Senin, 01 Maret 2021

Pemungut-Cukai

Niat-hati hendak berkelakar, apa-daya berlanjut jadi pembicaraan bernalar. Begini ceritanya. Usai mengucapkan salam, sang elang-tua memulai dengan bersenandung,
Perkenankan aku perjelas bagaimana jadinya
Masih ada sepenggalan untukmu, sembilan-belas bagian buatku
Karena, akulah pemungut-cukainya
Yah, akulah pemungut-cukainya

Terasa sedikitkah yang lima persen?
Bersyukurlah, tak seluruhnya kubebankan
Karena, akulah pemungut-cukainya
Yah, akulah pemungut-cukainya

Bila engkau berkendara, jalanannya 'kan kukenakan bea
Bila engkau duduk, kursinya 'kan kukenakan bea
Bila engkau kedinginan, pemanasnya 'kan kukenakan bea
Bila engkau berjalan, tungkaimu 'kan kukenakan bea
Karena, akulah pemungut-cukainya
Yah, akulah pemungut-cukainya

Jangan tanya untuk apa itu kuinginkan
Jika engkau tak rela bayar bea tambahan
Karena, akulah pemungut-cukainya
Yah, akulah pemungut-cukainya

Nasihatku bagi mereka yang telah berlalu
Laporkanlah recehan yang menutup kedua-matamu
Karena, akulah pemungut-cukainya
Yah, akulah pemungut-cukainya
Dan engkau tak bekerja bagi siapapun, melainkan untukku
Sang elang-tua, awalnya, hendak bercanda, agar para unggas, setidaknya, tersenyum, maka iapun mulai bercerita, "Pada era Kekaisaran Seljuk, tersebutlah seorang lelaki bernama Nasrudin Hodja, ia dipandang sebagai seorang filsuf, sufi, dan orang bijak.
Suatu hari, pemerintah setempat meminta Nasrudin membayar cukai senilai 1500 dirham. Akan tetapi, setelah menjual hartanya dan memperhitungkan hasilnya sebagai pembayaran hutang, ia masih kekurangan 500 dirham.
Walikota memanggilnya dan memerintahkan ia segera membayar sisanya.
“Aku tak punya uang lagi,” kata Nasrudin. “Yang tersisa dariku dan istriku, hanya 800 dirham —tapi itu miliknya.”
"Baiklah," jawab sang walikota, "Sesuai perundang-undangan yang berlaku, suami-istri itu, berbagi harta dan utang - dan dengan demikian, engkau harus menggunakan 800 dirham tersebut untuk membayar hutangmu."
“Aku tak bisa,” jawab Nasrudin. "Mengapa tidak?" tanya sang walikota.
“Karena,” Nasrudin menjelaskan, “Yang 800 dirham itu, sebenarnya, mas-kawin yang harus kubayarkan dan itupun belum lunas.”
Sesaat kemudian, sang elang-tua diam, menunggu reaksi. Namun, tak satupun para unggas, setidaknya, senyum. Sang elang-tua melihat berkeliling, para unggas, menatapnya dengan sungguh-sungguh.

Sambil berdeham, sang elang-tua berkata, "Nah, ada cerita lagi, 'Pemungut-cukai di kota tempat Nasrudin tinggal, korupsi dan banyak menerima suap. Suatu hari, sang walikota meminta sang pemungut-cukai menunjukkan laporannya, untuk dipelajari.
Setelah menelitinya, sang walikota sadar bahwa laporan itu dipalsukan, ia berang, lalu membentak sang pemungut-cukai, "Tak hanya dipecat, engkau juga kuperintahkan memakan kertas-laporan yang telah engkau sampaikan ini, segera, dihadapanku!"
Maka, sang pemungut-cukai melaksanakan apa yang diperintahkan, sementara petugas pengadilan menyaksikan dengan takjub. Seketika, berita tentang apa yang telah terjadi, menyebar ke seluruh kota.
Sekitar seminggu kemudian, sang walikota menunjuk Nasrudin sebagai pemungut-cukai yang baru. Minggu berikutnya, saat sang walikota memintanya menyajikan kertas-laporannya, Nasrudin menyajikannya di atas roti-kebab.
Walikota bertanya, “Mengapa engkau menyajikan laporanmu di atas roti-kebab?"
"Karena," jawab Nasrudin, "Aku melihat apa yang terjadi pada petugas yang terdahulu, maka akupun menyampaikannya di atas roti-kebab kalau-kalau engkau akhirnya menyuruhku memakannya juga."
Untuk kali-kedua, sang elang-tua menanti reaksi, dan berkata, "Ada tanggapan?" Para unggas masih terdiam, hingga sang kutilang bertanya, "Tentang pajakkah ceritamu ini?" Sang elang-tua, tanpa pikir-panjang, menjawab, "Iyaa!" Kutilang bertanya, "Bagaimana perlakuan pajak dalam sejarah Islam? Sampaikanlah saudaraku!"

