Jumat, 19 Maret 2021

Kata-Hati (2)

Sang orang-tua melanjutkan,
Duhai anak-muda! Naluri berikutnya, naluri ingin dicintai. Sifat ingin disayangi, disenangi dan dipuji orang lain, terutama mereka yang dekat dengan kita, melekat pada diri kita semua. Oleh sebab itu, seorang anak, mendambakan kasih-sayang orangtuanya, dan juga sebaliknya. Seorang istri, mengidamkan kasih-sayang suaminya, serta sang suami, ingin disayangi istrinya. Tiada yang ingin hidup dalam pernikahan tanpa cinta, sebab, hal itu sesuatu yang sama sekali tak alami. Itulah sebabnya mengapa kita semua berteman. Yakni teman-teman yang tetap saling-berkomunikasi dan senang berada bersama mereka.
Latar-belakang yang sama, mengapa orang terlibat dalam hubungan-dekat, semisal di sekolah menengah atas dan perguruan-tinggi, yaitu hubungan pacar-lelaki, pacar-wanita. Mereka ingin merasa aman secara emosional, dan percaya-diri tentang diri mereka, dipandang cantik, tampan, menawan dan menarik. Mereka ingin tahu, adakah mereka mendapat tempat istimewa di hati seseorang. Karenanya, sangat penting bagi orangtua menunjukkan cinta dan kasih-sayang mereka, dalam bersikap, terhadap anak-anak mereka. Jika kurang, anak-anak akan mencari cinta dan kasih-sayang ini, dari orang asing, di luar rumah, dan karenanya, rentan terhadap bajingan yang takkan ragu menyelewengkan mereka. Anak-anak yang berasal dari rumah yang tak memberikan kasih-sayang atau perhatian, sering berakhir sebagai badut-kelas, yang mengganggu teman-teman sekelas, mencari perhatian orang lain. Demikian juga, anak-gadis yang tak memperoleh kasih-sayang di rumah, sering terjadi, berhubungan intim dengan lawan-jenisnya, pada usia dini.
Para suami, yang tak mendapat perhatian, cinta dan kasih-sayang dari istri mereka di rumah, sering-kali terjerumus ke dalam hubungan-cinta di luar-nikah, dengan kolega di tempat kerja; rekan-kerja, sekretaris atau wanita lain, yang berhubungan secara teratur dengan mereka. Ada yang bahkan sampai menyewa jasa pelacur. Praktik yang sama, berlaku juga bagi wanita yang tak mendapat perhatian dan cinta dari suami mereka; mungkin akan mencarinya dari sumber lain, yang jelas-jelas haram, hina dan tercela.
Semua sifat buruk ini, terjadi karena kita semua punya naluri yang melekat, dan dituntut agar dipenuhi: mencintai dan dicintai. Oleh karenanya, setiap kali ada kehampaan, konsekuensinya dapat mengejutkan dan menjadi bencana bagi individu dan masyarakat.
Juga, kita semua ingin dicintai dan dihargai oleh saudara-saudari muslim-muslimah kita, karena umat Islam itu, keluarga besar kita. Satu-satunya cara agar kita disayangi oleh sesama Muslim, dengan memperbaiki hubungan kita dengan Allah, Rabb dan Pencipta kita. Jika hubungan dengan Sang Pencipta, baik, maka hubunganmu dengan seluruh ciptaan-Nya, spontan membaik.

Duhai anak-muda! Manusia itu, ingin-tahu. Karena ilmu itu, menandakan kehormatan dan martabat. Sedangkan kebodohan itu, berarti aib dan kehinaan. Allah menanamkan dalam diri kita, naluri ini, agar kita tumbuh dan berkembang secara spiritual, akademis, mental-ilmiah, dan sebagainya. Dalam banyak ayat Al-Qur'an, Allah telah mendorong agar kita memikirkan dan merenungkan ciptaan-Nya. Terkadang, Dia, Subhanahu wa Ta'ala, bahkan mengajak kita, menjelajahi bagian-bagian lain dari ciptaan-Nya itu, agar kita belajar darinya.
Naluri keingintahuan dan cinta-ilmu ini, dikaruniakan Allah kepada kita, agar kita membuat banyak temuan dan terobosan, supaya maju secara spiritual maupun teknologi. Oleh sebab itu, naluri ini, bila digunakan dengan benar, menghasilkan dampak yang mengagumkan dan menakjubkan.

