Senin, 25 Februari 2019

Keputusan yang Adil

Sang semut melanjutkan, "Meskipun mungkin tampak sebagai basis yang kuat, masyarakat yang didasarkan pada ketidakadilan, penindasan dan ketidakseimbangan, takkan dapat bertahan lama dan panjang. Allah menunjuk para nabi-Nya sebagai pemandu bagi umat mereka dalam segala urusan. Mereka juga memutuskan perselisihan umat dan menegakkan keadilan yang memang merupakan tulang-punggung masyarakat manapun. Para nabi, alaihissalam, mewujudkan masyarakat yang bebas dari penindasan dan berdasarkan keadilan. Pengambilan keputusan mereka cerdas dan didasarkan pada pandangan spiritual ke depan, yang diberikan Allah kepada mereka.
Jadi, perkenankan aku menyampaikan sebuah kejadian di zaman Nabi Dawud, alaihissalam. Seperti yang kita ketahui, Allah menganugerahkan Nabi Dawud dan Sulaiman, ilmu dan hikmah. Nabi Dawud adalah pemimpin yang adil dan shalih, yang membawa kedamaian dan kemakmuran bagi umatnya, dan yang dimuliakan oleh Allah sebagai utusan. Nabi Sulaiman cerdas dan bijaksana sejak usia muda. Suatu hari Nabi Dawud, sedang duduk, seperti biasa, memecahkan masalah umatnya ketika dua lelaki, yang salah seorang darinya pemilik ladang, mendatanginya. Pemilik ladang berkata, "Wahai Nabi tercinta! Domba-domba ini masuk ke ladangku pada malam hari dan memakan buah anggurku, dan aku datang meminta ganti-rugi." Nabi Dawud bertanya kepada pemilik domba, "Benarkah itu?" Ia berkata, "Ya, baginda." Nabi Dawud berkata, "Aku telah memutuskan bahwa engkau memberinya domba sebagai ganti ladang itu." Pada saat itu, Nabi Sulaiman masih seorang bocah berusia sekitar sebelas tahun. Ia sedang duduk di dekat ayahnya.

Allah berfirman,
وَدَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ
"Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, ketika keduanya memberikan keputusan mengenai ladang, karena (ladang itu) dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oleh mereka itu." - [QS.21:78]
فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُدَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ
"Dan Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat); dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu, dan Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Dawud. Dan Kamilah yang melakukannya." - [QS.21:79]
Nabi Sulaiman, yang telah Allah anugerahkan hikmah selain apa yang telah ia warisi dari ayahnya, berbicara, "Aku berpendapat lain. Pemilik domba harus menanam kembali ladang itu sampai anggurnya tumbuh, sedangkan pemiliknya, harus mengambil dombanya dan memanfaatkan wol dan susunya sampai ladangnya kembali seperti sediakala. Jika anggurnya telah tumbuh, dan ladang kembali pada keadaan semula, maka pemilik ladang harus mengambil ladangnya dan mengembalikan domba kepada pemiliknya." Nabi Dawud menjawab, "Ini pertimbangan yang bagus. Puji-syukur kepada Allah karena telah memberimu kebijaksanaan."

