Senin, 22 Maret 2021

Batas-batas

Sekarang, setelah giliran sang elang dan rajawali, saatnya bagi yang perkasa, sang garuda, tampil. Usai menyapa dengan salam, ia menyampaikan kalimat pembuka, “Segala puji bagi Allah, kita memuja-Nya, memohon pertolongan, petunjuk dan ampunan-Nya. Kita berlindung kepada Allah, dari kejahatan-diri dan keabaian kita. Sesiapa yang Allah beri petunjuk, takkan pernah dapat disesatkan siapapun, dan sesiapa yang tersesat, takkan pernah beroleh petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada illah selain Allah, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad (ﷺ) itu, hamba 
dan utusan-Nya.
Duhai engkau yang mukmin, bertakwalah kepada Allah, dan ucapkanlah perkataan-benar dan tepat-sasaran, maka Dia akan menerima amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Sesiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), maka ia telah menggapai kesuksesan yang agung. Dan takutlah kepada Allah sebagaimana Dia sepantasnya ditakuti, dan janganlah mati kecuali sebagai seorang Muslim. Pedoman-kebenaran sejati itu, Al-Qur'an, penuntun yang paling mulia itu, Nabi Muhammad (ﷺ); dan sesuatu yang paling buruk itu, perisa-kekinian yang terputus dari Al-Qur'an dan Sunnah, dan setiap keterputusan dari Al-Qur'an dan Sunnah itu, bid'ah, dan setiap bid'ah itu, dhalalah, perbuatan-sesat, dan setiap dhalalah itu, tempatnya dalam Jahannam!"

"Amma ba'du!" lalu ia berkata,
Sang jabal memintaku, jangan naik, jangan naik!
Namun tungkaiku bergerak ke arah lunau di lubuk pegunungan
Sang jabal memintaku, jangan lanjutkan, jangan lanjutkan!
Namun tungkaikuku beralih ke aliran-lumpur di lubuk pegunungan
Kuingin hidup bagai hempasan-angin dan berlalu
Laksana sang-bayu menjelajahi pegunungan, gegana, dan linangan air-mata
Sang garuda-perkasa melanjutkan, “Tersebutlah, seorang pencari, yang telah berjalan jauh, tiba di depan pintu yang tertutup. Ia mengetuk, sebuah suara menyahut, “Silahkan masuk!” Sang pencari tampak ragu, namun dengan perlahan, ia membuka pintu.
Sebuah ruangan putih yang luas, ia temukan di balik pintu. Di tengah ruangan, duduk seorang lelaki, sang tabib, di kursi-goyang. Sang pencari mendekat, mereka saling-bertatapan, sang tabib tersenyum. Sang pencari menyapa dengan salam.
Sang pencari melihat sekeliling, tiada jendela, yang ada hanyalah dua pintu tertutup, satu, yang telah ia lewati, dan yang lain, ia tak tahu jalan apa yang akan ia lalui, jika melewatinya. Ia menatap sang tabib, seolah bertanya.
Seraya menggerakkan kursi-goyangnya, sang tabib berkata, "Duhai manusia! Pintu yang tertutup itu, batasnya, dan di balik pintu yang tertutup itu, engkau takkan temukan apa-apa selain kehancuran. Dengarkan cerita ini, 'Seekor serigala bertemu dengan seekor anak-domba, yang tersesat dari kandangnya, dan sang serigala memutuskan tak menganiayainya, namun mencari dalih agar sang anak-domba membenarkan jika ia melahapnya. Sang serigala kemudian menegur, 'Hai pandir, tahun lalu, kamu telah menghinaku dengan kasar.' Sang anak-domba, dengan suara lirih menjawab, 'Saat itu, aku belum lahir.' Lalu, kata sang serigala, 'Kamu telah makan di padang rumputku.'
'Tidak, tuan yang baik,' jawab sang anak-domba, 'Aku belum mencicipi rumputmu.' Sekali lagi, sang serigala mengancam, 'Kamu telah meminum air-sumurku.'
'Tidak,' seru sang anak-domba, 'Aku belum pernah minum air, karena sampai sekarang, susu ibukulah, makanan dan minuman bagiku.' Seketika, sang serigala menerkam dan menggigit sang anak-domba, seraya menyahut, 'Baiklah! Aku tetap memuaskan santap-malamku, walau kamu menyangkal setiap tuduhanku.' Para tiran, akan selalu berdalih agar membenarkan kezhalimannya.

Manusia itu, seyogyanya, banyak merenung, di antaranya, ada renungan tentang iman-bawaan dan kepentingan-diri. Jika renungan kepentingan-diri menang, maka bathin yang memberontak, akan turut campur-tangan memperbaiki keseimbangan. Namun, jika bathinnya buruk, ia akan menuntut pemenuhan kenikmatan, karena bathin itulah yang mendorong manusia agar berbuat keburukan. Namun, jika ia mematuhi Hukum Allah dan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah, maka itulah bathin yang tenang. Orang yang menganiaya diri-sendiri itu, orang yang mengejar keinginan bathinnya, memberinya kenikmatan sementara, dan karenanya, mengharapkan kesengsaraan yang tertunda. Oleh sebab itu, dengan melakukannya, ia telah menganiaya diri-sendiri.
Seseorang akan tak adil terhadap diri-sendiri, dengan menyembunyikan kenikmatan sementara, dan dengan demikian; menjadikannya kesengsaraan permanen. Akibatnya, manusia menemukan dirinya dalam keadaan yang aneh, karena ia telah melibatkan dirinya dalam penderitaaan-abadi melalui kenikmatan fana. Ketidakadilan terhadap diri-sendiri itu, salah satu bentuk kezhaliman yang paling menyedihkan, dan adakah orang berakal-sehat, yang mendurhakai Allah dengan tak menjalankan perintah-Nya, dan melakukan yang dilarang?
Orang yang berakal-sehat, takkan melakukannya, karena ia merasakan adanya pemenuhan hasrat, namun, secara mendalam, ada keterlibatan ego dalam kenestapaan. Misalnya, tidur tanpa menunaikan shalat, berarti memenuhi hasrat tidur yang, nyata hanya untuk dirinya sendiri, namun berarti mengucilkan-diri dari Allah. Demikian pula, jika seseorang minum minuman-keras, ia akan mengira bahwa ia telah memenuhi hasrat untuk dirinya sendiri; padahal, kenyataannya, ia telah menganiaya diri-sendiri terbenam dalam penderitaan yang luar-biasa. Saat seseorang menganiaya dirinya sendiri, ia merasa aman terhadap apa yang diperbuatnya itu.

Duhai manusia! Kezhaliman itu, memerlukan keterlibatan dua pihak: pihak yang tak-adil dan pihak yang kepadanya kezhaliman dilakukan. Namun dalam hal kezhaliman terhadap diri-sendiri, siapakah yang tak adil? Dan pihak manakah yang melakukan kezhaliman?
Diri itu, mengacu pada hadirnya bathin dalam suatu unsur, dan kebersatuan inilah yang memberi bathin, sifat-tenang, sifat-buruk, atau sifat tercela. Bertemunya bathin dengan suatu unsur, menghasilkan sukma. Sebelum terjadinya pertemuan ini, bathin secara alami akan membaik, dan substansinya ditundukkan sesuai dengan kehendak penakluknya. Ada kehidupan materialistis dan kehidupan spiritual, dan kehidupan materialistis itu, buruk, dan kehidupan spiritual itu, baik. Boleh dibilang, unsur itu, umumnya, baik, patuh, takluk, menyembah dan memuliakan; demikian pula, bathin.
Kerusakan muncul ketika bathin bertemu dengan suatu unsur. Pada interaksi ini, muncullah prinsip pilihan. Orang dewasa, yang bertanggungjawab secara hukum atas tindakannya, akan ditanya, 'Cukupkah engkau dengan Hukum Allah? Atau akankah engkau terombang-ambing antara bathin yang tercela dan kecukupan? Atau akankah engkau menuruti kemaksiatan dan berbathin buruk?' Variasi ini berasal dari pertemuan bathin dengan suatu unsur.
Manakah yang zhalim saat bathin dan suatu unsur itu, bertemu? Hasratlah yang menzalimi bathin dalam berbuat kemaksiatan. Artinya, orang yang zhalim, mengikuti keinginan bathinnya dengan berbuat dosa, tetapi pada kenyataannya ia, membebani bathinnya.
Ada perbedaan antara berbuat zhalim demi mengikuti keinginan, dan berbuat zhalim terhadap diri-sendiri demi memenuhi keinginan orang-lain. Melakukan perbuatan tercela itu, sesuatu, dan menganiaya diri sendiri itu, masalah yang berbeda. Berbuat asusila itu, mungkin merupakan kenikmatan sesaat bagi bathin. Namun, orang yang menganiaya diri-sendiri demi memenuhi keinginan orang lain, tak dapat dikatakan telah mendatangkan kesenangan bagi dirinya sendiri; ia telah menganiayanya. Ia tak memberikan dirinya keinginan berumur pendek dalam hidup ini atau melindunginya dari siksaan akhirat.