Duhai anak-muda! Kita semua hidup di dunia yang kejam dan egois. Sebuah dunia dimana orang takkan ragu mengeksploitasi orang lain, demi keuntungan ego mereka. Maka, Allah menganugerahkan kita, naluri ingin membela-diri agar kita tak membiarkan orang lain menggunakan, menyalahgunakan, dan melecehkan kita. Membela diri terhadap penindas, perampas dan bahkan penjajah, juga merupakan sifat yang melekat dalam diri kita semua.
Saat ini, dunia dipenuhi dengan tirani dan penindasan, semua karena ada manusia yang menolak mengakui hak orang lain. Hal ini tak dapat disangkal, karena jika manusia tak memberikan haknya kepada Allah, yaitu tauhid Islam, maka menjadi tidak mungkin baginya, memberikan haknya kepada sesama manusia.

Duhai anak-muda! Selain menganugerahkan kita naluri alami, menyukai harta, kepemilikan dan kekayaan karena berbagai pertimbangan, Allah juga telah memberi kita, naluri takut-miskin. Yang terpenting, bahwa Allah menyuruh kita agar menggunakan harta-kekayaan kita, sebagai sarana amal-shalih, dan dengan demikian, mewarisi surga. Selain itu, kita diperintah agar tak menyia-nyiakan bagian dari harta-kekayaan kita dari dunia ini, dan setelah memperolehnya, kita tak boleh menggunakannya untuk keonaran dan kerusakan di muka-bumi, laksana orang-kaya yang tak bertakwa. Alasan lain, mengapa Allah memberi kita naluri alami ini, untuk menguji kita, melihat siapa saja di antara kita, yang paling baik akhlaqnya.
Harta itu, ujian dari Allah. Namun, akan menjadi sumber berkah, setiap kali pemiliknya menggunakannya dengan benar. Kebanyakan orang kaya merasa sulit berperilaku baik setelah memperoleh kekayaan. Dengan demikian, mereka serakah, congkak, rakus, melawan kebenaran dan sebagainya.
Sistem kapitalisme, sosialisme, dan komunisme buatan manusia, tak sanggup mengatur naluri manusia dalam hal menyukai-harta. Dalam masyarakat kapitalis, orang lebih mementingkan kehidupan duniawi dan melupakan Akhirat. Mereka hidup demi uang, teknologi, dan "kenikmatan-daging."
Sistem komunis diperkirakan akan binasa, karena mereka, seperti rekan kapitalisnya, telah menyangkal naluri alami menyembah Allah, sebaliknya, mereka berdua, menyembah materialisme. Selain itu, paham Komunis telah mengunci nasib mereka dengan, juga, mengingkari hak-hak manusia menggunakan naluri alaminya, ingin punya harta, mereka memaksakan bahwa segala sesuatu itu, milik negara. Setiap sistem buatan manusia, berumur pendek, karena dalam satu atau lain cara, semuanya bertentangan dengan naluri-alami kita. Oleh sebab itu, orang-orang yang hidup di bawah sistem ini, menjalani kehidupan yang sengsara, tertekan dan depresi-mental. Karena semua sistem buatan manusia telah terbukti tak memadai, dan dengan demikian, mengecewakan secara spiritual, sosial, ekonomi, maka, manusia tak punya pilihan selain memeluk dan memasrahkan-diri, menerapkan dan melaksanakan hukum wahyu surgawi, yakni al-Islam.

Duhai anak-muda! Allah juga memberi kita naluri menyukai makanan dan minuman yang enak, agar kita makan dengan benar, agar tak menyelewengkan tubuh kita dengan memakan apa saja, yaitu makanan yang tak bergizi. Allah menginginkan yang terbaik bagi kita, dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal, bimbingan dll. Saat ini, ada banyak orang yang keliru dalam hal naluri-alami ini. Tak diragukan lagi, bahwa setanlah yang menyebabkan mereka kehilangan keseimbangan dan tersesat. Ada banyak orang yang menyukai makanan dan minuman, sedemikian rupa, sehingga mereka tak hirau dan tak bersikap-baik kepada tamu. Ketahuilah bahwa menjamu tamu itu, tanda dari Iman.