Kecerdasan, kemampuan hukum dan pandangan jauh ke depan, tak terikat pada usia. Terkadang seorang anak muda mampu mencapai kedalaman suatu masalah namun para tetua tak dapat memahami kerumitannya. Tetapi, ini bukan berarti bahwa para tetua kurang dalam hal apapun, sebab itu adalah kebijaksanaan Allah yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Nabi Sulaiman masih muda, sementara Nabi Daud adalah ayahnya dan yang lebih tua, tetapi Nabi Sulaiman diberi kemampuan yang kuat untuk mencapai kebenaran. Ada contoh lain dari hal ini.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
كَانَتِ امْرَأَتَانِ مَعَهُمَا ابْنَاهُمَا، جَاءَ الذِّئْبُ فَذَهَبَ بِابْنِ إِحْدَاهُمَا فَقَالَتْ لِصَاحِبَتِهَا إِنَّمَا ذَهَبَ بِابْنِكِ‏.‏ وَقَالَتِ الأُخْرَى إِنَّمَا ذَهَبَ بِابْنِكِ‏.‏ فَتَحَاكَمَتَا إِلَى دَاوُدَ ـ عَلَيْهِ السَّلاَمُ ـ فَقَضَى بِهِ لِلْكُبْرَى، فَخَرَجَتَا عَلَى سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ ـ عَلَيْهِمَا السَّلاَمُ ـ فَأَخْبَرَتَاهُ فَقَالَ ائْتُونِي بِالسِّكِّينِ أَشُقُّهُ بَيْنَهُمَا‏.‏ فَقَالَتِ الصُّغْرَى لاَ تَفْعَلْ يَرْحَمُكَ اللَّهُ‏.‏ هُوَ ابْنُهَا‏.‏ فَقَضَى بِهِ لِلصُّغْرَى ‏"‏‏.‏ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَاللَّهِ إِنْ سَمِعْتُ بِالسِّكِّينِ قَطُّ إِلاَّ يَوْمَئِذٍ، وَمَا كُنَّا نَقُولُ إِلاَّ الْمُدْيَةَ‏.‏
"Tersebutlah dua orang wanita yang masing-masing memiliki seorang bayi lelaki. Seekor serigala datang dan mengambil bayi salah seorang dari mereka. Wanita itu berkata kepada temannya, 'Serigala telah mengambil anakmu.' Yang lain berkata, 'Tapi serigala itu mengambil anakmu." Maka keduanya meminta putusan (Nabi) Dawud yang mempertimbangkan bahwa sang bayi harus diserahkan kepada wanita yang lebih tua, kemudian mereka menemui (Nabi) Sulaiman, putra (Nabi) Dawud dan menyampaikan padanya tentang masalah ini, 'Beri aku pisau agar aku dapat memotong sang bayi menjadi dua bagian dan memberikan setengah bagian bagi masing-masing kalian.' Wanita yang lebih muda berkata, 'Jangan lakukan itu, semoga Allah merahmatimu! Sesungguhnya, bayi itu anaknya.' Karena hal itulah, Nabi Sulaiman memberikan sang bayi kepada wanita yang lebih muda."
Abu Hurairah menambahkan, "Demi Allah! Aku belum pernah mendengar kata 'Sakkin' sebagai pisau, kecuali pada hari itu, karena kami dulu menyebutnya 'Mudyah'." - [Sahih al-Bukhari]
Peristiwa ini terjadi pada zaman Nabi Dawud. Dua wanita membawa sebuah permasalahan ke hadapannya. Seekor serigala telah mengambil bayi salah seorang dari mereka dan ia menyatakan bayi yang lain sebagai anaknya. Meskipun ia tahu bahwa bayinyalah yang diambil oleh serigala, ia membantah bahwa serigala itu tak mengambil bayinya, melainkan mengambil yang lain. Wanita yang lain berusaha sekuat tenaga menjelaskan kepadanya, namun ia menolaknya dan itulah sebabnya mereka membawa permasalahan mereka kepada Nabi Dawud.
Nabi Dawud mempertimbangkan dalih-dalih mereka dan menggunakan pertimbangannya, sehingga memutuskan mendukung wanita yang lebih tua dari kedua wanita itu. Fakta-faktanya bertentangan dengan putusannya, namun, seorang hakim memperhatikan kasus ini dan mempertimbangkan dalih dari kedua belah pihak. Pertimbangannya tulus dan jujur. Namun, terkadang, salah satu pihak memberikan kesaksian palsu dan menyesatkan hakim berdasarkan dalih-dalih yang diajukan kepadanya.

Secara alami, wanita yang lebih muda tak puas dengan keputusan itu, lagipula, sang bayi memang benar anaknya. Permasalahan ini dibawa ke hadapan Nabi Sulaiman. Ia disampaikan tentang sifat kasus dan pertimbangan ayahnya. Dan ia menyadari bahwa keputusan itu keliru. Maka, ia menempuh cara baru untuk sampai pada kesimpulan yang sangat efektif. Ia meminta salah seorang pelayannya mengambilkan pisau, agar ia dapat membelah dua anak itu dan menyerahkan masing-masing bagian kepada para wanita itu. Perselisihan mereka karenanya, akan berakhir.
Jelas, inilah taktik psikologis dan ia tak berencana benar-benar melaksanakan keputusannya. Muslihatnyapun terbayar. Hampir saja ia tak mengumumkan keputusannya hingga sang wanita muda berteriak, "Jangan lakukan itu! Semoga Allah merahmatimu! Anak ini miliknya, (bukan milikku)." Ia mungkin tahu bahwa Nabi Sulaiman takkan melakukannya dan, sungguh, Nabi Sulaiman takkan mau melakukan hal seperti itu; namun, ia langsung berkata dan menarik gugatannya agar dapat melindungi sang bayi. Permohonannya adalah bukti yang cukup mendukungnya dan itu membuktikan bahwa ia adalah ibu kandung anak itu, karena hanya seorang ibu yang bisa mengungkapkan perasaannya terhadap anaknya dan akan membiarkannya dalam kepemilikan orang lain daripada dibunuh. Wanita yang lain tak berkata apa-apa, dan inilah ungkapan kurangnya rasa cintanya pada sang bayi.
Pendekatan psikologis Nabi Sulaiman terbayar dan ia menemukan kebenaran. Sang bayi menjadi milik wanita yang lebih muda dan wanita yang lebih tua, bersaksi palsu. Maka, Nabi Sulaiman memutuskan membenarkan wanita yang lebih muda.

Hadits ini memberi kita banyak pelajaran. Kisah ini mengungkapkan tingkat kecerdasan dan pandangan jauh ke depan bagi pertimbangan yang sangat tinggi. Ia memiliki banyak hikmah dan sangat bijak.
Tak cukup hanya dengan mempertimbangkan kesaksian saja dalam mengambil keputusan dalam perselisihan apapun. Hakim hendaknya mengamati perilaku para pihak dan menelitinya secara psikologis. Ia hendaknya berusaha meneliti masalah ini secara mendalam dan mencari tahu kebenaran sehingga ia bisa sampai pada kesimpulan yang adil. Itulah sebabnya seorang hakim ditunjuk bukan hanya atas dasar pengetahuannya saja, tetapi juga kecerdasannya, pandangan ke depan dan kemampuannya menyaring kesaksian. Hanya dengan begitu, orang bisa mendapatkan keadilan sejati. Permasalahan ini juga membuktikan bahwa hakim dapat menggunakan taktik psikologis untuk sampai pada suatu kesimpulan. Nabi Sulaiman melakukannya dan mampu menunjukkan ibu sejati sang bayi. Kepekaaan-rasa seorang ibu kandung keluar di tempat terbuka, sementara perilaku wanita lain itu mendustakan gugatannya dan mengungkapkan kebohongannya. Orang yang bersalah akan berbicara dengan perilakunya sendiri.

Putusan tersebut juga membuktikan bahwa seorang hakim dapat membatalkan atau menolak keputusan hakim lain jika keadilan belum ditegakkan olehnya. Nabi Sulaiman mencabut keputusan Nabi Dawud, yang bukan saja ayahnya, melainkan juga seorang Nabi.
Jika suatu kasus rumit dan ada keraguan dalam kesaksian, dan dalih-dalihnya tak dapat disimpulkan dan kesaksian tak membantu, hakim hendaknya berusaha mencapai kesimpulan melalui bukti langsung dan indikasi luar. Nabi Sulaiman telah melakukannya.
Jika seorang hakim atau ahli hukum, yang telah melakukan yang terbaik, tak dapat menggali kebenaran dan salah dalam penilaiannya, maka ia tak dapat disalahkan, tetapi pada kenyataannya, ia berhak dihargai atas upayanya yang tulus. Tentu saja, pahalanya akan berlipat dua jika ia memutuskan dengan benar sementara jika keputusannya salah, maka ia hanya akan mendapatkan satu pahala atas upayanya itu.