Duhai manusia! Umumnya, Zulm itu, seperti Al-Jaur (penindasan): suatu bentuk penyerangan, pemaksaan, penaklukan atau menggampangkan. Antonim Zulm itu, Al-Insaf (sadar dari kekeliruan), sebagaimana antonim dari Al-Jaur (penindasan) itu, Al-‘Adl (keadilan). Az-Zulm itu, karenanya, ketidakadilan, dan ketika seseorang berbuat ketidakadilan terhadap diri-sendiri, maka ia akan menganiaya diri-sendiri dan tak adil terhadapnya. Menganiaya diri-sendiri itu, bentuk ketidakadilan yang paling buruk. Bathin yang dimuliakan dan diciptakan Allah, sepatutnya dijaga oleh manusia, yang seyogyanya menunaikan apa yang Allah kehendaki, dan mencegah tercapainya keinginan tanpa-henti, yang mendatangkan murka Allah.
Manusia bisa menjadi pelaku kezhaliman, dan juga, teraniaya, pada saat bersamaan. Hal ini karena orang menganiaya diri mereka sendiri, dan bathin manusia punya pertimbangan kecenderungan langsung atau sementara, dan pertimbangan hasrat dan khayal; yang saling bersaing. Jika engkau berbuat-salah dan menyesali dirimu, lalu berbuat baik, maka engkaulah orang yang bathinnya, menyesali. Jika bathinmu terbiasa berbuat keburukan dan menuruti hawa-nafsu, maka engkaulah orang yang berbathin buruk. Jika bathinmu berserah-diri kepada Allah, maka engkaulah orang yang bathinnya tentram. Bathin buruklah yang melanggar hak-hak orang dan menganiaya mereka, dan pada saat yang sama, menganiaya diri-sendiri dengan memberinya kesenangan sementara dan menjerumuskannya ke dalam penderitaan permanen.

Duhai manusia! Jika Zulm (ketidakadilan) bermakna merampas hak seseorang; maksudnya, apa yang orang itu, peroleh dengan cara yang halal, kemudian Az-Zalim (orang zhalim) dengan sewenang-wenang dan permusuhan, mengambil hasil-keringat orang-lain. Hal ini menghentikan roda-kehidupan, karena mengingat bahwa aku bekerja dan orang lain merampas hasil pekerjaanku, maka aku tak dapat bekerja lagi. Terlebih lagi, ketika orang zhalim berbuat kezhaliman, ia tak hanya mengambil secara paksa hak orang lain, melainkan juga menyesatkan orang punya kuasa lain seperti dirinya, merampas hak orang yang lemah dan menzalimi mereka. Akibatnya, ketidakadilan merajalela, dan jika itu berlaku dalam sebuah masyarakat, maka akan menimbulkan pengangguran dan melumpuhkan aliran seluruh kehidupan.
Jika seluruh hukuman Allah ditunda hingga Hari Kiamat, maka kezhaliman akan merajalela di kalangan manusia, dan di seluruh alam semesta. Orang yang tak beriman pada Akhirat, akan berceloteh sesuka-hati. Karenanya, perlu menetapkan adzab atas perbuatannya di kehidupan dunia ini, sehingga manusia hendaknya mengingat kendali Allah atas alam-semesta-Nya. Adzab bagi pelaku-kejahatan, juga akan menjadi pelajaran bagi orang lain. Namun juga, siksa-neraka, tetap menantinya di Akhirat.

Wahai manusia! Allah melarang kita, cenderung kepada orang zhalim, karena jika engkau bersandar pada orang zhalim dan setia padanya, ia akan menjerumuskanmu. Namun jika engkau menjauhinya dan tak mengandalkannya, ia akan merasa bahwa engkau telah bertumpu pada landasan yang kokoh. Karenanya, jangan mengandalkan orang zhalim hingga ia paham bahwa engkau punya keyakinan kepada Allah dan kuasa-Nya mengganjar orang zhalim. Pada saat itu, ia akan merasa lemah. Kehidupan saat ini, salah-satu keburukannya, mengandalkan orang zhalim dan mendukung kezhaliman mereka. Orang yang melakukannya, tak sadar bahwa Allah kuasa meruntuhkan orang-orang zhalim beserta seluruh jajaran tiran dan kekuasaannya. Dan salah-satu tanda keruntuhan orang-orang zhalim itu, wabah. Wallahu a'lam.”

Sang garuda-perkasa mendadak diam, kemudian berkata,
Sang jabal memintaku, lupakan, lupakanlah!
Namun tungkaiku bergerak ke arah lunau di lubuk pegunungan
Sang jabal memintaku, turun, turunlah!
Mendorong pundakku yang penat karena tak sanggup menanggung beban
yang nalarku tak mampu selami
Namun tungkaikuku beralih ke aliran-lumpur di lubuk pegunungan
Kuingin hidup bagai hempasan-angin dan berlalu
Laksana sang-bayu menjelajahi pegunungan, gegana, dan genangan air-mata
Rujukan :
- Muhammad Mutawalli Shaarawi, Oppression and the Oppressors, Translated by Chafik Abdelghani, Al-Firdous
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons