Selasa, 30 Maret 2021

Menjaga-Jarak?

Kucer tampil ke atas pentas, dengan irama kicaunya, ia bersenandung,
Serdadu itukah dalam legiun?
Berjuang lawan iblis
Bertarung halau gergasi-emas
Namun serbu Arcadia
Lalu Buana
Bumi-hanguskan loka
Yang pernah kusebut griya

Kusembunyi dalam nestapa
Lega di antara gegana
Dalam nestapa
Dimana kutak dapat dijumpa
Sang-garuda-perkasa menyambung dengan bercerita,
"Tersebutlah seekor anjing, yang seringkali mengendus diam-diam di belakang setiap orang yang ditemuinya, dan langsung menggigit. Sang-majikan, menggantungkan sebuah giring-giring di lehernya, agar ia dapat mengawasinya, kemanapun ia pergi. Sang anjing semakin bangga dengan genta-kecilnya itu, dan membunyikannya ke seluruh pasar.
Seekor anjing-pemburu-tua, menasehatinya, "Mengapa engkau memamerkan dirimu seperti itu? Percayalah, kelinting yang engkau kenakan itu, bukanlah sebagai tanda-jasa bagimu, melainkan tanda-aib, sebagai pengumuman di mahajana, agar manusia, menjaga -jarak denganmu, karena menjadi anjing yang songong."
Ketenaran, bukan berarti kemasyhuran."

Melanjutkan cerita sang-tabib dan sang-pencari, sang-garuda-perkasa, lalu berkata, "Tapi mengapa harus menjaga-jarak?" tanya sang-pencari. "Duhai manusia!" seru sang-tabib, "Laksana virus, ada empat cara dimana dosa dapat menyerang seseorang; dengan melihat, dengan menginginkan, dengan mengucapkan, dan dengan melangkah. Dikala "social-distancing" diterapkan, engkau hendaknya memakai masker, guna menutup jalan-jalan ini. Saat seseorang terinfeksi, dosa berdampak mengurangi kecerdasan seseorang. Ketika engkau perhatikan dua orang, yang satu taat kepada Allah dan yang lain durhaka kepada Allah, engkau akan melihat bahwa akal orang yang taat kepada Allah, lebih baik, buah-pikirannya lebih masuk akal, dan lebih sering mendekati kebenaran. Oleh sebab itu, engkau akan temukan bahwa Al-Qur'an selalu menyebutkan 'orang-orang yang berakal', antara lain,
يُّؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ
"Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tiada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal-sehat."[QS. Al-Baqarah(2):269]
"Hikmah" menandakan persepsi dan penilaian yang sehat. Maksud pernyataan ini, menunjukkan bahwa orang yang punya "hikmah," akan mengikuti jalan Allah dibanding jalan setan. Para pengikut Setan percaya bahwa hikmah dan kelihaian yang tinggi, berkaitan dengan menyisihkan pendapatan seseorang, dan terus-menerus mencari pennghasilan yang lebih tinggi. Namun bagi mereka yang dianugerahi dengan persepsi Ilahi, sikap seperti itu, kebodohan belaka. Hikmah sejati itu, terdiri dari penggunaan sumber-daya seseorang secara moderat untuk memenuhi kebutuhannya dan dalam membelanjakan apa yang tersisa sebagai sedekah. Bisa saja, seseorang tak membelanjakan uangnya untuk bersedekah, melangkah mencapai tingkat kemakmuran duniawi yang jauh lebih besar dibanding orang lain. Kehidupan dunia ini, hanyalah sebagian kecil dari total kehidupan manusia yang tak sebatas pada kungkungan duniawi. Orang yang mempertaruhkan kesejahteraan keberadaan abadinya demi kebahagiaan yang sangat sementara di dunia ini, sungguhlah bodoh. Orang yang benar-benar bijaksana itu, memanfaatkan sepenuhnya kepemilikan hidup ini dan menginvestasikan sumber dayanya dalam kemakmuran dalam kehidupan yang takkan pernah henti.
Bagaimana mungkin seseorang memiliki kecerdasan sejati jika ia tak menaati Allah di Buana milik Allah ini, mengetahui bahwa Dia mengawasinya? Ia berbuat-dosa, sadar bahwa ia tak dapat menyembunyikan dirinya dari pandangan Allah, mengabaikan fakta bahwa ia mengundang laknat Allah atas dirinya. Ia mengetahui bahwa perbuatan dosanya, menjauhkannya dari Ridha dan Perlindungan Allah. Ia tahu bahwa ia akan ditolak melihat Wajah Allah pada Hari Kiamat, dan akan berada di antara orang-orang yang mendapatkan Murka Allah. Tidaklah sulit bagi orang yang berakal menyadari bahwa, mencapai kesenangan, kebahagiaan, dan kesenangan sejati di Dunia ini dan kelak di Akhirat, butuh keridhaan Rabb-nya, dan tak memperoleh Murka atau Laknat-Nya.
Orang yang menyenangkan Allah dengan mematuhi perintah-perintah-Nya, menikmati kebahagiaan sejati dalam hidup, dengan qalbu yang hidup, yang menjalani setiap berkah yang dianugerahkan kepadanya. Namun orang yang tak diridhai Allah, karena terlibat dalam perbuatan dosa, takkan bebas dari kekhawatiran, kecemasan, atau kesengsaraan. Karenanya, orang yang melepaskan kebersamaanya dengan orang-orang yang dikaruniai rahmat Allah; para Nabi, pengikut sejati Rasulullah (ﷺ), para syuhada, dan orang-orang shalih; lalu menukarkannya dengan orang-orang yang mendapat murka dan laknat Allah, tentu punya cacat-akal.

Duhai manusia! Ketika terjadi keterputusan hubungan dengan Allah, seluruh penyebab kebaikan, akan musnah, sedangkan penyebab kejahatan, akan muncul. Kehidupan seperti apakah yang dapat dijalani seseorang, jika ia memutuskan hubungan dengan Rabb-nya, yang ia takkan kuasa tanpa-Nya, dan Yang tak tergantikan? Tak ingatkah engkau kisah Al-Qur'an, bahwa Allah, Yang telah menciptakan langit dan bumi, Berkuasa menjaga orang-orang yang dalam keadaan tidur, selama beberapa ratus tahun dan kemudian membangunkan mereka sama dikala mereka berada pada saat akan tidur. Jika engkau renungkan penciptaan indah mentari dan rembulan, serta bumi, engkau takkan pernah meragukan bahwa hal seperti itu, sesuatu yang tak sulit bagi Allah? Tidakkah engkau menyadari bahwa para Ashabul-Kahfi dan Ar-Raqim itu, salah satu dari tanda-tanda keagungan Allah?
Allah berfirman tentang Ashabul-Kahf, saat para pemuda itu bercakap-cakap,
هٰٓؤُلَاۤءِ قَوۡمُنَا اتَّخَذُوۡا مِنۡ دُوۡنِهٖۤ اٰلِهَةً​ ؕ لَوۡ لَا يَاۡتُوۡنَ عَلَيۡهِمۡ بِسُلۡطٰنٍۢ بَيِّنٍ​ ؕ فَمَنۡ اَظۡلَمُ مِمَّنِ افۡتَـرٰى عَلَى اللّٰهِ كَذِبًا
"Mereka itu, kaum kami yang telah menjadikan tuhan-tuhan (untuk disembah) selain Dia. Mengapa mereka tak mengemukakan alasan yang jelas (tentang kepercayaan mereka)? Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?" [QS. Al-Kahf(18):15]
وَاِذِ اعۡتَزَلۡـتُمُوۡهُمۡ وَمَا يَعۡبُدُوۡنَ اِلَّا اللّٰهَ فَاۡوٗۤا اِلَى الۡـكَهۡفِ يَنۡشُرۡ لَـكُمۡ رَبُّكُمۡ مِّنۡ رَّحۡمَتِهٖ وَيُهَيِّئۡ لَـكُمۡ مِّنۡ اَمۡرِكُمۡ مِّرۡفَقًا
"Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Rabb-mu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusanmu.” [QS. Al-Kahf(18):16]
Dan Allah juga berfirman,
نَحۡنُ نَقُصُّ عَلَيۡكَ نَبَاَهُمۡ بِالۡحَـقِّ​ؕ اِنَّهُمۡ فِتۡيَةٌ اٰمَنُوۡا بِرَبِّهِمۡ وَزِدۡنٰهُمۡ هُدًى
"Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu, pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka." [QS. Al-Kahf(18):13]
Inilah kisah sejati tentang "orang-orang yang berakal," yang membuat pilihan. Sama seperti engkau mempraktikkan "social-distancing" guna melindungi-diri dari penyakit fisik, mereka melakukannya demi melindungi diri dari penyakit qalbu dan bathin.

Duhai manusia! Ada dua aturan penting dalam Islam yang dimaksudkan agar memastikan tubuh fisik yang sehat. Aturan pertama, "Tak ada mudarat" dan aturan kedua, "Bersuci."
Allah berfirman,
اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ مَعَهٗٓ ۙاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
"(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang beruntung." [QS. Al-A'Raf(7):157]
Dulu, orang mengira bahwa minuman-keras, bermanfaat bagi kesehatan. Faktanya, terlalu banyak minum minuman-keras, menuakan otak, meningkatkan risiko kanker payudara, merusak hati, ginjal dan pankreas, menyebabkan banyak masalah kardiovaskular dan penyakit jantung, menyebabkan sensasi terbakar di dada, mengikis lapisan perut (secara bertahap menginduksi bisul), meningkatkan tekanan darah, dan meningkatkan risiko impotensi - ia "memicu keinginan, tapi menurunkan performa." Selain itu, minuman-keras meningkatkan risiko keguguran dan meningkatkan kemungkinan cacat lahir jika dikonsumsi selama kehamilan, dan wanita yang meminumnya secara rutin, lebih rentan terhadap perubahan suasana hati dan mengidam pramenstruasi.
Sebagian orang beranggapan bahwa minum muniman-keras saat cuaca dingin, akan menghangatkan tubuh. Apa yang sebenarnya bekerja dari minuman-keras itu; melebarkan pembuluh darah superfisial yang menyebabkan darah mengalir deras ke arahnya, yang memberikan perasaan hangat sementara. Perasaan ini segera hilang dengan perpindahan panas dari tubuh ke lingkungan sekitar karena sirkulasi darah yang terus-menerus. Selain itu, minuman-keras menyebabkan mati-rasa sementara pada hipotalamus (wilayah otak yang bertanggung jawab memberimu peringatan jika tubuhmu merasa dingin, panas, lapar atau haus). Hal ini menyebabkan orang yang mabuk tak merasakan dingin, dan inilah latarbelakang mengapa engkau sering mendengar ada orang yang mati kedinginan di musim dingin, saat banyak orang minum minuman-keras dan keluar rumah tanpa menyadari bahwa mereka kedinginan.