Kasus ini juga membuktikan bahwa para nabi pada umumnya memutuskan interpretasi pribadi mereka, bukan atas dasar wahyu dari Allah. Jika mereka mendasarkan penilaian mereka pada wahyu Ilahi, pernyataan Nabi Dawud dan Sulaiman takkan berbeda. Itulah sebabnya mengapa kadang-kadang keputusan para nabi mendukung orang yang keliru karena beberapa hadit menyebutkan tentang Nabi (ﷺ) sendiri melalui penilaian semacam itu. Namun, ketika ada keraguan mutlak, Allah mengungkapkan fakta kepada para nabi-Nya melalui wahyu. Ini juga memberitahu kita bahwa para nabi yang mulia bukanlah mereka yang mengetahui hal yang ghaib. Jika mereka mengetahui hal yang ghaib, Nabi Dawud takkan memutuskan pertimbangannya dan kita takkan pernah mendengar tentang keputusannya, yang disampaikan oleh Rasulullah (ﷺ).
Ada kemungkinan bahwa dua keputusan yang diambil oleh Nabi Dawud dan Sulaiman, diperbolehkan dalam syariat mereka, namun keputusan yang diambil oleh Nabi Sulaiman lebih dekat dengan kebenaran. Itulah sebabnya Allah memuji Nabi Sulaiman atas apa yang diilhaminya. Diriwayatkan dari 'Abdullah bin' Amr bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
أَنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ دَاوُدَ صلى الله عليه وسلم لَمَّا بَنَى بَيْتَ الْمَقْدِسِ سَأَلَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ خِلاَلاً ثَلاَثَةً سَأَلَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حُكْمًا يُصَادِفُ حُكْمَهُ فَأُوتِيَهُ وَسَأَلَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لأَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ فَأُوتِيَهُ وَسَأَلَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حِينَ فَرَغَ مِنْ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ أَنْ لاَ يَأْتِيَهُ أَحَدٌ لاَ يَنْهَزُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ فِيهِ أَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
"Sesungguhnya ketika Sulaiman memperbaiki bangunan Baitul Maqdis, ia meminta kepada Allah tiga hal; Allah mengabulkan dua dari permintaannya. Permintaan Sulaiman adalah ia meminta semua hakim memakai hukumnya, dan Allah memberinya. Ia meminta kekusaan yang tak seorangpun mampu menandinginya, maka Allah pun memberinya. Dan yang ketiga ia meminta supaya orang yang ingin mengerjakan shalat ke Baitul Maqdis akan diampuni dosa-dosanya sebagaiman ia baru dilahirkan oleh ibunya." - [Sunan an-Nasa'i; Sahih]
Sang semut lalu berkata, "Wahai saudara-saudariku, masyarakat yang diperjuangkan oleh para nabi yang mulia, memiliki keadilan sebagai sifat utamanya. Yang tertindas diberi keadilan, karena keadilan dan kejujuran itu sendiri menentukan patutkah suatu masyarakat yang beradab itu dimuliakan atau dilaknat. Syari'ah Islam memegang keadilan dan perlakuan adil sebagai bagian terpenting dari kehidupan sosial. Itulah sukma masyarakat Islam. Wallahu a'lam."
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan." - [QS.4:135]
Rujukan :
- Maulana Hifzur Rahman Soeharwy, Qasasul Ambiyaa, Idara Impex
- Maulana Muhammad Zakaria Iqbal, Stories from the Hadith, Darul Isha'at