Rujukan :Usai mengucapkan salam, menyampaikan kalimat pembuka, sang pungguk bertutur, “Suatu malam, di sebuah negeri yang disebut Negeri Tak Bernama—dan aku tak tahu mengapa disebut demikian—sang raja, sedang gelisah. Ia tampak keluar-masuk dari langkan ke ruang tidur istana. Rupanya, sang raja sedang memikirkan sesuatu. Selagi ia berdiri di langkan istana, sayup-sayup terdengar suara seorang ibu yang sedang menidurkan putranya, mengalun,Jelang malam di suatu hariKududuk dan perhatikan anak-anak bermainWajah ceria dapat kulihatTapi bukan untukkuKududuk dan perhatikanSeraya air-mata berlinangSang raja memejamkan mata, bergema di telinganya, suara kegelapan berbisik, "Hei! Lakukan saja apa yang engkau inginkan. Ini semua demi keselamatanmu!" Namun, ada suara yang lebih lantang berasal dari lubuk hatinya yang paling dalam, "Duhai engkau, yang di luar sana! Engkau orang baik. Jika engkau memikirkan tentang berbuat salah, semua orang berbuat-salah. Aku, engkau, dan kita semua, pernah berbuat-salah. Namun, haruskah kita terbenam ke dalam kesalahan itu? Yang terpenting, bagaimana "move-on" dari kesalahan itu.Duhai engkau, yang di luar sana! Masih ingatkah engkau, betapa bahayanya mendambakan harta dan status keduniawian? Yang seperti itu, tak lebih dari kerusakan yang disebabkan oleh dua serigala lapar dan rakus, yang sepanjang malam berada di antara domba-domba saat tak ada gembalanya – sehingga mereka berpesta-pora dan melahap mereka. Kerusakan akibat hasrat seseorang akan harta dan status keduniawian, takkan kurang dari dua serigala lapar di antara domba-domba itu. Melainkan, akan menyamai atau bahkan lebih buruk.Duhai engkau, yang di luar sana! Ingatlah, jenis pertama dari mendambakan harta itu, bahwa seseorang sangat-sangat mencintai harta, dan juga, tanpa-henti mengerahkan tenaga dan pikiran agar dapat menggapainya – walau dengan cara yang halal – namun dengan sangat berlebihan, ia berjuang-keras dan berusaha dengan sungguh-sungguh, serta bekerja-keras mencapainya.Tiada orang yang lebih mengejar harta melainkan hanya menyia-nyiakan martabatnya bagi sesuatu yang tiada arti. Sesungguhnya, ia bisa saja memperoleh derajat yang tertinggi di surga dan kebahagiaan abadi, namun ia membuang kesempatan itu, karena hasratnya akan rezeki – yang, rezeki itu, memang telah dijanjikan kepadanya dan diberikan kepadanya, takkan mungkin sesuatu itu datang kepadanya, kecuali apa yang telah ditakdirkan untuknya - maka di atas semua ini, ia tak memperoleh manfaatnya, melainkan mengabaikannya dan menyerahkannya kepada orang lain.Ia dengan sengaja mengabaikannya dan meninggalkannya, yang pada akhirnya, ia harus mempertanggungjawabkan semuanya, namun orang lainlah yang mengambil manfaatnya. Dan pada kenyataannya, ia hanya mengumpulkan harta-harta itu bagi orang lain yang, takkan mau berterimakasih kepadanya, sementara, Dia, Subhana wa Ta'ala, takkan mau memaafkannya - dan ini cukup membuktikan betapa tercelanya mendambakan hal-hal seperti itu.Orang yang punya dambaan seperti ini, menyia-nyiakan waktu yang berharga dan menyibukkan diri terhadap sesuatu yang tak bermanfaat bagi dirinya sendiri – membiarkan dirinya terpapar bahaya selama mengumpulkannya, namun hanya akan bermanfaat bagi orang lain.Hasrat duniawi ini, menyiksa seseorang, ia sibuk dan tak merasakan kebahagiaan atau ketenteraman saat mengumpulkan dan menumpuk harta – ia sibuk. Ia tak punya waktu - karena kecintaannya pada dunia ini, melebihi akhirat, dan ia sibuk dengan sesuatu yang akan binasa, serta melupakan apa yang akan kekal dan abadi.Duhai engkau, yang di luar sana! Jenis kedua setelah jenis mendambakan harta, bahwa selain apa yang telah disebutkan dalam jenis pertama, ia juga mengejar harta dengan cara yang tak-halal dan merampas hak-hak orang lain – maka ini jelas merupakan keserakahan dan ketamakan tercela.Duhai engkau, yang di luar sana! Seseorang yang mendambakan status dan kedudukan, akan lebih merusak dibanding mendambakan harta. Mengejar status, kedudukan, jabatan, dan kekuasaan, mendatangkan lebih banyak kerugian bagi seseorang dibanding mengejar harta - ia lebih merusak dan lebih sulit dihindari, karena hartapun akan dibuang percuma agar dapat memperoleh status. Ada dua jenis mendambakan status ini.Yang pertama, mengejar status melalui kekuasaan, kedudukan dan kekayaan, dan ini sangatlah berbahaya – karena biasanya, akan menghalangi seseorang dari kebaikan akhirat dan kemuliaan, serta kehormatan di kehidupan berikutnya. Jarang sekali seseorang yang mengejar kedudukan di dunia ini, memohon petunjuk-Nya, agar