Rasulullah (ﷺ) bersabda,
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
"Tak boleh berbuat dharar, juga tak berbuat dhiraar.” [Sunan Ibnu Majah dan ad-Daraqutni; Hasan oleh Al-Albani]
Hadits ini, menyebutkan salah satu prinsip terpenting dalam hukum Islam. Pelajaran atau aturannya, hampir menyentuh setiap aspek fikih. Pernyataan singkat Rasulullah (ﷺ) ini, telah dipahami dalam banyak cara yang berbeda. Sekali lagi, hadits ini, pada dasarnya mengatakan, "Tak ada dharar dan tak ada dhiraar." Salah satu interpretasi hadis ini, bahwa dua kata dharar dan dhiraar, secara sederhana memiliki arti yang sama, "mudarat," dan telah dinyatakan bersama sebagai suatu jenis penekanan. Penafsiran kedua, bahwa dharar berarti tak ada yang disakiti, artinya orang yang disakiti tak diharuskan bersabar dan menanggung kerugiannya, sedangkan dhiraar, berarti tak ada yang boleh mencelakakan orang lain. Penafsiran ketiga, bahwa dharar itu, keadaan dimana seseorang mendapat manfaat dari sesuatu, namun tetangganya dirugikan karenanya. Dhiraar, di sisi lain, referensi dalam hal dimana orang itu sendiri tak menikmati manfaat dari sesuatu, namun sesuatu itu, berbahaya bagi tetangganya. Namun, interpretasi yang kuat, mungkin dapat diterjemahkan sebagai, "Tak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja ataupun disengaja.”
Ibn Rajab, rahimahullah, membagi "mudarat" menjadi dua kategori. Kategori pertama, perbuatan yang berakibat hanya merugikan orang lain. Jenis tindakan ini, kejahatan, dan dilarang dalam Islam. Sessungguhnya, tak dapat dibayangkan jika seorang mukmin sejati melakukan perbuatan seperti itu kepada saudara seimannya. Perbuatan ini, menodai akar-persaudaraan dan cinta, yang seyogyanya dipunyai setiap Muslim.
Kategori kedua, perbuatan yang membawa beberapa manfaat bagi orang tersebut, tetapi merugikan orang lain. Area yang jauh lebih bermasalah, dimana seseorang melakukan tindakan yang diperbolehkan dan bermanfaat baginya, namun sayangnya, berakibat negatif bagi orang lain. Misalnya, ketika seseorang menggunakan hartanya dengan cara yang diperbolehkan, tetapi saat melakukannya, ia telah merusak harta tetangganya. Tak seorang mukminpun boleh dengan sengaja menyakiti mukmin yang lain. Jika ia melakukannya, walaupun jika perbuatannya itu, dianggap sah di dunia ini, ia dapat dimintai pertanggungjawaban pada Hari Pembalasan.

Adapun aturan kedua, selain kesucian qalbu, pikiran dan bathin, kesucian-fisik juga hendaklah diperhatikan.
Rasulullah (ﷺ) bersabda,
الطهور شطر الإيمان
"Bersuci itu, sebagian dari Iman." [Sahih Muslim]
Rasulullah (ﷺ) bersabda kepada kaum Anshar,
يَا مَعْشَرَ الأَنْصَارِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَثْنَى عَلَيْكُمْ فِي الطُّهُورِ فَمَا طُهُورُكُمْ ‏"‏ ‏.‏ قَالُوا نَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ وَنَغْتَسِلُ مِنَ الْجَنَابَةِ وَنَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ ‏.‏ قَالَ ‏"‏ هُوَ ذَلِكَ فَعَلَيْكُمُوهُ
"Wahai kaum Anshar! Allah telah menyanjungmu dengan kebersucianmu. Apa sifat dari kebersucianmu itu?" Mereka berkata, "Kami berwudhu untuk shalat dan kami mandi guna mensucikan diri setelah berhubungan-intim, dan kami bersuci dengan air (setelah buang-air-kecil)." Beliau (ﷺ) bersabda, "Begitulah seharusnya. Maka taatilah!" [Sunan Ibnu Majah; Hasan]
Mandi-junub, mandi-besar ritual yang wajib dalam Islam dalam hal keluarnya jauhar pada malam hari, atau cairan yang sesuai pada wanita, saat hubungan-intim, dan untuk wanita, setelah menstruasi dan pada akhir periode nifas, perdarahan pasca-melahirkan. Selain itu, disunnahkan, ada waktu-waktu yang dianjurkan mandi, seperti mandi pada dua Hari Raya Ied, dan setiap hari Jumat, sebelum shalat berjamaah.
Ada latarbelakang fisik yang sangat penting di balik hikmah persyaratan Islam ini. Bakteri dan virus - terutama flu biasa - berkumpul di tangan, di sela-sela jari dan di bawah kuku; kaki dan jari-kaki, juga cepat kotor. Mulut, hidung, dan telinga, juga merupakan tempat berkumpulnya kuman, dan mata sangat rentan iritasi. Berwudhu memastikan bahwa seluruh anggota tubuh ini, dibilas, agar bebas dari kuman yang hinggap di permukaannya, sebelum menunaikan shalat.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa orang yang cacat akalnya itu, orang yang melepaskan kebersamaanya dengan orang-orang yang telah dikaruniai Allah Rahmat-Nya; para Nabi, pengikut sejati Nabi (ﷺ), para syuhada, dan orang-orang saleh, lalu menukarkannya dengan orang-orang yang mendapat kemurkaan dan kutukan Allah. Para pemuda ini, melakukan yang sebaliknya. Mereka memutuskan hubungan dengan orang-orang yang telah memutuskan hubungan mereka dengan Allah, kemudian menggantinya dengan membangun kembali hubungan dengan Allah. Para pemuda ini, merekalah yang termasuk dalam "orang-orang yang berakal". 
Jadi, para pemuda yang sangat cepat dewasa ini, telah menyadari lebih dini, bahwa setiap kebaikan dan keburukan yang ada pada manusia, sama-sama menular laksana virus. Mereka sadar, bahwa sahabat yang engkau punyai, dapat menjadikanmu baik, atau malah menghancurkanmu. Hal ini kita ketahui, dari seekor anjing, yang tak dikenal namanya, yang selamanya dimuliakan dalam Al-Qur'an, hanya karena telah menjaga para pemuda itu, saat mereka tertidur di gua, seperti yang ditulis oleh Ibnu Katsir bahwa "inilah manfaat berteman dengan orang baik: anjing itu, dikenang dan dihargai. ."
Seorang saja teman yang berkelakuan-buruk, akan dapat menghancurkanmu. Maka, "orang yang berakal" tak mau mengambil risiko dalam hal sahabat yang dimilikinya. Sebagian besar Salaf lebih suka menyendiri daripada bergaul dengan banyak-orang. Rasulullah (ﷺ) memberi contoh saat i'tikaf di akhir Ramadhan. Beliau (ﷺ) akan memencilkan-diri, tak bergaul dengan atau menghiraukan orang-orang. Tak ada waktu bergosip atau bersosialisasi.
Ibnu al-Jawzi, rahimahullah, mengidentifikasi setidaknya ada empat jalan, agar i'tikaf dapat mengubahmu menjadi lebih baik, yakni qalbumu, pikiranmu, martabatmu, dan kedisiplinanmu. Namun, i'tikaf hanya akan tepat, jika membawa perubahan yang bermanfaat, yang ditimbulkannya dalam dirimu, karenanya, harus diterapkan dengan hati-hati. Engkau hendaknya mempertimbangkan orang dan keadaannya, perusahaannya dan keadaannya, apa yang ia peroleh darinya, apa yang ia tertolak darinya, bandingkan maslahat dan mudaratnya. Perlu dicamkan, bahwa para "Khalifah," bertanggungjawab atas keselamatan dan kelangsungan-hidup ummat, maka engkau akan temukan, kebenaran dari permasalahan itu.
Wallahu a'lam.”

Kemudian, sekali-lagi, kucer tampil di atas panggung, dengan kicaunya yang merdu, bersenandung,
Kusendiri, di sini, di darat
Mengambang di atas jagat,
Tinggi di atas Buana yang dulu kuingat
Dan terasing dari dahiat
Aman dari segala mudarat
Terjaga, kutemukan lindungan dari sanggat

Kusembunyi dalam nestapa
Lega di antara gegana
Dalam nestapa
Dimana kutak dapat dijumpa
Rujukan:
- Imam Shams-ud-Din Muhammad ibn Abi Bakr ibn Qayyim Al Jawziyyah, Spiritual Disease and Its Cure, Edited by Shaikh Zakariya 'Amiraat, Al-Firdous
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons
- Amira Ayad, Healing the Body and Soul, IIPH
- Jamaal al-Din M. Zarabozo, Commentary on the Forty Hadith of al-Nawawi Volume 2, Al-Basheer Publications
- UAE Council for Fatwa, Fatwa No. 11, 2020, Pertaining to the Rulings of Performing Congregational Rites in Light of the Spread of COVID-19 (Coronavirus Disease)

Jumat, 26 Maret 2021

Virusnya Menyerupai Kelakuannya

Sang garuda-perkasa, selain ketampanannya, juga pandai bernyanyi, ia merinai, merdu,
Hei, tuan pemain-rebana, dendangkan irama untukku
Kutak mengangut dan tiada tempat yang kutuju
Hei, tuan pemain-rebana, lantunkan nada untukku
Dalam gemerincing obrolan pagi, kukan kelak mengikutimu

Walau kutahu, kekaisaran-senja telah jadi kersik
Sirna dari genggamanku
Tinggalkanku disini tegak dalam nanar, namun tak jua beradu
Kemudian, ia melanjutkan, "Wahai saudara-saudariku, aku tak berbicara tentang musik, melainkan bersama-merinai, jika berpadu dalam keselarasan dan keseimbangan, akan menyatukan.
Pertama-tama, dengarkan cerita ini,
"Seekor celurut sedang menyusuri jalan-bebas-hambatan milik sang-raja. Tuan celurut ini, sangat congkak, tak sebanding dengan keboncelannya, dan punya pamor-buruk, yang memang telah tersemat pada bangsa tikus.
Saat Tuan celurut berjalan—biasanya, ia merapat ke dalam parit—ia melihat kegaduhan di jalan-bebas-hambatan tersebut, dan tak lama kemudian, arak-arakan megah terlihat, tampaklah sang-raja dan para-pengiringnya. Ngomong-ngomong, para-pengiring sang raja itu, pernah bilang, bahwa, jalan-bebas-hambatan tersebut, milik sang-raja dan para pendukungnya saja, bukan milik rakyat, sebab yang membangunnya, sang-raja, tak peduli rakyatnya harus pontang-panting banting-tulang menyetorkan pajak.
Sang-raja—yang menebar pesona dengan cara, yang banyak digunakan para anti-hero, mengenakan pakaian sederhana, agar menarik para-penggemar—menunggangi seekor gajah yang sangat besar dan gemuk, dipercantik dengan riasan yang paling indah. Menemani sang-raja didalam rengga-mewahnya—tempat-duduk dengan kanopi dan pagar-kecil di punggung sang-gajah—ada sang-anjing dan sang-kucing kerajaan. Engkau pastilah telah maklum, apa fungsi dan tugas para anjing dan kucing itu. Sang anjing, akan menyalak, jika ada orang yang mengkritik dan mengutarakan pendapat, bila berseberangan dan mengancam tahta sang-raja. Sang kucing, dengan polahnya yang menggemaskan, akan mengeong, mengajak orang agar selalu mengelu-elukan dan mengakui apapun yang dilakukan sang-raja dan para-pengiringnya. Tak seperti raja-raja terdahulu, hari ini, para anjing dan kucing itu, dipelihara secara resmi oleh kerajaan. Khabarnya, sang-raja, walaupun tahu ada batas-waktu memerintah dan belum-tentu rakyat akan memilihnya kembali, namun karena kedunguannya, berhasrat agar pemerintahannya diperpanjang seumur-hidup, setidaknya, setara dengan para-monarki.
Jangan-jangan, sang-raja telah lupa, bahwa ada dua raja sebelum masa pemerintahannya, yang satu dinobatkan sebagai raja dengan masa yang tak terbatas, dan yang satu lagi, entah bagaimana, walaupun waktu itu, masih sesuai Konstitusi, masa-jabatannya, diperpanjang berkali-kali. Tanpa disadari, kedua raja tersebut, melahirkan Kediktatoran. Dalam sistem Komunis, Kediktatoran hidup sebagai Proletariat, dan rakyat di kerajaan itu, tak menginginkannya. Rakyat mengidamkan banyak perubahan, maka terjadilah beberapa amandemen-konstitusi, namun tidak pada falsafah kerajaan. Pada masa itu, dan hingga masa kini, Demokrasi masih tetap sebagai opsi-pertama, walau bukan yang terbaik, tapi bukan pula yang terburuk. Mengenai sistem Syariah, para pendiri kerajaan telah menempatkannya sebagai Ruh dari Konstitusi dan Falsafah kerajaan, semenjak kerajaan berdiri, meskipun belum sempurna. Diharapkan, para generasi-peneruslah yang akan menyempurnakannya. Jika sang-raja tak menyadarinya, maka sesungguhnya, sang-raja memang benar-benar, dungu! Ia mengabaikan semangat perubahan itu.
Kerumunan berjibun-orang mengikuti prosesi. Hasil-kerja para anjing dan kucing telah menembus-batas, khalayak terkagum-kagum pada sang-gajah, hingga Tuan celurut diabaikan. Harga-dirinya serasa terhinakan.
'Dasar bodoh!' teriak Tuan celurut. 'Lihatlah aku, dan seketika, kalian akan melupakan sang-gajah-kikuk itu! Ukurannya yang besarkah, yang membuat mata kalian melotot? Atau kulitnyakah yang keriput? Apa pasalnya? Aku juga punya mata dan telinga serta kaki sebanyak miliknya! Aku juga sama pentingnya, dan ...'—belumlah ia selesai mengumpat, sang kucing-kerajaan sedari-tadi mengintainya, dan kejadian selanjutnya, Tuan celurut terlambat sadar bahwa ia tidaklah sepenting sang-gajah. Menyerupai sesuatu yang katanya hebat itu, dalam beberapa hal, tak menjadikan kita, hebat."

