Senin, 08 Maret 2021

Sang Bocah dan Segenggam Kacang

Sang rajawali tampil ke depan, setelah mengucapkan salam dan kalimat pembuka, ia memulai dengan bersenandung,
Bayangkanlah bila aku
Tak lagi menjadi kekasihmu
Bayangkanlah bila bumi
Tak mampu lagi berputar
Bayangkanlah bila aku
Terpisah jauh darimu
Bayangkanlah bila mentari
Tak mampu lagi menyinari dunia

Dengarlah duhai kekasih
Hidup tak selamanya indah
Renungkan wahai sahabat
Hadapilah semua yang 'kan terjadi *)
Lalu ia melanjutkan, "Suatu pagi, tersebutlah seorang-tua dan dan anak-muda berjalan di setapak sebuah taman. Sang orang-tua bertutur, 'Wahai anak muda, dengarkan ini, 'Seorang bocah diperkenankan memasukkan tangannya ke dalam sebotol kaca, berbentuk kendi, yang berisi kacang, dan boleh mengambil segenggam saja. Namun ke dalam genggamannya itu, sang bocah meraih terlalu banyak kacang hingga ia tak mampu menarik tangannya keluar dari botol itu. Ia tetap berdiri di situ, tak mau kehilangan sebutir kacangpun walau tak dapat menarik-keluar genggamannya. Karena kesal dan kecewa, tangisnyapun mulai pecah.
'Anakku,' berkata sang ibu, 'Puaskan dirimu dengan setengah-genggam kacang yang engkau ambil, maka akan lebih mudah engkau mengeluarkan tanganmu. Semoga, engkau akan mendapatkan lebih banyak kacang dalam kesempatan lain.'

'Wahai anak muda!' lanjut sang orang-tua. 'Al-muhabbah, cinta, dan al-iradah, keinginan itu, dasar dari setiap perbuatan dan gerakan. Wujud yang agung dari keduanya, mencintai Allah dan hanya beribadah kepada-Nya, tanpa menyekutukan-Nya. Kezhaliman yang terbesar itu, manusia menjadikan sesuatu sebagai sesembahan selain Allah dan mencintainya sebagaimana mencintai Allah, dan mereka menjadikannya sederajat dan setara dengan-Nya.
Al-muhabbah dan al-iradah itu, dasar dari setiap agama, baik agama itu benar maupun menyimpang. Agama terdiri dari perbuatan lahir dan batin, dan al-muhabbah dan al-iradah itu, dasar dari semuanya. Ad-din atau agama itu, ketaatan, ibadah, dan adab atau tatakrama. Jenis inilah ketaatan yang permanen, tak terpisahkan, dan muncul melalui kebiasaan dan tatakrama, bukan sekedar kepatuhan belaka. Karena itu, agama didefinisikan sebagai sebuah kebiasaan dan tatakrama.
Kata "ad-daydan" bermakna "kebiasaan", seperti kalimat, "Inilah daydani-nya," bermakna, "ini kebiasaan permanennya." Akar kata kerja “daan” dapat merujuk pada penakluk dan yang ditaklukkan, atau penguasa dan sebuah subjek. Din dalam kaitannya dengan ketaatan, mencakup pengertian ketaatan, ibadah, kerendahan-hati, dan ketertundukan.
Kata 'ibadah', melibatkan cinta yang sempurna dan penyerahan diri sepenuhnya, dan kata 'din' bermakna sama. Inilah apa yang orang jadikan ketaatan-dirinya secara lahir dan bathin karena cinta dan kebersahajaan, tak seperti ketaatan kepada seorang penguasa, yang ditunjukkan secara lahiriah saja.

Setiap perbuatan, lahir dari cinta dan keinginan, dan setiap pengabaian atau penghindaran, lahir dari kebencian dan ketidaksukaan, dan setiap orang itu, 'hammaam', 'pekerja', dan 'harits', 'orang yang berniat,' yang menyukai dan membenci; tiada seorang manusiapun yang hidup tanpa memiliki dua macam emosi ini, dan perbuatannya, menyertai kesukaan dan ketaksukaanya. Dalam hal ini, akan terkait juga dengan kebiasaan dan tatakrama, dan sesungguhnya, hal ini menunjukkan sesuatu, bahwa setiap orang, membutuhkan agama atau keyakinan, yang menyatukan mereka, karena tak ada orang yang mampu hidup sendirian dan tak ada yang bisa mendapatkan manfaat dan membela dirinya dari marabahaya. Jika mereka berhimpun dan bersatu, maka mereka semua harus turut-serta untuk mencapai hal-hal yang bermanfaat bagi mereka semua, semisal memohon hujan turun, dan ini didasarkan pada kesukaan mereka terhadap hal-hal yang seperti itu. Demikian juga, mereka hendaknya turut-serta dalam mengusir marabahaya, semisal musuh, dan ini berasal dari ketaksukaan mereka terhadap hal-hal yang seperti itu. Seiring waktu, cinta dan benci ini, dimana mereka semua turut-serta, menjadi agama mereka.

Hal-hal seperti ini, merupakan berbagi-cinta yang biasa, namun dalam hal cinta yang bersifat khusus bagi setiap orang, semisal suka akan makanan, minuman, jalinan-kasih, pakaian, dll., maka dalam ini, merupakan berbagi-cinta untuk sesuatu yang umum dan bukan sesuatu yang spesifik. Dengan kata lain, setiap orang, tak dapat memperoleh manfaat dari makanan, minuman, pernikahan, dan pakaian, yang dinikmati orang lain; sebaliknya, ia menyukai jenis yang setara dengannya.
Sebenarnya, urusan Keilahian, juga sama; misalnya, hujan yang sama persis, turun di satu tempat, tak bisa turun di tempat lain—bukan hujan yang sama, melainkan hujan dari jenis yang sama. Demikian pula, angin-semilir yang menyejukkan tubuh seseorang, tak sama dengan angin yang membuat orang lain kedinginan. Namun, urusan Keilahian ini, terjadi secara kolektif dan universal, jadi karena sebab ini, cinta dan benci terhadap sesuatu yang seperti ini, bersifat universal dan kolektif, tak seperti hal-hal yang berhubungan dengan perbuatan seperti makanan dan pakaian, karena hal-hal ini mungkin spesifik dan dapat dibagi.
Karenanya, hal-hal yang dibutuhkan oleh suatu kaum, harus diwajibkan bagi mereka, dan hal-hal yang merugikan mereka, hendaknya tak diperbolehkan, demikianlah agama itu. Hal ini hanya dapat terjadi melalui kesepakatan di antara mereka, seperti perjanjian atau ikatan. Oleh sebab itu, disebutkan dalam sebuah hadits,
لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ
"Tiada iman bagi orang yang tak dapat memegang amanah dan tiada agama bagi orang yang tak dapat menunaikan janjinya.” [Musnad Ahmad, Shahih oleh As-Suyuti]
Oleh karena itu, agama ini, dimana semua Anak Adam terlibat: mematuhi kewajiban dan larangan, merupakan pemenuhan janji. Agama ini bisa rusak dan tidak-sah, jika perjanjiannya lebih berbahaya daripada manfaatnya, atau bisa menjadi agama yang benar jika manfaatnya lebih spesifik atau dominan.

Agama yang benar itu, ketaatan dan ibadah kepada Allah. Seperti yang telah dijelaskan, agama itu, ketaatan terhadap kebiasaan yang menjadi ciri agar yang ditaati, dicintai dan diinginkan, karena dasarnya, al-muhabbah dan al-iradah. Tiada yang berhak disembah atau dipatuhi secara tak terbatas kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan utusan-utusan-Nya wajib ditaati, karena mereka memerintahkan ketaatan kepada Allah.
Ibadah itu, seyogyanya hanya untuk Allah, tanpa perantara, jadi, para hamba hanya menyembah Allah, dan bahwa setiap amal yang tak dilakukan karena mengharapkan ridha Allah atau untuk menyembah-Nya, keliru, bathil dan bukanlah kebenaran, dan tak bermanfaat bagi mereka yang melaksanakannya.
Jika setiap manusia berkumpul menjadi sebuah komunitas, maka setiap komunitas hendaknya memiliki ketaatan dan agama, dan setiap ketaatan dan agama yang dibuat untuk selain Allah, batal.
Setiap din, ketaatan, dan al-muhabbah, hendaknya punya dua hal, pertama, agama yang dicintai dan ditaati, dan inilah tujuan dan niatnya. Kedua, bentuk amalan ketaatan dan ibadah, dan inilah jalan, cara, syari'at, atau metode.

Didalam qalbu setiap Anak Adam, ada cinta dan keinginan terhadap apa yang mereka sembah, dan inilah kesucian dan pemenuhan qalbu dan bathin mereka, sama seperti mereka menyukai dan menginginkan makanan dan jalinan-kasih, yang dengannya, hidup mereka terlengkapi. Akan tetapi, kebutuhan beribadah ini, lebih besar daripada kebutuhan akan makanan, karena jika mereka tak makan, tubuh mereka saja yang akan melemah, namun tanpa ibadah, bathin mereka akan rusak, dan bathin hanya dapat diselamatkan dengan menyembah Allah semata. Inilah fitrah yang di atasnya, Allah menciptakan kita semua.

Setiap komunitas, membutuhkan kewajiban dan hukum yang dipatuhi anggotanya, untuk memelihara ketertiban dan keamanan dalam kehidupan bersama. Terkadang, hukum ini digunakan untuk mengambil-alih kelompok lain dan menaklukkan mereka, seperti yang biasa dilakukan oleh para raja yang zhalim.
Jika niat agama dan hukum hanya untuk memberi manfaat dan membela diri dari bahaya dalam kehidupan duniawi, maka mereka yang telah melakukannya, tak berhak menuntut imbalan apapun di Akhirat kelak. Selain itu, jika mereka menggunakannya dengan tujuan menguasai dan menindas orang lain, seperti Fir'aun dan lainnya, maka bagi mereka, azab yang paling pedih di Akhirat."

Tiba-tiba, sang rajawali terdiam, tanpa menyimpulkan apapun, ia pamit, mengucapkan salam, lalu terbang dan bersenandung,
Bayangkanlah bila aku
Tak setia lagi kepadamu
Bayangkanlah bila mata
Tak mampu lagi memandang
Bayangkanlah bila aku
Terpikat hati yang lainnya
Bayangkanlah bila cinta
Tak mampu lagi mendamaikan dunia

Dengarlah duhai kekasih
Hidup tak selamanya indah
Renungkan wahai sahabat
Hadapilah semua yang 'kan terjadi *)
Rujukan:
- Syaikhul Islam Ibn Taymiyyah, The Principle of Love and Desire, Authentic Statments Publications
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons
*) "Bayangkanlah" karya Piyu Padi