerah, IIFSO
- Mirza Yawar Baig, Leadership Lesson from the Life of Rasoolullah (ﷺ), Standard Bearer Academy.

Jumat, 26 Oktober 2018

Pelajaran dari Sirah : Penuh Kepastian (1)

Sang politisi melanjutkan, "Wahai anak muda, kita telah membahas beberapa aspek dari kehidupan Rasulullah (ﷺ) yang penuh rahmat, dan kita akan memperhatikan apek lain dari kehidupan beliau untuk melihat pelajaran kepemimpinan yang dapat dipelajari." Ia berhenti sejenak, dan melanjutkan, "Kepemimpinan yang berpirnsip, yang bertanggungjawab, berintegritas tinggi, dan berkomitmen terhadap keadilan sosial, adalah satu-satunya kekurangan terbesar dan paling nyata, yang mengarah pada krisis kita saat ini. Kita benar-benar tak punya pemimpin yang berprinsip secara global. Dunia yang kita tinggali ini, dan bahkan lebih banyak lagi di masa depan, seperti yang kita bayangkan, adalah dunia dengan kompleksitas tinggi, dimana informasi lebih mudah diakses, kekuasaan terkonsentrasi di tangan elit, keseimbangan faktor-faktor yang menentukan kelangsungan hidup planet kita berada dalam bahaya besar - mungkin tak dapat diperbaiki lagi. Masyarakat tempat kita hidup, masyarakat yang bertingkat-tingkat berdasarkan garis-garis pengelompokan ekonomi, ras, nasional, agama dan kekuasaan. Dan kesenjangan ini terus berkembang.
Secara materi, dalam hal gadget, peralatan, sumber daya, dan uang, lebih kita miliki dibanding yang mungkin pernah kita punyai sebelumnya. Apa yang tak kita miliki adalah kriteria pengambilan keputusan yang didasarkan pada nilai-nilai etis dan moral, kriteria yang inklusif dan memperhitungkan mereka yang memiliki sedikit, dan yang sedikit itu, berada dalam bahaya kepunahan. Kriteria yang lebih mementingkan integritas daripada mengumpulkan kekayaan materi. Kriteria yang fokus pada dampak jangka panjang daripada strategi jangka pendek. Kriteria dimana kita menganggap diri kita bertanggungjawab atas tindakan kita, walau jika tak ada orang lain yang melakukannya. Kriteria dimana kita berpegang teguh pada ucapan kita, hidup dengan keyakinan kita dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai kita; peduli tentang warisan kehormatan bagi generasi penerus kita.

Saat kita membaca Sirah Baginda Nabi (ﷺ), kita menyadari bahwa dunia yang pernah beliau tinggali, sangat mirip dengan dunia yang kita tinggali saat ini dalam hal gaya, fokus perhatian dan permasalahan. Hal ini memberi kita harapan besar, saat kita menyimak pelajaran kepemimpinan dari kehidupan beliau, jika masalahnya sangat mirip dengan keadaan kita sekarang ini, dan dipecahkan dengan menggunakan metodenya, maka kita punya alasan, untuk meyakini bahwa metode-metode itu tak lekang oleh zaman, dan membantu kita sekarang ini, di saat kita terguncang di bawah dampak negatif kekuatan yang kita hadapi. Metode yang teruji dan berfungsi dengan baik, lebih disukai daripada teori yang baru dan masih bersifat eksperimental. Terutama ketika metode itu diilhami oleh Sang Ilahi dan penerapannya dituntun oleh Sang Ilahi. Metode seperti ini, takkan pernah gagal.
Sejarah umat manusia sangat menyedihkan. Sejak Nabi Adam, alayhissalam, dan anak-anaknya diturunkan ke bumi, seiring berjalannya waktu dan peradaban berkembang dan generasi-generasi meningkat, manusia telah beraneka-ragam. Jika suatu hari mereka berada di jalur yang benar, mereka akan hilang selama berhari-hari setelahnya, dan jika sekali mereka melihat cahaya kebenaran, maka kegelapan kepalsuan menelan mereka berkali-kali sesudahnya. Jika kita meneliti sejarah umat manusia dalam cahaya keyakinan kepada Allah dan persiapan untuk akhirat, kita akan menemukan dunia yang sangat mirip dengan pemabuk yang periode mabuknya melebihi ketenangannya, atau orang sakit yang mengigau dan tidak tahu apa yang ia katakan
Meskipun dalam pengalaman dengan diri mereka sendiri dan dunia mereka, ada banyak pencegah manusia dari berbuat kejahatan dan banyak insentif untuk berbuat baik, namun hasrat yang besar, tidaklah bisa ditundukkan oleh ilmu saja.
Lihatlah nasib peradaban Mesir dan Yunani, India dan Cina, Persia dan Roma. Kita tak bermaksud melihat keadaan mereka dari sudut pandang politik, tetapi dari aspek perasaan dan alasan. Paganisme yang hina, menghancurkan mereka dan membuat mereka jatuh ke dalam lubang yang menyedihkan. Dan manusia, yang Allah tunjuk sebagai wali-Nya di bumi, menjadi budak yang tunduk pada hal yang paling rendah di tempat-tempat ini. Apa lagi yang bisa terjadi setelah sapi dan anak sapi dikeramatkan, kayu dan batu disembah? Semua bangsa tercemar dengan penyimpangan semacam itu. Paganisme berasal dari dalam diri dan bukan dari lingkungan. Sama seperti orang-orang yang sedih menerapkan perasaan mereka pada lingkungan mereka dan orang-orang yang ketakutan membayangkan benda-benda sebagai hantu, kepribadian yang cacat juga akan menerapkan kebodohan dan kemandulan mereka di lingkungan mereka, dan memuliakan batu dan binatang.
Mengumpulkkan kekayaan materi adalah satu-satunya pertimbangan dan yang diutamakan. Jebakannya, simbol status. Bagaimana orang berpakaian, parfum apa yang mereka kenakan, berapa banyak budak dan pelayan yang mereka miliki, jenis transportasi apa yang mereka gunakan, semua ini dibicarakan dan berfungsi untuk memicu imajinasi dan ambisi orang yang bercita-cita menjadi seperti mereka. Ungkapan, 'Jika engkau mendapatkannya, pamerkanlah,' pada zaman itu mungkin belum dikenal, namun gaya hidup, jelas mencerminkan filosofi ini. Keangkuhan menjadi hak dari yang kuat dan mereka yang mampu menindas yang lemah, menjadi simbol status. Siapapun yang menentang mereka, akan merasakan amarah mereka. Kemewahan diri adalah hak mereka yang kaya, dan tak ada hukum yang mengatur apa yang boleh atau tak boleh mereka lakukan. Uang-lah satu-satunya pertimbangan, dan sekali engkau memilikinya, maka fokusnya adalah menikmatinya dengan cara apapun yang dapat engkau pikirkan, hanya kemampuanmu menjalani apapun yang dapat engkau perbuat, itulah batas dari apa yang dapat engkau lakukan. Mereka yang miskin atau lemah, tanpa ampun ditindas oleh yang kaya. Budak dan perempuan, dianggap komoditas yang dipergunakan dan dibuang, serta diperlakukan tanpa pemikiran atau pertimbangan. Perbudakan merajalela. Kaum perempuan dianggap barang yang diperjual-belikan, diwariskan, dan dibuang sesuka-hati. Masyarakat kapitalistik, merupakan satu-satunya kriteria keberhasilan dimana terakumulasinya kekayaan dan kekuasaan. Nilai-nilai moral telah hilang. Pelacuran merajalela dan diterima. Kaum perempuan tak memiliki hak dan diperlakukan sebagai barang bergerak, menjalani hidup, tumbuh menjadi boneka manusia, atau sebagai barang kepemilikan, yang dipergunakan sesuka hati, buruk sekali. Uanglah kekuasaan, dan mereka yang hanya punya sedikit, yang lemah, menjadi objek penindasan, dan hidup di bawah kekangan elit penguasa.
Jika kita melihat faktor-faktor sosial dan ekonomi yang digambarkan, engkau dapat dengan mudah melihat seberapa dekat masyarakat saat itu, dengan masyarakat kapitalis modern kita. Kita mungkin tak memiliki budak dalam pengertian yang sama seperti pada waktu itu, tetapi perbudakan kita bahkan lebih kuat karena sifatnya ideologis, berjangkauan global, ditegakkan oleh sistem pendidikan yang mempromosikan nilai-nilainya, sistem ekonomi yang mengunci orang ke dalamnya, dan seorang eksekutif memastikan bahwa itu tidaklah terancam oleh cita-cita kebebasan dan kesetaraan yang keliru.
Bencana terbesar yang menimpa agama karena adanya serangan pagan terhadapnya adalah, perubahan mengerikan yang mempengaruhi agama Nabi Isa, putra Maryam. Mereka mengubah zamannya menjadi kegelapan dan kedamaiannya menjadi kesusahan; mereka mengubah pengesaan menjadi penyembahan berhala, merendahkan ras manusia dan menggantungkan peningkatannya pada suatu pengorbanan. Mitos Trinitas dan penebusan, dihidupkan kembali setelah paganisme awal berhasil mendorongnya pada agama Nasrani yang baru, dengan cara ini ia memperoleh dua kemenangan: memperkuat dirinya sendiri dan membuat orang lain tersesat. Jadi ketika abad keenam era Nasrani tiba, Delapan bimbingan di seluruh dunia telah pergi dan para setan melintasi hamparan luas tanah, mengagumi duri yang telah ditanamnya dan melihat betapa kuatnya mereka telah tumbuh.
Magianisme di Persia adalah pelopor keras kepala dari penyembahan berhala yang meluas di Cina, India, negara-negara Arab dan semua bagian dari dunia yang tak tahu apa-apa. Kaum Nasrani, yang dulunya sangat menentang, meminjam ciri-ciri paling menonjol yang menampilkan mitos-mitos orang India dan Mesir kuno. Dianggap sebagai istri dan anak kepada Allah dan menggoda para pengikutnya di Roma, Mesir dan Konstantinopel dengan semacam politeisme yang lebih maju daripada para penyembah api dan penyembah berhala: sebuah politeisme yang dicampur dengan monoteisme dan memerangi politeisme murni..


Secara internasional, dua kekaisaran superpower di zaman itu, adalah Kekaisaran Bizantium Romawi dan Kekaisaran Persia, yang terlibat dalam perang yang berlangsung dimana kadang-kadang, satu pihak berada di atas angin dan terkadang sebaliknya. Tak satupun dari mereka yang mau peduli menaklukkan negeri Arab, yang sebagian besar gurunnya kering, tak bisa ditanami, dan tak ramah dihuni oleh suku-suku nomaden dengan kota-kota oasis dan dua pusat perdagangan, Mekah dan Ta'aif. Bukan pula lingkungan terbaik memungut pajak atau mendapatkan tentara dan persenjataan, atau untuk menaklukkan suku-suku itu jika diperlukan. Bangsa Romawi dan Persia meremehkan dan mengabaikan orang-orang Arab di daerah ini, yang akibatnya dibiarkan dan tak ditaklukkan oleh salah satu kekaisaran itu.
Orang-orang Arab pada saat itu, hidup dengan hukum kesukuan mereka sendiri, diperintah oleh kepala-suku mereka sendiri, dan menjaga kemerdekaan mereka sendiri. Hal penting yang perlu diperhatikan, bahwa merekalah orang-orang yang belum pernah ditaklukkan, sehingga tak memiliki karakteristik yang sama dibanding orang-orang yang pernah diperbudak. Dalam segala kerusuhan dan pertikaian internal mereka yang tampak jelas, kemandirian mereka yang kuat, adalah faktor yang sangat menonjol.
Mereka tak pernah membungkuk kepada siapapun dan sangat membanggakannya. Akhirnya, ketika mereka telah menundukkan kepala kepada Allah, mereka melakukannya dengan rasa harga diri yang sangat tinggi, yang memastikan bahwa mereka tak pernah membungkuk di hadapan orang lain dan melestarikan esensi Tauhid dalam setiap pengertian istilah. Hanya ketika Islam sampai di tanah para raja dan kekaisaranlah, umat Islam mulai mengambil jalan orang lain dan mulai menyerap perangkap budaya dan argumen filosofis yang tak ada hubungannya dengan doktrin yang murni, bersih dan sederhana yang dibawa oleh Rasulullah (ﷺ), sebersih dan semurni udara gurun dimana diwahyukan kepada beliau, oleh Sang Pencipta alam semesta.
Dari sketsa singkat tentang sifat masyarakat dunia pada zaman Baginda Nabi (ﷺ) ini, jelaslah seberapa dekat keadaan saat itu, dengan sifat budaya global yang dominan saat ini. Berfokus pada kekuatan uang, obyektifikasi perempuan (meskipun di zaman ini, dijual atas nama kebebasan) untuk kesenangan dan keuntungan, pergaulan bebas dan keleluasaan, penghancuran nilai-nilai moral dan sosial, berlomba mengumpulkan kekayaan materi, masyarakat yang bertingkat pada ekonomi dan ras atau garis-garis kasta; dan sebaliknya, segala upaya untuk mewujudkan keadilan, tanggung jawab moral, dan akuntabilitas - yang ingin dilakukan oleh agama - dipandang tak perlu dan tak diinginkan, sehingga ditentang dengan keras. Sekali lagi, yang miskin dan yang lemah, tak punya suara, kekuatan atau bahkan identitas, dan orang kaya fokus menjadi lebih kaya dengan sedikit atau tanpa kepedulian terhadap apa yang terjadi pada seluruh dunia, sebagai konsekuensi dari pengejaran mereka terhadap kekuatan pribadi. Dunia mengerang di bawah pikulan penindasan tanpa adanya solusi.
Dalam masyarakat dunia inilah Baginda Nabi (ﷺ) lahir dan tumbuh, dan dimana beliau mendakwahkan pesannya - sebuah pesan yang berusaha menciptakan perubahan revolusioner, yang bertujuan menjamin keadilan bagi semua, terlepas dari ras, kasta, jenis kelamin atau status ekonomi. Pesan bermartabat bagi individu, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan belas-kasih bagi yang lemah. Bebas dari perbudakan kepada manusia dan tunduk pada aturan Sang Pencipta, dengan aturan hidup yang menjamin kedamaian, keselarasan, dan keamanan bagi semua pihak. Apa lagi yang kita dambakan di zaman ini, selain dari pesan seperti ini?

Sebuah pesan yang sangat kita butuhkan sekarang ini, karena ada di dalamnya, jalan keluar, yang dengan putus-asa dicari selama ini oleh sang dunia. Jadi, hal pertama yang menonjol tentang Rasulullah (ﷺ) adalah kepastian-penuh, yang beliau miliki dalam kebenaran pesannya; imannya kepada Allah dan pada kenyataan bahwa beliau sendiri adalah utusan Allah, dan telah diutus untuk menyampaikan pesan itu kepada seluruh umat manusia.
Cobalah bayangkan adegan ini. Baginda Nabi (ﷺ) naik ke bukit Safa dan berseru, “Wa Subaha!” Orang-orang datang dengan cepat dari Tanah Haram dan pasar di sekitarnya, bukan hanya karena ini panggilan alarm, yang menuntut agar orang meninggalkan yang lain dan melihat keadaan darurat, melainkan juga karena itu adalah seruan Muhammad (ﷺ), As-Sadiqul Amin (yang jujur dan dapat dipercaya - gelar yang diberikan orang Quraisy kepada putra kesayangan mereka), yang memanggil mereka. Maka, jika beliau memanggil, "Wa Subaha!" Itu pasti penting. Merekapun berkumpul di sekelilingnya, di lembah Safa. Sekarang ini, saat kita berumrah dan setelah menyelesaikan Tawaf, pergilah ke As-Safa untuk Sa'i, berhenti dan renungkanlah, apa yang telah disaksikan bukit ini. Bahwa disinilah tempat dimana Baginda Nabi (ﷺ) berdiri dan mengumumkan kepada dunia, untuk pertama kalinya sejak Nabi Ibrahim, alaihissalam, pesan Tauhid.

Baginda Nabi (ﷺ) berkata kepada mereka, “Wahai manusia, jika aku mengumumkan kepada kalian bahwa ada pasukan di belakang bukit ini, akankah kalian mempercayaiku?” Mereka berkata, “Engkau tak pernah berbohong kepada kami, dan kami akan mempercayaimu.” Beliau ( ﷺ) berkata, "Aku datang untuk memperingatkan kalian tentang hukuman yang berat (di Akhirat, jika kalian tak meninggalkan berhala-berhala itu dan menyembah Allah)."
Abu Lahab, kerabat terdekat Baginda Nabi (ﷺ), saudara laki-laki ayah beliau, berbicara atas nama mereka, ia berkata, “Semoga kejahatan menimpamu selama sisa hari ini; inikah sebabnya engkau mengumpulkan kami di sini?" Menurut Abu Lahab, berbicara tentang Hari Kiamat itu, buang-buang waktu, dan ia menganggap, dipanggil keluar dari kamar dagangnya, akan merugikannya. Orang-orang semacam ini, tak keberatan menghabiskan waktu membicarakan hal-hal keduniawian, tetapi bukan tentang keselamatan atau Hari Kiamat. Sampai hari ini, jika engkau mengatakan bahwa engkau akan membicarakan tentang cara menghasilkan satu milyar rupiah, orang akan meluangkan waktu dan bahkan rela membayar untuk mendengarkanmu. Namun bila engkau mengatakan bahwa engkau ingin menyampaikan jalan keluar dari neraka dan masuk surga, mereka akan menuduhmu membuang-buang waktu.

Abu Lahab menganggap membicarakan Akhirat itu, membuang-buang waktu, dan ia menganggap, dipanggil meninggalkan barang dagangannya, sangat merugikannya, sehingga ia menyalahkan keponakannya. Namun, keponakan ini, Utusan Allah dan Allah tak menyukai mereka yang mengutuk para Utusan-Nya. Maka Allah berfirman,
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sungguh binasalah ia! Tiadalah guna baginya, hartanya dan apa yang ia usahakan. Kelak, ia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka)." - [QS.111:1-3]
Surah inilah salah satu dari banyak bukti tentang sumber Ilahi Al-Qur'an, bagi mereka yang meminta bukti, karena meramalkan bahwa Abu Lahab akan mati tanpa Islam.
Prakiraan bahwa yang harus dilakukan Abu Lahab untuk 'membuktikan' bahwa Al-Qur'an itu salah, cukup dengan berpura-pura menerima Islam, terbukti keliru. Ia tak melakukannya. dan bertahun-tahun kemudian, ia mati tanpa Islam karena penyakit mengerikan dimana jenazahnya membusuk tak terkuburkan, tak ada yang sudi menyentuh jenazahnya. Akhirnya setelah tiga hari, anak-anaknya menggunakan tongkat panjang, mendorong mayatnya ke dalam lubang, dan melemparkan batu untuk menutup lubang itu. Abu Lahab dirajam oleh anak-anaknya sendiri, dan akan berada dalam Api Jahannam seperti yang dijanjikan Allah.
Pelajaran kepemimpinan pertama yang kita pelajari adalah, bahwa sangat penting bagi seorang pemimpin, yakin pada diri-sendiri; dalam visinya, strateginya, metodenya, dan keyakinan bahwa siapapun yang mengikutinya, tentu akan mendapat manfaat bila melakukannya. Jika sang pemimpin menunjukkan sedikit saja keraguan dalam pesannya, kekuatan kepemimpinannya akan terkompromikan dengan rawan. Orang mengikuti pemimpin karena berbagai alasan - ada yang karena mereka yakin pada pesannya, yang lain karena pemimpinnya kuat, yang lain karena berbagai afiliasi dengan sang pemimpin.
Jika pemimpin tetap istiqamah di jalannya, maka secara bertahap, jumlah pengikutnya meningkat dan bentuk tetesan itu, menjadi banjir. Tetap istiqamah dan tak tergoyahkan adalah satu-satunya syarat terpenting untuk hal ini.

Selama masa 23 tahun dari seluruh masa Kenabian beliau, tiada satupun contoh, bahkan dalam kesulitan terburuk, yang dapat dikatakan bahwa iman dan keyakiban Baginda Nabi (ﷺ), dalam hal pesan dan tanggung jawab beliau, goyah sedikit pun. Yang ini saja menunjukkan keajaiban dan bukti misi Ilahi yang telah dipercayakan kepada beliau. Iman ini, digabungkan dengan fakta bahwa Baginda Nabi (ﷺ) adalah seorang manusia dengan kualitas mulia, yang dikenal luas sebagai orang yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya, memiliki tatakrama yang indah, karakter yang sempurna, kearifan yang agung, pengambil-keputusan yang luar biasa, dan punya banyak kebajikan, menjadikan beliau sangat dapat dipercaya. Kepercayaan itu, pada mulanya, bukan karena mereka percaya pada pesan tersebut, melainkan karena mereka percaya pada Baginda Nabi (ﷺ) dan percaya bahwa jika ia mengatakannya, maka dapat dipastikan kebenarannya. Pentingnya karakter pribadi seorang Nabi, tampak jelas dari hal ini, dan tak perlu terlalu ditekankan dan dapat secara serius mendukung atau mengkompromikan pesannya.

Di dunia sekarang ini, dimana organisasi Islam, berdakwah menggunakan segala macam metodologi, ada yang baik, ada yang buruk atas nama Dakwah Islam, sebaiknya mengingatkan diri kita tentang Dakwah para Nabi dan karakteristik khususnya; bahwa mereka melakukannya demi ridha Allah semata dan tak meminta imbalan, langsung atau tak langsung.
Allah berfirman tentang para Nabi-Nya,
"Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah (Muhammad), “Aku tak meminta imbalan kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur'an).” Al-Qur'an itu tak lain peringatan untuk (segala umat) seluruh alam." - [QS.6:90]
Para Nabi diutus untuk diikuti dan jalan merekalah satu-satunya jalan yang dijamin oleh Allah, dan yang diajarkan Allah kepada mereka. Dakwah para Nabi ditandai oleh, pertama, langsung dan jelas, tanpa kompromi; kedua, tak ada filosofi rumit yang berbelit-belit; ketiga, sadar akan kekuatan Allah; keempat, hanya mengandalkan Allah; kelima, tak meminta imbalan; keenam, bekerja hanya untuk ridha Allah."

Sang musafir muda bertanya, "Lalu, apa pesannya?" Sang politisi berkata, "Lebih dari 1400 tahun yang lalu, sebuah jendela terbuka di langit dan Allah berfirman kepada manusia. Malaikat Jibril, alaihissalam, menjumpai Nabi Muhammad (ﷺ), mendekapnya dan memerintahkan, 'Iqra' (bacalah). Rasulullah (ﷺ) menjawab, "Aku tak bisa membaca." Ini terjadi 3 kali. Kemudian Jibril menyampaikan pesan bahwa ia telah diutus, dan membacakan ayat pertama dari Sura Al-'Alaq, rangkaian wahyu pertama dari Ayat Al-Qur'an.
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tak diketahuinya." - [QS.96:1-5]
Inilah komunikasi pertama antara Sang Pencipta dan Utusan-Nya (ﷺ); diturunkan bersama Jibril, utusan-Nya yang lain. Inilah pertemuan dua bentuk ciptaan yang berbeda, dari dimensi yang berbeda. Inilah pertama kalinya Baginda Nabi (ﷺ) mengalami pertemuan seperti itu, dan tentu saja, beliau ketakutan.

Baginda Nabi (ﷺ) pulang menemui istri beliau, Sayyidah Khadija, radhiyallahu 'anha, dalam keadaan sangat ketakutan, menggigil, dan berkata,' Zammiluni, zammiluni '. (selimuti aku). Beliau takut bahwa apa yang dilihatnya, mungkin jin karena beliau tak menyukai sesuatu yang ada hubungannya dengan jin atau sihir. Beliau mengutarakan kepada isterinya tentang apa yang telah terjadi padanya, dan ketakutannya bila makhluk itu akan membunuhnya, namun isteri beliau berkata, "Allah takkan meninggalkanmu, karena engkau suka menolong mereka yang membutuhkan, engkau membantu orang miskin dan engkau selalu bermurah-hati terhadap tamu."
Sangat menarik bahwa kualitas-kualitas yang dsebutkan oleh Sayyidah Khadijah, berkaitan dengan perlakuan terhadap orang lain, dengan tatakrama dan kebajikan. Inilah sesuatu yang tampaknya telah kita buang ke tempat pembakaran belakang rumah, dalam hidup kita dan inilah alasan bagi keadaan kita yang secara global, menyedihkan. Kita diutus untuk memberi kepada dunia. Marcapada ini, mencintai mereka yang memberi, mereka yang penuh perhatian dan murah-hati, dan membenci mereka yang kikir, penuh-perhitungan dan berusaha mengambil dari orang lain. Baginda Nabi (ﷺ) dan para Sahabat mencontohkan sesuatu yang mudah dilihat, dengan fakta bahwa orang-orang yang mengaku mengikuti mereka, tak menerapkan jalan mereka. Jadi apalah arti dari 'mengikuti' itu? Kita perlu bertanya pada diri-sendiri dan memperbaiki apa yang kita jalani, sebelum terlambat dan kita akan dibiarkan berdiri sendirian di hadapan Rabb kita, dengan para Sahabat sebagai saksi melawan kita.

Saat kita melihat pemimpin besar sepanjang zaman dan terutama pada Baginda Nabi (ﷺ), kita melihat bahwa kualitas dasar kebajikan, keramahan, kasih-sayang, mau memaafkan kezhaliman yang dilakukan terhadap dirinya, kepedulian terhadap orang lain dan kesediaan untuk membantu, jujur, dapat dipercaya, kemurahan-hati dan tekad membela yang lemah dan tak berdaya; semua ini, ada dalam diri para pemimpin sejak awal; jauh sebelum beliau mulai mendakwahkan pesannya. Kualitas-kualitas inilah yang membuat beliau disukai khalayak, menginspirasi rasa-hormat dan cinta mereka, serta meningkatkan keyakinan mereka padanya. Dari sini, dapat dikatakan bahwa kualitas-kualitas inilah dasar dari kepemimpinan yang menginspirasi.
Inilah kualitas yang membuat sang pemimpin layak dihormati dan diikuti. Adalah logis mengatakan bahwa orang tak cenderung mengikuti seseorang, yang tak mereka sukai atau hormati. Siapapun yang ingin memimpin, hendaknya bersungguh-sungguh memperbaiki karakter dirinya dan menilai dimana ia berdiri sehubungan dengan kualitas-kualitas ini, dan melakukan segala upaya untuk menjembatani kesenjangan apapun, karena kualitas-kualitas inilah yang akan menentukan keberhasilan atau kegagalannya sebagai seorang pemimpin.

Baginda Nabi (ﷺ) tak hanya memiliki kualitas-kualitas ini pada tingkat kesempurnaan, melainkan beliau juga sebuah citra dan dipandang sebagai panutan di dalamnya. Orang-orang memberinya gelar As-Sadiqul Amin. Inilah kehormatan yang sangat besar bagi seorang pemuda di masyarakat suku dimana kepercayaan merupakan ukuran keutamaannya. Baginda Nabi (ﷺ) sangat dipercaya, yang memberinya akses ke dewan para tetua, dan masyarakat menghormatinya untuk dimintai nasihat.
Sayyidah Khadijah mengantarkan beliau menemui sepupunya, orang yang berilmu dan pendeta Nasrani bernama Waraqah bin Naufal, dan ia meminta Baginda Nabi (ﷺ) menjelaskan apa yang terjadi. Ketika Waraqah mendengar kisah pertemuan itu - pertemuan antara dua makhluk berbeda dalam penciptaan, antara dua dunia yang berbeda melintasi batas ruang dan waktu, ia menjawab dan berkata, “Itulah An-Namus al-Akbar - malaikat mulia - yang turun menemui Nabi Musa, alaihissalam. Andai aku masih muda (sehingga aku dapat membantumu) saat kaummu, mengusirmu dari negerimu."

Baginda Nabi (ﷺ) terheran dan mempertanyakan ucapan Waraqah bin Naufal, "Akankah mereka mengusirku, dari negeriku?" Beliau terkejut, karena beliaulah orang yang paling dicintai dan dari keluarga yang paling mulia, serta hidup dalam budaya dimana tak mungkin mereka mengusir siapapun dari sukunya, apalagi orang seperti beliau, dengan garis keturunan dan leluhurnya. Namun di sini, ada Waraqah yang memberitakan bahwa orang-orang yang sama, yang mencintainya lebih daripada orang lain, tak hanya akan menentangnya, melainkan juga akan melakukan hal yang tak terbayangkan dalam masyarakat suku Arab, mengusir beliau dari tanah kelahirannya. Waraqah berkata, "Siapapun yang menawarkan kepada kaumnya sesuatu yang mirip dengan ini, akan selalu diusir dari negerinya." Inilah manfaat dari ilmu sejarah dan pelajaran dari para 'Ulama, yang berperspektif dan dapat melihat hasil sebuah perbuatan.
Hal ini disebabkab konflik Dakwah adalah konflik antara kebenaran dan kebathilan, antara kebaikan dan keburukan, antara para Nabi yang mulia dan setan-setan yang dirajam. Inilah sumber konflik primordial, yang akan tetap ada sampai Akhir Zaman ketika Allah akan menetapkan keputusan-Nya, dan semua hutang akan terbayar. Namun dalam kehidupan ini, perjuangan akan terus berlanjut.

Sampai hari ini, kita melihat kebenaran kata-kata itu, karena tak ada yang menentang seorang Muslim jika ia hanya menjalankan agamanya dengan tenang. Namun di saat ia membawanya masuk ke ruang publik, baik dalam bentuk pakaian (baju, jenggot, sorban, jilbab) atau dalam bentuk Dakwah, aliran pertentangannya sangat deras dan bertubi-tubi. Memang, sungguhlah aneh dilihat, padahal, segala yang dilakukan oleh orang yang mempresentasikan Islam, membicarakan tentang alternatif cara untuk menjadi manusia seutuhnya; yang akan menyelamatkan seseorang dari Jahannam dan membukakan jalan masuk ke Jannah.
Umat Islam hanya menginginkan yang terbaik bagi mereka yang diperkenalkan tentang Islam, tak hanya yang terbaik di dunia ini, melainkan yang terbaik dan kekal. Jika seseorang memberi makan orang yang lapar, ia dianggap orang yang baik. Namun jika seseorang ingin menyelamatkannya dari penderitaan abadi, ia ditentang, difitnah dan diserang. Semua ini terjadi pada setiap nabi sebelum Baginda Nabi (ﷺ) diutus, dan semua ini terjadi pada Baginda Nabi (ﷺ), di tangan kaumnya sendiri. Dan dalam beberapa hal atau lain hal, inilah yang hendaknya dipersiapkan oleh siapapun yang ingin menyajikan Islam kepada dunia. Setan berjuang mati-matian dengan mereka yang berusaha melindungi orang lain dari Api Neraka dan melakukan segala daya untuk menentang mereka.
Ruang publik saat ini dipenuhi dengan orang-orang yang mengiklankan dan mempromosikan segala macam cara alternatif dalam melakukan sesuatu, baik itu pengobatan alternatif, arsitektur, diet, pendidikan atau terapi. Semua ini diterima dan disambut, dan hak pendukung mereka untuk menyebarkan cara-cara mereka, walau tampak aneh, dengan dahsyatnya, dipertahankan. Akan tetapi, begitu engkau bersuara tentang jalan alternatif yang disebut Islam, pembelaan ini berbalik arah, dan orang yang menyebarkannya, diserbu. Serbuan ini sebenarnya merupakan indikator yang paling dapat dipercaya, bahwa penyebaran Islam adalah perang melawan para setan. Kata-kata Waraqah inilah, yang merupakan peringatan awal bagi Baginda Nabi (ﷺ), bahwa pekerjaan beliau takkan mudah.
[Bagian 2]

Senin, 22 Oktober 2018

Sebuah Pesan dan seorang Pemimpin (2)

Sang politisi melanjutkan, "Baginda Nabi (ﷺ), dengan kepastian absolut, yakin akan pesan yang dibawanya; kebenarannya, kepentingan dan kekritisannya, bagi kesejahteraan semua umat manusia. Inilah tujuan yang luar biasa. Pada masa awal Islam di Mekah, dimana tak seorangpun yang mendukung beliau, dan Baginda Nabi (ﷺ) mendakwahkan pesannya hampir sendirian.
Di puncak musim panas dan tengah hari, sangat terik dan menyengat. Seorang lelaki keluar-masuk dari tenda ke tenda, menyeru manusia menyembah hanya Allah dan memperingatkan mereka agar tak menyembahan berhala. Ada yang mendengarkan, lalu berpaling. Yang lain langsung menolaknya. Yang lain lagi, secara fisik mendorongnya. Tak ada yang mau menerima pesannya. Di bawah teriknya matahari, lelaki itu berhenti di dekat sebuah batu di samping tendanya untuk beristirahat. Putrinya keluar dari tenda, membawa air dan membasuh wajah ayahnya dan memberinya air minum. Ia sangat sedih melihat keadaannya dan berkata, ‘Wahai Ayah, apa yang telah mereka lakukan padamu?" Sang lelaki menjawab, "Jangan sedih putriku. Kelak, pesan ini akan mencapai setiap tempat tinggal sementara atau permanen di muka bumi ini.' Jika tak ada bukti lain dari Misi Ilahi Baginda Nabi (ﷺ), kisah ini akan menjadi bukti yang cukup dalam dirinya sendiri. Siapakah selain Utusan Allah (ﷺ) yang punya keberanian, ketabahan, dan ketekunan untuk melanjutkan misi ketika tak ada bukti material yang menunjukkan bahwa misinya akan berhasil? Siapakah selain seseorang dengan kepastian total, dalam nilai misi dan keyakinannya, bahwa pada akhirnya misinya akan berhasil, ia dapat menemukan energi untuk terus maju dalam menghadapi kekecewaan demi kekecewaan? Siapakah selain seorang Nabi yang berbesar-hati menerima penolakan demi penolakan, namun tak goyah dalam menyampaikan pesannya kepada orang banyak, yang tak menunjukkan tanda-tanda menghargai atau menginginkannya? Mungkin mengejutkan bagi sebagian orang merefleksikan sifat dari tujuan ini, sebagaimana diungkapkan oleh pernyataan Baginda Nabi (ﷺ) kepada putrinya ketika beliau berkata, ‘Jangan sedih putriku. Kelak, pesan ini akan mencapai setiap penghuni sementara atau permanen di muka bumi.' Di sini, ada seorang lelaki, yang berbicara tentang pesannya, yang menjangkau setiap tempat tinggal sementara dan permanen di muka bumi, saat ia bahkan tak bisa mendapatkannya sendiri. Di sini, ada seorang lelaki, yang berbicara tentang membebaskan dunia, ketika ia bahkan tak dapat menjamin kebebasannya sendiri. Di sini, ada seorang lelaki, yang memperhatikan kesejahteraan umat manusia, dari orang asing yang tak peduli. Tapi kemudian, itulah sifat dari tujuan luar biasa yang menginspirasi upaya luar biasa. Orang takkan naik ke tingkat harapan yang lebih rendah. Mereka naik ke tingkat harapan yang lebih tinggi. Pendaki yang berdiri di base-camp Mount Everest, tak perlu kuliah motivasi. Gununglah yang memotivasinya. Pikiran tentang kegembiraan yang akan ia rasakan ketika ia akhirnya menyentuh punggung terakhir dan berdiri di puncak, memotivasinya saat ia masih berdiri di pangkalan dan terus memotivasi dirinya saat ia melewati detik demi detik upaya yang melelahkan. Kesulitan pendakian itulah yang menjadi motivasinya. Lagi pula, tanyakan pada dirimu, seberapa motivasimu berjalan sejauh 11 km dari rumahmu? Mendaki Everest, tak diragukan lagi, berjalan di bumi tetapi dengan kemiringan yang menambah nilai. Kepuasan pada pencapaian suatu tujuan berbanding lurus dengan kesulitannya.

Apa yang lebih sulit dibandingkan berbicara tentang perubahan revolusioner, bukan hanya perubahan setapak demi setapak, tetapi jauh lebih bermakna dan mendalam - perubahan sebuah keyakinan. Sangat penting memahami tantangan besar yang ditimbulkannya, karena semua tindakan inilah hasil dari keyakinan. Orang bertindak sesuai keyakinan mereka, sadar atau tak sadar. Sebagai contoh, orang dapat bertindak sesuai dengan keyakinan agamanya, secara sadar dan mempraktikkan hal-hal tertentu dan mereka bertindak sesuai dengan keyakinan mereka bahwa tindakan tertentu menguntungkan dan berinvestasi di dalamnya. Di sisi lain, seseorang bangun dan pergi bekerja karena keyakinannya yang tak sadar bahwa ia akan hidup hari itu dan hari berikutnya, dan bahwa dunia takkan berakhir. Jadi, keyakinan membentuk dasar dari semua pemikiran dan tindakan kita. Menentang sebuah sistem dan menyampaikan bahwa sistem itu salah, dan bahwa sistem itu akan mengarah pada adzab yang kekal, tidaklah mudah. Namun keyakinan Baginda Nabi sendiri (ﷺ) terhadap kebenaran pesannya, qadarullah, sehingga tak ada yang menghalanginya untuk menyampaikannya kepada masyarakat. Diriwayatkan, bahwa beliau pergi ke rumah Abu Jahal, salah seorang musuh terjahatnya, lebih dari 100 kali, dengan harapan bahwa ia akan menerima pesan Islam. Siapakah selain seorang Nabi yang akan bekerja untuk menyelamatkan seseorang yang sekuat tenaganya mengerjakan hal yang membahayakan?
Hal lain tentang berupaya mencapai tujuan luar biasa adalah, bahwa pekerjaan itu sendiri, pelatihan. Seperti yang dikatakan orang-orang Arab, "Jika tak mematahkan punggungmu, ia akan menguatkanmu." Begitu juga dalam upaya mencapai tujuan yang luar biasa, seseorang akan menjadi kuat. Ini termasuk Baginda Nabi (ﷺ) dan para Salaf. Segala rintangan, siksaan dan hukuman, hanya membuat mereka, dan hubungan mereka dengan Allah, lebih kuat, dan menjadikan mereka lebih tangguh. Tujuan luar biasa membuat upaya terasa berharga. Jika itu layak dilakukan, maka itu sepadan dengan usaha. Dan apa yang bisa lebih layak dari segala upaya dan pengorbanan dibandingkan upaya untuk menyelamatkan seluruh umat manusia dari Jahannam dan memasukkan mereka ke Jannah? Baginda Nabi (ﷺ) dan para Sahabat, radhiyallahu 'anhum, melihat apa yang kita sebut pengorbanan sebagai investasi mereka untuk mendapatkan keridhaan Allah, dan karenanya, memungkinkan bagi mereka, mengerjakannya tanpa ragu-ragu."

Sang politisi terdiam, lalu berkata, "Kita telah menyebutkan dua karakteristik seorang Pemimpin. Pertama, Iman yang luar biasa, dan kedua, Tujuan yang luar biasa. Jadi, selanjutnya adalah Komitmen yang luar biasa. Hanya ketika seseorang menyadari, hasil yang mereka dapatkan, bersumber dari sesuatu yang telah mereka berkomitmen untuknya. Bagi Rasulullah (ﷺ), hal ini takkan pernah diragukan sedikit pun. Namun pencapaian utamanya, membangun generasi yang berbagi komitmen dan membuktikannya sampai batas akhir, bila perlu mengorbankan nyawa mereka untuk tujuan itu. Beliau mampu melakukan ini dengan memberikan teladan pribadi yang tak diragukan lagi dalam benak siapapun, tentang sejauh mana komitmennya sendiri terhadap pesan Islam; menjalaninya dan menyebarkannya. Tak hanya Baginda Nabi ( ﷺ) yang menunjukkan komitmen ini, tetapi begitu juga para Sahabat yang mempelajari pelajaran ini dengan sangat baik dari beliau. Ada banyak contoh didalam Sirah yang menunjukkan tingkat komitmen ini.
Selama Perang Badar, saat mereka mendekat ke sumur Badar dimana pertempuran akan terjadi, para Sahabat tak bersenjata lengkap. Mereka tak siap menghadapi perang total dan hanya akan mengambil alih kafilah Abu Sufyan, yang kembali dari Syam dengan barang-barang yang dibeli dari harta-benda para Muhajirin, yang disita. Hanya ada 2 kuda dan 70 unta dalam kelompok itu. Tiga orang secara bergantian naik satu unta. Baginda Nabi (ﷺ) meminta Ali bin Abi Thalib dan Ulubaba, radhiyallahu 'anhum, menemani beliau. Mereka menawarkan unta kepada beliau, dan beliau berkata, “Kalian tak lebih kuat dariku, lagipula aku butuh pahala sebanyak yang kalian inginkan.” Kepemimpinan beliau, tampil terdepan, dan beliau selalu menunjukkan tingkat komitmen yang sama, atau paling tidak, lebih tinggi dari yang beliau tuntut dari umatnya.

Selama Ghazwatul Khandaq, Baginda Nabi (ﷺ) bermusyawarah untuk bertukar pikiran tentang strategi pertempuran. Salman Al Farisi, radhiyallahu 'anhu, yang berasal dari Persia berkata, ‘Di negeriku, jika kami takut pada pasukan berkuda, kami menggali parit. Mengapa kita tak melakukannya di sini? " Baginda Nabi (ﷺ) setuju dan mereka memutuskan menggali parit ke arah Utara Madinah yang rentan. Di Timur dan Barat Madinah, dilindungi oleh Al Harra (jalur vulkanik) dan di Selatan, perkebunan kurma yang sulit ditembus. Setiap 10 orang bertugas menggali parit 40 kaki. Kaum Muslimin miskin, lapar, dan lemah. Anas bin Malik, radhiyallahu 'anhu, mengisahkan, bahwa pada suatu malam yang dingin, Baginda Rasul (ﷺ) menjumpai mereka dan ketika beliau melihat keadaan mereka, beliau berdoa dan berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya semua ini untuk Hari Akhirat. Ya Allah, ampunilah para Muhajirin dan Ansar.' Tidaklah hilang dalam ingatan para Sahabat, ketika mereka tidur di tempat terbuka dan sangat dingin, pemimpin mereka, tidaklah tidur dengan kehangatan di dalam tendanya atau di rumahnya, tetapi berjalan di antara mereka, mengamati keadaan mereka dan berdoa untuk mereka. Seseorang akan setia kepada yang lain, bukan karena gelar atau pangkatnya.
Al Bara'a, radhiyallahu 'anhu, berkata,' Pada hari Khandaq, aku melihat Rasulullah (ﷺ) mengangkut tanah sampai begitu banyak lumpur di tubuh beliau, hingga aku tak tahan melihat kulitnya lagi.' Inilah teladan dari komitmen Baginda Nabi (ﷺ). Tiada pekerjaan yang beliau anggap pantas untuk dilakukan. Tiada yang beliau perintahkan kepada orang lain untuk dikerjakan, melainkan beliau juga melakukannya sendiri. Bagaimanapun, kepemimpinan selalu tampil terdepan. Orang mengikuti pemimpin, karena pemimpin berjalan di depan mereka. Terkadang kita melupakan ini.
Pada saat itu, Baginda Nabi (ﷺ) sendiri sangat lapar, sehingga beliau mengikat dua batu di perutnya. Jabir bin Abdullah, radhiyallahu 'anhu, melihat keadaan Baginda Nabi (ﷺ) saat mereka menggali parit; setiap orang mengikat satu batu di perut mereka, sedangkan Baginda Nabi (ﷺ), mengikat dua batu. Jabir begegas menemui istrinya dan berkata, ‘Aku tak tahan melihat keadaan Rasuullah (ﷺ). Adakah engkau punya makanan untuk beliau?" Isterinya berkata, "Yang kumiliki hanyalah jelai dan kambing kecil." Maka Jabir bin Abdullah menyembelih kambing itu, dan meminta istrinya membuatkan roti. Sementara daging sedang dimasak, dan istrinya sedang memanggang roti, ia menemui Baginda Nabi (ﷺ) dan berkata, 'Wahai Rasulullah (ﷺ), aku punya sedikit makanan untukmu, silahkan datang membawa satu atau dua sahabat yang lain.' Baginda Nabi (ﷺ) bertanya kepadanya, berapa banyak makanan yang ia punyai, dan Jabir menjelaskannya kepada beliau. Baginda Nabi (ﷺ) berkata, ‘Oh, itu cukup. Katakan pada istrimu, jangan memindahkan sup dari tempatnya sebelum aku datang."
Kemudian Baginda Nabi (ﷺ) berdiri dan berseru, ‘Wahai Muhajirin, wahai Ansar; Jabir mengundang kita ke rumahnya untuk makan.' Jabir terkejut, karena ia mengira Baginda Nabi (ﷺ) datang dengan satu atau dua sahabat, sedangkan sekarang, Baginda Nabi (ﷺ) mengundang semuanya ke tenda. Ia berlari pulang, sangat malu dan memberitahu istrinya apa yang terjadi. Isterinya bertanya, “Bertanyakah beliau, berapa banyak makanan yang kita miliki?” Ia berkata, “Ya.” Isterinya bertanya, “Sudahkah engkau sampaikan kepada beliau?” Ia menjawab, “Ya.” Maka isterinya berkata, “Kalau begitu jangan khawatir, Allah dan Rasul-Nya (ﷺ) tahu yang terbaik.' Ia berkata, "Kata-kata itulah, yang menenteramkanku."
Baginda Nabi (ﷺ) memasuki rumah Jabir dan mengambil alih pembagian makanan. Beliau memotong-motong roti dan mengeluarkan daging dan sup, serta meminta para Sahabat datang dalam satu kelompok berisi 10 orang. Baginda Nabi (ﷺ) menyiapkan makanan, mengeluarkannya, dan menyajikannya, kemudian mereka memakannya, lalu 10 orang berikutnya, masuk dan makan. Seluruh 800 Sahabat, makan. Ketika Baginda Nabi (ﷺ) kembali lagi ke panci panci itu, semuanya sudah penuh dan roti masih terpanggang. Maka beliau meminta istri Jabir membagi makanan itu untuk tetangganya. Tak mengherankan jika moral umat beliau begitu tinggi. Apa lagi yang engkau harapkan pada seorang pemimpin yang berbagi dengan semua kesulitanmu?