Duhai anak-muda! Manusia itu, mendambakan hidup-kekal di dunia, ingin awet-muda, serta takut-mati, inilah naluri bertahan hidup. Sebagai contoh, jika ada orang yang menggendong anak, dan berpura-pura seakan melempar anak itu dari balkon atau beranda, engkau akan melihat anak itu, menjerit dan menangis ketakutan, itu karena naluri takut-mati dan bahaya. Hal ini terjadi, karena setiap orang, termasuk anak ini, dilahirkan dengan sifat-bawaan takut-mati. Naluri ini, diberikan Allah kepada kita, agar kita tak melakukan bunuh-diri. Karenanya, setiap-kali seseorang melakukan upaya bunuh-diri, perilaku ini dianggap tak normal. Di setiap masyarakat dimana bunuh diri banyak terjadi, masyarakat seperti ini, hampa secara spiritual dan praktik abnormal ini, tanda, yang memberi tahu kita bahwa masyarakat itu, sedang menuju kehancuran.
Sifat tak menyukai ketuaan dan kematian, sangat melekat pada diri manusia, bahkan bapak manusia, Nabi Adam, alaihissalam, tertipu Iblis dan makan buah pohon terlarang setelah beliau diyakinkan Iblis bahwa Nabi Adam akan hidup-kekal jika memakan dari pohon terlarang itu. Setan menjebak Nabi Adam, alaihissalam, dengan menjanjikannya keabadian, karena ia tahu, bahwa manusia membenci usia-tua dan kematian, secara naluriah.
Terkadang, karena begitu kuatnya manusia membenci akan usia-tua, menyebabkan banyak kaum-wanita, bahkan kaum-pria, menjalani operasi plastik, agar terlihat beberapa tahun lebih muda dari usia sebenarnya. Meskipun merasakan sakit yang luar biasa sebagai akibat dari operasi plastik ini, mereka mau bersabar menanggungnya, karena kuatnya keinginan agar tampak lebih muda dan cemas jika ketahuan menua. Usia-tua telah mempengaruhi banyak orang secara psikologis, dimana mereka merasa sengsara, kehilangan kepercayaan-diri, merasa tak diinginkan dan terbelakang. Mereka berusaha melawan perasaan ini dengan berkencan dengan kaum-belia, yang terkadang, berumur jauh dibawah separuh usia mereka, maka muncullah istilah-istilah "slang" yang dikenal dengan "sugar-daddy" atau "sugar-momma."
Orang kafir, lebih terdampak oleh usia-tua dibanding seorang Muslim atau Muslimah, karena masyarakat dan keluarga mereka, menolak mereka; selain itu, mereka tak punya apa-apa lagi selain dunia ini yang mereka anggap surga, tak seperti kita kaum Muslimin, yang menantikan Akhirat.

Duhai anak-muda! Tentang kisah Nabi Adam, alaihissalam, dan Iblis, la'natullah, Allah berfirman,
دَلّٰىہُمَا بِغُرُوۡرٍ ۚ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَۃَ بَدَتۡ لَہُمَا سَوۡاٰتُہُمَا وَ طَفِقَا یَخۡصِفٰنِ عَلَیۡہِمَا مِنۡ وَّرَقِ الۡجَنَّۃِ ؕ وَ نَادٰىہُمَا رَبُّہُمَاۤ اَلَمۡ اَنۡہَکُمَا عَنۡ تِلۡکُمَا الشَّجَرَۃِ وَ اَقُلۡ لَّکُمَاۤ اِنَّ الشَّیۡطٰنَ لَکُمَا عَدُوٌّ مُّبِیۡنٌ
"Ia (setan) membujuk mereka dengan tipu-daya. Ketika mereka mencicipi (buah) pohon itu, tampaklah oleh mereka auratnya, maka mulailah mereka menutupinya dengan daun-daun surga. Rabb mereka menyeru, “Bukankah Aku telah melarangmu dari pohon itu dan Aku telah mengatakan bahwa sesungguhnya, setan itu, musuh yang nyata bagi kamu berdua?'" [QS. Al-A'raf (7):22]
Allah memberi kita naluri menutupi aurat, karena berbagai pertimbangan. Salah satunya, agar mengangkat derajat kita di atas tingkat hewani. Selain itu, menjaga kehormatan, moralitas, dan kedigdayaan kita. Pakaianmu memberimu perlindungan dari cuaca-buruk. Ia memberimu kehormatan dan martabat, memperjelas jenis-kelaminmu dan memperindah dirimu. Naluri ini, juga menyiratkan, bahwa kita sebagai manusia, punya rasa-malu. Oleh sebab itu, jangan percaya bila seseorang berkata, "Aku tak punya lagi rasa-malu!" Itu ucapan belaka, dan tanda kecongkakan, karena mengingkari nalurinya.
Disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu 'anhu, didekati seorang anak-lelaki dan keduanya berbincang sebentar. Kemudian, ia dibelikan oleh anak-lelaki itu, jubah seharga tiga dirham. Panjangnya, dari pergelangan tangan hingga ke mata-kaki. Ia, Ali, kemudian memakainya dan mengucapkan do'a berikut, 'Segala puji bagi Allah yang telah merahmatiku dengan pakaian ini, yang aku gunakan untuk memperindah-diri di depan orang lain dan menutupi auratku'. Dikatakan kepadanya, 'Apakah yang baru saja engkau ucapkan itu, dari dirimu sendiri atau dari Rasulullah (ﷺ)?'. Ia, Ali, berkata, 'Doa ini aku dengar dari Rasulullah (ﷺ) saat beliau mengenakan pakaian.'
Manusia dicipta dengan naluri alamiah untuk menutupi auratnya, dan fungsi berpakaian itu, memperindah-diri dan menutup-aurat.