Setelah itu, ia berkata, "Sekarang, perkenankan aku meneruskan ceritaku tentang sang-tabib dan sang-pencari. Sang-tabib melanjutkan, "Duhai manusia! Perlu diketahui bahwa dosa-dosa yang disebabkan oleh kezhaliman kita, merusak qalbu, bagai efek racun dalam tubuh, sesuai dengan tingkat kerusakannya. Faktanya, seluruh kejahatan dan keburukan yang dialami seseorang, di Dunia dan di Akhirat, diakibatkan dosa dan kesalahannya sendiri. Menjadi penyakit-ringan yang, jika berlanjut, akan menjadi penyakit-ganas, yang merusak potensi kita, baik di Dunia maupun di Akhirat.
Hari ini, virus corona telah mewabah di mana-mana. Ketahuilah, bahwa virus itu, tanda dalam diri kita. Allah berfirman,
وَ فِی الۡاَرۡضِ اٰیٰتٌ لِّلۡمُوۡقِنِیۡنَ
وَ فِیۡۤ اَنۡفُسِکُمۡ ؕ اَفَلَا تُبۡصِرُوۡنَ
"Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka tidakkah kamu memperhatikan?" [QS. Adz-Dzaariyat (51):20-21]
Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar, radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah (ﷺ) menoleh kepada kami dan bersabda,
يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ لَمْ تَظْهَرِ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلاَّ فَشَا فِيهِمُ الطَّاعُونُ وَالأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلاَفِهِمُ الَّذِينَ مَضَوْا ‏.‏ وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤُنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ ‏.‏ وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلاَّ مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ وَلَوْلاَ الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا وَلَمْ يَنْقُضُوا عَهْدَ اللَّهِ وَعَهْدَ رَسُولِهِ إِلاَّ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَخَذُوا بَعْضَ مَا فِي أَيْدِيهِمْ ‏.‏ وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلاَّ جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
‘Wahai engkau sekalian kaum Muhajirin, ada lima hal, yang jika kalian terjatuh ke dalamnya—dan aku berlindung kepada Allah, semoga kalian tak menjumpainya.
Tidaklah nampak zina dalam suatu kaum, hingga diperbuat secara terbuka, melainkan akan menyebar di tengah-tengah mereka tha’un, dan penyakit-penyakit yang tak pernah menjangkiti generasi sebelumnya,
Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan, melainkan akan tertimpa paceklik, sulitnya penghidupan dan kezhaliman penguasa atas mereka.
Tidaklah mereka menahan zakat, melainkan hujan dari langit akan tertahan atas mereka, dan sekiranya bukan karena fauna-lah, niscaya manusia takkan dilimpahi hujan.
Tidaklah mereka melanggar perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya, melainkan Allah akan menjadikan musuh mereka, dari kalangan selain mereka, berkuasa atas mereka, lalu musuh tersebut, mengambil sebagian apa yang mereka miliki
Dan selama pemimpin-pemimpin mereka, tak berhukum dengan Kitabullah dan mengambil yang terbaik dari apa-apa yang diturunkan Allah, melainkan Allah akan menjadikan mereka, saling-bermusuhan.'" [Sunan Ibn Majah; Sahih]
Disebutkan bahwa Muhammad bin Sirin, merasa sangat khawatir karena hutang-lamanya, maka ia berkata, "Aku sadar bahwa penyebab kecemasan ini, dosa yang telah kulakukan empat-puluh tahun yang lalu."
Banyak orang, selalu meremehkan konsep penting tentang dosa, karena mereka tak segera melihat akibatnya. Memang, dampaknya bisa tertunda, sehingga kebanyakan-orang, akan melupakannya, dan mengira bahwa mereka sungguh tak berbuat keliru, dan oleh sebab itu, tak perlu memperbaiki-diri. Kesalahpahaman ini, menyebabkan banyaknya siksa bagi banyak-orang; yang mengakibatkan mereka kehilangan banyak berkah, dan menyebabkan mereka dirundung kemalangan.

Duhai manusia! Dosa itu, laksana virus, menimbulkan pengaruh yang mengganggu dan merusak, lahir dan bathin, yang konsekuensinya, terjadi di Dunia dan di Akhirat, yang hanya diketahui Allah. Dampak-dampaknya meliputi, terampasnya ilmu; tertariknya berkah; keterkucilan; menghadapi kesulitan; perasaan cemas; terhalangnya amal-shalih; keterpendekan umur.
Dosa juga menyebabkan kerusakan dan membusuknya berbagai aspek lingkungan, seperti tempat-tinggal, air, udara, tanaman, dan buah-buahan. Dosa memadamkan cahaya ghairah, yang dapat bermakna semangat, kejantanan, pembelaan, atau keberanian yang kuat, dalam qalbu. Ghairah ini, dalam kehidupan seseorang, bagaikan "basal-body-temperature"; ia menghilangkan seluruh aspek kejahatan dan sifat buruk dalam kepribadian seseorang. Orang yang paling bermartabat itu, mereka yang punya pembelaan yang kuat terhadap diri, keluarga dan orang lain. Dosa jualah yang menghilangkan dari sang-pendosa, seluruh rasa-malu, hayaa', yang merupakan substansi qalbu yang hidup. Rasa-malu dimaknai sebagai dasar dari segala kebajikan, dan bila dikesampingkan, akan menyingkirkan segala yang baik.

Duhai manusia! Dosa itu, laksana virus, dapat menduplikasi-diri dan memproduksi dosa-dosa yang lain, hingga seseorang merasa sulit melepaskannya. Virus bekerja dengan cara yang hampir sama. Dalam keterasingannya, partikel virus bersifat lembam dan tak dapat bereproduksi. Namun jika menemukan sel hidup, ia merengsek masuk dan mengecoh inangnya agar dapat menggandakan-diri, berkali-kali, hingga sel-inang, akhirnya pecah dalam luapan virus yang baru lahir.
Seorang ulama di masa-lalu berkata, "Di antara adzab-adzab perbuatan-dosa itu, disertai dengan perbuatan-perbuatan dosa susulan. Dan di antara pahala-pahala amal-shalih itu, disertai dengan amal-amal-shalih berikutnya. Ketika seseorang beramal-shalih, ada amal-shalih lain yang menyertainya, yang berkata, 'Tunaikanlah juga untukku!' Jika ia melaksanakannya, amal-shalih yang berikutnya, mengutarakan hal yang sama, dan seterusnya; oleh sebab itu, amal-shalihya, beserta pahalanya, akan tumbuh berlipat-ganda. Hal yang serupa terjadi, namun dengan cara yang berkebalikan, saat seseorang berbuat-dosa. Perlu diketahui, bahwa kisaran perbandingan antara ganjaran-dosa dan pahala amal-shalih, antara 1/10, 1/70, bahkan dapat mencapai 1/100 atau lebih. Niat berbuat-dosa, takkan dihitung, sedangkan niat beramal-shalih, akan diperhitungkan.
Hasilnya, amal-shalih dan perbuatan-dosa, dapat menjadi kebiasaan dan atribut dalam kehidupan seseorang. Jika seorang mukmin melewatkan sebuah amal-shalih, ia akan merasa tertekan. Ia akan merasa bagai ikan yang dikeluarkan dari air, dan akan tenteram hanya setelah ia memenuhi kewajibannya.
Sebaliknya, jika seorang-pendosa melewatkan suatu dosa, ia juga akan merasa tertekan, dan hanya akan tenang setelah ia melakukan dosa itu. Kenyataannya, banyak pendosa, berbuat dosa tanpa menikmatinya, hanya untuk mencegah gejala keputusasaan karena merindukannya. Salah seorang pendosa yang tenar, berkata, "Segelas anggur yang kuteguk demi kesenangan, diikuti tegukan-tegukan berikutnya, demi memulihkan diriku dari tegukan pertama."

Duhai manusia! Tirani dan penindasan itu, salah satu diantara dosa-dosa terbesar, karena menentang keadilan, yang di atasnya langit dan bumi ditegakkan. Allah mengutus para rasul dan kitab-kitab-Nya agar manusia menegakkan keadilan.
Membunuh secara tidak-sah dan tanpa hak itu, dosa-besar. Islam banyak memberi contoh perbuatan-buruk seperti ini, semisal membunuh anak karena takut tak ada rezeki (untuk memberi makan, minum dan uang); membunuh orangtua yang telah melahirkannya; membunuh kaum-kerabat.
Tingkat perbuatan-buruk seperti ini, berbeda menurut sifat perbuatannya; karenanya, orang yang akan menerima adzab yang paling berat pada Hari Kiamat itu, orang yang membunuh seorang nabi, diikuti oleh orang yang membunuh seorang imam, atau seorang ulama yang menegakkan keadilan dan mengajak ke jalan Allah. Allah juga telah menetapkan tempat-tinggal abadi sebagai adzab bagi para-pembunuh, yang dengan sengaja membunuh orang-orang-mukmin, yakni didalam Jahannam, hidup bersama laknat dan murka Allah.
Telah diketahui, bahwa dosa orang yang mengambil satu nyawa saja, di sisi Allah, setara dengan dosa orang yang mengambil seratus nyawa. Ada orang yang beranggapan bahwa keserupaan dalam dosa menunjukkan keserupaan adzabnya; namun menyamakan satu hal dengan hal lain, bukan berarti mengambilnya dengan segala aturannya. Jika ditanyakan, "Lalu, dimana keserupaan antara orang yang membunuh seorang saja dengan orang yang membunuh seratus orang"? Keserupaannya ada dalam banyak aspek,
Pertama, keduanya durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), dan akan memperoleh adzab Allah, dan keduanya mendapat murka dan laknat Allah, dan tinggal selamanya dalam Jahannam. Perbedaannya, dalam hal hukuman yang diterima, didalam Neraka tingkat terendah.
Kedua, keduanya sama-sama pantas dibunuh.
Ketiga, keduanya sama-sama bersalah karena membunuh secara tidak sah. Siapapun yang membunuh seseorang tanpa hak, yang hanya menyebabkan kerusakan di muka-bumi ini, dapat membunuh siapapun demi merampas harta orang-lain; karenanya, orang itulah pembangkang kemanusiaan!
Keempat, Allah telah menjadikan orang-orang beriman, saling berkasih-sayang dan bersimpati, sebagai sebuah raga; jadi ketika seorang pembunuh melukai satu bagian raganya, seluruh bagian lain raganya, juga terluka. Maka saat seseorang menyakiti seorang mukmin, maka seluruh mukmin akan seolah merasa tersakiti.

Duhai manusia! Perzinahan itu, dosa-besar yang dapat memusnahkan masyarakat. Ia bertentangan dengan manfaat nilai-nilai global memelihara keturunan, melindungi kesucian dan kekeramatan individu. Ia menyebarkan dendam dan kesumat di antara manusia, karena berbuat zinah itu, berakibat pada istri, ibu, saudara perempuan dan anak perempuan orang lain. Ia menyebabkan kehancuran pada masyarakat manusia, dan karenanya, mengikuti dosa pembunuhan dalam hal tingkat kejahatannya.
Karena titik-awal kebiadaban zina itu, pandangan, Allah telah memerintahkan umat Islam agar merendahkan pandangannya; karena kebejatan itu, dimulai dari melihat sekilas, disusul dengan syahwat, lalu mendekat, dan akhirnya berbuat-maksiat.

Ada empat jalan dimana dosa dapat menginfeksi seseorang. Jalan pertama, menatap sesuatu yang haram, yang merupakan jalan-utama terbangkitnya nafsu. Maka barang siapa yang menjauhinya, sesungguhnya ia telah menjaga kesuciannya. Rasulullah (ﷺ) bersabda, kepada Ali,
يَا عَلِيُّ لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الآخِرَةُ
"Wahai Ali, jangan menatap yang kedua-kalinya, karena meski engkau tak dapat disalahkan saat tatapan-pertama, engkau tak berhak atas yang kedua." [Sunan Abi Dawud; Hasan oleh Al-Albani]
Menatap, tergeletak di balik bencana utama yang menimpa umat manusia. Sesungguhnya, melihat itu, menghasilkan hasrat; hasrat menghasilkan angan-angan; angan-angan menghasilkan gairah; gairah menghasilkan kekuatan-kemauan yang berubah menjadi tekad yang kuat, dan berakhir sebagai perbuatan, selama tak ada yang menghalangi.

Jalan kedua dimana dosa dapat menginfeksi manusia, hasrat dan minat, merupakan titik-awal kebaikan dan keburukan, dan darinyalah, kemauan dan tekad, dihasilkan. Oleh sebab itu, barangsiapa yang menguasai hawa-nafsunya, sesungguhnya, ia telah menguasai dirinya sendiri; dan barangsiapa yang pasrah pada hasratnya, akan dikuasai olehnya, namun barangsiapa yang dalam benaknya terlintas minatnya, akan terarahkan menuju kehancuran. Hasrat akan terus mendekati qalbu sampai menjadi kemauan, sebagaimana firman Allah,
وَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡۤا اَعۡمَالُہُمۡ کَسَرَابٍۭ بِقِیۡعَۃٍ یَّحۡسَبُہُ الظَّمۡاٰنُ مَآءً ؕ حَتّٰۤی اِذَا جَآءَہٗ لَمۡ یَجِدۡہُ شَیۡئًا وَّ وَجَدَ اللّٰہَ عِنۡدَہٗ فَوَفّٰىہُ حِسَابَہٗ ؕ وَ اللّٰہُ سَرِیۡعُ الۡحِسَابِ
"Dan orang-orang kafir, perbuatan mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila (air) itu didatangi, tiada apapun jua. Dan didapatinya (ketetapan) Allah baginya. Lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan (amal-amal) dengan sempurna dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya." [QS. An-Nur (24):39]
Orang yang paling hina, dalam hal tekad, merupakan mereka yang mengubah fakta menjadi harapan-semu, dan menjalaninya dalam kehidupan mereka yang keji. Keinginan-keinginan semu ini, merusak manusia, karena menimbulkan rasa-malas dan apatis, dan menghasilkan perasaan lalai, kecewa, dan sesal.
Ketika pemberi harapan merindukan interaksi kebenaran di dalam raganya, ia menggambarkan citranya ke dalam qalbunya, dan dengan demikian, ia akan puas dengan ilusi yang terlukis didalam benaknya, yang tak pernah membawa kepuasan nyata apapun dalam kehidupan. Perumpamaannya seperti orang yang lapar dan haus, membayangkan makanan dan minuman dalam benaknya, tanpa menyantap makanan atau minuman yang menghilangkan rasa lapar dan haus itu.
Menerima keadaan pikiran seperti ini, menunjukkan rendahnya harga-diri dan juga merupakan aib; karena martabat dan kesucian-diri itu, terletak pada penolakan hasrat atau fantasi yang semu.

Hasrat manusia, dapat dibagi menjadi empat kategori. Hasrat yang dengannya manusia memperoleh manfaat duniawi; hasrat yang dengannya ia dapat menghalau masalah keduniawian; hasrat yang dengannya ia memperoleh manfaat di Akhirat; dan hasrat yang dengannya ia dapat menghalau kerugian di Akhirat.
Orang yang berakal-sehat, takkan ragu-ragu mengutamakan hasrat yang akan memberinya manfaat di Akhirat, dengan mengharap keridhaan Rabb-nya. Hasrat dan dambaan seperti ini, ditentukan menurut prioritasnya. Pertama, merenungkan Wahyu-wahyu Allah dan memahami maknanya. Allah tak mewahyukannya hanya untuk dibaca. Sebaliknya, bacaannya hanyalah sarana agar memungkinkan seseorang merenungkan konteksnya. Seorang ulama masa-lalu berkata, "Al-Qur'an diwahyukan agar diterapkan; maka wujudkanlah bacaannya jadi amalan!"
Kedua, merenungkan Tanda-tanda Allah dan menggunakannya sebagai bukti untuk mengkonfirmasi Nama-nama Allah, Sifat-sifat, Hikmah, Kebajikan dan Kedermawanan, sebagaimana Allah telah mendorong hamba-hamba-Nya agar merenungkan Tanda-tanda-Nya dan memahaminya. Ketiga, merenungkan rahmat, ampunan, berkah, kesabaran Allah, yang melimpahkan nikmat-Nya kepada para hamba-Nya. Tiga jenis renungan ini, datangnya dari qalbu: ilmu, cinta, dan takut kepada Allah, yang dapat ditegakkan dengan mengingat Allah. Keempat, memikirkan amal dan kekurangan seseorang. Pemikiran ini, berefek menguntungkan yang besar, karena menghancurkan ego yang mengajak berbuat keburukan, memungkinkan qalbu seseorang, hidup di dunia yang tenang. Kelima, merenungkan tentang kewajiban yang menyangkut "waktu" atau "masa," beserta fungsinya, dan mengarahkan seluruh perhatian mengelilinginya, agar setiap detik tak tersia-siakan. Sesungguhnyanya, seluruh manfaat itu, datangnya dari waktu, dan setiap waktu yang terbuang, tak tergantikan.
Sesungguhnya, "masa" seseorang itu, sepanjang usianya; "masa" merupakan jalan menuju kehidupan kekalnya di Surga, atau jalan menuju kehidupan siksaan selama-lamanya di Neraka. "Masa" akan hilang lebih cepat dari pergerakan awan. Berapapun "masa" yang dihabiskan seseorang dalam ketaatan kepada Allah, sesungguhnya merupakan kehidupan sebenarnya, sedangkan apapun yang lain, tak dapat dianggap sebagai hidupnya; walau ia telah menjalaninya, hidupnya bisa dibandingkan dengan hewan. Bahkan orang yang melaksanakan Shalat, tak memperoleh keuntungan dari Shalatnya itu, kecuali ia mengingatnya; oleh sebab itu, hidup manusia semata-mata dihabiskan dalam ketaatan kepada Allah, dan segala sesuatu yang lain, hanyalah bisikan setan dan hasrat yang semu.

Engkau hendaknya menyadari bahwa hasrat itu sendiri, tak merugikan siapapun; yang berbahaya, berinteraksi atau bereaksi terhadapnya. Hasrat itu, laksana orang yang lewat; jika engkau mengabaikannya, ia akan hilang; namun jika engkau mengundangnya masuk, ia akan menyihirmu dengan ucapannya yang menjebak.
Allah telah menempatkan dua jenis ego dalam diri manusia: ego yang berkuasa, dan ego yang tenang, dan keduanya saling-bertentangan; jika ringan bagi yang satu, akan berat bagi yang lain, dan apa yang memuaskan yang satu, akan menyiksa yang lain. Malaikat berada di sisi kanan qalbu, sedangkan setan berada di sisi kiri. Ada pertentangan yang sedang berlangsung, sampai ego menyelesaikan hidupnya di dunia ini. Segala kepalsuan ada di pihak iblis dan ego yang mengajak pada keburukan; sementara segala kebenaran, tetap di sisi Malaikat dan ego yang damai. Pertentangan yang sedang berlangsung itu, dicatat, dan bagi yang bersabar, akan memperoleh kemenangan. Barangsiapa berlapang-dada, bersabar dan bertakwa kepada Allah, akan mendapatkan akhir yang baik di Dunia dan di Akhirat. Allah telah menetapkan bahwa akan ada akhir yang berkah bagi orang-orang yang bertakwa.

Jalan ketiga dimana dosa dapat menginfeksi manusia, ucapan, hendaknya dipelihara dan digunakan hanya untuk segala yang bermanfaat. Seseorang seyogyanyanya mengucapkan apa yang bermanfaat bagi Dien-nya saja. Ia hendaknya berpikir dua kali sebelum mengucapkan sepatah-kata, dan, bergunakah itu bagi agamanya atau tidak; jika tiada guna mengatakannya, ia hendaknya tak menyampaikannya; namun jika ada manfaat di dalamnya, ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan menyampaikannya. Jika ia ingin menunjukkan bukti tentang apa yang ada di dalam qalbu orang-lain, ia hendaknya mempertimbangkan ekspresi orang itu. Sesungguhnya, lidah itu, mengungkapkan keadaan qalbu, baik pemiliknya suka ataupun tidak!
Ada dua penyakit ganas yang berhubungan dengan lidah; jika seseorang aman dari yang satu, ia takkan lolos dari yang lain; itulah penyakit "ucapan" dan "diam". Yang satu bisa menjadi dosa yang lebih besar dibanding yang lain; karena orang yang diam tentang kebenaran, akan berwujud jadi "iblis yang dungu," tak taat kepada Allah; sedangkan orang yang berdusta, akan berwujud jadi “iblis yang berpidato,” durhaka kepada Allah.
Orang-orang shalih itu, orang-orang yang mengetatkan lidahnya dari ucapan dusta, namun melonggarkannya bila berbicara tentang apapun yang bermanfaat bagi keuntungan Akhirat. Seseorang mungkin akan muncul pada Hari Kiamat dengan membawa pahala sebesar gunung, namun dihancurkan oleh lidahnya; atau seseorang muncul dengan sekian banyak perbuatan-buruk, sebesar gunung, namun ia akan sadar bahwa, lidahnya, menyelamatkannya, karena berdzikir tanpa henti!

Jalan keempat dimana dosa dapat menginfeksi manusia, langkah, hendaknya diperhatikan dalam arti bahwa seseorang seyogyanya menggunakan kakinya menuju ke tempat yang semestinya mendapatkan Pahala Allah, bukan Laknat-Nya. Karena "ketergelinciran" itu, berkaitan dengan kaki, dan juga, lidah, keduanya disebutkan dalam ayat berikut, sebagaimana Allah berfirman,
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
"Adapun hamba-hamba dari Yang Maha Pengasih itu, orang-orang yang berjalan di muka-bumi dengan kerendahan-hati, dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam,”" [QS. Al-Furqan (25):63]
Lurus dalam ucapan dan langkah, itulah yang Allah citrakan kepada para hamba-Nya yang setia.

Duhai manusia! Dengan rahmat-Nya, Allah mengirim untukmu, "tanda-tanda," guna mengingatkanmu akan keteledoranmu, dan tentang apa yang dapat Dia lakukan terhadap tubuhmu yang rapuh, dalam kehidupan ini dan kehidupan berikutnya, akibat kekeliruan-kekeliruanmu. Sebagai manusia, engkau berusaha melupakan kekeliruanmu itu, move-on, dan hidup dengan nyaman. Namun kenyamanan seperti itu, hanyalah ilusi. Ketika Kufah dilanda gempa, Ibnu Mas'ud, radhiyallahu 'anhu, menoleh kepada orang-orang yang bersamanya dan berkata, 'Wahai manusia! Rabb-mu sedang mengajarimu, maka belajarlah!'
Wallahu a'lam.”