Sebongkah batu besar berdiri di jalur penggalian parit dan tak bisa pecah meski mereka berupaya sekuat tenaga. Maka mereka menemui Baginda Nabi (ﷺ). Beliau pergi bersama mereka dan mengambil beliung dan memukul batu itu, sekali. Terlihat percikan sinar dan beliau bersabda, 'Allahu Akbar.' Kemudian, beliau memukulnya lagi, untuk kedua kalinya, dan percikan sinar muncul lagi, dan beliau bersabda, 'Allahu Akbar.' Kemudian beliau memukulnya untuk yang ketiga kalinya, dan batu itupun hancur-lebur. Salman Al Farisi bertanya kepada beliau, 'Wahai Rasulullah, kilatan apakah itu, dan mengapa engkau mengucapkan Allahu Akbar?' Beliau menjawab, 'Saat pertama kali aku memukulnya, aku diberi berita gembira tentang penaklukan Kekaisaran Romawi, dan aku dapat melihat istana merah Asy-Syam dari sini. Kedua kalinya, aku diberi berita gembira tentang penaklukan Persia dan aku dapat melihat istana putih Al-Kisra. Ketiga kalinya, aku diberi berita gembira tentang penaklukan Yaman dan aku dapat melihat gerbang Sana'a. Itulah sebabnya kuucapkan, 'Allahu Akbar.'

Berbicara tentang komitmen para Sahabat, sebuah kisah yang dapat menggambarkannya dengan sangat baik adalah, ketika Baginda Nabi (ﷺ) menunjuk Ammar bin Yasir dan Abbad bin Bisyr, radhiyallahu 'anhum, sebagai penjaga selama satu ekspedisi. Di antara mereka sendiri, mereka memutuskan bahwa salah seorang akan tidur setengah malam, sementara yang lain tetap terjaga dan kemudian ketika setengah malam selesai, ia akan membangunkan saudaranya. Sekarang giliran Abbad bin Bishr untuk terjaga, dan ia memutuskan untuk mengerjakan Shalat sambil menjaga perkemahan. Seorang pengintai musuh menyelinap di belakang Abbad dan menembakkan panah yang menabraknya dari samping. Abbad terus berdiri dan shalat. Tentara musuh menembakkan panah lain yang juga mengenai Abbad. Namun ia tetap berdiri dan melanjutkan shalatnya seakan tanpa ada gangguan. Musuh menembakkan panah ketiga dimana Abbad membangunkan Ammar. Ketika tentara musuh melihat bahwa Abbad memiliki seorang teman, ia melarikan diri. Ketika Ammar bin Yasir melihatnya dalam keadaan sekarat karena banyak kehilangan darah, ia berkata, "Subhanallah, mengapa engkau tak membangunkanku?" Abbad berkata, "Kalaulah bukan karena orang itu terus menembakkan anak panahnya satu persatu dan aku khawatir bahwa aku bisa mati, dan dengan demikian menggagalkan tanggung jawabku kepada Rasulullah (ﷺ), aku takkan membangunkanmu sampai aku menyelesaikan seluruh bacaanku."
Para Sahabat menjalankan teladan hidup Islami. Kejadian ini menunjukkan kepada kita. tingkat Iman para Sahabat, dimana Abbad bin Bishy benar-benar dapat terus shalat dan mempertahankan Khusyu'nya meskipun 3 anak panah tertancap di tubuhnya. Ini juga menunjukkan pentingnya tanggung jawab kita terhadap Islam. Abbad menggunakan frasa yang berarti, 'Menjaga gerbangku' yaitu mencegah musuh masuk dari gerbang yang kujaga. Inilah tanggung jawab setiap Muslim. Musuh adalah para setan atau siapapun yang ingin menyakiti Islam atau umat Islam. Adalah kewajiban setiap Muslim menggunakan cara apapun yang telah Allah wahyukan, untuk mencegah kerusakan yang terjadi pada Islam atau kaum Muslimin, sertan untuk membantu Islam dan kaum Muslimin dengan cara apapun. Kami takkan ditanya, "Apa yang terjadi?" Kita akan ditanya, "Apa yang telah engkau lakukan?"

Sang politisi berhenti sejenak, mengambil secangkir teh di meja, meminumnya, meletakkannya kembali, lalu berkata, "Karakteristik lain seorang Pemimpin, adalah Tim yang luar biasa. Allah menciptakan generasi-genersi di sekeliling Nabi-Nya, yang menjadi tolok ukur dalam diri mereka sendiri. Telah kusebutkan sebelumnya, adalah kehendak Allah bahwa Baginda Nabi (ﷺ) akan menjadi penutup para Nabi dan karenanya, perlu membuat penerus yang akan membawa pesan ke depan. Merekalah para Sahabat, yang beliau sebut Generasi Terbaik.
Baginda Nabi (ﷺ) memiliki tugas yang sangat berbeda dari Nabi manapun, serta jauh lebih kompleks. Tugas para nabi sebelum beliau adalah menjemput orang-orang yang menerima pesan mereka. Sehingga, mereka punya pengikut. Tugas Nabi kita tercinta (ﷺ), yang akan menjadi Utusan Allah yang terakhir dan penutup para nabi, tak hanya untuk menyampaikan pesannya, melainkan untuk menciptakan generasi manusia yang akan membawa pesannya ke seluruh penjuru negeri. dan selama berabad-abad hingga akhir zaman. Inilah rahmat dari Penutup Kenabian, dimana tugas Dakwah, dilanjutkan oleh umatnya.

Singkatnya, para nabi lainnya, melahirkan pengikut, sedangkan Nabi kita tercinta (ﷺ), melahirkan para pemimpin. Yang pertama di antara para Khalifahnya - Khalafaur Rasyidin - Abu Bakar Siddiq, radhiyallahu 'anhu. Seberapa baik ia mempelajari pelajaran kepemimpinan dari gurunya, Nabi kita (ﷺ), dapat dilihat dalam tindakan pertamanya ketika Baginda Nabi (ﷺ) berpulang. Kita perlu berulangkali mengingatkan diri kita sendiri tentang hal ini, karena tampak sekali bahwa Baginda Nabi (ﷺ) dengan jelas menunjukkan kepada para Sahabat, siapa yang akan menjadi pengganti beliau. Beliau melakukannya dengan pengertian bahwa mereka memahaminya dengan jelas tanpa keraguan dan karenanya, mereka memilihnya. Mereka yang suka mengutarakan keraguan dan menjelek-jelekkan tentang masalah ini, menunjukkan ketidaktahuan mereka sendiri akan kehidupan dan masa Baginda Nabi (ﷺ), atau ada motif tersembunyi mereka yang perlu dipertanyakan.
Bagi Rasulullah (ﷺ) dan para Sahabat, Shalat adalah meteran untuk mengukur segalanya. Shalat-lah penentu kehidupan mereka. Shalat-lah apa yang mereka cari bagi segala kebutuhan mereka. Shalat-lah waktu tenang mereka, waktu mereka dengan Rabb mereka, pengisian-ulang energi mereka. Shalat-lah cara relaksasi mereka, sarana penghilang kesedihan dan sumber kekuatan bagi mereka. Baginda Nabi (ﷺ) biasa memanggil Bilal bin Rabah, radhiyallahu 'anhu, dan memintanya mengumandangkan Adzan untuk Shalat, dengan berkata, ‘Bahagiakan kami dengannya, wahai Bilal!"
Melalui Shalat-lah, Baginda Nabi (ﷺ) memberikan pesan terakhir beliau tentang penggantinya, dan Shalat para Sahabatlah, yang membuatnya begitu bahagia, yang merupakan pemandangan terakhir yang beliau lihat dari dunia luar sebelum beliau bertemu Rabb-nya. Jadi, wajarlah bila Baginda Nabi (ﷺ) mengukur kualitas seseorang itu, juga dalam hal Shalat. Dalam Hadits Jibril yang sangat kita kenal, diriwayatkan, Baginda Nabi (ﷺ) menjawab pertanyaan malaikat Jibril, alaihissalam, sehubungan dengan Al-Ihsan.
Diriwayatkan atas otoritas Yahya bin Ya'muru bahwa ia bertemu Abdullah bin Umar bin al-Khattab, radiallahu anhum, ketika ia memasuki masjid... Ia (Abdullah ibn Umar) berkata, Ayahku, Umar bin al-Khattab, menyampaikan padaku, "Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah (ﷺ). Tiba-tiba, muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tiada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi (ﷺ), lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi (ﷺ) dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi (ﷺ), kemudian ia berkata, “Wahai, Muhammad! Sampaikan padaku tentang Islam.”
Rasulullah (ﷺ) menjawab, ”Islam adalah, engkau bersaksi tiada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi: “Sampaikan padaku tentang Iman”. Nabi (ﷺ) menjawab, ”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”
Ia bertanya lagi, “Sampaikan padaku tentang ihsan”. Nabi (ﷺ) menjawab, ”Hendaklah, engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Walaupun engkau tak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Lelaki itu berkata lagi, “Sampaikan padaku kapan terjadinya Kiamat?” Nabi (ﷺ) menjawab, ”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.” Ia pun bertanya lagi, “Sampaikan kepadaku tentang tanda-tandanya!” Nabi (ﷺ) menjawab, ”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi (ﷺ) bertanya kepadaku, “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab, ”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda, ”Ia adalah Jibril, yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” [HR Muslim]
Yang perlu digaris-bawahi tentang Al-Ihsan, adalah ilustrasi terbaik tentang konsep kesempurnaan dalam kehidupan Baginda Nabi (ﷺ) yang beliau praktikkan dan yang beliau wariskan sebagai patokan bagi kita untuk menilai diri kita sendiri. Seperti yang telah kusebutkan, dalam Islam dan dalam ajaran Baginda Nabi (ﷺ), semua hal penting disebutkan dalam istilah agama, namun implikasinya, tak terbatas pada shalat, melainkan diperluas ke dalam setiap aspek kehidupan. Itulah sebabnya, Allah mewahyukan bahwa tak cuma ibadah, melainkan seluruh kehidupan Rasul-Nya (ﷺ), untuk diikuti dan menjadi teladan bagi seluruh umat manusia. Dalam Ayat Al-Qur'an, Allah berfirman,
"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah." - [QS.33:21]
Islam adalah cara hidup yang lengkap, yang membentang dari Pengakuan Iman (Aqidah) sampai ke Ibadah, sampai ke Perilaku (Akhlaq), bertranskasi (Muamalah) dan bermasyarakat (Mu'asyirah). Jadi, meskipun prinsip dan standar dapat disebutkan dalam hal ibadah, juga mencakup segala aspek kehidupan.
Al-Ihsan, kita terjemahkan sebagai Kesempurnaan, sebagaimana diungkapkan oleh Baginda Nabi (ﷺ) dalam Hadis tersebut, cukup dengan menjalankan seluruh hidup kita, dengan ilmu tertentu. tentang kehadiran Allah dalam hidup kita. Bahwa Dia memperhatikan, akan membantu, akan mengampuni pelanggaran kita, akan mendukung upaya kita dan akan ridha dengan kita. Menjalaninya dengan kesadaran secara terus-menerus dalam setiap aspek kehidupan kita; dalam segala hal yang kita ucapkan atau perbuat. Dalam setiap transaksi yang kita lakukan, dalam setiap percakapan yang kita bincangkan, dalam setiap hubungan yang kita wujudkan. Bayangkanlah, masyarakat macam apa yang akan tercipta, dimana semua orang yang sadar dan peduli tentang fakta bahwa ia bertanggung jawab kepada Dia, Yang tiada yang bisa disembunyikan, dan bahwa suatu hari ia akan dimintai pertanggungjawaban, dan akan dihargai atau dihukum berdasarkan pada seberapa jauh ia menjalani hidupnya? Hal inilah yang akan menjadikan masyarakat dimana, orang akan saling bersaing, bukan dalam hal materi, melainkan untuk saling berbuat baik, saling memenuhi hak dan lebih banyak lagi. Baginda Nabi (ﷺ) menciptakan masyarakat seperti ini, di masa kehidupan beliau.

Kehidupan Baginda Nabi (ﷺ), yang membedakan beliau dari guru-guru yang lain, dimana kehidupan beliau itulah sebagai teladan hidup dari apa yang beliau dakwahkan. Dalam hidup beliau, tiada jarak antara bicara dan berjalan. Beliau melakukan apa yang beliau perintahkan kepada orang lain untuk dijalankan dan merupakan pembawa standar Islam yang hidup, berjalan, dan berbicara. Dalam kehidupan beliau, Islam bukanlah teori atau ideologi atau falsafah, melainkan metodologi tindakan praktis yang hidup nyata. Beliau mengikutinya dalam setiap aspek kehidupan; pribadi, agama, duniawi dan kolektif. Beliau hidup dengan sadar siapa dirinya, dan apa yang beliau wakili, dan para Sahabat mengikutinya.

Sekedar mengutip sebuah contoh dari kehidupan muridnya, Abu Bakar, radhiyallahu 'anhu. Ketika Khalifatur Rasulillah, Abu Bakar Siddiq, wafat, ia memiliki dua potong kain dan satu bagal. Ia memberintahkan agar ia harus dikafankan dengan salah satu potongan kain itu, dan kain dan bagal lainnya, harus diserahkan kepada Sayyidina Umar, yang akan menjadi Khalifah penggantinya. Ketika ini dilakukan, Sayyidina Umar menangis dan berkata, "Abu Bakar telah menetapkan standar yang sangat tinggi dan membuat sangat sulit bagi Khalifah penerusnya."
Ilustrasi lain: Setiap pagi sebelum Subuh, Abu Bakar Siddiq, radhiyallahu 'anhu, sering pergi ke pinggiran Madinah, ke sebuah perkemahan kecil. Ia memasuki tenda dan menghabiskan waktu di sana, dan kemudian kembali. Setelah ia meninggal, Sayyidina Umar, radhiyallahu 'anhu, memutuskan mencari tahu siapa yang tinggal di sana. Ia pergi ke perkemahan itu, dan menemukan seorang wanita tua yang hampir buta karena usia. Sayyidina Umar bertanya tentang dirinya dan ia menjawab, ‘Aku seorang wanita tua yang tak punya siapapun di dunia ini, dan aku hidup sendirian di sini dengan domba-dombaku. Setiap pagi ada seorang lelaki dari Madinah, yang datang ke sini, menyapu tendaku, memasak makanan, memerah susu domba-dombaku, dan merawat mereka, lalu pergi. Tanpanya dan tanpa bantuan perawatannya, aku takkan dapat bertahan hidup." Sayyidina Umar bertanya, "Tahukah engkau, siapa orang itu?" Sang wanita tua berkata bahwa ia tak tahu siapa orang itu. Ia belum pernah mengungkapkan jati dirinya. Sayyidina Umar berkata, "Ia, Amirul Mukminin, Abu Bakar Siddiq, radhiyallahu 'anhu."
Tak terbayangkan, hidup dalam masyarakat dimana sang penguasa itu sendiri, yang melayani yang lemah dan melarat. Sebuah masyarakat dimana para penguasa tak takut kepada manusia, tetapi takut menjawab kepada Allah tentang orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Tentang Amirul Mukminin, Umar bin Al-Khattab, diriwayatkan bahwa, suatu hari ketika ia menjadi Khalifah. ia datang ke suatu tempat dengan beberapa Sahabat dan berkata, 'Segala puji bagi Allah, Yang Maha Agung dan Dia memberikan kepada siapapun yang Dia kehendaki, apapun yang ia minta. Ada suatu masa, ketika aku menggembalikan unta-unta ayahku. Aku akan datang ke sana dengan unta-unta itu. Ayahku menyibukkanku dengan pekerjaan dan jika aku tak bekerja, ia akan memukuliku. Dan aku terbiasa mengenakan pakaian yang sangat kasar dan kesat. Tetapi, lihatlah aku hari ini, dimana Allah telah mengangkatku sehingga tiada seorangpun, di antara aku dan Allah.'

Abdurrahman bin Auf, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan bahwa suatu hari, Umar memanggil para umat ke masjid dan ketika mereka berkumpul, ia berdiri di Mimbar dan berkata, 'Dulu, aku menggembalakan ternak untuk beberapa bibiku, dan ketika aku kembali ke rumah di malam hari, mereka akan memberiku kurma atau kismis, dan aku mengalami hari yang menyedihkan." Ia kemudian turun dari Mimbar. Abdur Rahman ibn Auf berkata kepadanya, ‘Apa gunanya Khutbah ini? Yang engkau lakukan hanyalah meremehkan diri sendiri di depan semua orang. Jadi apa manfaatnya?" Umar berkata, "Celakalah engkau, Ibnu Auf, ego-ku mengatakan kepadaku, "Engkau adalah Amirul Mukminin. Siapa yang lebih baik darimu?" Aku ingin mengajari ego-ku tentang siapa ia sebenarnya." Umar ibnu Al Khattab, tak dapat dibodohi oleh siapapun, termasuk dirinya sendiri.
Abdullah bin Mas'ud, radhiyallahu 'anhu, menjelaskan tentang para Sahabat dan berkata, "Demi Allah, merekalah yang terbaik dari umat ini. Dan mereka memiliki qalbu yang paling shalih (sebagian besar taqwa). Dan mereka memiliki ilmu yang paling dalam. Dan merekalah yang paling tak dangkal (bukan formalitas).' Ia tak mengatakan 'banyak ilmu' tetapi 'ilmu yang paling dalam'. Ini karena mereka belajar langsung dari Baginda Nabi (ﷺ). Jadi, meskipun para Sahabat, secara individu tak mengetahui hadits sebanyak Imam Bukhari atau Muslim, mereka menjalani hadits tersebut dan menjadi saksi terhadap keadaan hadis tertentu. Merekalah satu-satunya generasi yang benar-benar mendengar ucapan Baginda Nabi (ﷺ) dan tahu mengapa beliau mengatakannya. Mereka ada di sana ketika Al-Qur'an diturunkan dan melihat wahyu diterima. Mereka melihat malaikat Jibril, alaihissalam, dan mendengar suaranya ketika ia datang dalam bentuk seorang lelaki. Para Sahabat bersih, dan hidup mereka sederhana dan suci. Merekalah bangsa yang tak terpengaruh oleh filsafat Yunani atau peradaban orang-orang Persia dan Romawi. Jadi, ketika Islam datang, mereka menerimanya dan mempraktikkannya dalam bentuknya yang suci dan murni, serta tak menambahkan apapun ke dalamnya.
Bahkan sebelum Islam, pada periode Jahiliyyah, merekalah orang-orang sederhana di padang pasir. Bahasa mereka bebas dari kepura-puraan dan ucapan-ucapan berbunga-bunga. Puisi mereka sederhana dan deskriptif, tak alegoris dan simbolis. Mereka tak punya mitologi seperti Hindu atau Yunani dengan banyak filsafat, simbolisme dan argumen yang berbelit-belit. Bahkan ketika mereka menyembah berhala, mereka hanya membungkuk kepada berhala dan memberi qurban untuknya, hanya itu. Tak ada cerita rumit dan pembenaran filosofis. Tak ada mitologi yang terkait dengan mereka.

Ketika mereka menerima Islam, mereka membawa keterusterangan dan kesederhanaan ini ke dalam Dien Islam. Mereka tak terlibat dalam filsafat dan debat. Mereka mengambil Al-Quran dan Sunnah pada nilai-nilainya dan mempraktikkannya dengan tulus dan dengan dedikasi dalam hidup mereka. Mereka tak mencari arti tersembunyi di balik setiap ayat. Mereka mendengar dan mereka patuh. Allah berfirman tentang mereka,
"Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Dan mereka berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.” - [QS.2:285]
Dan Allah berfirman tentang mereka yang mencari makna tersembunyi dan membuat filsafat yang berbelit-belit,
"Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur'an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur'an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal." - [QS.3:7]
Para Sahabat mempelajari Al-Quran langsung dari yang diturunkan kepada Baginda Nabi (ﷺ). Merekalah satu-satunya generasi yang menyaksikan keadaan setiap wahyu, ayat demi ayat. Mereka tak hanya memahami arti harfiah kata-katanya, namun juga latar-belakang mengapa kata-kata itu diwahyukan. Itulah alasan mengapa pemahaman para Sahabat selalu dianggap sebagai Standar Emas oleh para ulama Islam dalam segala hal yang menyangkut Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya (ﷺ). Bahkan dalam masalah linguistik, pemahaman para Sahabat tentang kata-kata tertentu, diambil sebagai argumen akhir yang mendukung arti kata itu, sehubungan dengan Al-Qur'an dan Sunnah.
Itulah sebabnya, mereka dianggap sebagai generasi terbaik sebagaimana disebutkan oleh Baginda Nabi (ﷺ) dalam Haditsnya, dimana beliau bersabda, 'Generasi terbaik adalah generasiku, dan kemudian mereka yang datang setelahnya, dan mereka yang datang setelahnya.' Para ulama Hadits menyatakan bahwa hal ini merujuk kepada mereka secara kronologis dan juga ideologis - yang berarti bahwa Muslim terbaik adalah mereka yang paling dekat dengan Rasulullah (ﷺ) dan para Sahabat, dalam hal keyakinan dan tindakan mereka.

Terjadinya Bid'ah dalam Islam, tidaklah dimulai dari Mekah dan Madinah. Semua filsafat dan teori-teori kompleks yang ada saat ini, dan dimana banyak buku telah dirilis, muncul jauh setelah periode para Sahabat ketika Islam menyebar dan bersentuhan dengan Kristen Koptik dan Hindu. Saat itulah filsafat masuk Islam. Para Sahabat berorientasi pada tindakan, terhubung dengan Allah dan sangat merindukan pertemuan dengan-Nya. Mereka tak punya waktu atau kecenderungan memanjakan diri dengan rekaan-rekaan dan dugaan-dugaan, yang tak memiliki nilai, dan hanya dapat menyebabkan kebingungan dan melemahnya iman.
Dengan kesederhanaan dan kejelasan para Sahabat, itulah tanda-tanda pembelajaran. Bukan kompleksitas, argumen dan filosofi yang berbelit-belit. Mereka tak suka berkelit. Mereka langsung. Mereka lebih takut akan amarah Allah lebih dibanding pendapat orang. Mereka lebih takut menjadi tak populer dengan Allah dan Rasul-Nya (ﷺ) dibanding menjadi tak populer dengan manusia. Jadi, mereka mengucapkan apa yang memang patut diucapkan, tak peduli apa yang dipikirkan orang. Sangat penting dalam Islam untuk mengembangkan karakter para Sahabat dan tak hanya mendengarkan kisah mereka, karena inilah standar, yang dengannya kita akan dimintai pertanggungjawaban.

Inilah yang dipahami oleh para Sahabat dengan kesempurnaan; Al-Ihsan; dan mereka mempraktikkannya dalam hidup mereka. Ada terlalu banyak kisah dari kehidupan para Sahabat yang akan sangat menarik dan bermanfaat bagi siap pun di zaman sekarang bila dipelajari dan mencoba memvisualisasikan bagaimana rasanya hidup selama masa Baginda Nabi (ﷺ) dan generasinya.
Sangat penting bagi siapa pun yang tertarik dengan kesejahteraan sesamanya untuk membaca tentang kehidupan dan masa Rasulullah (ﷺ) dan melakukan yang terbaik untuk menciptakan kembali masa-masa itu di dunia saat ini. Kita kemudian akan memiliki dunia yang ditandai oleh keadilan, kasih sayang, kebenaran dan saling-peduli. Inilah kekurangan utama dalam masyarakat modern, sebagai akibatnya, kita memiliki dunia yang ditandai oleh kekejaman, ketidakpedulian dan ketidakadilan. Inilah pilihan yang ingin kita jalani."
Sang musafir muda bertanya, "Jadi, apa isi seruannya?" Sang politisi berkata, "Ketika Allah mengutus Baginda Nabi (ﷺ) untuk menuntun umat manusia, Dia, Subhanahu wa Ta'ala, memastikan bahwa pesan itu berisi prinsip-prinsip yang akan membuka pintu bagi orang-orang cerdas agar memahami apa seruan itu dan apa yang akan terjadi. Al-Qur'an yang Dia wahyukan ke dalam qalbu Baginda Nabi (ﷺ), adalah Kitab dari Rabb alam semesta bagi seluruh manusia yang hidup, yang menuntun mereka menuju kebaikan dan mengilhami mereka dengan kebenaran. Baginda Nabi (ﷺ) bukanlah pemimpin suku tertentu, bukan pula orang yang baik dan karena ia baik lalu saat ia tiada, segalanya memudar. Sesungguhnya, beliaulah kekuatan kebaikan yang memainkan peran dalam dunia moral yang mirip dengan peran yang dimainkan di dunia materi oleh penemuan mesin uap dan listrik. Pengangkatan beliau sebagai Nabi Allah (ﷺ) mewakili sebuah tahap dalam evolusi umat manusia. Sebelum itu, setiap manusia berada di bawah perwalian penjaga mereka laksana anak-anak yang terkurung. Lalu, mereka tumbuh dan kemudian mampu memikul tanggungjawab sendiri. Jadi, pesan Allah datang kepada mereka, melalui perantaraan Rasululllah (ﷺ), dan menjelaskan bagaimana seyogyanya mereka dapat hidup di bumi ini, dan kembali ke surga. Baik bila Baginda Nabi (ﷺ) masih tetap ada maupun telah tiada, pesan itu takkan hilang, karena sesungguhnya, pesan itulah yang membuka mata dan telinga, serta mempertajam persepsi dan pikiran, dan itu semua, terkandung dalam warisan besar beliau, Al-Qur'an dan Sunnah. Baginda Nabi (ﷺ) tak diutus untuk mengumpulkan sekelompok orang di sekitar beliau, melainkan untuk menjalin hubungan antara sesama makhluk dan kebenaran, yang dengannya, keberadaan mereka akan bermakna; antara mereka dan cahaya, yang dengannya mereka akan melihat tujuan mereka.
Surah-surah Al-Qur'an yang diwahyukan di Mekah, menjelaskan keyakinan dan tindakan yang dituntut Allah kepada hamba-Nya, dan Dia, Subhanahu wa Ta'ala, menugaskan Baginda Nabi (ﷺ) untuk membangun dan memeliharanya. Pesan yang paling penting adalah, pertama, Kesatuan Absolut. Manusia bukanlah hamba bagi makhluk lain apapun yang ada di bumi atau di langit, karena semua yang ada di langit dan di bumi adalah hamba Allah, mereka tunduk kepada Yang Maha Mulia dan mematuhi perintah-Nya. Tiada sekutu atau perantara
bagi-Nya. Setiap orang berhak mendekat kepada Allah secara langsung tanpa melalui perantara ciptaan lain, baik besar maupun kecil. Adalah tugas setiap orang, mencela mereka yang menjadikan diri mereka sendiri atau orang lain sebagai perantara dan membawa mereka ke posisi yang seharusnya, baik itu manusia maupun batu, atau apapun. Seluruh hubungan individu dan kolektif harus dibangun atas dasar bahwa Allah Yang Maha Tinggi dalam Kerajaan-Nya, dengan Keesaan Sempurna-Nya.
Konsekuensi dari keyakinan ini, bahwa bebatuan yang dipuja orang-orang Arab saat itu, menjadi tak lebih baik daripada bebatuan yang mereka pergunakan untuk membangun rumah atau membuka jalan-jalan, dan bahwa manusia yang dipertuhankan dalam agama-agama lain, diberi status yang benar. Tampak jelas bahwa mereka hanyalah hamba ciptaan-Nya, dan Dia-lah Yang memelihara dan memberi mereka makanan, bahwa mereka akan maju atau mundur hanya jika mereka menaati atau tak menaati-Nya, dan bahwa mereka tak memiliki hak dalam hal dalam penciptaan atau pemberian rezeki.
Kedua, Hari Akhir. Hari Kiamat pasti akan datang, dimana manusia harus menghadap Rabb-nya dan ditanya tentang setiap detail, setiap menit kehidupan mereka sebelumnya. Setelah itu, akan ada kebahagiaan abadi yang akan dinikmati oleh orang-orang shalih, atau hukuman yang mengerikan dimana para pelaku kejahatan akan tetap sengsara. Allah berfirman,
"Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya." - [QS.99:7-8]
Mempertimbangkan Akhirat dalam setiap tindakan, yang seseorang akan lakukan atau hindari, adalah prinsip perilaku yang mapan dalam Islam. Sama seperti penumpang di kereta, bahwa mereka tahu, akan turun di halte berikutnya, seperti halnya umat Islam tahu, bahwa waktu pasti akan membawa mereka kembali ke Sang Pencipta, dimana mereka akan memanen buah dari apa yang telah mereka tanam dalam kehidupan ini.
Ketiga, penyucian diri, ini dilakukan dengan mengikuti perbuatan ibadah yang ditentukan dan menjauhkan diri dari perbuatan lain, untuk menghindari akibat dari kejahatan mereka. Apa yang dibawa Baginda Nabi (ﷺ), bukan hanya ajaran agama yang lengkap, tetapi juga ajaran moral yang baik bagi umat manusia. Allah berfirman,
"Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Rabb kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti. Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun ia kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat.” - [QS.6:151-152]
Keempat, umat Islam hendaknya dianggap sebagai unit yang solid berdasarkan persaudaraan dan kerja-sama. Inilah tuntutan, bahwa yang dirugikan harus diperjuangkan, yang dirampas harus dibantu dan yang lemah harus diperkuat. Dalam Surah Al-Mudatsir [74], yang merupakan Surah pertama dimana Baginda Nabi (ﷺ) diperintahkan  berdakwah secara terbuka, kita membaca ayat-ayat ini,
"Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka saling menanyakan, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, ”Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?” Mereka menjawab, “Dahulu kami tak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat, dan kami (juga) tak memberi makan orang miskin, bahkan kami biasa berbincang (untuk tujuan yang batil), bersama orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, sampai datang kepada kami kematian.” Maka tak berguna lagi bagi mereka syafaat (pertolongan) dari orang-orang yang memberikan syafaat." - [QS.74:38-48]"
Kemudian sang politisi menutup ulasannya dengan berkata, "Wahai anak muda, Islam tak melahirkan pengikut, tetapi Islam melahirkan para pemimpin. Tugas yang paling sulit bagi pemimpin itu, bukanlah untuk menjadikan orang mengikuti perintahnya, melainkan menjadikan mereka memimpikan impiannya. Agar mereka termotivasi untuk berkomitmen penuh pada visi yang hanya dapat benar-benar dilihatnya. Hanya ketika orang berkomitmen penuh pada visi-lah, yang akan melakukan apa yang diperlukan untuk mewujudkannya. Untuk setiap pemimpin di bidang apapun, inilah tugas yang paling sulit. Wallahu a'lam. "
"Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah." - [QS.21:73]
[Bagian 1]
Rujukan :
- Muhammad Al-Ghazali, Fiqh-us-Seerah, IIFSO
- Mirza Yawar Baig, Leadership Lesson from the Life of Rasoolullah (ﷺ), Standard Bearer Academy.