dianugerahkan apa yang terbaik untuknya. Namun sebaliknya, ia hanya akan percaya pada dirinya sendiri.Ketahuilah bahwa mendambakan status dan kedudukan itu, pastilah menyebabkan kerugian besar yang tak terelakkan, selagi ia mengejarnya, dibutuhkan upaya keras sebagai tuntutan pencapaiannya, dan setelah mencapainya, ia akan berusaha mempertahankannya, yang akan memunculkan kezhaliman, keangkuhan, dan kejahatan lainnya.Duhai engkau, yang di luar sana! Jenis kedua mengejar status dan kedudukan itu, menggunakan sarana yang menyangkut keagamaan, semisal ilmu, amal dan zuhud. Hal-hal seperti ini, akan lebih jahat dibanding jenis pertama, lebih memalukan, lebih merusak dan lebih berbahaya. Seyogyanya, ilmu, amal dan zuhud itu, bertujuan mengejar derajat tertinggi dan kebahagiaan yang tiada tara di sisi Allah, serta berusaha lebih dekat dengan Allah.Sufyan ibnu Sa`id ats-Tsauri, seorang Imam ternama penerus para Tabi'in, berkata, 'Keutamaan ilmu itu, seyogyanya akan menyebabkan seseorang takut dan taat kepada Allah, jika tak seperti itu, maka ia sama saja dengan yang lain.' Jadi, jika seseorang mengejar sesuatu melalui ilmu, amal dan zuhud, namun hanya untuk tujuan duniawi, ada dua jenis, yang pertama, orang yang mengejar harta melalui kedok keagamaan – maka inilah bagian dari hasrat akan harta, dan mengejarnya dengan cara yang tercela. Jenis kedua, seseorang yang berkedok ilmu, amal dan zuhud, mengejar harta dan kedudukan agar orang lain menghormatinya, tunduk dan patuh kepadanya, dan seolah hanya dirinyalah yang boleh memberi petunjuk. Ia berusaha agar orang lain merasa bahwa ia memiliki banyak ilmu dibanding ulama lain, sehingga ia dengan mudah mencapai kedudukan yang lebih tinggi dibanding mereka. Maqam yang paling tepat bagi orang seperti ini, hanyalah Jahannam. Karena, niatnya meninggikan diri-sendiri di atas makhluk-ciptaan Allah itu, sesuatu yang terlarang. Jadi jika seseorang mengejar dunia dengan menggunakan sarana untuk mencapai akhirat, akan lebih buruk dan lebih hina dibanding menggunakan sarana duniawi seperti harta dan kedudukan.Sang raja menundukkan kepala, sekali lagi, ia memejamkan mata, samar-samar terdengar suara sang ibu bersenandung,Kekayaanku tak dapat membeli segalanyaKuingin dengar anak-anak bernyanyiYang kudengar hanyalah suaraHujan berjatuhan ke bumiKududuk dan perhatikanSeraya air-mata berlinangSuara kegelapan kembali menggema, "Hei! Jangan dengarkan, itu hanya omong kosong. Lakukan saja sesukamu!" Namun suara dari lubuk hatinya yang terdalam, berteriak, lantang, “Duhai engkau, yang di luar sana! Kecintaan pada harta dan kedudukan, serta hasrat mengejarnya, menghancurkan Dien seseorang, hingga tak bersisa sama-sekali, kecuali apa yang dikehendaki Allah.Akar dari cinta harta dan kedudukan itu, cinta duniawi, dan akar cinta duniawi ini, mengikuti syahwat. Wahb bin Munabbih berkata, “Dari mengikuti hawa-nafsu, timbullah nafsu-dunia, dan dari nafsu-dunia, akan timbul kecintaan akan harta dan kedudukan, dan dari kecintaan akan harta dan kedudukan, timbullah sesuatu yang menghalalkan apa yang diharamkan.” Perkataan ini, ucapan yang baik, karena, cinta harta dan kedudukan itu, disebabkan oleh hasrat akan dunia ini, dan hasrat akan dunia ini, disebabkan oleh mengikuti syahwat seseorang. Syahwat ini, mengajak pada hasrat duniawi dan cinta harta dan kedudukan. Namun ingatlah bahwa taqwa, menghalangi seseorang mengikuti hasrat-keinginannya dan mencegahnya dari cinta akan dunia ini.Ketahuilah, bahwa ego itu, ingin dan suka mengejar status dan kedudukan melebihi derajat yang sepantasnya, dan inilah yang menimbulkan kepongahan dan kedengkian. Akan tetapi, orang yang berakal-sehat, berusaha mendapatkan derajat yang kekal dan abadi, yang di ridhai Allah, di sisi-Nya, dan ia menghindarkan-diri dari derajat yang cepat dan singkat, namun diikuti oleh kemarahan dan murka Allah, yang berarti kehancuran, kehinaan, sesuatu yang menjauhkannya dari Allah dan ia dijauhkan dari-Nya.Sambil meletakkan kedua lengannya di pagar langkan, sang raja menatap ke depan, gamang, hasrat dan keraguan masih mencengkeramnya. Rupanya, sang raja tak dapat lagi memandang dan menimbang, serta tak sanggup lagi mendengar apapun selain suara sang ibu, yang melantunkan bait terakhir,Jelang malam di suatu hariKududuk dan perhatikan anak-anak bermainMelakukan yang biasa kulakukanMereka kira itu terkiniKududuk dan perhatikanSeraya air-mata berlinang
- Imam al-Hafizh ibn Rajab al-Hanbali, The Evil Of Craving For Wealth And Status, Translated By: Aboo Talhah Daawood ibn Ronald Burbank, Al-Hidaayah Publishing