Akhirnya, sang garuda-perkasa bernyanyi,
Bertolak kemanapun, aku ada
Memudarpun, kusedia
Dalam pawai milikku
Tebarkan tarianmu, manterai jalanku
Kuberjanji, 'kan berada dibawah pengaruhnya

Hei, tuan pemain-rebana, dendangkan irama untukku
Kutak mengangut dan tiada tempat yang kutuju
Hei, tuan pemain-rebana, lantunkan nada untukku
Dalam gemerincing obrolan pagi, kukan kelak mengikutimu
Referensi :
- Imam Shams-ud-Din Muhammad ibn Abi Bakr ibn Qayyim Al Jawziyyah, Spiritual Disease and Its Cure, Edited by Shaikh Zakariya 'Amiraat, Al-Firdous
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons

Senin, 22 Maret 2021

Batas-batas

Sekarang, setelah giliran sang elang dan rajawali, saatnya bagi yang perkasa, sang garuda, tampil. Usai menyapa dengan salam, ia menyampaikan kalimat pembuka, “Segala puji bagi Allah, kita memuja-Nya, memohon pertolongan, petunjuk dan ampunan-Nya. Kita berlindung kepada Allah, dari kejahatan-diri dan keabaian kita. Sesiapa yang Allah beri petunjuk, takkan pernah dapat disesatkan siapapun, dan sesiapa yang tersesat, takkan pernah beroleh petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada illah selain Allah, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad (ﷺ) itu, hamba 
dan utusan-Nya.
Duhai engkau yang mukmin, bertakwalah kepada Allah, dan ucapkanlah perkataan-benar dan tepat-sasaran, maka Dia akan menerima amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Sesiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), maka ia telah menggapai kesuksesan yang agung. Dan takutlah kepada Allah sebagaimana Dia sepantasnya ditakuti, dan janganlah mati kecuali sebagai seorang Muslim. Pedoman-kebenaran sejati itu, Al-Qur'an, penuntun yang paling mulia itu, Nabi Muhammad (ﷺ); dan sesuatu yang paling buruk itu, perisa-kekinian yang terputus dari Al-Qur'an dan Sunnah, dan setiap keterputusan dari Al-Qur'an dan Sunnah itu, bid'ah, dan setiap bid'ah itu, dhalalah, perbuatan-sesat, dan setiap dhalalah itu, tempatnya dalam Jahannam!"

"Amma ba'du!" lalu ia berkata,
Sang jabal memintaku, jangan naik, jangan naik!
Namun tungkaiku bergerak ke arah lunau di lubuk pegunungan
Sang jabal memintaku, jangan lanjutkan, jangan lanjutkan!
Namun tungkaikuku beralih ke aliran-lumpur di lubuk pegunungan
Kuingin hidup bagai hempasan-angin dan berlalu
Laksana sang-bayu menjelajahi pegunungan, gegana, dan linangan air-mata
Sang garuda-perkasa melanjutkan, “Tersebutlah, seorang pencari, yang telah berjalan jauh, tiba di depan pintu yang tertutup. Ia mengetuk, sebuah suara menyahut, “Silahkan masuk!” Sang pencari tampak ragu, namun dengan perlahan, ia membuka pintu.
Sebuah ruangan putih yang luas, ia temukan di balik pintu. Di tengah ruangan, duduk seorang lelaki, sang tabib, di kursi-goyang. Sang pencari mendekat, mereka saling-bertatapan, sang tabib tersenyum. Sang pencari menyapa dengan salam.
Sang pencari melihat sekeliling, tiada jendela, yang ada hanyalah dua pintu tertutup, satu, yang telah ia lewati, dan yang lain, ia tak tahu jalan apa yang akan ia lalui, jika melewatinya. Ia menatap sang tabib, seolah bertanya.
Seraya menggerakkan kursi-goyangnya, sang tabib berkata, "Duhai manusia! Pintu yang tertutup itu, batasnya, dan di balik pintu yang tertutup itu, engkau takkan temukan apa-apa selain kehancuran. Dengarkan cerita ini, 'Seekor serigala bertemu dengan seekor anak-domba, yang tersesat dari kandangnya, dan sang serigala memutuskan tak menganiayainya, namun mencari dalih agar sang anak-domba membenarkan jika ia melahapnya. Sang serigala kemudian menegur, 'Hai pandir, tahun lalu, kamu telah menghinaku dengan kasar.' Sang anak-domba, dengan suara lirih menjawab, 'Saat itu, aku belum lahir.' Lalu, kata sang serigala, 'Kamu telah makan di padang rumputku.'
'Tidak, tuan yang baik,' jawab sang anak-domba, 'Aku belum mencicipi rumputmu.' Sekali lagi, sang serigala mengancam, 'Kamu telah meminum air-sumurku.'
'Tidak,' seru sang anak-domba, 'Aku belum pernah minum air, karena sampai sekarang, susu ibukulah, makanan dan minuman bagiku.' Seketika, sang serigala menerkam dan menggigit sang anak-domba, seraya menyahut, 'Baiklah! Aku tetap memuaskan santap-malamku, walau kamu menyangkal setiap tuduhanku.' Para tiran, akan selalu berdalih agar membenarkan kezhalimannya.

Manusia itu, seyogyanya, banyak merenung, di antaranya, ada renungan tentang iman-bawaan dan kepentingan-diri. Jika renungan kepentingan-diri menang, maka bathin yang memberontak, akan turut campur-tangan memperbaiki keseimbangan. Namun, jika bathinnya buruk, ia akan menuntut pemenuhan kenikmatan, karena bathin itulah yang mendorong manusia agar berbuat keburukan. Namun, jika ia mematuhi Hukum Allah dan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah, maka itulah bathin yang tenang. Orang yang menganiaya diri-sendiri itu, orang yang mengejar keinginan bathinnya, memberinya kenikmatan sementara, dan karenanya, mengharapkan kesengsaraan yang tertunda. Oleh sebab itu, dengan melakukannya, ia telah menganiaya diri-sendiri.
Seseorang akan tak adil terhadap diri-sendiri, dengan menyembunyikan kenikmatan sementara, dan dengan demikian; menjadikannya kesengsaraan permanen. Akibatnya, manusia menemukan dirinya dalam keadaan yang aneh, karena ia telah melibatkan dirinya dalam penderitaaan-abadi melalui kenikmatan fana. Ketidakadilan terhadap diri-sendiri itu, salah satu bentuk kezhaliman yang paling menyedihkan, dan adakah orang berakal-sehat, yang mendurhakai Allah dengan tak menjalankan perintah-Nya, dan melakukan yang dilarang?
Orang yang berakal-sehat, takkan melakukannya, karena ia merasakan adanya pemenuhan hasrat, namun, secara mendalam, ada keterlibatan ego dalam kenestapaan. Misalnya, tidur tanpa menunaikan shalat, berarti memenuhi hasrat tidur yang, nyata hanya untuk dirinya sendiri, namun berarti mengucilkan-diri dari Allah. Demikian pula, jika seseorang minum minuman-keras, ia akan mengira bahwa ia telah memenuhi hasrat untuk dirinya sendiri; padahal, kenyataannya, ia telah menganiaya diri-sendiri terbenam dalam penderitaan yang luar-biasa. Saat seseorang menganiaya dirinya sendiri, ia merasa aman terhadap apa yang diperbuatnya itu.

Duhai manusia! Kezhaliman itu, memerlukan keterlibatan dua pihak: pihak yang tak-adil dan pihak yang kepadanya kezhaliman dilakukan. Namun dalam hal kezhaliman terhadap diri-sendiri, siapakah yang tak adil? Dan pihak manakah yang melakukan kezhaliman?
Diri itu, mengacu pada hadirnya bathin dalam suatu unsur, dan kebersatuan inilah yang memberi bathin, sifat-tenang, sifat-buruk, atau sifat tercela. Bertemunya bathin dengan suatu unsur, menghasilkan sukma. Sebelum terjadinya pertemuan ini, bathin secara alami akan membaik, dan substansinya ditundukkan sesuai dengan kehendak penakluknya. Ada kehidupan materialistis dan kehidupan spiritual, dan kehidupan materialistis itu, buruk, dan kehidupan spiritual itu, baik. Boleh dibilang, unsur itu, umumnya, baik, patuh, takluk, menyembah dan memuliakan; demikian pula, bathin.
Kerusakan muncul ketika bathin bertemu dengan suatu unsur. Pada interaksi ini, muncullah prinsip pilihan. Orang dewasa, yang bertanggungjawab secara hukum atas tindakannya, akan ditanya, 'Cukupkah engkau dengan Hukum Allah? Atau akankah engkau terombang-ambing antara bathin yang tercela dan kecukupan? Atau akankah engkau menuruti kemaksiatan dan berbathin buruk?' Variasi ini berasal dari pertemuan bathin dengan suatu unsur.
Manakah yang zhalim saat bathin dan suatu unsur itu, bertemu? Hasratlah yang menzalimi bathin dalam berbuat kemaksiatan. Artinya, orang yang zhalim, mengikuti keinginan bathinnya dengan berbuat dosa, tetapi pada kenyataannya ia, membebani bathinnya.
Ada perbedaan antara berbuat zhalim demi mengikuti keinginan, dan berbuat zhalim terhadap diri-sendiri demi memenuhi keinginan orang-lain. Melakukan perbuatan tercela itu, sesuatu, dan menganiaya diri sendiri itu, masalah yang berbeda. Berbuat asusila itu, mungkin merupakan kenikmatan sesaat bagi bathin. Namun, orang yang menganiaya diri-sendiri demi memenuhi keinginan orang lain, tak dapat dikatakan telah mendatangkan kesenangan bagi dirinya sendiri; ia telah menganiayanya. Ia tak memberikan dirinya keinginan berumur pendek dalam hidup ini atau melindunginya dari siksaan akhirat.

Duhai manusia! Umumnya, Zulm itu, seperti Al-Jaur (penindasan): suatu bentuk penyerangan, pemaksaan, penaklukan atau menggampangkan. Antonim Zulm itu, Al-Insaf (sadar dari kekeliruan), sebagaimana antonim dari Al-Jaur (penindasan) itu, Al-‘Adl (keadilan). Az-Zulm itu, karenanya, ketidakadilan, dan ketika seseorang berbuat ketidakadilan terhadap diri-sendiri, maka ia akan menganiaya diri-sendiri dan tak adil terhadapnya. Menganiaya diri-sendiri itu, bentuk ketidakadilan yang paling buruk. Bathin yang dimuliakan dan diciptakan Allah, sepatutnya dijaga oleh manusia, yang seyogyanya menunaikan apa yang Allah kehendaki, dan mencegah tercapainya keinginan tanpa-henti, yang mendatangkan murka Allah.
Manusia bisa menjadi pelaku kezhaliman, dan juga, teraniaya, pada saat bersamaan. Hal ini karena orang menganiaya diri mereka sendiri, dan bathin manusia punya pertimbangan kecenderungan langsung atau sementara, dan pertimbangan hasrat dan khayal; yang saling bersaing. Jika engkau berbuat-salah dan menyesali dirimu, lalu berbuat baik, maka engkaulah orang yang bathinnya, menyesali. Jika bathinmu terbiasa berbuat keburukan dan menuruti hawa-nafsu, maka engkaulah orang yang berbathin buruk. Jika bathinmu berserah-diri kepada Allah, maka engkaulah orang yang bathinnya tentram. Bathin buruklah yang melanggar hak-hak orang dan menganiaya mereka, dan pada saat yang sama, menganiaya diri-sendiri dengan memberinya kesenangan sementara dan menjerumuskannya ke dalam penderitaan permanen.

Duhai manusia! Jika Zulm (ketidakadilan) bermakna merampas hak seseorang; maksudnya, apa yang orang itu, peroleh dengan cara yang halal, kemudian Az-Zalim (orang zhalim) dengan sewenang-wenang dan permusuhan, mengambil hasil-keringat orang-lain. Hal ini menghentikan roda-kehidupan, karena mengingat bahwa aku bekerja dan orang lain merampas hasil pekerjaanku, maka aku tak dapat bekerja lagi. Terlebih lagi, ketika orang zhalim berbuat kezhaliman, ia tak hanya mengambil secara paksa hak orang lain, melainkan juga menyesatkan orang punya kuasa lain seperti dirinya, merampas hak orang yang lemah dan menzalimi mereka. Akibatnya, ketidakadilan merajalela, dan jika itu berlaku dalam sebuah masyarakat, maka akan menimbulkan pengangguran dan melumpuhkan aliran seluruh kehidupan.
Jika seluruh hukuman Allah ditunda hingga Hari Kiamat, maka kezhaliman akan merajalela di kalangan manusia, dan di seluruh alam semesta. Orang yang tak beriman pada Akhirat, akan berceloteh sesuka-hati. Karenanya, perlu menetapkan adzab atas perbuatannya di kehidupan dunia ini, sehingga manusia hendaknya mengingat kendali Allah atas alam-semesta-Nya. Adzab bagi pelaku-kejahatan, juga akan menjadi pelajaran bagi orang lain. Namun juga, siksa-neraka, tetap menantinya di Akhirat.

Wahai manusia! Allah melarang kita, cenderung kepada orang zhalim, karena jika engkau bersandar pada orang zhalim dan setia padanya, ia akan menjerumuskanmu. Namun jika engkau menjauhinya dan tak mengandalkannya, ia akan merasa bahwa engkau telah bertumpu pada landasan yang kokoh. Karenanya, jangan mengandalkan orang zhalim hingga ia paham bahwa engkau punya keyakinan kepada Allah dan kuasa-Nya mengganjar orang zhalim. Pada saat itu, ia akan merasa lemah. Kehidupan saat ini, salah-satu keburukannya, mengandalkan orang zhalim dan mendukung kezhaliman mereka. Orang yang melakukannya, tak sadar bahwa Allah kuasa meruntuhkan orang-orang zhalim beserta seluruh jajaran tiran dan kekuasaannya. Dan salah-satu tanda keruntuhan orang-orang zhalim itu, wabah. Wallahu a'lam.”

Sang garuda-perkasa mendadak diam, kemudian berkata,
Sang jabal memintaku, lupakan, lupakanlah!
Namun tungkaiku bergerak ke arah lunau di lubuk pegunungan
Sang jabal memintaku, turun, turunlah!
Mendorong pundakku yang penat karena tak sanggup menanggung beban
yang nalarku tak mampu selami
Namun tungkaikuku beralih ke aliran-lumpur di lubuk pegunungan
Kuingin hidup bagai hempasan-angin dan berlalu
Laksana sang-bayu menjelajahi pegunungan, gegana, dan genangan air-mata
Rujukan :
- Muhammad Mutawalli Shaarawi, Oppression and the Oppressors, Translated by Chafik Abdelghani, Al-Firdous
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons

Jumat, 19 Maret 2021

Kata-Hati (2)

Sang orang-tua melanjutkan,
Duhai anak-muda! Naluri berikutnya, naluri ingin dicintai. Sifat ingin disayangi, disenangi dan dipuji orang lain, terutama mereka yang dekat dengan kita, melekat pada diri kita semua. Oleh sebab itu, seorang anak, mendambakan kasih-sayang orangtuanya, dan juga sebaliknya. Seorang istri, mengidamkan kasih-sayang suaminya, serta sang suami, ingin disayangi istrinya. Tiada yang ingin hidup dalam pernikahan tanpa cinta, sebab, hal itu sesuatu yang sama sekali tak alami. Itulah sebabnya mengapa kita semua berteman. Yakni teman-teman yang tetap saling-berkomunikasi dan senang berada bersama mereka.
Latar-belakang yang sama, mengapa orang terlibat dalam hubungan-dekat, semisal di sekolah menengah atas dan perguruan-tinggi, yaitu hubungan pacar-lelaki, pacar-wanita. Mereka ingin merasa aman secara emosional, dan percaya-diri tentang diri mereka, dipandang cantik, tampan, menawan dan menarik. Mereka ingin tahu, adakah mereka mendapat tempat istimewa di hati seseorang. Karenanya, sangat penting bagi orangtua menunjukkan cinta dan kasih-sayang mereka, dalam bersikap, terhadap anak-anak mereka. Jika kurang, anak-anak akan mencari cinta dan kasih-sayang ini, dari orang asing, di luar rumah, dan karenanya, rentan terhadap bajingan yang takkan ragu menyelewengkan mereka. Anak-anak yang berasal dari rumah yang tak memberikan kasih-sayang atau perhatian, sering berakhir sebagai badut-kelas, yang mengganggu teman-teman sekelas, mencari perhatian orang lain. Demikian juga, anak-gadis yang tak memperoleh kasih-sayang di rumah, sering terjadi, berhubungan intim dengan lawan-jenisnya, pada usia dini.
Para suami, yang tak mendapat perhatian, cinta dan kasih-sayang dari istri mereka di rumah, sering-kali terjerumus ke dalam hubungan-cinta di luar-nikah, dengan kolega di tempat kerja; rekan-kerja, sekretaris atau wanita lain, yang berhubungan secara teratur dengan mereka. Ada yang bahkan sampai menyewa jasa pelacur. Praktik yang sama, berlaku juga bagi wanita yang tak mendapat perhatian dan cinta dari suami mereka; mungkin akan mencarinya dari sumber lain, yang jelas-jelas haram, hina dan tercela.
Semua sifat buruk ini, terjadi karena kita semua punya naluri yang melekat, dan dituntut agar dipenuhi: mencintai dan dicintai. Oleh karenanya, setiap kali ada kehampaan, konsekuensinya dapat mengejutkan dan menjadi bencana bagi individu dan masyarakat.
Juga, kita semua ingin dicintai dan dihargai oleh saudara-saudari muslim-muslimah kita, karena umat Islam itu, keluarga besar kita. Satu-satunya cara agar kita disayangi oleh sesama Muslim, dengan memperbaiki hubungan kita dengan Allah, Rabb dan Pencipta kita. Jika hubungan dengan Sang Pencipta, baik, maka hubunganmu dengan seluruh ciptaan-Nya, spontan membaik.

Duhai anak-muda! Manusia itu, ingin-tahu. Karena ilmu itu, menandakan kehormatan dan martabat. Sedangkan kebodohan itu, berarti aib dan kehinaan. Allah menanamkan dalam diri kita, naluri ini, agar kita tumbuh dan berkembang secara spiritual, akademis, mental-ilmiah, dan sebagainya. Dalam banyak ayat Al-Qur'an, Allah telah mendorong agar kita memikirkan dan merenungkan ciptaan-Nya. Terkadang, Dia, Subhanahu wa Ta'ala, bahkan mengajak kita, menjelajahi bagian-bagian lain dari ciptaan-Nya itu, agar kita belajar darinya.
Naluri keingintahuan dan cinta-ilmu ini, dikaruniakan Allah kepada kita, agar kita membuat banyak temuan dan terobosan, supaya maju secara spiritual maupun teknologi. Oleh sebab itu, naluri ini, bila digunakan dengan benar, menghasilkan dampak yang mengagumkan dan menakjubkan.

Duhai anak-muda! Kita semua hidup di dunia yang kejam dan egois. Sebuah dunia dimana orang takkan ragu mengeksploitasi orang lain, demi keuntungan ego mereka. Maka, Allah menganugerahkan kita, naluri ingin membela-diri agar kita tak membiarkan orang lain menggunakan, menyalahgunakan, dan melecehkan kita. Membela diri terhadap penindas, perampas dan bahkan penjajah, juga merupakan sifat yang melekat dalam diri kita semua.
Saat ini, dunia dipenuhi dengan tirani dan penindasan, semua karena ada manusia yang menolak mengakui hak orang lain. Hal ini tak dapat disangkal, karena jika manusia tak memberikan haknya kepada Allah, yaitu tauhid Islam, maka menjadi tidak mungkin baginya, memberikan haknya kepada sesama manusia.

Duhai anak-muda! Selain menganugerahkan kita naluri alami, menyukai harta, kepemilikan dan kekayaan karena berbagai pertimbangan, Allah juga telah memberi kita, naluri takut-miskin. Yang terpenting, bahwa Allah menyuruh kita agar menggunakan harta-kekayaan kita, sebagai sarana amal-shalih, dan dengan demikian, mewarisi surga. Selain itu, kita diperintah agar tak menyia-nyiakan bagian dari harta-kekayaan kita dari dunia ini, dan setelah memperolehnya, kita tak boleh menggunakannya untuk keonaran dan kerusakan di muka-bumi, laksana orang-kaya yang tak bertakwa. Alasan lain, mengapa Allah memberi kita naluri alami ini, untuk menguji kita, melihat siapa saja di antara kita, yang paling baik akhlaqnya.
Harta itu, ujian dari Allah. Namun, akan menjadi sumber berkah, setiap kali pemiliknya menggunakannya dengan benar. Kebanyakan orang kaya merasa sulit berperilaku baik setelah memperoleh kekayaan. Dengan demikian, mereka serakah, congkak, rakus, melawan kebenaran dan sebagainya.
Sistem kapitalisme, sosialisme, dan komunisme buatan manusia, tak sanggup mengatur naluri manusia dalam hal menyukai-harta. Dalam masyarakat kapitalis, orang lebih mementingkan kehidupan duniawi dan melupakan Akhirat. Mereka hidup demi uang, teknologi, dan "kenikmatan-daging."
Sistem komunis diperkirakan akan binasa, karena mereka, seperti rekan kapitalisnya, telah menyangkal naluri alami menyembah Allah, sebaliknya, mereka berdua, menyembah materialisme. Selain itu, paham Komunis telah mengunci nasib mereka dengan, juga, mengingkari hak-hak manusia menggunakan naluri alaminya, ingin punya harta, mereka memaksakan bahwa segala sesuatu itu, milik negara. Setiap sistem buatan manusia, berumur pendek, karena dalam satu atau lain cara, semuanya bertentangan dengan naluri-alami kita. Oleh sebab itu, orang-orang yang hidup di bawah sistem ini, menjalani kehidupan yang sengsara, tertekan dan depresi-mental. Karena semua sistem buatan manusia telah terbukti tak memadai, dan dengan demikian, mengecewakan secara spiritual, sosial, ekonomi, maka, manusia tak punya pilihan selain memeluk dan memasrahkan-diri, menerapkan dan melaksanakan hukum wahyu surgawi, yakni al-Islam.

Duhai anak-muda! Allah juga memberi kita naluri menyukai makanan dan minuman yang enak, agar kita makan dengan benar, agar tak menyelewengkan tubuh kita dengan memakan apa saja, yaitu makanan yang tak bergizi. Allah menginginkan yang terbaik bagi kita, dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal, bimbingan dll. Saat ini, ada banyak orang yang keliru dalam hal naluri-alami ini. Tak diragukan lagi, bahwa setanlah yang menyebabkan mereka kehilangan keseimbangan dan tersesat. Ada banyak orang yang menyukai makanan dan minuman, sedemikian rupa, sehingga mereka tak hirau dan tak bersikap-baik kepada tamu. Ketahuilah bahwa menjamu tamu itu, tanda dari Iman.

Duhai anak-muda! Manusia itu, mendambakan hidup-kekal di dunia, ingin awet-muda, serta takut-mati, inilah naluri bertahan hidup. Sebagai contoh, jika ada orang yang menggendong anak, dan berpura-pura seakan melempar anak itu dari balkon atau beranda, engkau akan melihat anak itu, menjerit dan menangis ketakutan, itu karena naluri takut-mati dan bahaya. Hal ini terjadi, karena setiap orang, termasuk anak ini, dilahirkan dengan sifat-bawaan takut-mati. Naluri ini, diberikan Allah kepada kita, agar kita tak melakukan bunuh-diri. Karenanya, setiap-kali seseorang melakukan upaya bunuh-diri, perilaku ini dianggap tak normal. Di setiap masyarakat dimana bunuh diri banyak terjadi, masyarakat seperti ini, hampa secara spiritual dan praktik abnormal ini, tanda, yang memberi tahu kita bahwa masyarakat itu, sedang menuju kehancuran.
Sifat tak menyukai ketuaan dan kematian, sangat melekat pada diri manusia, bahkan bapak manusia, Nabi Adam, alaihissalam, tertipu Iblis dan makan buah pohon terlarang setelah beliau diyakinkan Iblis bahwa Nabi Adam akan hidup-kekal jika memakan dari pohon terlarang itu. Setan menjebak Nabi Adam, alaihissalam, dengan menjanjikannya keabadian, karena ia tahu, bahwa manusia membenci usia-tua dan kematian, secara naluriah.
Terkadang, karena begitu kuatnya manusia membenci akan usia-tua, menyebabkan banyak kaum-wanita, bahkan kaum-pria, menjalani operasi plastik, agar terlihat beberapa tahun lebih muda dari usia sebenarnya. Meskipun merasakan sakit yang luar biasa sebagai akibat dari operasi plastik ini, mereka mau bersabar menanggungnya, karena kuatnya keinginan agar tampak lebih muda dan cemas jika ketahuan menua. Usia-tua telah mempengaruhi banyak orang secara psikologis, dimana mereka merasa sengsara, kehilangan kepercayaan-diri, merasa tak diinginkan dan terbelakang. Mereka berusaha melawan perasaan ini dengan berkencan dengan kaum-belia, yang terkadang, berumur jauh dibawah separuh usia mereka, maka muncullah istilah-istilah "slang" yang dikenal dengan "sugar-daddy" atau "sugar-momma."
Orang kafir, lebih terdampak oleh usia-tua dibanding seorang Muslim atau Muslimah, karena masyarakat dan keluarga mereka, menolak mereka; selain itu, mereka tak punya apa-apa lagi selain dunia ini yang mereka anggap surga, tak seperti kita kaum Muslimin, yang menantikan Akhirat.

Duhai anak-muda! Tentang kisah Nabi Adam, alaihissalam, dan Iblis, la'natullah, Allah berfirman,
دَلّٰىہُمَا بِغُرُوۡرٍ ۚ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَۃَ بَدَتۡ لَہُمَا سَوۡاٰتُہُمَا وَ طَفِقَا یَخۡصِفٰنِ عَلَیۡہِمَا مِنۡ وَّرَقِ الۡجَنَّۃِ ؕ وَ نَادٰىہُمَا رَبُّہُمَاۤ اَلَمۡ اَنۡہَکُمَا عَنۡ تِلۡکُمَا الشَّجَرَۃِ وَ اَقُلۡ لَّکُمَاۤ اِنَّ الشَّیۡطٰنَ لَکُمَا عَدُوٌّ مُّبِیۡنٌ
"Ia (setan) membujuk mereka dengan tipu-daya. Ketika mereka mencicipi (buah) pohon itu, tampaklah oleh mereka auratnya, maka mulailah mereka menutupinya dengan daun-daun surga. Rabb mereka menyeru, “Bukankah Aku telah melarangmu dari pohon itu dan Aku telah mengatakan bahwa sesungguhnya, setan itu, musuh yang nyata bagi kamu berdua?'" [QS. Al-A'raf (7):22]
Allah memberi kita naluri menutupi aurat, karena berbagai pertimbangan. Salah satunya, agar mengangkat derajat kita di atas tingkat hewani. Selain itu, menjaga kehormatan, moralitas, dan kedigdayaan kita. Pakaianmu memberimu perlindungan dari cuaca-buruk. Ia memberimu kehormatan dan martabat, memperjelas jenis-kelaminmu dan memperindah dirimu. Naluri ini, juga menyiratkan, bahwa kita sebagai manusia, punya rasa-malu. Oleh sebab itu, jangan percaya bila seseorang berkata, "Aku tak punya lagi rasa-malu!" Itu ucapan belaka, dan tanda kecongkakan, karena mengingkari nalurinya.
Disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu 'anhu, didekati seorang anak-lelaki dan keduanya berbincang sebentar. Kemudian, ia dibelikan oleh anak-lelaki itu, jubah seharga tiga dirham. Panjangnya, dari pergelangan tangan hingga ke mata-kaki. Ia, Ali, kemudian memakainya dan mengucapkan do'a berikut, 'Segala puji bagi Allah yang telah merahmatiku dengan pakaian ini, yang aku gunakan untuk memperindah-diri di depan orang lain dan menutupi auratku'. Dikatakan kepadanya, 'Apakah yang baru saja engkau ucapkan itu, dari dirimu sendiri atau dari Rasulullah (ﷺ)?'. Ia, Ali, berkata, 'Doa ini aku dengar dari Rasulullah (ﷺ) saat beliau mengenakan pakaian.'
Manusia dicipta dengan naluri alamiah untuk menutupi auratnya, dan fungsi berpakaian itu, memperindah-diri dan menutup-aurat.

Duhai anak-muda! Engkau bertanya padaku, salahkah jika engkau mencintai tanah-airmu? Ketahuilah, bahwa manusia, pada dasarnya bersifat nasionalis. Karenanya, ia akan berjuang demi kesatuan, kemerdekaan, kepentingan, kemakmuran dan bahkan kedigdayaan bangsanya. Ia menginginkan yang terbaik bagi negerinya, dan hatinya akan sakit melihat keterbelakangan negaranya, terutama keterbelakangan moral dan ekonomi. Setiap kali ia meninggalkan negerinya, ia membaca surat-kabar dan majalah yang mengabarkan keadaan di tanah-airnya. Demikian pula, ia membeli barang dan jualan, yang didatangkan dari tanah airnya ke negara tempatnya bermukim. Setiap-kali negaranya turut-serta dalam pertandingan apapun, seperti Olimpiade dunia, sepak-bola dunia, pertandingan persemakmuran, dan sebagainya, ia secara spontan menjadi penggemar dan pendukung tim-nasionalnya, tanpa ada yang menyuruh melakukannya. Jika negaranya diserang oleh negara lain, ia akan menyerahkan nyawanya demi mengusir penjajah dan mempertahankan tanah-airnya. Ini karena ia, pada dasarnya, mencintai tanah-airnya.
Oleh sebab itu, dalam Islam, dianggap tak sopan jika berbicara buruk tentang tanah-kelahiran seseorang, karena hatinya terkait dengan tanah-airnya itu. Orang tak perlu diajari bagaimana cara mencintai tanah-airnya, dan jangan berbicara bahwa engkau lebih baik dalam hal mencintai tanah-airmu dibanding dirinya. Jika engkau melakukannya, engkau benar-benar menyakiti-hatinya. Engkau tak hanya menyakiti hatinya, melainkan juga, engkau akan membuatnya benci padamu. Dengan demikian, tali-persaudaraan Islam kita, akan ternoda oleh muculnya kebencian, kedengkian, dendam, sakit-hati dan kesumat.
Namun sebagai seorang Muslim, kita hendaknya tak membiarkan cinta pada tanah-air kita, mengikuti apa yang disebut, Ashabiyah, yang mengutamakan nasionalisme, kesukuan, rasisme, keberpihakan, kekerabatan, di atas tali-persaudaraan Islam. Ashabiyah itu, bermakna, ikatan-kelompok, baik kelompok keturunan maupun yang lainnya. Nasionalisme, kesukuan, golongan, kedaerahan, jamaah, partai, kemadzhaban, dan sejenisnya, termasuk dalam makna Ashabiyah. Dan mengenai Ashabiyah ini, kita hendaknya berhati-hati agar pemahaman ini, tak menjadi fanatisme kelompok yang buta terhadap suku, etnis, dan bangsa. Menurut Ibnu Khaldun, Ashabiyah memang merupakan elemen penting dalam membangun negara. Tanpanya, negara akan mudah runtuh karena tak punya ikatan solidaritas sosial yang kuat, saling-bekerjasama, membangun saling-pengertian, dan bahu-membahu menjaga keutuhan negara. Namun, kita hendaknya tetap waspada agar pandangan ini, tak menjadi fanatisme kelompok yang buta terhadap suku, etnis, bahkan bangsa. Faktanya, persatuan bangsa itu, datangnya dari kesatuan visi yang beragam, yang terwujud ke dalam ikatan solidaritas yang kuat, berdasarkan rasa-persaudaraan. Tentang Ashabiyyah, Rasulullah (ﷺ) bersabda,
وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ وَمَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِي يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا وَلاَ يَتَحَاشَ مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلاَ يَفِي لِذِي عَهْدٍ عَهْدَهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ ‏
“Dan seseorang yang berperang di bawah panji orang-orang yang buta terhadap tujuan yang mereka perjuangkan, (yaitu tak tahu, benar atau salahkah tujuan mereka itu, yang berkobar bersama Ashabiyah), mengajak orang memperjuangkan Ashabiyah, dan membantu sanak-saudaranya (yaitu berperang bukan karena Allah melainkan demi Ashabiyah-nya), jika ia terbunuh (dalam peperangan itu), ia mati sebagai salah seorang dari masa Jahiliyah. Barangsiapa yang menyerang umatku (tanpa pandang bulu) membunuh orang-orang yang shalih dan fasik di antara mereka, tak mengindahkan (bahkan) orang-orang yang beriman dan tak memenuhi janjinya yang dibuat dengan orang-orang yang telah diberi jaminan keamanan - ia bukanlah golonganku dan aku juga bukanlah golongannya." [Sahih Muslim]
Rasulullah (ﷺ) juga bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
“Bukanlah golongan kami, orang yang menyeru Ashabiyah. Bukanlah golongan kami, orang yang berjuang demi Ashabiyah. Bukanlah golongan kami, orang yang mati mengikuti jalan Ashabiyah.” [Sunan Abu Dāwūd; Sahih menurut As-Suyuti]
Tentang ikatan-solidaritas berdasarkan persaudaraan, Rasulullah (ﷺ) bersabda,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang melepaskan suatu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada Hari Kiamat. Barangsiapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di Dunia dan di Akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di Dunia dan di Akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya itu, suka menolong saudaranya. 
Barangsiapa menempuh jalan menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid), membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman akan turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allâh menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang diperlambat oleh amalnya (dalam meraih derajat yang tinggi), maka garis keturunannya, tak bisa mempercepatnya.” [Shahih Muslim]
Ingatlah, bahwa sebagian besar perang yang terjadi, yang menelan banyak korban-jiwa dan harta-benda, dipantik atas nama Nasionalisme. Hitler mempergunakan Nasionalisme sebagai dogma untuk menghasut tentaranya, yang mengobarkan perang dunia kedua, yang berlangsung selama tujuh tahun, antara tahun 1939 dan 1945. Begitu pula, perang delapan tahun antara Irak dan Iran. Jutaan orang tewas dalam perang, tentara maupun warga sipil. Demikian pula, runtuhnya negara yang dulu dikenal Yugoslavia, terjadi atas nama Nasionalisme, dengan Serbia sebagai agresornya. Banyak lagi perang di masa-lalu dan masa-kini, yang dapat digunakan sebagai contoh bahwa setan telah menggunakan naluri-alami cinta tanah-air, merubah kita jadi nasionalis-kesetanan. Setan telah menggunakan naluri ini agar terjadi kehancuran besar di muka-bumi, karena ia telah mengubah suatu bangsa menjadi nasionalis-ekstrem, menganggap merekalah bangsa yang lebih dominan dan bahwa mereka berhak menguasai bangsa lain.
Jadi, tak ada yang salah bila engkau mencintai tanah-airmu, itu sebuah kata-hati, tapi jangan berlebihan hingga terjebak dalam apa yang disebut Ashabiyah. Adapun Hadits, "Cinta tanah-air itu, bagian dari Iman", seluruh ulama hadits mengklasifikannya ke dalam Hadits Palsu.

Duhai anak-muda! Akhirnya, manusia dikaruniai dengan banyak dan beragam naluri-alami. Fakta ini diakui oleh para psikolog, psikiater, sosiolog, ahli biologi, sejarawan dan para Nabi Allah. Wallahu a'lam.”

Kemudian, sang rajawali bersenandung,
Betapa kejinya permainan yang engkau mainkan, agar membuatku merasa begini
Betapa kejinya sesuatu yang dilakukan, agar aku mendambamu
Betapa kejinya diucapkan, engkau tak pernah merasa begini
Betapa kejinya sesuatu yang dilakukan, agar aku mendambamu
Dan kutakkan jatuh-hati
Padamu
Rujukan:
- Sheikh 'Abdullah Faisal, Natural Instincts, Darul Islam
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons

Selasa, 16 Maret 2021

Kata-Hati (1)

Sang rajawali meneruskan dengan bernyanyi,
Dunia terpanggang dan tiada yang dapat menyelamatkanku selainmu
Sungguh aneh keinginan apa yang jadikan orang bodoh lakukan
Kutak pernah berangan bertemu orang sepertimu
Dan kutak pernah impikan kehilangan orang sepertimu
Tidak, kutakkan jatuh-hati
Padamu
Lalu sang rajawali berkata, "Sang pemuda bertanya lagi, 'Wahai paman, salahkah jika aku mencintai tanah-airku dan menyayangi negeriku?' Sang orang-tua berkata, 'Duhai anak-muda! Dengarkan ini,
'Pada suatu pagi, di musim dingin yang membekukan, seorang petani berjalan di ladangnya. Di atas tanah, tergeletak seekor ular, kaku dan lumpuh karena kedinginan. Sang petani tahu, betapa sangat berbisanya jenis ular seperti ini, namun ia mengambil dan meletakkannya di dadanya, agar dapat menghangatkannya kembali.
Seketika, sang ular, dapat hidup kembali, dan di saat ia telah memperoleh kebugarannya, karena naluri-alaminya, iapun memagut sang petani yang telah memperlakukannya dengan baik. Pagutan sang ular sangat mematikan, dan sang petani merasa, dikala itulah akhir hidupnya. Di saat ia menarik napas-terakhir, ia berkata kepada orang-orang yang berdiri di sekeliling, 'Belajarlah dari nasibku, jangan pernah mengasihani bajingan!'

Bila kita perhatikan dunia tempat kita tinggal, kita dapat melihat orang-orang yang memikul beban-derita, kejahatan, kelaparan, penyakit, depresi mental, dan banyak masalah sosial lainnya. Inilah akibat dari mengggunakan, menyelewengkan, dan menyalahgunakan, apa yang disebut, naluri-alami. Naluri-naluri alamiah ini, yang dianugerahkankan Allah kepada manusia, agar dapat menjalankan perannya dengan baik dan efektif sebagai Khalifah, disebut Al-Fitrah.
Karena naluri-alami ini, kekuatan dominan dalam tubuh manusia, baik pada lelaki maupun perempuan, menjadi kebutuhan yang mendesak bagi kita semua agar menaati aturan dan prinsip tertentu, yang memungkinkan kita mengendalikan naluri-alami kita daripada membiarkannya mengendalikan kita.
Sebagai manusia, kesuksesan kita di Dunia dan Akhirat, tergantung pada kemampuan mengendalikan diri-sendiri, yaitu naluri-alamiah kita. Demikian pula, yang mengangkat kita sebagai manusia di atas tingkat hewan, dengan mengendalikan naluri ini, dan memanfaatkannya dengan benar dan efektif, sehingga menjadi aset dan bukan kewajiban.
Mereka yang direndahkan ke tingkat makhluk Allah yang paling hina, merupakan orang-orang yang tak dapat mengendalikan-diri. Yang mengikuti keinginan dan hasrat-tercela mereka. Alih-alih tunduk pada hukum Ilahi, mereka menjadikan keinginan-tercela mereka itu, jadi sesembahan.
Karena perasaan dan kecenderungan ini dianugerahkan Allah kepada kepada umat manusia, naluri atau insting ini, bersifat naluriah, dan pada manusia, bersifat intuitif, berdasarkan bisikan atau gerak-hati, sehingga disebut kata-hati, hati-nurani atau gharizah. Karenanya, sifat ini tak memerlukan seseorang menyuruhnya bertindak berdasarkan perasaan dan kecenderungan ini. Misalnya, ia tak membutuhkan orang-lain agar menyuruhnya mencintai orangtua atau anak-anaknya, sebab kecenderungan ini alami, yang diciptakan Allah dalam dirinya.

Duhai anak-muda! Naluri-alamiah yang ada pada manusia, yakni kata-hati, gerak-hati, hati-nurani, ataupun gharizah, lebih mulia dibanding naluri pada hewan, seperti ular yang telah disebutkan sebelumnya. Kata-hati ini, yang terpatri dalam qalbumu, bertujuan untuk, di atas segalanya, mengenal Allah. Manusia dicipta dengan naluri mengakui tauhid dan lebih memilihnya sebagai cara-hidup dan jalan-kebenaran, dibanding politeisme. Karena kita semua dilahirkan dengan tauhid di dalam diri-kita, maka para penolak iman, yang menyembah sesembahan-palsu, menjadikannya sebagai sekutu Allah, semuanya telah memberontak terhadap sifat-adil yang telah Allah cipta ini.

Duhai anak muda! Salah-satu naluri-alami tersebut, adalah naluri membedakan antara yang baik dan yang buruk. Allah telah menempatkan dalam diri setiap manusia, kata-hati atau hati-nurani, untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang suci dan yang najis. Setiap manusia dikaruniai kata-hati. Jadi, baik orang tersebut, seorang Muslim, Kristiani, Yahudi, agnostik atau bahkan seorang atheis pun, ia akan setuju bahwa perbuatan seperti pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, dan sebagainya, merupakan perbuatan memalukan yang selayaknya mendapat hukuman. Sedangkan amalan seperti menolong orang yang lemah, memberi makan orang miskin dan menuntun orang-buta, perbuatan mulia yang patut beroleh pahala.

Duhai anak-muda! Insting berikutnya, yaitu naluri menyukai kehormatan, kekuasaan, dan gengsi. Manusia senang mengetahui bahwa ia disanjung banyak orang. Ia menginginkan penghargaan orang lain. Ia ingin dihormati setinggi-langit oleh orang-orang di sekitarnya. Ia akan kesal dan kecewa, jika mengalami penolakan, dihina dan diremehkan orang lain.
Orangtua senang dihormati anak-anaknya, demikian juga, anak-anak ingin dihormati orang tuanya. Suami dan istri, menghormati pernikahan yang dibangun atas dasar saling-cinta, saling-menghormati, dan saling-menghargai. Karenanya, pernikahan tanpa didasari rasa saling-menghormati, tak dapat bertahan. Seorang dosen di sebuah perguruan tinggi, akan memuji mahasiswa yang menghormatinya, walau mungkin mahasiswanya itu, membosankan. Namun, sang dosen takkan menyukai mahasiswa yang tak menunjukkan rasa-hormat dan penghargaan kepadanya, walau mahasiswa itu, cerdas. Hal ini terjadi karena kita dilahirkan dengan naluri-alami, suka dihargai dan disanjung orang lain.
Terkadang, kita tahu bahwa seseorang itu, salah, namun karena selama ini, ia mengormati, menghargai dan menyanjung kita, maka kitapun membelanya. Sesungguhnya, sikap kita yang seperti itu, sangat keliru. Penghargaan dan penghormatan, bahkan sanjungan, akan kita peroleh bila kita berpihak pada kebenaran, bahkan akan datang dari musuh-musuh kita, mungkin juga dari orang yang belum pernah menghargai, menghormati dan menyanjung kita.
Orang hendaknya tak memanjakan gagasan bahwa, karena kedudukannya sebagai orangtua, suami, istri, guru, syekh, perdana-menteri, presiden, dan sebagainya, spontan memberi mereka hak menuntut penghormatan dari orang lain. Rasa-hormat tak bisa dituntut, namun sebaliknya, rasa-hormat itu, imbalan atau perolehan. Karenanya, seorang anak, takkan menghormati orangtuanya yang berselingkuh. Komunitas Muslim, juga takkan menghormati seorang syekh yang mendukung rezim-korup, yang mengancam umat Islam, demi keuntungan duniawi belaka. Bukan pula, seorang pemimpin yang mengaku sebagai seorang Muslim, namun tak memerintah dengan ketaatan pada Allah dan apa yang telah diwahyukan-Nya, melainkan memerangi umat Islam, melabelnya radikal tanpa alasan yang kuat, dan memerintah dengan hukum-hukum buatan manusia bagi keuntungan segelintir-orang.
Ketika seseorang diamanahi wewenang dan kekuasaan, namun bila ia tak beriman, ia akan menjadi sombong, angkuh, pongah dan zhalim. Adapun orang-orang mukmin, bilamana mereka di amanahkan wewenang dan kekuasaan, mereka bersikap rendah-hati, dan tak bersikap sok-pintar dan tiran, karena mereka tahu, bahwa hanya Allah-lah Al-Qadir, Yang Maha Perkasa, Al-Hakim, Yang Maha Bijaksana, Al-'Alim, Yang Maha Mengetahui segalanya.

Duhai anak-muda! Seiring dengan naluri menyukai kehormatan, kekuasaan dan gengsi, Allah juga mengaruniai kita, naluri ingin-membalas, baik itu memberi ganjaran maupun imbalan, guna melindungi diri dari para penindas. Jika bukan karena naluri ini, ada orang yang akan membinasakan atau melukai orang lain. Mengenai hal ini, Allah berfirman,
فَهَزَمُوْهُمْ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَقَتَلَ دَاوٗدُ جَالُوْتَ وَاٰتٰىهُ اللّٰهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهٗ مِمَّا يَشَاۤءُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللّٰهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ الْاَرْضُ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ ذُوْ فَضْلٍ عَلَى الْعٰلَمِيْنَ
"Maka mereka mengalahkannya dengan izin Allah, dan Dawud membunuh Jalut. Kemudian Allah memberinya (Dawud) kerajaan, dan hikmah, dan mengajarinya apa yang Dia kehendaki. Dan kalau Allah tak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan-Nya) atas seluruh alam." [QS. Al-Baqarah (2):251]
Dalam masyarakat manapun, dimana sistem Qishash atau hukuman-mati diterapkan, sang pembunuh akan berpikir seribu-kali sebelum melakukan kejahatannya. Karena ia tahu, bahwa jika ia membunuh seseorang, sistemlah yang akan mengganjarnya, maka ia menghindari pembunuhan itu, dan iapun menyelamatkan nyawanya, dan juga nyawa saudaranya. Demikianlah Allah berfirman,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Dan dalam Qishash itu, ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." [QS. Al-Baqarah (2):179]
Kasus kejahatan, seperti pembunuhan, teror dan kekerasan, saat ini makin marak di seluruh penjuru banyak negara, karena hukum qishash diabaikan atau bahkan jika diterapkan, implementasinya dilaksanakan atas orang melarat dengan mengesampingkan orang-orang kaya dan ternama. Karena naluri-alami dalam diri kita ini, ingin membalas setiap kali ada anggota keluarga kita yang dibunuh oleh orang lain, maka Allah memberi kita pilihan Qishash dalam Al-Qur'an. Demikianlah Dia, Subhanahu wa Ta'ala, berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَىٰ بِالْأُنْثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atasmu, Qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itulah, suatu keringanan dari Rabb-mu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang amat pedih." [QS. Al-Baqarah (2):178)
Allah telah memberi kita pilihan Qishash, agar dapat memenuhi naluri alami kita. Seluruh ayat Al-Qur'an diwahyukan, bertepatan dengan naluri alami kita. Karena alasan inilah, Islam digelari "Dienul Fitrah" yaitu agama yang sesuai dengan seluruh naluri fitrah manusia.
Di dunia, saat ini, tak ada satu negeripun, yang menganut syariah secara total. Akibatnya, terjadi penindasan, teror, dan ketidakadilan, yang sangat menyeramkan. Orang melihat setiap hari, yang mereka cintai, dibunuh, dan mereka tak berdaya. Bahkan di negara-negara maju yang disebut beradab-pun, ini terjadi. Akibatnya, orang tak punya pilihan selain bertindak sendiri, melakukan balas-dendam terhadap para penjahat yang telah menyerang kerabat dan orang yang mereka cintai. Hal ini mengakibatkan, masyarakat jenuh dengan pembunuhan dan teror. Andai saja masyarakat ini, bijak dan berimbang dengan menerapkan hukum Qishash, mereka takkan diciutkan ke tingkat yang rendah dan mendasar, dimana orang tak lagi merasa aman di rumah sendiri, apalagi aman di jalanan.
Sehubungan dengan praktik buruk dan tak-sebanding dalam menerapkan Syariah hanya terhadap orang melarat dan mengesampingkan orang-orang kaya, istri Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Usama mendekati Rasulullah (ﷺ), memohon ampunan atas nama seorang kaya, wanita, yang telah mencuri. Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Kaum sebelum kalian, binasa karena mereka terbiasa menjatuhkan hukuman terhadap orang miskin dan memaafkan orang kaya. Demi Dia yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya! Jika Fatimah (putri Rasulullah (ﷺ)) berbuat seperti itu (yakni mencuri), akulah yang akan memotong lengannya.'” [Sahih Al-Bukhari]
[Bagian 2]