Jumat, 19 Oktober 2018

Sebuah Pesan dan seorang Pemimpin (1)

"Wahai anak muda, Allah tak memberikan kedaulatan dan kekayaan kepada siapapun sehingga ia menggunakannya untuk kenyamanan dan keuntungannya sendiri, melainkan Dia memberikannya kepada manusia agar dapat mempergunakannya untuk membantu sesama makhluk ciptaan," berkata sang politisi kepada sang musafir muda. Ia melanjutkan, "Selalu ada perbedaan besar antara pemerintahan yang adil dan pemerintahan yang zhalim, bahwa tujuan pemerintahan yang adil selalu untuk menolong rakyat. Karena alasan ini, perbendaharaan negara yang dikelola oleh seorang pemimpin semacam ini, digunakan untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyatnya, serta untuk memajukan kemakmuran mereka, dan hanya akan menggunakan seperlunya bagi kebutuhannya sendiri, dan penguasa seperti ini, takkan merendahkan rakyatnya dengan beban pajak yang berlebihan. Sebaliknya, pemerintah yang zhalim, bertujuan memberi manfaat pada pemerintahannya, kenyamanan dan kesenangannya sendiri, serta memperkokoh kekuasaannya. Dengan demikian, penguasa seperti ini, takkan mau merasakan beban rakyatnya dan tak memperhatikan kesejahteraan mereka, dan bahkan, kalaupun ada rasa nyaman yang diberikan kepada rakyatnya, itu hanyalah janji-janji belaka. Dalam pemerintahan seperti ini, rakyat selalu terbebani pajak, dan dalam keadaan seperti ini, mayoritas rakyat berada dalam kemiskinan.
Jika engkau mendengarkan dan merenungkan kisah Dzul-Qarnain, engkau 'kan temukan bahwa dalam fakta catatan sejarah, bahwa didalam sejarah manusia, hampir setiap orang yang berkuasa, dan setiap negara yang berkuasa, menginginkan lebih banyak kekuasaan, dan setiap negara yang berkuasa, menginginkan bahkan lebih banyak kekuasaan daripada yang dimilikinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala takkan pernah membiarkan bangsa atau orang yang menginginkan lebih banyak kekuasaan, tumbuh-berkembang di dunia ini, karena setiap bangsa yang berusaha mendapatkan lebih banyak dan lebih banyak lagi kekuasaan itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membawa kehancuran kepada mereka, di tangan mereka sendiri. Sebaliknya, seorang penguasa yang diridhai Allah, adalah seorang penguasa yang menggunakan kekuasaannya untuk menyeru dan menegakkan sebuah pesan, dan pesan itulah kalimat Tauhid, "Laa ilaaha illallaah." Oleh karenanya, seorang penguasa sejati itu, seorang Muwahhid dan juga seorang Mujahid.

Jika kita berbicara tentang kekuasaan, akan selalu berkaitan dengan Kepemimpinan. Konsep kepemimpinan masih sama pentingnya, masih ambigu dan masih sama relevan saat ini seperti di masa lalu. Terlepas dari perkembangan industri dan popularitas publikasi, semua itu tetap dirancang untuk menciptakan pemimpin dalam ruang atau lingkup kehidupan yang terbatas. Jadi, itulah sebabnya, Kepemimpinan dalam Islam bukanlah hal yang biasa, melainkan hal yang luar biasa. Umat Islam telah memiliki teladan sempurna, Rasulullah (ﷺ), yang kualitas kepemimpinan beliau, yang beragam dan tak terbatas, telah mengubah masyarakat yang terpinggirkan, menjadi orang-orang terbaik, yang berjalan di muka bumi ini setelah para Nabi, alaihimussalam. Tak hanya diri beliau (ﷺ) seorang pemimpin, par-excellence, namun beliau juga menghasilkan para pemimpin. Beliau mampu membesarkan orang-orang seperti budak yang terdemoralisasi dan tertindas, menjadi pemimpin berkaliber tinggi.
Rasulullah (ﷺ) menetapkan standar kepemimpinan yang luar biasa, begitu meyakinkan dan jelas, sehingga bahkan musuh terburuknya pun terpaksa bersuara mendukungnya. Luar-biasa berarti menjadi abnormal dengan cara yang terbaik. Mendengar bisikan pesan dalam benak yang membuat orang lain bertanya-tanya. Berbaris dengan irama yang tak bisa didengar orang lain - namun mampu menginspirasi mereka untuk turut-serta. Hanya mereka yang luar biasa yang menginspirasi. Hidup tak hanya menarik napas. Jadi, jika seseorang bercita-cita untuk memimpin, ia harus melakukan lebih dari yang ada. Kuncinya, melakukan lebih dari apa yang orang lain anggap bijak, masuk-akal atau logis. Seseorang harus melakukan apa yang tak dilakukan orang lain, bukan karena ia ingin memberi mereka kesan, melainkan agar mereka dapat melihat bahwa sangat mungkin bagi mereka untuk dapat melakukan hal yang sama. Tiada keluhuran budi dalam berpura-pura menjadi lebih rendah darimu. Apa yang dituntut dari sang pemimpin adalah, bahwa ia akan terus-menerus melawan asumsi dan batasan yang ditentukannya sendiri, karena satu-satunya penghalang nyata dalam mengatasi kesulitan adalah apa yang ada didalam benak seseorang.

Sang pemimpin harus memiliki keberanian untuk pergi ke tempat dimana tak ada yang berani mengambil resiko di hadapan dunia pikiran dan jiwa manusia. Ia hendaknya mempertanyakan apa yang selalu dianggap benar. Ia harus menantang kepercayaan yang diturunkan dari generasi ke generasi dan diterima sebagai suatu keniscayaan. Ia harus membela kebenaran, apapun risikonya. Ia harus mendukung yang tertindas, yang lemah dan yang dirampok, serta berdiri melawan para penindas, tak peduli siapapun mereka. Semua ini membantu sang pemimpin menginspirasikan kepercayaan, sebuah fondasi kepemimpinan. Seorang pemimpin tak hanya harus dipercaya secara pribadi melainkan rakyatnya pun harus memiliki keyakinan bahwa dengan mengikutinya, akan menguntungkan mereka. Memimpin, menurut definisi, tampil terdepan. Dan yang memimpin itu, sang pemimpin, yang secara bersamaan memiliki kejelasan wawasan dan strategi ke depan. Tidaklah cukup hanya memimpikan hal-hal besar jika seseorang tak memiliki petunjuk tentang bagaimana mencapainya. Pemimpin harus bisa bermimpi dan kemudian memimpin rakyatnya di jalan yang benar-benar mengarah pada pemenuhan mimpi itu. Luar-biasa berarti mampu melakukan tugas impian maupun tugas konkret, menerjemahkan mimpi menjadi peta jalan aktual dengan tonggak sejarah. Kemudian, menemukan orang untuk memenuhi banyak peran yang pasti akan muncul, karena tak ada pemimpin yang bisa melakukan semuanya sendirian. Tanpa sebuah tim yang terdiri dari orang-orang yang sangat kompeten dan berdedikasi untuk menerapkan strategi, impian terbesar harus tetap diturunkan ke ranah keinginan. Merekrut tim, menginspirasi mereka agar dapat memberikan yang terbaik, melatih dan mengarahkan mereka, dan akhirnya mengawasi mereka dari pinggir lapangan, saat mereka memenuhi tugas yang telah mereka latih, adalah semua peran yang harus dilakukan oleh pemimpin yang luar biasa.
Akhirnya, pemimpin yang luar biasa, hendaknya menciptakan sistem yang dapat meneruskan warisannya, lama setelah ia menempuh jalan sepanjang hidup. Karisma pribadi yang tetap tak diterjemahkan ke dalam proses, ditakdirkan untuk mati bersama pemimpin - mungkin diingat dengan nostalgia, tetapi tak bermanfaat bagi mereka yang datang setelahnya. Agar sebuah perusahaan besar manapun berhasil, pemimpinnya harus memimpin transformasinya ,dari yang dipimpin oleh manusia, menjadi yang terarahkan oleh proses. Kegagalan melakukan ini dengan baik, selalu mengarah pada warisan pemimpin yang tak melampaui perubahan generasi.
Menjadi sesuatu yang luar-biasa bukanlah pilihan bagi seorang pemimpin. Melainkan bagian penting dari keberadaan bagi siapa saja yang bercita-cita untuk memimpin. Menjadi luar-biasa dalam cara dimana orang menemukan inspirasi, kesegaran, energi dan pemberdayaan. Hanya yang berani, yang bisa mendorong, dan tak ada seorang pun dalam sejarah umat manusia, yang meneladankan kepemimpinan luar biasa dalam setiap aspek kehidupannya seperti halnya Rasulullah (ﷺ). Itulah sebabnya para Sahabat, radhiyallahu 'anhum, menunjukkan tingkat kesetiaan tinggi kepada beliau, yang merupakan teladan dalam dirinya sendiri. Mereka mencintai beliau dan beliau mencintai mereka.

Untuk melihat kualitas pertama yang luar biasa yang diperlihatkan Rasulullah (ﷺ) dalam karakternya, adalah Iman. Iman sangat penting karena tanpanya, akan mustahil menunaikan tugas monumental untuk mengubah qalbu seseorang. Inilah kata yang renik, namun dengan makna yang agung. Ini berarti hal yang berbeda bagi orang yang berbeda. Iman adalah proses dinamis yang didasarkan pada interaksi tiga faktor: Kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan rasa syukur atas karunia Allah; bertobat atas pelanggaran dan kesalahan kita; dan mencari keridhaan Allah dan kedekatan dengan-Nya karena kita mencintai-Nya. Iman tak buta seperti apa yang diharapkan dunia materialistis. Iman harus mampu melihat lebih dari apa yang tak bisa dideskripsikan oleh materi atau dilihat dengan mata kepala, melainkan yang jelas tampak oleh mata-hati.
Diceritakan bahwa dalam pertempuran hebat melawan Jerman, seorang prajurit meminta izin kepada komandannya pergi ke tanah tak bertuan, untuk membawa kembali jasad rekannya yang telah roboh selama pertempuran. Sang komandan berusaha berunding dengan prajuritnya dan berkata, “Lihat, ia telah gugur. Apa gunanya mempertaruhkan nyawamu mengembalikan jenazahnya?' Namun sang prajurit bersikeras dan gigih sehingga pada akhirnya sang komandan menyerah dan memerintahkan pasukannya agar menghentikan tembakan sementara sang prajurit keluar menjemput jenazah rekannya. Beberapa menit kemudian, ia kembali tanpa cedera, bersama jasad rekannya. Sang komandan bertanya, ‘Jadi, layakkah engkau pertaruhkan nyawamu itu? Sedangkan apa yang engkau bawa telah gugur?' Sang prajurit menjawab, ‘Ya Pak. Masih layak, karena saat aku menemukannya, ia masih hidup dan berkata kepadaku, "Aku tahu, engkau 'kan datang untukku." Ia sedang menungguku dan ia menutup-mata dalam rangkulanku. Ya Pak, masih pantas.'
Iman, tidaklah buta. Ia melihat apa yang tak dapat dilihat oleh mereka yang tak beriman. Ia melihat melalui lensa cinta, pengabdian, rasa-syukur atas pertolongan yang diterimanya - tanpa alasan apapun. Iman adalah kerinduan bersama orang yang dicintai. Iman menerangi jalan gelap kekecewaan pada akhir upaya yang melelahkan, karena ia tahu bahwa keberhasilan dan kegagalan di jalan ini, tak diukur dalam ukuran jarak, namun oleh kemauan untuk berdiri dan berupaya menggapai ridha-Nya, Dia Yang mengetahui apa yang ada di dalam qalbumu. Iman adalah senyum di wajah orang yang berjalan ketika semua orang lain memalingkan muka, karena ia mendengarkan suara yang tak dapat mereka dengar. Saat ia berjalan, yang lain berhenti, melihat dan bertanya-tanya; kemudian perlahan-lahan mereka berbalik dan bergabung dengannya sampai ada sebuah kafilah. Mereka mengikutinya karena ia memberi mereka makna dan mereka menemukan kepuasan-diri. Iman, dalam bahasa Islam, termanifestasikan dalam bentuk Tawakkal. Tawakkal adalah hasil dari taubat, sabar dan syukur, serta cinta kepada Allah.

Kisah yang paling kuat tentang Tawakkal dari Sirah adalah pada awal kenabian dimana Baginda Nabi (ﷺ) berdiri di puncak bukit Safa dan berseru, 'Wa Subaha!' Diriwayatkan dari Ibnu `Abbas, radhiyallahu 'anhu," Ketika ayat, 'Dan berikanlah peringatan..." - diwahyukan, Rasulullah (ﷺ) naik ke Safa dan mulai berseru, "Wahai Bani Fihr! Wahai Bani `Adi!" Memanggil berbagai suku Quraisy hingga mereka berkumpul. Mereka yang tak dapat datang mengirim wakil mereka untuk melihat apa yang terjadi. Abu Lahab, salah seorang paman Rasulullah (ﷺ) dan orang-orang lain dari kaum Quraisy, berdatangan. Baginda Nabi (ﷺ) kemudian berkata, “Seandainya aku memberitahu kalian bahwa ada pasukan musuh di lembah yang bermaksud menyerang kalian, akankah kalian mempercayaiku?” Mereka berkata, “Ya, karena kami tak menemukanmu berbicara selain kebenaran." Baginda Nabi (ﷺ) kemudian berkata," Aku pemberi peringatan kepada kalian tentang hukuman yang mengerikan di Akhirat kelak, jika kalian tak meninggalkan penyembahan berhala dan beribadah kepada Allah tanpa menykutukan-Nya." Abu Lahab berkata kepada Rasulullah (ﷺ)," Semoga tanganmu binasa pada hari ini. Karena inikah engkau mengumpulkan kami? " Maka turunlah Surah al-Lahab.
Allah memerintahkan kita agar bertobat dengan tulus atas dosa-dosa kita. Taubat adalah syarat pertama dari sebuah petunjuk, karena Taubat menunjukkan sikap ingin berubah. Takkan ada perubahan atau koreksi yang dapat terjadi kecuali seseorang sadar akan kebutuhannya. Jadi, ketika kita bertobat, kita menunjukkan bahwa kita telah sadar akan perlunya mengubah sikap dan cara kita. Pelajaran pertama yang Allah ajarkan kepada Nabi Adam dan Hawwa', adalah Taubat. Baik Nabi Adam dan Hawwa', serta Iblis, tak menaati Allah. Namun perbedaannya, terletak pada sikap mereka di saat menyadari kesalahan mereka. Nabi Adam dan Hawwa', segera menyesal dan bertobat, dan berkata,
“Wahai Rabb kami, kami telah menzhalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.”
Allah memaafkan mereka dan memberi mereka petunjuk, serta menjadikan mereka sumber petunjuk bagi yang lain. Iblis, di sisi lain, tak bertobat dan meminta waktu dan berkata,
“Berilah aku penangguhan waktu, sampai hari mereka dibangkitkan.”
Hari ini, ketika kita diminta meninggalkan jalan keburukan, kita malah meminta waktu. Mari kita renungkan dan lihat sikap siapa yang kita reflesikan; sikap Nabi Adam dan Hawwa' ataukah sikap Iblis? Bersikap keras atas dosa adalah alasan bagi akhir yang buruk (su'ul khatima). Tiada dosa besar dengan Taubat dan tiada dosa kecil dengan peringatan. Bersikap keras atas dosa akhirnya membuat pintu-pintu Hidaya tertutup dan mengundang murka Allah di kepala kita. Dalam Surah Al-An'aam [6]: 44, Allah berfirman tentang orang-orang yang menolak memperbaiki diri dan bersikap keras melakukan dosa,
"Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa."
Setelah memberikan banyak kesempatan untuk memperbaiki diri, ketika kita bersikeras memberontak, Allah menutup pintu-pintu Hidayah. Sebaliknya, Dia membuka pintu semua yang diinginkan oleh sang pemberontak sampai ia tenggelam dalam pemberontakannya, dan kemudian tiba-tiba maut menerpa dirinya dan ia tak punya kesempatan lagi bertobat. Kita memohon kepada Allah agar diselamatkan dari nasib seperti itu.
Allah memperingatkan kita terhadap segala bentuk ketidaktaatan dan dosa. Seseorang tak boleh menganggap dosa sebagai 'kecil' karena setiap dosa adalah tanda ketidaktaatan kepada Allah dan sikap seperti itulah masalah yang sangat gawat. Jadi bukan tindakan spesifik yang perlu diperhatikan, tetapi seluruh masalah sikap kita yang mengarah ke Jahannam. Dari semua dosa, dosa terburuk adalah syirik, dan itulah satu-satunya dosa yang Allah takkan pernah ampuni, jika seseorang mati karenanya. Oleh sebab itu, sangat penting bahwa kita segera ber-Istighfaar dan bertobat, serta langsung meninggalkan segala ketidaktaatan kepada Allah dan yang melawan Sunnah Rasul-Nya (ﷺ)." Sang musafir muda bertanya, "Berapa lama waktu yang kita miliki sebelum kita perlu melakukan ini?" Sang politisi berkata, "Selama kita berharap hidup!"

Lalu ia melanjutkan, "Langkah kedua adalah bersyukur atas karunia Allah. Hanya ketika seseorang bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya, maka ia bisa puas dan memiliki ketenangan pikiran. Dalam Surah Ibrahim [14]: 7, Allah berfirman tentang rasa syukur,
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”
Karunia terbesar untuk bersyukur kepada Allah, adalah kesempatan dan taufiq untuk bertaubat. Apa yang akan kita lakukan jika pintu Taubat tak dibuka oleh Allah? Semakin seseorang berterima kasih kepada Allah atas karunia-Nya, semakin ia menyadari mereka dan semakin ia mencintai Allah. Bersyukur meningkatkan kesadaran seseorang tentang keagungan dan kemuliaan Allah, dan fakta bahwa Sang Pencipta dan Pemilik langit dan bumi ini, telah bersikap baik kepadanya. Berkah syukur terbesar adalah kenikmatan yang lebih besar dari apa yang diberkahi seseorang dan hukuman pertama dari tak bersyukur adalah bahwa nikmat berkah itu, diambil, dan seseorang tak menikmati apa yang dimilikinya, serta menjalani kehidupan dengan rasa sakit yang ditanggungnya sendiri.
Tentang Syukur, Allah telah mewahyukan dengan jelas bahwa bersyukur kepada-Nya adalah hak-Nya atas kita dan Dia akan membalasnya dengan menambahkan karunia-Nya. Ayat pertama Al-Qur'an setelah Bismillah adalah ayat Syukur: Alhamdulillahi Rabbil 'alamin (segala puja dan puji kepada Allah, Rabb alam semesta). Allah tak hanya menyebutkan manfaat mengekspresikan rasa syukur, Allah juga menyebutkan masalah bagi yang tak melakukannya dan benar-benar tak tahu berterima kasih, yang dengannya, Dia menggunakan kata Kufur (Menyangkal). Dan bagi orang-orang seperti itu, Dia memperingatkan hukuman-Nya.
Suatu hal yang menarik diperhatikan, bahwa Allah berjanji kepada mereka yang bersabar, pahala dan pertolongan-Nya adalah Syukur. Sabar dan Syukur, karenanya saling terkait. Dalam Surah al-Baqarah [2]: 153, Allah berfirman,
"Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar."
Dan juga, dalam Surah Al-Anfal [8]: 46, Allah berfirman,
"Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar."
Bergandengan tangan dengan Syukur adalah Sabar. Konsep Sabar adalah unik dalam Islam, karena bukan apa yang biasanya dipahami oleh kesabaran, yaitu menanggung kesulitan dalam keheningan. Penting untuk diingat bahwa dalam Islam, kesabaran bukan sekadar penerimaan fatalistik atas apapun yang terjadi. Ini berjuang di jalan Allah dengan segala daya dan kekayaan seseorang, dan kemudian menyerahkan hasilnya kepada-Nya. Allah menggunakan kata 'sabirun' yang bermakmna 'mujahidun' di beberapa tempat. Seorang mujahid, tak hanya duduk dan menunggu bantuan Allah datang. Ia berjuang di jalan Allah dengan semua yang ia miliki dan kemudian ia berdoa memohon bantuan. Jelas seseorang yang bertempur dalam pertempuran, tak duduk diam menanggung kesulitan. Ia sepenuhnya hidup, sibuk, berpikir, merencanakan dan melakukan upaya terbaik yang bisa ia lakukan untuk memenangkan pertempuran. Tetapi pada akhir usahanya, ia berdiri di hadapan Rabb-nya dan memohon pertolongan-Nya, karena ia tahu bahwa tanpa bantuan itu, ia tak memperoleh apapun.
Sabar adalah tindakan; untuk melakukan upaya terakhir dan kemudian bergantung kepada Allah. Perwujudan dari konsep Sabar ini adalah tindakan Baginda Nabi (ﷺ) di Pertempuran Badar, dimana setelah membuat semua persiapan yang bisa beliau lakukan, menggunakan sumber daya dari kemampuan terbaiknya, kemudian berdiri di depan Rabb-nya dan menjadikannya doa yang sangat dikenal. Baginda Nabi (ﷺ) berdoa tanpa henti, memohon pertolongan Allah dan bersabda,
"Ya Allah! Orang Quraisy yang sombong dan angkuh, sudah ada di sini menantang-Mu dan mendustakan Utusan-Mu. Ya Allah! Aku menunggu kemenangan dari-Mu, yang telah Engkau janjikan kepadaku. Aku bermohon pada-Mu untuk mengalahkan mereka. Ya Allah! Jika umat ini dikalahkan hari ini, tiada yang 'kan tersisa untuk menyembah-Mu di muka bumi."
Beliau terus memanggil Rabb-nya, mengulurkan tangan dan menghadap kiblat, sampai jubahnya jatuh dari bahunya. Kemudian Abu Bakar, radhiyallahu 'anhu, datang, mengambil jubahnya, dan meletakkannya kembali di pundaknya dan berkata, “Wahai Rasulullah, engkau sudah cukup banyak menyeru kepada Rabb-mu. Dia pasti akan memenuhi apa yang telah Dia janjikan padamu.”
Seketika, jawaban dari Allah, yang mengutus para malaikat dari langit untuk menolong Rasul-Nya (ﷺ) dan para Sahabat. Allah mewahyukan,
"Sesungguhnya Aku bersamamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.” Kelak akan Aku berikan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka pukullah di atas leher mereka dan pukullah tiap-tiap ujung jari mereka." [QS.8:12]
“Sungguh, Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.”[QS.8:9]
Baginda Nabi (ﷺ) bersandar pada sesuatu yang dibuat untuknya dan ia sedikit tertidur, kemudian mengangkat kepalanya dengan gembira sambil berseru, "Wahai Abu Bakar, kabar gembira untukmu, kemenangan Allah telah mendekat. Demi Allah, aku bisa melihat Jibril di atas kudanya di tengah badai pasir." Beliau kemudian keluar dengan mengucapkan,
"Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang." [QS.54:45]
Atas petunjuk malaikat Jibril, alaihissalam, Baginda Nabi (ﷺ) mengambil segenggam pasir dan kerikil, melemparkannya ke arah musuh dan berkata, "Kebingungan menguasai wajah mereka!" Saat ia melemparkan debu, badai pasir yang hebat meledak bagai ledakan tungku, ke mata sang lawan. Sehubungan dengan ini, Allah berfirman,
"... dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar..." [QS.8: 17]
Catatan-catatan Hadis mengutarakan dengan fasih tentang fakta bahwa para malaikat muncul pada hari itu dan berperang di pihak kaum Muslimin. Ibnu Abbas, radhiyallahu 'anhu, berkata, “Sementara pada hari itu, seorang Muslim mengejar orang yang tak beriman dan ia mendengar darinya hentakan cambuk dan suara pengendara berkata:‘ Majulah Haizum!’. Ia melihat tentara musuh telah jatuh di punggungnya, terpenggal. Seorang Ansar mendatangi Baginda Nabi (ﷺ) dan menceritakan kejadian itu kepadanya. Rasulullah (ﷺ) menjawab, ‘Engkau telah berkata benar. Inilah pertolongan dari langit ketiga.” Dalam perang Badar, baginda (ﷺ) memperlihatkan lambang perintah Al-Qur'an untuk mengambil bantuan Sabar dan Shalat ketika dihadapkan dengan kesulitan. Beliau membuat semua persiapan dan kemudian bermohon kepada Rabb-Nya.

Saat seseorang bertobat dan ber-Istighfar, serta terus-menerus bersyukur kepada Allah atas rahmat-Nya, wajar saja bahwa seseorang mulai mencintai Allah. Namun cinta Allah tidaklah sama dengan jenis cinta lain yang mungkin kita rasakan. Cinta Sang Pencipta adalah ibadah, dan ada aturannya sendiri. Ia bukan sesuatu yang diungkapkan atau diakui dengan cara apapun yang kita suka. Orang-orang yang mencintai Allah, selalu taat sepenuhnya kepada-Nya dan tak pernah menggunakan apa yang telah Dia berikan terhadap-Nya dalam ketidaktaatan. Menggunakan apa yang Allah berikan kepada kita - hidup, waktu, kekuatan, kekayaan, pendidikan, kekuasaan, dan pengaruh kita - dalam ketidaktaatan pada-Nya adalah salah satu dari banyak cara mengungkapkan kekufuran. Itulah sebabnya mengapa cara mendekat kepada Allah adalah dengan memperbanyak sujud. Sujud adalah simbol ikon Muslim dimana ia menyerahkan diri sepenuhnya, tanpa syarat dan ketentuan, kepada Allah. Itulah sebabnya, bersujud diharamkan terhadap siapapun selain Allah - karena seorang Muslim tak diperbolehkan menyerahkan diri dan menampilkan dirinya sedemikian rupa, tanpa daya kepada siapapun selain Penciptanya. Melakukan hal itu, bertentangan dengan martabat manusia dan pengingkaran terhadap kebenaran - bahwa hanya Allah-lah yang pantas atas kepatuhan seperti itu. Semua ibadah hanya untuk Allah, tiada yang layak disembah selain Dia."
Sang musafir muda bertanya, "Bagaimana caranya agar Allah mencintai kita?" Sang politisi berkata, "Allah memberi jawaban langsung ketika Dia berfirman kepada Baginda Nabi (ﷺ), "Katakanlah (Muhammad),
“Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."[QS.3: 31]
Cara untuk mengekspresikan cinta kita kepada Sang Pencipta adalah dengan taat kepada-Nya dan mengikuti Sunnah Nabi-Nya (ﷺ). Dan ketika kita melakukan ini, maka Allah akan mencintai kita. Itulah kuncinya. Agar Allah mencintai kita. Jalan menuju cinta Allah dan hubungan dengan-Nya adalah melalui kepatuhan kepada-Nya dan dengan mengikuti Sunnah Rasul-Nya (ﷺ). Seharusnya tiada keraguan dalam pikiran kita tentang ini. Jika ada yang percaya bahwa ia dapat mendurhakai Allah atau mengabaikan Sunnah Rasul-Nya (ﷺ) atau melawan Sunnah Nabi (ﷺ) dan masih dapat memiliki hubungan dengan Allah, ia hanya membodohi dirinya sendiri. Allah menyebutkan cinta untuk-Nya yang menggantikan segala sesuatu yang lain sebagai tanda orang-orang yang beriman. Orang-orang beriman mencintai Allah lebih dari siapapun dan apapun, dan itu diungkapkan oleh kepatuhan penuh mereka kepada-Nya. Dia berfirman,
"Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zhalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka menyesal)." [QS.2: 165].
Allah menyebutkan posisi orang-orang beriman ketika mereka mendengar perintah Allah. Dia berfirman,
"... Dan mereka berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Rabb kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali”." [QS.2: 285]
Dan Allah juga menyebutkan mereka yang memperturutkan hasrat dan angan-angan mereka sendiri dibandingkan menaati perintah-Nya dan berfirman,
"Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan keinginannya sebagai tuhannya. Akankah engkau menjadi pelindungnya? Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu hanyalah seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat jalannya." [QS.25:43-44].
Benang-merahnya telah tampak dengan jelas. Kitalah yang hendaknya membuat pilihan. Allah berfirman tentang hamba-hamba-Nya yang dekat dengan-Nya,
"Sungguh, Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan." [QS.16: 128]
Dan Dia berfirman kepada mereka yang mengaku mencintai-Nya dan ingin dekat dengan-Nya,
"Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." [QS.3: 31]
Allah menciptakan dunia yang terhubung dimana perbuatan kita memiliki dua jenis konsekuensi: manfaat atau bahaya dalam kehidupan ini, dan pahala atau adzab di akhirat. Setiap perbuatan menghasilkan dua jenis konsekuensi ini. Yang satu di kehidupan ini dan yang satu lagi di akhirat. Perhatikan bahwa hanya ketika Allah mencintai seorang hamba, cinta untuknya diperlihatkan di dunia dan semua ciptaan. Dan ketika Allah membenci seorang hamba, kebencian terhadapnya diperlihatkan di muka bumi dan semua ciptaan. Orang-orang mencintai, menghargai, dan menghormati kita, atau membenci, mendendam, dan tak menghormati kita, berdasarkan ridha atau tidakkah Allah kepada kita.
Atas otoritas Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, yang meriwayatkan bahwa Baginda Nabi (ﷺ) bersabda,
"Jika Allah mencintai seorang hamba-Nya, Dia memanggil Jibril dan berfirman,' Aku mencintai si Fulan, maka cintailah ia." Baginda (ﷺ) bersabda, "Maka Jibril pun turut mencintainya. Kemudian Jibril berseru di langit, menyerukan, 'Allah mencintai si Fulan, karenanya, cintailah ia.' Dan penduduk langit pun mencintainya." Baginda (ﷺ) bersabda, "Maka diturunkanlah rasa-cinta kepadanya di seluruh permukaan bumi. Dan jika Allah tak menyukai seorang hamba-Nnya, Dia memanggil Jibril dan berfirman, 'Aku tak menyukai si Fulan, maka bencilah padanya.' Maka Jibril pun turut membencinya. Kemudian Jibril menyeru para penghuni langit, 'Allah tak menyukai si Fulan, maka bencilah padanya.' Baginda (ﷺ) bersabda," Maka merekapun membencinya, dan diturunkanlah rasa ketidaksukaan padanya di seluruh permukaan bumi. " [Imam Muslim, Al-Bukhari, Malik, dan at-Tirmidzi]
Atas otoritas Abu Hurairah, yang meriwayatkan bahwa Baginda Nabi (ﷺ) bersabda,
"Allah berfirman, 'Barangsiapa yang menunjukkan permusuhan kepada seseorang yang mengabdi kepada-Ku, Aku akan memeranginya. Tiadalah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Ku-cintai daripada tugas-tugas keagamaan yang telah Ku-perintahkan kepadanya, dan hamba-Ku terus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah nawafil sehingga Aku mencintainya. Saat Aku mencintainya, Aku-lah, pendengarannya, yang dengannya ia mendengarkan; penglihatannya, yang dengannya ia melihat; tangannya, yang dengannya ia menggayung; dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta sesuatu pada-Ku, pastilah 'kan Ku-berikan padanya, dan jika ia memohon perlindungan-Ku, pastilah 'kan Ku-berikan perlindungan itu. Aku tak ragu tentang apapun seberat keberatan-Ku mengambil nyawa hamba-Ku yang setia: ia membenci kematian dan Aku benci menyakitinya. " [Hadits Qudsi, oleh Imam Al-Bukhari]
Jika engkau renungkan, Baginda Nabi (ﷺ) punya beberapa pilihan untuk memperkenalkan Islam kepada komunitasnya. Beliau bisa saja mengklaim hak superioritas suku dan kebangsawanan. Beliau berasal dari bangsawan paling mulia - Bani Hasyim suku Quraisy. Jadi, beliau bisa berusaha menetapkan dirinya sebagai pemimpin suku utama dan kemudian memperkenalkan Islam. Atau, beliau bisa saja menempuh rute reformis sosial. Mekah adalah tempat yang ditandai dengan kejahatan sosial yang berlebihan, penindasan dan dosa. Baginda Nabi (ﷺ) juga dapat bersuara menentang mereka, berusaha mendapatkan dukungan dan kemudian memperkenalkan Islam sebagai doktrin yang menjadi dasar gerakan reformis sosialnya. Akhirnya, Baginda Nabi (ﷺ) juga bisa memperkenalkan Islam sebagai agama alternatif, cara baru dalam memandang berbagai hal, teori baru - sama dengan segala sesuatu yang ada, cara alternatif untuk sampai pada kebenaran, jalan lain menuju Roma. Bukan sebagai satu-satunya jalan menuju Jannah, satu-satunya jalan menuju keselamatan, satu-satunya agama kebenaran dimana yng lain takkan diterima oleh Allah pada Hari Kiamat. Baginda Nabi (ﷺ) bisa menampilkan Islam sebagai salah satu dari banyak teori dan mode zaman baru, yang berputar di zaman ini, yang dalam masyarakat politeistis, mendapat penerimaan yang luas.
Namun, beliau tak melakukan hal semacam itu. Baginda Nabi (ﷺ) tak menggunakan salah satu alternatif yang tersedia baginya, tetapi berdiri dengan jelas dari segalanya dan mengumumkan kepada kaumnya, 'Tinggalkan penyembahan berhala dan sembahlah Allah tanpa menyektukan-Nya atau bersiaplah dihukum saat kalian bertemu Allah.' Dengan metode seruan ini, dengan sekali pukulan, Baginda Nabi (ﷺ) berhasil membuat benci semua orang di Mekah karena secara ideologis, beliau menyerang agama mereka dan menunjukkan sifat khayalinya. Mitologinya sangat menonjol; sebuah mitos. Dan beliau memperkenalkan konsep pertanggungjawaban kepada Allah yang tiada yang dapat disembunyikan dari-Nya. Bukan pemikiran yang nyaman bagi mereka yang terbiasa melakukan apa pun yang mereka sukai berdasarkan kekayaan dan kekuatan pribadi mereka. Orang kaya dan berkuasa sepanjang masa, tak pernah berbaik hati dengan pemikiran bahwa mereka akan dipanggil untuk bertanggung jawab kelak, dan harus membayar atas perbuatan mereka. Semua hal ini sangat asing dan berseberangan bagi orang-orang Mekah pada umumnya, dan kaum Quraisy khususnya, sehingga mereka langsung memberontak. Orang-orang Quraisy secara khusus terpengaruh karena mereka adalah kelas imam, pemelihara Ka'bah tempat mereka menyimpan 350 berhala; pemujaan yang, terutama saat musim Haji tahunan, menjadi sumber pendapatan utama bagi mereka.
Pesan Baginda Nabi (ﷺ) itu, mengancam bukan hanya keyakinan mereka, melainkan jauh lebih penting di mata mereka, perekonomian, dan bahwa mereka tak bisa menanggungnya. Jadi, mereka memerangi beliau, dengan gigih dan ganas. Satu-satunya cara untuk memahami mengapa Baginda Nabi (ﷺ) memilih cara khusus ini untuk mengabarkan Islam adalah, dengan merujuk pada Al-Quran dan melihat apa yang dilakukan oleh semua Nabi Allah, alaihimussalam. Mereka semua melakukan hal yang sama. Mereka mengumumkan pesan mereka dengan jelas dan langsung tanpa berbelit-belit atau menyamarkannya dengan cara apapun. Mereka tak meminta imbalan, baik finansial, sosial ataupun politik. Mereka bertindak karena tak takut kepada siapapun selain Allah, dan tak meminta imbalan dari siapapun nelainkan dari Allah. Keterusterangan dalam berdakwah dan mengajar yang tanpa imbalan materi ini, adalah ciri khas dari para Nabi sepanjang masa. Rasulullah (ﷺ) hanya mengulangi apa yang selalu dilakukan saudara-saudara beliau, para Nabi, selama berabad-abad, selama umat manusia membutuhkan tuntunan. Sampai hari ini, para pewaris para Nabi - orang-orang berilmu yang membawa firman Allah ke seluruh umat manusia - juga mengikuti metode yang sama. Mereka berbicara dengan jelas dan langsung, dan mereka juga bekerja tanpa mengharapkan atau menerima upah. Siapapun yang mengubah metodologi ini, telah melepaskan diri dari tradisi turun-temurun para Nabi dan dari bantuan Allah yang menyertainya.

Pada awal dakwah Islam, setiap kali engkau berpikir tentang keimanan Baginda Nabi (ﷺ) yang kuat, bernas, abadi, dan tak tergoyahkan, semuanya menggambarkan ketergantungan sepenuhnya pada Allah agar sukses, dimana beliau hanya melakukan apa yang diperintahkan kepadanya untuk dilakukan. tanpa membiarkan apapun, termasuk penilaiannya sendiri, merintangi jalan yang diperintahkan kepada beliau. Allah telah memerintahkan beliau untuk memperingatkan kaumnya. Dan itulah yang beliau lakukan. Bukanlah sesuatu yang buruk atau salah tentang menggunakan akalmu sendiri, tetapi bagi orang yang menerima Wahyu, tak ada pilihan selain mengikuti apa yang beliau terima tanpa pertanyaan. Logika yang sama berlaku bagi mereka yang menanggung Wahyu hari ini - umat Islam - yang beriman pada apa yang diwahyukan, dalam kebenarannya, peruntukannya bagi semua orang, sumber Ilahi dan penerapannya yang takkan berubah sampai akhir zaman. Kita melakukan apa yang diperintahkan kepada kita untuk dikerjakan, tanpa pertanyaan, tanpa mengubah atau menukar pesan itu dengan cara apapun. Itulah yang menunjukkan integritas diri kita. Inilah yang membedakan umat Islam dengan mereka yang juga menerima wahyu di hadapan mereka - karena mereka berubah dan menafsirkan dan menukarkan, hingga Wahyu itu kehilangan kualitas Ilahi dan Firman Allah menjadi firman manusia. Umat Islam selama berabad-abad tak pernah melakukannya.
Seluruh periode Kenabian di Mekah selama 13 tahun adalah periode kekecewaan demi kekecewaan, kegagalan demi kegagalan. Jika seseorang mencari tanda-tanda material keberhasilan potensial, tak ada. Bagaimana kemudian Baginda Nabi (ﷺ) masih melanjutkan misinya, energi dan komitmennya tak berkurang, berdiri di malam hari dan terhubung dengan Rabb-Nya, dan bekerja sepanjang hari untuk menyampaikan pesannya kepada siapa saja yang akan berhenti untuk mendengarkan - tak peduli mereka menerima atau tidak apa yang beliau sampaikan. Tak peduli bagaimana mereka bereaksi atau apa yang mereka lakukan, beliau tak pernah kehilangan kesabaran, tak pernah marah, tak pernah bereaksi terhadap mereka dan perilaku buruk mereka, dan beliau tak pernah meninggalkan misinya atau bahkan malas sedikitpun dalam menyebarkannya. Baginya dan misinya, tiada akhir pekan, tiada hari libur, tiada jeda - beliau bekerja terus-menerus, siang dan malam tanpa henti. Apakah, selain iman yang lengkap dan total, yang dapat menopang upaya seperti itu? Dan siapa yang selain Utusan Allah (ﷺ) yang dapat memiliki tingkat keunggulan itu? Dalam kehidupan kita, salah satu dari banyak pelajaran penting untuk dipelajari adalah kemampuan untuk mempertahankan upaya dalam menghadapi kekecewaan dan kegagalan yang nyata. Bukanlah yang tercepat, melainkan yang paling tangguhlah, yang memenangkan perlombaan. Kita terlalu mudah menyerah, terlalu mudah berkecil-hati dan terlalu fokus untuk mendapatkan hasil yang terlihat. Kita lupa bahwa Islam masuk ke dalam qalbu, dan bahwa sebagian besar yang masuk itu, tak terlihat."
[Bagian 2]