Agak terkesima, sang elang-tua dengan santai berkata, "Wahai saudara-saudariku! Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mewahyukan sistem ekonomi yang komprehensif, yang merinci segala aspek kehidupan ekonomi, termasuk pemasukan pemerintah dan perpajakan. Pemasukan ini dikelola oleh Baitul-Mal, Perbendaharaan Negara, yang seyogyanya cukup untuk menutupi pembelanjaan negara. Ada beberapa bentuk penerimaan yang telah ditetapkan oleh Syari'ah, yakni Fa'i, Jizyah, Kharaj, Ushur, dan penghasilan dari badan-usaha milik negara dan daerah.

Beban-finansial yang dikenakan negara-negara modern saat ini, jauh malampaui masa-masa sebelumnya. Di masa setelah Kekhalifahan Rasyidin, dimana masa Kekhalifahan bangkit kembali, negara perlu mendanai program pembangunan dan industri yang besar untuk membalikkan kemunduran selama berabad-abad, dan membawa dunia Muslim sepenuhnya ke abad ke-21. Karena itu, sumber pendapatan Baitul-Mal mungkin tak cukup menutupi semua kebutuhan dan kepentingan yang wajib dibelanjakan oleh negara. Dalam situasi dimana pendapatan Baitul-Mal tak cukup memenuhi kebutuhan anggaran negara, kewajiban itu beralih dari Baitul-Mal, kepada Umat secara keseluruhan. Ini karena Allah telah mewajibkan umat Islam membelanjakan kebutuhan dan kepentingan ini, dan bila mereka tak melaksanakannya, akan menyebabkan kerugian bagi umat Islam itu sendiri. Allah mewajibkan Negara dan Umat agar menghilangkan segala bahaya bagi umat.
Sebuah Hadits Hasan yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, ad-Daraqutni dan lainnya sebagai hadits musnad, bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
"Tak boleh ada bahaya (darar) dan tak boleh membahayakan orang lain (dirar).”
Karenanya, Allah mewajibkan negara mengumpulkan dana Umat guna menutupi pengeluaran wajibnya. Negara mencapai ini dengan mengenakan pajak atas Umat sedemikian rupa sehingga kebutuhan dan kepentingan ini terpenuhi, dengan syarat tak melampaui-batas. Pajak-pajak ini, hendaknya diambil dari kelebihan kekayaan rakyat semata. Kekayaan ini, harta yang tersisa setelah seseorang menafkahkan kebutuhan dasarnya, dan juga kemewahannya, sesuai taraf-hidup yang wajar.

Ada enam bidang pengeluaran yang wajib dibelanjakan Baitul-Mal. Jika dana yang tersedia tak mencukupi, maka pajak akan dibebankan kepada Umat untuk menutupi belanja-negara. Bidang-bidang ini, pertama, pengeluaran jihad dan segala kelengkapannya. Negara wajib membentuk angkatan bersenjata yang kuat dan terlatih. Angkatan bersenjata ini hendaknya dipersiapkan dengan senjata mutakhir dan tercanggih sehingga kualitas dan kuantitasnya mampu menghalangi, menundukkan dan menakut-nakuti musuh yang mengancam. Kekuatan-kekuatan ini akan membebaskan negara dari pendudukan musuh, dan membantu negara dalam penyebaran perdamaian dan dakwah Islam. Pengeluaran jihad dan kelengkapannya, merupakan salah satu hak yang dibayar pada Baitul-Mal, baik dana itu ada atau tidak. Jika ada dana yang tersedia, maka digunakan untuk jihad dan kebutuhannya. Jika tak ada dana, maka kewajiban berjihad, dengan syarat jihad itu diwajibkan dan ditetapkan, berpindah dari Baitul-Mal kepada umat, karena jihad itu, wajib atas kaum muslimin secara harta dan pribadi.
Dalam keadaan dimana tak ada dana di Baitul-Mal untuk dibelanjakan pada Jihad dan persyaratannya, Negara seyogyanya mendorong Umat agar berkontribusi secara sukarela. Jika sumbangan sukarela ini tak cukup untuk menutupi Jihad yang ditentukan, maka Negara akan mengenakan pajak atas Umat, sampai jumlah yang diperlukan, dan tak boleh lebih, untuk menutupi pengeluaran. Negara tak boleh mengenakan pajak lebih dari yang dipersyaratkan.

Kedua, belanja untuk industri militer. Negara berkewajiban membina angkatan-perang dan industri terkait lainnya guna memungkinkan pembuatan senjata dan peralatan terbaru dan tercanggih untuk angkatan bersenjata. Ini karena jihad membutuhkan tentara, dan tentara membutuhkan senjata agar bela-negara dapat terlaksana. Membangun senjata yang sangat efektif dan kuat, membutuhkan industri. Karenanya, industri senjata militer memiliki hubungan yang erat dengan Jihad.
Agar Negara dapat independen, dan bebas dari pengaruh dan kendali negara lain, ia hendaknya melakukan produksi dan pengembangan senjatanya sendiri, terutama senjata vital. Hal ini agar Negara memiliki senjata yang paling modern dan maju, terlepas dari seberapa banyak senjata yang berkembang dan canggih. Juga Negara hendaknya memiliki, di bawah kendalinya, semua senjata yang ia butuhkan untuk menakut-nakuti setiap musuh, baik yang terbuka maupun yang tersembunyi, sesuai dengan posisi internasional Negara.
Ketiadaan pabrik-pabrik militer ini, menjadikan umat Islam bergantung pada negara-negara non-muslim untuk persenjataan, suatu hal yang dapat membuat kebijakan politik dan pengambilan keputusan Umat, tunduk pada kehendak dan keputusan negara non-muslim lainnya. Negara-negara ini, tak menjual senjata kecuali dengan persyaratan sesuai kepentingan mereka, dan ini akan menimbulkan kerugian yang paling mengerikan bagi umat.
Diperbolehkan bagi para individu dalam umat mendirikan seluruh atau sebagian dari industri-industri ini, memproduksi senjata-senjata yang diperlukan saja. Namun, jika mereka tak membangunnya, atau mereka hanya mendirikan beberapa di antaranya, maka Negara berkewajiban membangun pabrik-pabrik yang diperlukan untuk memproduksi semua senjata dan perlengkapan yang dibutuhkan angkatan bersenjata.
Membangun pabrik-pabrik ini, merupakan salah satu hak-wajib atas Baitul-Mal, baik ada dana maupun tidak. Jika ada dana, maka dibelanjakan untuk membangun pabrik-pabrik ini. Jika tak ada dana yang tersedia maka kewajiban keuangan ditransfer ke umat. Dalam hal ini, negara memberlakukan pajak untuk mengumpulkan dana yang diperlukan, terlepas dari jumlahnya.

Ketiga, belanja untuk kaum fakir, miskin, dan musafir. Ada dana atau tidak di Baitul-Mal, ini wajib dilakukan. Bila ada dana yang cukup, seketika dilaksanakan. Jika tak ada dana, maka kewajiban berpindah kepada Umat. Hal ini karena pengeluaran bagi kaum fakir, miskin, dan musafir, telah diwajibkan Allah atas umat Islam dalam bentuk Zakat dan Sedekah.
Oleh karena itu, jika ada dana yang tersedia di Baitul-Mal untuk dibelanjakan bagi fakir miskin dan musafir, maka dana itu dibelanjakan untuk mereka. Jika tidak, kewajiban tersebut dialihkan kepada umat dan Negara memberlakukan pajak untuk tujuan ini, sehingga jumlah dana yang diperlukan bertambah.

Keempat, pengeluaran yang wajib dibelanjakan dalam bentuk pelayanan dan kepedulian terhadap umat. Pengeluaran-pengeluaran ini, digunakan untuk keperluan-keperluan yang keberadaannya dianggap sebagai suatu kebutuhan, sehingga jika tak ada, maka akan merugikan umat. Penggunaannya dapat mencakup, antara lain, jalan umum, sekolah, perguruan-tinggi, rumah sakit, masjid, pasokan-air dan fasilitas lainnya.
Pembelanjaan di bidang ini, hukumnya wajib, baik ada dana di Baitul-Mal maupun tidak. Jika ada dana, maka digunakan membangun fasilitas-fasilitas ini. Jika tidak, maka kewajibannya dialihkan kepada umat. Hal ini merupakan kewajiban umat, dan bila gagal dilaksanakan, akan mengakibatkan kerugian bagi umat. Kerugian itu hendaknya diatasi, baik oleh Negara maupun Umat.
Namun jika ketiadaan layanan ini, tak merugikan umat, maka tak wajib disediakan. Misalnya, pembukaan jalan sekunder atau perbaikannya, masih ada jalan lain yang masih sesuai dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, atau membangun sekolah, perguruan-tinggi atau rumah sakit selagi masih ada fasilitas serupa yang tersedia dan memadai, atau pelebaran jalan yang tidak perlu. Contoh lain, pendirian proyek-proyek dimana tak mengakibatkan kerugian bagi umat, semisal pertambangan nikel atau membangun galangan kapal untuk membangun kapal-kapal komersial. Negara melakukan semua ini hanya ketika ada kelebihan dana di Baitul-Mal. Jika tak ada dana, maka Negara tak wajib melaksanakannya dan tak diperkenankan mengenakan pajak. Hal ini karena umat tak dirugikan. Namun, ini berbeda jika pengeluaran untuk layanan dan fasilitas itu, jika tak dilaksanakan, mengakibatkan kerugian bagi umat. Jika ada dana di Baitul-Mal, dibelankajakan untuk membangun dan menyediakan fasilitas yang diperlukan, jika tidak, Negara mengenakan pajak untuk menaikkan jumlah yang diperlukan guna menyediakan fasilitas ini.

Kelima, belanja untuk mengatasi keadaan darurat seperti kelaparan, wabah-penyakit, gempa-bumi, banjir dan serangan musuh. Hak membelanjakan hal-hal tersebut, tak terkait dengan keberadaan dana di Baitul-Mal. Pengeluaran ini, wajib, terlepas dari ada dana atau tidak. Jika ada dana di Baitul-Mal, maka harus segera dibelanjakan setiap kali keadaan darurat tersebut terjadi. Jika tak ada dana, maka menjadi kewajiban bagi umat, dan dana harus dikumpulkan segera dan tanpa penundaan. Jika dikhawatirkan kerugian karena penundaan, maka Negara meminjam sejumlah yang diperlukan untuk dibelanjakan pada keadaan darurat ini, kemudian membayar kembali apa yang dipinjam itu, dari dana yang telah dikumpulkannya dari Umat.”

Kutilang bertanya, "Bagaimana dengan Pajak Harta?" Sang elang-tua berkata, "Pajak dipungut atas kekayaan umat Islam yang melebihi kebutuhan dasar dan kemewahan menurut standar hidup normal. Pajak hanya dipungut dari mereka yang punya kelebihan harta dan tak boleh diambil dari mereka yang tak memiliki kelebihan harta, karena Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Sedekah yang paling baik itu, yang dikeluarkan dari harta.” Harta di sini bermakna, yang seseorang mampu berikan setelah mencukupi kebutuhannya.
Rasulullah (ﷺ) juga bersabda, “Mulailah dari diri-sendiri saat bersedekah. Jika masih ada kelebihan, maka belanjakan untuk keluargamu. Jika masih ada kelebihan, maka berikan kepada kerabatmu. Jika masih ada kelebihan, maka lakukanlah seperti ini, berikan yang di depanmu, yang di kananmu, dan yang di kirimu.” [Shahih Muslim]
Beliau (ﷺ) menunda kewajiban menafkahi orang lain hingga seseorang telah menafkahkan dirinya- sendiri. Pajak, serupa dengan ini, yakni menjaga kondisi keuangan dan sedekah. Allah berfirman,
وَ یَسۡـَٔلُوۡنَکَ مَا ذَا یُنۡفِقُوۡنَ ۬ؕ قُلِ الۡعَفۡوَؕ
"... Dan mereka menanyakanmu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, “Kelebihan (dari apa yang diperlukan) ...." [QS. Al-Baqarah (2):219]
Dengan kata lain, pengeluaran itu, tak menyebabkan kesusahan dan diambil dari kelebihan kebutuhan seseorang. Tak ada konsep pajak penghasilan dalam Islam seperti yang kita temukan di negara-negara Kapitalis Barat. Pajak hanya dikenakan pada kelebihan harta-kekayaan dan bukan pada penghasilan. Negara juga tak diperkenankan mengenakan pajak tidak langsung, semisal pajak penjualan atas barang dan jasa. Juga tak boleh membebankan pajak dalam bentuk bea pengadilan, bea atas akta Negara, penjualan atau pendaftaran tanah, bangunan atau pengukuran atau jenis pajak lain selain yang ada dalam Syari'ah. Pengenaan pajak seperti itu, akan menimbulkan kezhaliman, yang dilarang, Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Barangsiapa yang mengenakan cukai, takkan masuk surga.” [HR Ad-Darimi, Ahmad dan Abu 'Ubaid]

Pajak dalam Islam, hanya dikumpulkan untuk menaikkan jumlah yang diperlukan, yang bertujuan menutupi defisit anggaran-wajib Baitul-Mal. Saat pajak diterapkan, tak boleh ada pertimbangan untuk menghalangi bertambahnya harta seseorang, atau mencegah orang menjadi kaya, atau menambah pendapatan Baitul-Mal. Kebijakan pajak hanya diberlakukan dengan tujuan menutupi pengeluaran yang diperlukan dan kepentingan wajib negara. Jika ada perlakuan pajak dan di atas batas pengeluaran wajib, maka akan dipandang sebagai mazlama (ketidakadilan). Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (mahkamatul-mazalim), diberi kuasa meneliti pajak yang berlebihan ini. Jika setelah pemeriksaan pengadilan, pajak atau tarif pajak tersebut dianggap memang mazlama, maka pengadilan dapat mewajibkan Negara menghapus atau menurunkan tarif-pajak dan mengembalikan kelebihannya kepada umat. Sesunggguhnya, Syari'ah telah menyelesaikan masalah pembiayaan pengeluaran untuk kebutuhan dan kepentingan umat di zaman modern ini.
Islam memiliki perspektif yang, sama sekali berbeda tentang ekonomi dan pajak, karena dasar Islam berbeda dengan kapitalisme. Prinsipnya, perpajakan dalam Islam, menempatkan penekanan perpajakan atas harta-kekayaan, bukan pada penghasilan. Sistem perpajakan Islam tak memungut pajak atas penghasilan, melainkan memungut pajak atas kekayaan. Ini berarti bahwa rata-rata orang akan punya lebih banyak potensi-penghasilan yang dapat dibelanjakan dan masuk kategori terkena pajak atas kelebihan harta-kekayaan yang ada pada akhir tahun. Wallahu a'lam.

Dan sebagai penutup, dengarkan cerita ini, "Seorang lelaki terperangkap dalam arus sungai dan menggelantung pada sebuah batu besar agar ia tak terhanyut. Nasrudin dan seorang kawannya, memperhatikan, dan sang kawan menghampiri lelaki itu, mengulurkan tangannya, dan berkata, “Berikan tanganmu agar aku bisa menjangkaumu.” Namun, sang lelaki tak menanggapi.
Nasrudin kemudian bertanya kepada sang lelaki, apa pekerjaannya. "Aku pemungut-cukai," jawab sang lelaki.
“Kalau begitu, terimalah tanganku!” kata Nasrudin, seketika, lelaki itupun menggapainya. Nasrudin kemudian menoleh kepada sang kawan dan bersungut, “Para Pemungut-cukai hanya mengerti makna kata "menerima," namun tak memahami makna kata "memberi.”
Rujukan :
- Alpay Kabacali, Nasreddin Hodja, u.cs.biu.ac.il
- Abdul Qadeem Zalloom, Funds in the Khilafah State, Amazon