Duhai anak-muda! Engkau bertanya padaku, salahkah jika engkau mencintai tanah-airmu? Ketahuilah, bahwa manusia, pada dasarnya bersifat nasionalis. Karenanya, ia akan berjuang demi kesatuan, kemerdekaan, kepentingan, kemakmuran dan bahkan kedigdayaan bangsanya. Ia menginginkan yang terbaik bagi negerinya, dan hatinya akan sakit melihat keterbelakangan negaranya, terutama keterbelakangan moral dan ekonomi. Setiap kali ia meninggalkan negerinya, ia membaca surat-kabar dan majalah yang mengabarkan keadaan di tanah-airnya. Demikian pula, ia membeli barang dan jualan, yang didatangkan dari tanah airnya ke negara tempatnya bermukim. Setiap-kali negaranya turut-serta dalam pertandingan apapun, seperti Olimpiade dunia, sepak-bola dunia, pertandingan persemakmuran, dan sebagainya, ia secara spontan menjadi penggemar dan pendukung tim-nasionalnya, tanpa ada yang menyuruh melakukannya. Jika negaranya diserang oleh negara lain, ia akan menyerahkan nyawanya demi mengusir penjajah dan mempertahankan tanah-airnya. Ini karena ia, pada dasarnya, mencintai tanah-airnya.
Oleh sebab itu, dalam Islam, dianggap tak sopan jika berbicara buruk tentang tanah-kelahiran seseorang, karena hatinya terkait dengan tanah-airnya itu. Orang tak perlu diajari bagaimana cara mencintai tanah-airnya, dan jangan berbicara bahwa engkau lebih baik dalam hal mencintai tanah-airmu dibanding dirinya. Jika engkau melakukannya, engkau benar-benar menyakiti-hatinya. Engkau tak hanya menyakiti hatinya, melainkan juga, engkau akan membuatnya benci padamu. Dengan demikian, tali-persaudaraan Islam kita, akan ternoda oleh muculnya kebencian, kedengkian, dendam, sakit-hati dan kesumat.
Namun sebagai seorang Muslim, kita hendaknya tak membiarkan cinta pada tanah-air kita, mengikuti apa yang disebut, Ashabiyah, yang mengutamakan nasionalisme, kesukuan, rasisme, keberpihakan, kekerabatan, di atas tali-persaudaraan Islam. Ashabiyah itu, bermakna, ikatan-kelompok, baik kelompok keturunan maupun yang lainnya. Nasionalisme, kesukuan, golongan, kedaerahan, jamaah, partai, kemadzhaban, dan sejenisnya, termasuk dalam makna Ashabiyah. Dan mengenai Ashabiyah ini, kita hendaknya berhati-hati agar pemahaman ini, tak menjadi fanatisme kelompok yang buta terhadap suku, etnis, dan bangsa. Menurut Ibnu Khaldun, Ashabiyah memang merupakan elemen penting dalam membangun negara. Tanpanya, negara akan mudah runtuh karena tak punya ikatan solidaritas sosial yang kuat, saling-bekerjasama, membangun saling-pengertian, dan bahu-membahu menjaga keutuhan negara. Namun, kita hendaknya tetap waspada agar pandangan ini, tak menjadi fanatisme kelompok yang buta terhadap suku, etnis, bahkan bangsa. Faktanya, persatuan bangsa itu, datangnya dari kesatuan visi yang beragam, yang terwujud ke dalam ikatan solidaritas yang kuat, berdasarkan rasa-persaudaraan. Tentang Ashabiyyah, Rasulullah (ﷺ) bersabda,
وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ وَمَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِي يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا وَلاَ يَتَحَاشَ مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلاَ يَفِي لِذِي عَهْدٍ عَهْدَهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ ‏
“Dan seseorang yang berperang di bawah panji orang-orang yang buta terhadap tujuan yang mereka perjuangkan, (yaitu tak tahu, benar atau salahkah tujuan mereka itu, yang berkobar bersama Ashabiyah), mengajak orang memperjuangkan Ashabiyah, dan membantu sanak-saudaranya (yaitu berperang bukan karena Allah melainkan demi Ashabiyah-nya), jika ia terbunuh (dalam peperangan itu), ia mati sebagai salah seorang dari masa Jahiliyah. Barangsiapa yang menyerang umatku (tanpa pandang bulu) membunuh orang-orang yang shalih dan fasik di antara mereka, tak mengindahkan (bahkan) orang-orang yang beriman dan tak memenuhi janjinya yang dibuat dengan orang-orang yang telah diberi jaminan keamanan - ia bukanlah golonganku dan aku juga bukanlah golongannya." [Sahih Muslim]
Rasulullah (ﷺ) juga bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
“Bukanlah golongan kami, orang yang menyeru Ashabiyah. Bukanlah golongan kami, orang yang berjuang demi Ashabiyah. Bukanlah golongan kami, orang yang mati mengikuti jalan Ashabiyah.” [Sunan Abu Dāwūd; Sahih menurut As-Suyuti]
Tentang ikatan-solidaritas berdasarkan persaudaraan, Rasulullah (ﷺ) bersabda,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang melepaskan suatu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada Hari Kiamat. Barangsiapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di Dunia dan di Akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di Dunia dan di Akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya itu, suka menolong saudaranya. 
Barangsiapa menempuh jalan menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid), membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman akan turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allâh menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang diperlambat oleh amalnya (dalam meraih derajat yang tinggi), maka garis keturunannya, tak bisa mempercepatnya.” [Shahih Muslim]
Ingatlah, bahwa sebagian besar perang yang terjadi, yang menelan banyak korban-jiwa dan harta-benda, dipantik atas nama Nasionalisme. Hitler mempergunakan Nasionalisme sebagai dogma untuk menghasut tentaranya, yang mengobarkan perang dunia kedua, yang berlangsung selama tujuh tahun, antara tahun 1939 dan 1945. Begitu pula, perang delapan tahun antara Irak dan Iran. Jutaan orang tewas dalam perang, tentara maupun warga sipil. Demikian pula, runtuhnya negara yang dulu dikenal Yugoslavia, terjadi atas nama Nasionalisme, dengan Serbia sebagai agresornya. Banyak lagi perang di masa-lalu dan masa-kini, yang dapat digunakan sebagai contoh bahwa setan telah menggunakan naluri-alami cinta tanah-air, merubah kita jadi nasionalis-kesetanan. Setan telah menggunakan naluri ini agar terjadi kehancuran besar di muka-bumi, karena ia telah mengubah suatu bangsa menjadi nasionalis-ekstrem, menganggap merekalah bangsa yang lebih dominan dan bahwa mereka berhak menguasai bangsa lain.
Jadi, tak ada yang salah bila engkau mencintai tanah-airmu, itu sebuah kata-hati, tapi jangan berlebihan hingga terjebak dalam apa yang disebut Ashabiyah. Adapun Hadits, "Cinta tanah-air itu, bagian dari Iman", seluruh ulama hadits mengklasifikannya ke dalam Hadits Palsu.

Duhai anak-muda! Akhirnya, manusia dikaruniai dengan banyak dan beragam naluri-alami. Fakta ini diakui oleh para psikolog, psikiater, sosiolog, ahli biologi, sejarawan dan para Nabi Allah. Wallahu a'lam.”

Kemudian, sang rajawali bersenandung,
Betapa kejinya permainan yang engkau mainkan, agar membuatku merasa begini
Betapa kejinya sesuatu yang dilakukan, agar aku mendambamu
Betapa kejinya diucapkan, engkau tak pernah merasa begini
Betapa kejinya sesuatu yang dilakukan, agar aku mendambamu
Dan kutakkan jatuh-hati
Padamu
Rujukan:
- Sheikh 'Abdullah Faisal, Natural Instincts, Darul Islam
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons