Jumat, 30 April 2021

Reynard dan Kedok Colombina

“Et cerebrum non habet neque sensum!” tegas Chiwawa, “Pada sebagian umat manusia, yang, dari keberlimpahan hartanya, mempersolek-diri dalam segala hal, di luar akal-sehat, namun tampaknya, mereka tak sekalipun, berusaha mengembangkan pemikirannya, tumbuh menjadi 'hikmah.' Singkatnya, hampir seluruh dunia, berafiliasi dalam perhelatan Masquerade; dan seseorang dengan kemampuan pengamatan yang cukup, menghibur diri, bersama bauran masyarakat yang ia temui dalam hidup ini, dalam sebuah perjamuan ekstravaganza, yang dipersiapkan dan dihidangkan, semata-mata demi tujuan itu." jelasnya.

"Perkenankan aku, bercerita tentang Reynard, Sang-rubah!" ia melanjutkan. "Seperti yang engkau semua tahu—walau tidak, usah khawatir, engkau takkan memperoleh nilai E, karena aku berasumsi, engkau semua baik, paling tidak, punya nilai B—Tuan Reynard, Sang rubah yang culas, memamerkan tingkat intelek, yang khabarnya, dahsyat, atau ilmu misteri, dan menggunakannya untuk bermuslihat atau, sebaliknya, melanggar norma-norma normal dan menentang perilaku konvensional. Ia ketahuan mengidap gangguan kepribadian ganda. Di satu sisi, ia pandai dan bestari, di sisi lain, ia bengal dan suka menggombal. Ia dipercaya menguasai syahbandar, yang menjadikannya dipuja-puja para saudagar. 
Konon—entah benar atau tidak, atau ini cuma rekaanku belaka—ketika ia masih muda—selagi ego "rubah" belum menguasainya—ia kebetulan memasuki rumah seorang aktor dan, mengobrak-abrik seluruh isinya, menemukan Kedok Colombina, tiruan kepala manusia yang menakjubkan. Topeng ini, Tapuk Colombina, salah satu gaya Kedok Venetarian, yang dipopulerkan Colombina, atau Columbine, karakter yang tampil berulangkali di Commedia Dell'arte. Secara tradisional, berbentuk setengah kepala, dihiasi dengan beragam hiasan Permata, bulu dan kain. Seringkali disepuh dengan emas atau perak, dan kadang terdapat gagang yang berpita atau bertangkai.
Colombina, bahasa Italia, bila diterjemahkan berarti "burung-dara kecil." Ia dikenal sebagai pelayan dan kekasih Arlecchino, atau Harlequin. Ia mengenakan gaun compang-camping dan ditambal, mirip dengan rekannya, Arlecchino. Ia juga tampil dengan polesan tebal di sekitar mata, dan membawa tamborin, yang bisa ia pergunakan menangkis rayuan asmara Pantalone.
Di masa sekarang, jenis topeng ini, sering dipakai dalam Pesta Topeng dan Pesta Masquerade, karena memudahkan pemakainya, makan dan minum.

Reynard muda meletakkan cakarnya di atas tapuk, mengamatinya dengan seksama, berpikir, lalu ia berkata pada dirinya sendiri, “Betapa tampannya wajah yang kami temukan ini! Alangkah sayangnya, ia tak diperlengkapi dengan otak.” Ucapan Simba, raja para singa, bergema di telinganya, "Wahai Reynard, fokus pembicaraan kontemporer tentang topik kecerdasan atau intelek, lebih mengutamakan kehidupan sekarang dan meningkatkan kemampuan kita, untuk mencapai tingkat pendidikan, serta kedudukan dan prestise yang lebih tinggi. Hal ini, bertolak-belakang dengan konseptualisasi dalam perspektif Islam, yang berkonsentrasi pada pemahaman spiritual. Kata intelek dalam bahasa Arab, 'aql; yang dapat dimaknai ke dalam beberapa kata, antara lain, akal-budi, pemahaman, perenungan, kearifan, wawasan, rasionalitas, pikiran, kecerdasan atau intelek.
Inilah kemampuan naluriah yang diberikan Allah kepada manusia, yang dengannya, kita memahami realitas keberadaan kita, dan dunia ini. Mereka yang menggunakan akal-sehatnya, mampu menalar dan merasionalisasi, sehingga dapat menggapai puncak kebenaran. Islam menekankan akal—salah satu dari lima kebutuhan universal yang hendaknya dipelihara, empat yang lain : iman, kehidupan, keturunan, dan harta benda—karena ia menjadi dasar dimana manusia bertanggungjawab atas pilihannya. Sifat inilah yang mengangkat harkat-manusia di atas ciptaan Allah yang lain, jika karunia ini dipergunakan dengan tepat. Hukum Islam dirancang sedemikian rupa, agar dapat memelihara akal-sehat dan kecerdasan, serta memastikan kesejahteraan dan kebebasannya. Islam melarang penggunaan zat apapun, yang dapat mempengaruhi pikiran secara negatif atau menurunkan kemampuannya, dengan cara apapun.
Islam mendorong kita, agar mengembangkan kecerdasan, merenungkan, serta mengikuti argumen dan bukti rasional. 'Kebebasan berpikir' itu, berkah yang diberikan Allah kepada kita, namun dalam batas-batas tertentu. Pemikiran atau pernyataan pikiran, tak dapat berada di luar batas yang ditentukan oleh Syariah, dan akal itu sendiri, statusnya, tak boleh berada di atas wahyu. Walau sebagian besar agama itu logis, kita hendaknya tak perlu berusaha menjelaskan semuanya, dengan logika semata, sebab ada batasnya. Ada beberapa hal yang berada di luar kemampuan pemahaman pikiran manusia, karena ilmu yang dianugerahkan kepada kita, terbatas. Bahkan, sangat sedikit bila dibandingkan dengan ilmu Allah. Secara umum, Al-Qur'an dan Hadits, seyogyanya menjadi panduan kita, agar dapat memahami dunia ini, dan mengembangkan keyakinan yang tepat.

Ilmu, jelas penting dalam kaitannya dengan pikiran dan keyakinan, itulah sebabnya, ia berstatus mulia. Kita tak dapat sungguh-sungguh memanfaatkan kecerdasan kita, mengambil keputusan yang tepat, tanpa berilmu. Ilmu, tentu saja, juga diperoleh melalui penggunaan pikiran. Kita dapat mengetahui secara spesifik, yang benar dan yang salah, yang diperbolehkan dan yang dilarang, dengan menimba ilmu. Meskipun naluri alami kita, fitrah kita, hanya menyembah Allah, tak mungkin bagi kita, melakukannya dengan benar, tanpa informasi yang rinci.
Tentang pentingnya ilmu, kekasih kita (ﷺ), bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu, kewajiban bagi setiap Muslim.” [Sahih Muslim]
Menuntut ilmu dengan tulus, akan membantu kita menemukan jalan lurus dalam hidup, dan tetap tegak di atasnya. Tanpa ilmu yang sah dan benar, perjalanan hidup kita, akan berantakan dan tak berhasil. Penting memahami perbedaan antara ilmu yang merupakan kewajiban individu, dengan yang merupakan kewajiban bersama. Ilmu yang wajib bagi setiap individu, meliputi pengetahuan dasar agama, seperti pemahaman Al-Qur'an dan Hadits, 'aqidah, perintah agama—sholat, puasa, zakat, hubungan sosial dan sejenisnya—dan ilmu tentang, yang halal dan haram. Ilmu yang wajib bagi masyarakat, hanya perlu dipelajari oleh sebagian masyarakat muslim; kewajiban tersebut, dibebaskan setelah dipenuhi oleh beberapa anggota masyarakat, namun jika tak ada seorang pun anggota masyarakat yang memenuhi kewajiban tersebut, maka setiap orang dalam masyarakat itu, akan dimintai pertanggungjawaban, karena tak mempelajarinya. Kategori ini, mencakup ilmu pengetahuan rinci tentang Islam dan Syariah, ilmu kedokteran, teknik, pendidikan, dan sebagainya.

Umat ​​manusia, selama berabad-abad, telah mendiskusikan dan memperdebatkan makna dan tujuan hidup, dan dalam prosesnya, bagaimana mencapai Hikmah. Dalam istilah sekuler, hikmah didefinisikan sebagai, kemampuan membuat pilihan yang aman dan keputusan yang tepat. Hikmah ini, kecerdasan yang dibentuk oleh pengalaman, atau informasi yang diperhalus oleh pemahaman dan wawasan yang mendalam. Hal ini, sering disertai dengan pengetahuan formal yang luas, namun ilmu duniawi, bukanlah syarat yang diperlukan bagi Hikmah. Fokus kaum sekuler berada pada intelek dan ilmu-pengetahuan, dengan sedikit menyebutkan dimensi spiritual. Perspektif Islam, menitikberatkan Hikmah pada makna spritual dan religi, berdasarkan wahyu Allah, Yang Maha Mengetahui, bahwa Hikmah tertinggi, datangnya dari Allah, karena Dia Maha Bijaksana, Maha Mengetahui. Manusia hendaknya, jangan pernah menganggap bahwa mereka memiliki lebih banyak hikmah dibanding Allah, karena akan jadi musyirik, yang dapat berakibat, mengerikan. Pada kenyataannya, 'hikmah' yang dipunyai manusia, hanyalah turunan dari Hikmah tertinggi Allah. Dia, Subhanahu wa Ta'ala, menganugerahkan hikmah ini, kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Dia menahannya, dari siapa yang Dia kehendaki. Al-Qur'an, salah satu sarana dimana manusia dapat memperoleh sebagian Hikmah Allah yang tersedia. Nabi kita tercinta (ﷺ), dikaruniai bagian khusus dari Hikmah Allah, dan hikmah Rasulullah (ﷺ), pada kenyataannya, Sunnahnya.”

Reynard muda mengitari tapuk itu sekali, lalu berbalik, mengelilinginya lagi, dan lagi, lalu ia berkata, "Duhai kedok yang indah, engkau terlihat rupawan, tebar-pesonamu telah menyebar ke segala penjuru, akan tetapi, pertunjukan lahiriah itu, riya,' pengganti nilai-nilai bathin yang sangat tercela!" Sekali lagi, ia memutarinya, dan berbisik, "Haec fabula de illis dicitur qui gloriam et honorem habent, prudentiam vero nullam. Kedok itu, wajah yang memalukan. Yang engkau butuhkan hanyalah, sentuhan kebijakan yang tepat!"

"Wallahu a'lam."
Rujukan :
- Dr. Aisha Utz, Psychology from the Islamic Perspective, IIPH
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons

Senin, 26 April 2021

Para Wanara Bertandak

"Wahai Pedro, jangan buru-buru pulang!" berkata para unggas pada Chiwawa. "Kami masih punya banyak waktu untukmu, maka, sampaikanlah lebih banyak cerita!" tukas mereka. Chiwawa bertanya, "Sudahkah engkau makan? Lapar? Aku tak mau bercerita jika engkau lapar. Sebaiknya, engkau makan dulu, sebelum mendengarkan ceritaku!" Penasaran, para unggas bertanya, "Mengapa?" Chiwawa berkata, "Wahai saudara-saudariku! Kuingin engkau fokus dan perhatikan ini,
"Seorang Prabu, punya sekelompok Wanara, yang dilatih bertandak. Seperti yang telah engkau kenal, para Wanara itu, peniru alami yang hebat terhadap setiap perilaku manusia. Mereka mempertontonkan diri mereka, sebagai pelajar yang paling berbakat, dan saat mengenakan busana dan tapuk yang beraneka-ragam, mereka bergoyang, menirukan setiap gerakan, layaknya para abdi-dalem."
Allah telah menganugerahkan manusia dengan motif atau dorongan fisiologis tertentu, terutama untuk tujuan pelestarian-diri individu dan ras-manusia. Manusia terdorong memenuhi kebutuhannya pada saat lapar, haus, penat, panas, dingin, atau kesakitan. Tubuh seyogyanya dalam keadaan homeostasis, atau seimbang, agar berfungsi optimal. Saat keseimbangan ini terganggu, dalam keadaan apapun, rasa kebutuhan akan muncul, mendorong manusia berbuat sesuatu guna mengembalikan tubuh kembali ke homeostasis. Misalnya, jika ada yang lapar, ia akan mencari bahan makanan, menyiapkannya, dan makan. Setelah kembali ke homeostasis, ia takkan lagi merasakan kebutuhan itu, sehingga dorongannya akan berkurang.
"Lapar," disebutkan dalam Al-Qur'an,
الَّذِیۡۤ اَطۡعَمَہُمۡ مِّنۡ جُوۡعٍ ۬ۙ وَّ اٰمَنَہُمۡ مِّنۡ خَوۡفٍ
"Yang telah memberi mereka, makanan, agar menghilangkan 'lapar,' dan mengamankan mereka dari rasa -takut." [QS. Quraysh (106):4]
Motif, dianugerahkan Allah kepada manusia, dan motif merupakan komponen fundamental dan vital kepribadian dan perilaku manusia. Motivasi itu, kebutuhan atau keinginan yang memberi energi pada perilaku dan mengarahkannya ke arah tujuan tertentu. Inilah bagian dari 'sifat alami' yang Allah ciptakan bagi manusia.
Kata 'kebutuhan,' dipakai untuk menunjukkan motivasi yang berbasis internal, sedangkan insentif, merupakan faktor eksternal. Kebutuhan, sebenarnya menghasilkan dorongan untuk mencapai pemenuhannya.
Insentif itu, faktor eksternal dalam lingkungan yang mempengaruhi individu, dengan cara menarik dan mendorong mereka agar bertindak untuk memperolehnya. Orang bekerja, misalnya, bertujuan memperoleh gaji di akhir bulan. Gaji itu, insentif untuk mendorong orang tersebut bekerja keras dan berkinerja baik. Insentif juga dapat mengelakkan individu dan mendorongnya agar menghindari hasil tertentu. Kita mungkin bekerja tak hanya untuk menerima gaji, melainkan juga menghindari teguran sang-bos.
"Tontonan tandak yang dahsyat ini, berkali-kali diikuti riuh-rendah, sorak-sorai, tepuk-tangan, yang meriah para penonton, namun sampai pada klimaksnya, seorang punggawa, yang iseng, merogoh sakunya, meraih segenggam kacang dan melemparkannya ke atas panggung. Para Wanara, saat melihat kacang itu, tergoda, sehingga lupa berjoget, dan kembali jadi monyet sejati— sebagaimana adanya mereka—dan tak mau lagi menyerupai para aktor dan aktris. Mereka melepas tapuk dan merobek busananya, bergaduh dan berjotos di antara mereka, demi kacang, yang hanya segenggam itu."
Rasa-takut, umumnya dianggap sebagai emosi negatif yang terjadi sebagai respons terhadap bahaya atau ancaman. Inilah respons alami yang bertujuan melindungi manusia dari rasa sakit, cedera, atau kematian. Mengalami rasa-takut dalam kehidupan duniawi, menyebabkan seseorang melarikan-diri ketakutan atau menghindari keadaan dimana objek yang ditakuti, mungkin ada.
Manusia, sering kembali pada naluri-alami mereka. Jika seseorang terganggu oleh rasa-takut, bathin atau egonya, pasti akan tertinggal di belakang kafilah iman dan ia akan disibukkan dengan tuntutan, ekses dan ketidaksabaran. Ia bagai seekor kuda beringas, yang berkeliaran dimana-mana tanpa ada yang mampu menahannya, tak ada tujuan yang dituju, dan tiada jalan yang jelas diikuti.
Manusia juga dikaruniai kodrat untuk bertahan hidup, mempertahankan diri dari bahaya atau dari para penindas, agresor, dan penyerang. Karena kita semua hidup di dunia yang tak berperasaan dan kejam, satu-satunya cara agar kita dapat bertahan hidup, dengan memanfaatkan naluri alami kita untuk melawan dan membela-diri. Naluri vital ini, juga ada pada hewan, karenanya, mereka membela diri dengan menendang, menggigit, menyengat, mematuk, mencengkeram, dan sebagainya. Wallahu a'lam.
"Dan, tontonan tandak itupun berakhir, di tengah-tawa dan ejekan para penonton."
Rujukan :
- Dr. Aisha Utz, Psychology from the Islamic Perspective, IIPH
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons

Jumat, 23 April 2021

Sebuah Renungan Bagi Para Saudariku

Suatu hari, para unggas berkumpul, merayakan hari Peranan Kaum-Wanita. Burung-Dara diminta mengucapkan beberapa buah patah kata. Dan setelah mengucapkan salam dan kalimat pembuka, ia berseru,

“Selamat datang, duhai wanita shalihah, yang bertaqwa kepada Allah, yang shalat dan puasa.
Selamat datang, duhai wanita yang bijak dan bermartabat, yang berhijab.
Selamat datang, duhai wanita yang tercerahkan, banyak membaca dan berpendidikan.
Selamat datang, duhai wanita yang dermawan, tulus, dapat dipercaya, dan setia.
Selamat datang, duhai wanita sabar yang mencari ridha Allah, bertaubat dan kembali kepada-Nya.
Selamat datang, duhai wanita yang mengingat Allah dan bersyukur kepada-Nya, serta menyeru-Nya.
Selamat datang, duhai wanita yang mengikuti jejak Asiyah, Maryam dan Khadijah.
Selamat datang, duhai ibu para pahlawan dan penghasil para manusia.
Selamat datang, duhai yang menghargai dan memelihara nilai-nilai.
Selamat datang, duhai wanita yang mengindahkan larangan Allah dan menjauhi segala yang diharamkan.
Kepada setiap Muslimah yang ridha kepada Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya dan kekasih kita, Muhammad (ﷺ) sebagai Nabinya.
Kepada setiap pemudi yang mengikuti jalan kebenaran, yang membawa pesan ketulusan.
Kepada setiap guru yang berusaha, melalui perkataannya, menyampaikan ilmu dan nilai-nilai, serta telah membersihkan bathinnya.
Kepada setiap ibu yang membesarkan anak-anaknya, agar takut kepada Allah dan mengikuti Sunnah, dan menjadikan mereka menyukai jalan kebajikan.
Kepada setiap wanita yang terbebani kecemasan dan kesedihan.
Katakanlah "Tidak!" untuk,
Membuang-buang waktu bagi sesuatu yang tak berguna, dan dendam-kesumat serta berbantah-bantahan.
Mengistimewakan uang dan menumpuk harta dibanding keafiatan, kebahagiaan, tidur yang cukup, dan ketenteraman.
Mencari-cari kesalahan orang lain dan memfitnahnya, namun tak hiraukan kesalahannya sendiri.
Memanjakan diri dengan pelesir dan memuaskan setiap hasrat dan rengekannya.
Membuang-buang waktu bersama para penggunjing dan menghabiskan berjam-jam dalam bermalas-malasan.
Mengabaikan kebersihan raga dan kebersihan rumah, serta centang-perenang di rumah.
Minuman haram, rokok, hokah, dan segala hal yang jorok.
Membenamkan-diri dalam kenahasan masa-lalu dan meratapi kekeliruan masa-lalu.
Melupakan Akhirat dan lalai memperjuangkannya, dan abai dari apa yang terjadi kelak di Akhirat.
Memboroskan uang untuk yang haram, berlebihan-lebihan terhadap yang dibolehkan, dan tak memenuhi pesyaratan beribadah.
Katakan "Ya!" bila,
Senyum-indahmu, mengirimkan pesan hangat dan ramah kepada orang lain.
Ucapan-simpatikmu, membangun persahabatan sebagaimana yang diperbolehkan dalam Islam dan menghapus dendam.
Sedekah yang berkah, yang membawa kebahagiaan bagi fakir-miskin dan memberi makan orang-lapar.
Duduk bersama Al-Qur'an, membacanya, merenungkan maknanya, dan mengamalkannya, serta bertobat dan memohon ampunan.
Memperbanyak dzikir dan istighfar, selalu berdoa dan bertobat dalam ketulusan.
Membesarkan anak-anakmu dalam Islam, mengajarinya Sunnah dan menuntun ke jalan yang bermanfaat baginya.
Menjaga kehormatan dan berhijab, sebagaimana diperintahkan Allah, yang merupakan sarana perlindungan-diri.
Menjalin persahabatan dengan wanita shalihah yang takut kepada Allah, mencintai Islam dan menghormati nilai-nilai keutamaan.
Menghormati orangtua, menjunjung tinggi tali-persaudaraan, menghargai tetangga, dan mengasuh anak-yatim.
Membaca buku-buku yang berfaedah, menarik dan bermanfaat.
Duhai para Saudariku! Bersikaplah optimis, walau jika engkau berada di tengah badai. Simaklah kisah ini,
Sewaktu berita perihal tentara musuh yang telah bersiap di kaki-langit, yang bertujuan memusnahkan Islam, terdengar olehnya, Abu Qudamah Asy-Syami, bergerak-cepat ke Mimbar Masjid. Dengan khotbahnya yang lantang dan menggelora, Abu Qudamah membangkitkan semangat para penduduk desa membela negerinya, berjihad karena Allah.
Saat ia meninggalkan Masjid, berjalan menyusuri lorong-gelap dan sempit, seorang wanita, di balik gulita, menghentikan langkahnya, menyapa, "Assalamu 'alaikum wa Rahmatullah!" Abu Qudamah tertambat, namun tak menjawab. Sang wanita mengulangi salamnya lagi, serta mengimbuhkan "... Tak seperti ini perilaku orang shalih." Ia melangkah keluar dari gelita. "Aku mendengarmu di Masjid, menyemangati para-warga agar berjihad dan, yang kumiliki hanyalah ini ..." Ia menyerahkan dua kepang-rambut panjang. "Bisa digunakan untuk kekang-kuda. Semoga Allah menorehkan diriku sebagai orang yang berjihad."
Keesokan harinya, selagi para penduduk desa bersiap-siap menghadapi pasukan musuh, seorang bocah berlari melintasi himpunan pasukan Jihad itu, dan berdiri tepat di depan kaki-kuda Abu Qudamah. "Demi Allah, aku memohon kepadamu, perkenankan aku bergabung dengan pasukan." Beberapa jihadis yang lebih tua, menertawakan sang-bocah. "Engkau akan terinjak-injak kuda!" Namun, sewaktu sang bocah mengulang permohonannya, "Demi Allah, relakan aku bergabung !," Abu Qudamah menatap sungguh-sungguh mata sang-bocah, seraya berkata, "Dengan satu syarat, jika engkau gugur, kelak, bawalah aku serta ke Jannah di antara mereka yang engkau diperbolehkan bersyafaat." Sang-bocah tersenyum, mengangguk, "Janji!"
Ketika kedua pasukan bertemu dan pertempuran semakin sengit, sang -bocah, yang berada di punggung-kuda Abu Qudamah, memohon, "Demi Allah, berikan aku tiga anak-panah!" "Tembakanmu akan meleset!" ujar Abu Qudamah. Sang-bocah menukas, "Demi Allah, berikan yang kuminta!" Abu Qudamah menyodorkan panah beserta anak-panahnya, dan sang-bocah membidik. "Bismillah!" Sebilah anak-panah melesat dan memberantas seorang penyerang. "Bismillah!" Anak-panah kedua melejit, membunuh penyerang kedua. "Bismillah!" Anak-panah ketiga melaju, mematikan penyerang ketiga. Setelah itu, sebuah anak-panah menghunjam dada sang-bocah—ia terlingsir dari kuda. Abu Qudamah melompat ke sisi sang-bocah, mengingatkannya selagi meregang napas terakhir, "Jangan lupa janjinya!" Sang bocah merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah kantung-kecil dan berkata, "Mohon pulangkan ini kepada ibuku." "Siapa ibumu?" tanya Abu Qudamah. "Wanita yang, kemarin memberimu dua kepang-rambut...!"
Duhai para Saudariku! Tak lama lagi, sang-puspita 'kan mekar, sang-duka 'kan berlalu dan sukacita 'kan berjaya. Sesungguhnya, bersama kesulitan, ada kelegaan-kelegaan; selepas senja, siang 'kan berlabuh. Kabut gelebah 'kan tertiup, gulita kepiluan 'kan sirna, dan petaka 'kan di penghujung, insya Allah. Ingatlah bahwa engkau 'kan beroleh pahala, jika engkau seorang ibu, anak-anakmu akan menjadi penyokong dan penolong Islam, bila engkau membesarkannya dengan benar. Mereka akan mendoakanmu saat sujud dan di akhir malam, sebelum Fajar. Merupakan berkah menakjubkan jika engkau menjadi ibu yang penyayang dan murah-hati. Merupakan kehormatan dan kebanggaan yang cukup bagimu mengingat bahwa ibu kekasih kita (ﷺ), mempersembahkan kepada umat manusia, seorang pemimpin agung, Rasul yang mulia.

Duhai para Saudariku! Ingatlah,
Bahwa Rabb-mu mengampuni orang yang memohon ampunan-Nya, dan Dia menerima taubat orang-orang yang bertaubat, dan Dia menerima orang-orang yang kembali kepada-Nya.
Tunjukkan belas-kasihan kepada yang lemah dan engkau akan bahagia; sokonglah mereka yang membutuhkan, maka engkau akan lega; jangan menyimpan dendam, maka engkau akan nyaman.
Bersikaplah optimis, karena Allah bersamamu, dan para malaikat akan memohon ampunan-Nya untukmu, dan surga menantimu.
Sekalah air matamu, bersangka-baiklah terhadap Rabb-mu, dan hilangkan kekhawatiranmu dengan mengingat nikmat yang telah Allah berikan kepadamu.
Jangan berpikir bahwa dunia ini sempurna bagi siapapun. Tiada seorang pun di muka bumi yang mendapatkan segenap yang diinginkannya atau terbebas dari segala kesusahan.
Jadilah seperti pohon yang tinggi dengan arah-tujuan yang menjulang; jika sebuah batu dilontarkan padanya, cukuplah buahnya saja yang jatuh.
Pernahkah engkau dengar bahwa kenestapaan itu, membawa kembali apa yang telah sirna, atau bahwa kekhawatiran itu, memperbaiki kekhilafan? Jadi, mengapa harus sedih dan khawatir?
Jangan menunggu cobaan dan malapetaka, melainkan harapkanlah kedamaian, keselamatan dan kesehatan yang baik, insya Allah.
Padamkan api kebencian dalam qalbumu dengan memaafkan semua orang yang pernah menyakitimu.
Mandi, berwudhu, bersiwak dan hidup berirama itu, obat-mujarab bagi beragam kesukaran dan kecemasan.
Duhai para Saudariku! Engkau punya potensi menjadi da'iyah—wanita penyeru Islam, ajaklah wanita lain ke jalan Allah dengan perkataan-lembut, ingatkanlah dengan bijak, sajikan bukti dengan cara yang terpuji, berdiskusilah dan tuntunlah orang lain melalui budi-pekerti. dan tunjukkan keteladanan yang indah. Seorang wanita dapat mencapai, melalui tata-krama dan budi-pekertinya, hal-hal yang tak dapat dicapai melalui khutbah, ceramah, dan pembelajaran. Telah banyak iktibar yang menyebutkan tentang seorang wanita yang menetap di sebuah lingkungan, dan orang di sekitar, menilai komitmen agamanya, kesopanannya, pakaian Islami dan sikapnya yang karim, kebaikannya kepada tetangga, serta kepatuhannya terhadap suami, sehingga ia menjadi teladan yang baik bagi orang lain, semua orang membicarakan keapikannya.

Duhai para Saudariku! Segala sesuatu yang menimpamu itu, karena Allah, penebusan-dosa bagimu, jika Allah Ta'ala berkehendak. Dengarkan khabar gembira dari kekasih kita (ﷺ),
لْمَرْأَةُ إِذَا صَلَّتْ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَأَحْصَنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا فَلْتَدْخُلْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya dan menaati suaminya, ia diperbolehkan masuk melalui salah-satu pintu Surga yang diinginkannya.” [Abu Nu'aim meriwayatkannya dalam al-Hilya; Sahih oleh Al-Albani]
Semua ini, urusan mudah bagi orang yang Allah mudahkan. Maka, dengan melakukan perbuatan-perbuatan agung ini, engkau 'kan bertemu dengan Rabb-mu Yang Penyayang, Yang akan memberikanmu kebahagiaan di Dunia dan di Akhirat. Ikutilah aturan-aturan-Nya kemanapun itu membawamu, dan patuhilah Al-Qur'an dan Sunnah, karena engkau seorang Muslimah, dan itulah kehormatan besar dan sumber kebanggaan.
Allah telah memilihmu menjadi seorang Muslimah, dan Dia menjadikanmu salah seorang pengikut kekasih kita (ﷺ), mengikuti jejak Aisyah, Khadijah dan Fatimah, radhiyallahu 'anhum.
Selamat bagimu yang telah merutinkan shalat lima waktu, menjalankan puasa Ramadhan, berhaji ke Baitullah, mengenakan hijab Islami. Selamat, karena engkau ridha kepada Allah sebagai Rabb-mu, Islam sebagai agamamu, dan kekasih kita, Nabi Muhammad (ﷺ) sebagai Nabimu.

Duhai para Saudariku! Emasmu itu, agamamu, perhiasanmu itu, adabmu, dan hartamu itu, akhlaqmu.
Jadilah laksana lebah, yang hinggap di sekar semerbak dan ranting cegak.
Tiada waktu mencari-cari kekurangan dan kesalahan orang lain.
Jika Allah bersamamu, adakah yang engkau lebih takuti? Jika Allah memurkaimu, adakah harapan bersamamu?
Api-kedengkian menghanguskan jasadmu, dan hasad itu, laksana api yang kalap.
Jika engkau tak mempersiapkan hari ini, maka esok-lusa, engkau takkan dapat melakukan apapun.
Ucapkan selamat tinggal kepada tempat-tempat dimana pergunjingan terjadi.
Pupuklah moral dan perilakumu sehingga lebih indah dari sebuah raudah.
Beramal-shalihlah, maka engkau akan menjadi orang yang paling bahagia.
Serahkan penilaian orang-lain kepada Sang Pencipta, tanggalkan selama-lamanya sifat iri-hati, dan lupakanlah seterumu.
Nikmat kemaksiatan itu, akan diikuti penyesalan, kesia-siaan dan adzab.
Renungkanlah! ...
Wallahu a'lam.”
Rujukan:
- Dr. 'Aidh al-Qarni, You Can Be The Happiest Woman in the World, IIPH

Senin, 19 April 2021

Balon-balon Merah Di Cakrawala

"Jika engkau membaca Nómoi, karya Plato, dalam dialog-dialognya, ada tiga pembicara, semuanya lelaki-tua: seorang Athena yang tak disebutkan namanya, yang diasumsikan telah berpengalaman. Yang kedua, seorang Kreta bernama Clinias, dan seorang Spartan bernama Megillus. Clinias, warga negara Cnossus, kota yang pernah menjadi 'ibu kota' Minos, dan punya hubungan kerabat dengan tabib terkenal, Epimenides. Megillus, berasal dari keluarga Sparta, dimana kedudukan proxenus Athena, turun-temurun. Fakta-fakta ini, bertujuan menjelaskan kesiapan keduanya, mengkomunikasikan urusan mereka dan meminta nasihat sang Athena.
Dalam Kitab Pertama Nómoi Plato, ada tiga proposisi: negara seyogyanya dikelola secara teratur dengan tujuan perdamaian, bukan perang; bahwa agar terorganisir sedemikian rupa, negara hendaknya menjadikan 'kebajikan sempurna' sebagai budi-pekerti ideal bagi warganya; bahwa pelatihan moral dalam rangka melahirkan 'kebajikan sempurna' itu, menuntut penjabaran tentang belaian dan rayuan 'kejahatan naim'," berkata Chiwawa, setelah mengucapkan salam dan kalimat pembuka.
"Aku tak bermaksud membicarakan kitab Plato yang mengagumkan itu. Tapi pertama-tama, perkenankan aku, memperkenalkan diri." Chiwawa melanjurkan. "Terima kasih kepada para unggas yang telah mengundangku dalam pertemuan hari ini. Namaku Pedro, leluhurku, dari Meksiko, tapi aku dibesarkan majikanku, dan tempatku menetap, di Jerman, yang sebelumnya dikenal sebagai "Negeri Tembok Berlin." 
Tahukah engkau apa makna "Pedro"? Kata ini, berasal dari bahasa Yunani, "petra," yang berarti "batu." Aku tak berniat membicarakan bebatuan kecil maupun besar, melainkan aku ingin menceritakan sebuah cerita. Cerita tentang, bukan sesuatu yang "keras" atau "berat" seperti batu, namun sesuatu yang "lunak" dan mudah "pecah," laksana ratusan balon yang mengangkasa di Cakrawala.
Ku tak pandai bernyanyi, tapi aku suka melantunkan sebuah lagu untukmu. Ngomong-ngomong, menurut Kitab Plato itu, musik, atau lebih tepatnya, Irama, sarana untuk melatih rasa dan kecerdasan. Irama dan puisi, dulunya, merupakan wahana pendidikan moral. Tak ada standar yang pasti, baik-buruknya Irama itu. Irama yang baik, hanya berarti apa yang, selalu, dirasa menyenangkan oleh mayoritas pemirsa, dan musisi terbaik itu, komposer atau pemain, yang paling tenar dan sukses 'memadukannya'. Dan peran negaralah, diperlukan guna menemukan standar yang benar bagi berbagai bentuk komposisi Ritmik. Irama menjadi seni 'meniru', dan sangat penting bagi Irama yang bagus, objek yang 'menirunya' haruslah indah, dan bahwa hendaknya menirukan objek itu, dengan benar,” kata Chiwawa, kemudian, dengan tingkahnya yang menggemaskan, ia bergoyang, dan berdendang dalam bahasa Jerman,
Neunundneunzig Luftballons
[Sembilan-puluh-sembilan balon-udara]
Auf ihrem Weg zum Horizont
[Menuju cakrawala]
Hielt man für Ufos aus dem All
[Dikira UFO dari luar angkasa]
Darum schickte ein Jenderal
[Itulah mengapa seorang Jenderal diutus]
'Ne Fliegerstaffel hinterhernya
[Satu skuadron mengikutinya]
Alarm zu geben, wenn's so wär'
[Membunyikan sirine jika memang begitu]
Dabei war'n dort am Horizont
[Dan yang ada di Cakrawala]
Nur neunundneunzig Luftballons *)
[Hanyalah sembilan-puluh-sembilan balon-udara]
Ia berhenti bergoyang, lalu menyampaikan, "Duhai saudara-saudariku, simaklah ini,

Suatu hari, di Koloni Lebah, dua lebah-kecil sedang berjalan-jalan. Pada hari itu, rupanya ada perayaan, para lebah berkerumun di suatu tempat. Kedua lebah-kecil, menyeruak di antara kerumunan, hingga mereka mencapai tempat terdepan. Di hadapan mata mereka, terpampang hiasan yang megah. Balon merah yang tak terhitung jumlahnya, tersaji dalam berbagai bentuk, flora, fauna dan berlimpah-ruah ikatan balon-merah. Pada puncak acara, Tuan Walikota menggunting pita, kemudian balon-balon itu dilepaskan, dan satu per satu menghilang. Para Lebah, bersorak-sorai dan bertepuk-tangan.
Ribuan balon-merah, melayang di Jagad-raya, berlalu. Sang-bayu, yang menyukai balon-balon merah itu, meniupnya, terus dan terus, hingga balon-balon itu, melintasi perbatasan Koloni Lebah, dan memasuki Koloni Lalat. Dan inilah, satu hal, beralih ke yang lain.

Dan tentang lalat, perkenankan aku menyampaikan perihal para lalat. Engkau tahu, mereka membuatmu jengkel saat engkau menikmati waktu-luangmu di bawah sinar-matahari. Lalat sungguh menyebalkan, seperti para Buzzer yang mengganggumu, saat dengungan lalat yang akrab, bergema di telingamu. Dan serangan gencarpun dimulai. Engkau mengebas, sang lalat berlalu dan kembali, jika tanganmu malas, mereka melahapmu. Pertanyaannya, mengapa engkau sulit menangkap lalat? Jawabnya mudah, karena lalat bisa melayang, bergerak vertikal, dan bahkan terbang mundur, menggodamu yang tak berdaya menangkap sang pengacau kecil itu. Kebanyakan lalat, mengepakkan sayapnya lebih dari 200Hz, atau 200 siklus per detik. Seekor lalat buah kecil, mengepakkan sayapnya sekali setiap 4 milidetik—lebih cepat dari kemampuan tembakan Neuron.
Suatu ketika, Rasulullah (ﷺ) yang terkasih, bersabda,
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ، ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ، فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالأُخْرَى شِفَاءً
“Jika seekor lalat-rumah jatuh ke dalam minuman salah seorang di antara kalian, hendaknya ia membenamkannya (ke dalam minuman itu) dan membuangnya, karena salah satu sayapnya, ada penyakit, dan sayap yang lain, ada penawarnya.” [Sahih al-Bukhari]
Rasulullah (ﷺ) memerintahkan, lalat yang jatuh pada minuman atau makanan kita, dibenamkan dulu, lalu dimatikan, terutama jika makanannya panas. Tujuan di balik membenamkan lalat ke dalam minuman, agar mengekstrak penawar dari sayapnya yang lain, serupa halnya racun diekstraksi dari sayap lalat yang jatuh pada makanan.
Para lalat, memang memakan kotoran, tetapi mereka juga membersihkan kotoran lain, membantu membersihkan sampah. Mereka mampu memakan sampah rumah-tangga kita dan mengalihkannya agar tidak dibuang ke TPA. Lalat tentara hitam, misalnya, dapat melahirkan sampai 600 larva, dengan masing-masing larva dengan cepat mengkonsumsi setengah gram bahan organik per hari. Keluarga kecil ini, dapat memakan satu tong sampah hijau rumah tangga, setiap tahun.
Meskipun pasti ada lalat dan serangga lain yang betah di rumahmu, sembilan-puluh persen dari semua lalat yang ditemukan di dalamnya, anggota spesies spesifik lalat, musca domestica. Istilah "lalat-rumah" bukan hanya istilah umum; melainkan jenis lalat tertentu yang kebetulan menemukan tempat berevolusi di lingkungan rumah umat manusia.
Masalah dengan lalat, tak hanya karena mengganggu kita dengan masuk tanpa izin. Lalat rumah membawa dan menyebarkan sejumlah penyakit yang berpotensi mematikan, termasuk demam tifoid, salmonella, TBC, konjungtivitis, kusta dan kolera, serta cacing usus dan bakteri penyebab disentri. Mereka makan dan berkembang biak dengan sampah, kotoran, dan daging yang membusuk. Dan kemudian, setelah mengambil jutaan mikroorganisme, mereka terbang ke rumah kita dan hinggap di makanan, tubuh, dan barang-barang pribadi kita, meninggalkan kuman yang serupa.

Sekarang, kembali ke cerita!
Di base-camp Koloni Lalat, muncul pesan, atau sesungguhnya, bug di perangkat lunak komputer, berkedip, "Ada sesuatu di luar sana!" Petugas yang bertugas, sibuk dalam ruangan mereka, membunyikan alarm panik, peringatan merah. Yang Mulia, Tuan Presiden Lalat, yang telah ditunjuk oleh Ratu Lalat, sebagai kepala pemerintahan, penanggung jawab luar-negeri, penanggung-jawab peradilan, penanggung-jawab keuangan dan ekonomi, dan baru-baru ini, sebagai pimpinan seluruh perguruan-tinggi, memanggil para menteri, wakil-menteri, pejabat-teras, dan juga, buzzer dan influencer bayaran Koloni. Peserta rapat banyak sekali, dan andai Tuan Presiden memintamu menghitungnya dengan cepat, jawab saja, “Semuanya 99!” artinya, tak terhitung jumlahnya.
Setelah perdebatan panjang yang melelahkan, ditutup dengan kata-kata, "Ini pasti ulah para UFO! Ini berbahaya! Ini sangat rawan! Ini mengancam kedudukan Tuan Presiden!" Puncaknya, sembilan-puluh-sembilan keputusan, diterbitkan oleh sembilan-puluh-sembilan pemutus. Seorang Jenderal ditugaskan mengambil-alih komando, dan mengumumkan koloni dalam keadaan perang.
Mesin perang, dibangunkan. Tank dan panser lapis baja, dikerahkan. Para serdadu dan polisi, berkumpul, mendengarkan arahan sang komandan. Seluruh prajurit diarahkan ke segala penjuru, di jalan, di setiap instansi pemerintah, dan banyak lagi. Tak ketinggalan, peran para buzzer pun dimainkan. Mereka mengutuk para UFO, dan mengedarkan selebaran, cinta tanah-air, membela koloni, dan tentu saja, membela Tuan Presiden, dan alih-alih menyerukan, "Kami percaya Allah menyelamatkan kita!," mereka berkata, "Kami percaya Tuan Presiden dapat menyelamatkan kita!" Para politisi itu, memang, para belut yang handal, meski koloni dalam bahaya, masih sempat berkampanye. 
Saat itu, kepanikan terjadi dimana-mana. Seluruh pilot nomor satu, siap-siaga, menunggu di pesawat tempur tua, MiG-21, masing-masing. Mereka siap terbang dan menyergap para UFO, laksana "Kapten Kirk," yang engkau tonton di serial televisi.

Pada akhirnya, segala senjata diarahkan ke langit. Semua netra beralih ke Cakrawala, cemas, menunggu. Ada yang menangis, banyak yang saling-berpamitan, ada yang menulis surat wasiat, ada yang terus-terusan menelpon atau googling, dan masih banyak lagi. Tapi ada juga yang mengutuk, menyahut, "Jika mereka UFO, mereka takkan tertangkap radar!" Namun anehnya, tak ada tangisan emak-emak yang memeluk bayinya, seperti yang terlihat di film-film Drama.
Tuan Presiden sedang bertelepon, menerima laporan dari pejabat radar, melaporkan bahwa benda-benda itu, telah mendekat. Suasana makin mencekam saat petugas radar, mengumumkan bahwa dalam satu menit ke depan, objek yang dicurigai, akan menyerang. Seluruh jajaran diminta, "Stanby!"

Tiga ... dua ... satu ... balon pertama muncul, diikuti yang kedua, ketiga dan keempat ... kesepuluh ... dan celaka tiga-belas .... banyak balon-balon bermunculan. Balon-balon merah itu, melayang di Cakrawala, seolah bersenandung,
Dabei schoss man am Horizont
[Engkau menembak Cakrawala]
Auf neunundneunzig Luftballons
[Pada sembilan-puluh-sembilan balon-udara]
Neunundneunzig Kriegsminister
[Sembilan-puluh-sembilan menteri-yuda]
Streichholz und Benzinkanister
[Korek-api dan jerigen]
Hielten sich für schlaue Leute
[Kupikir mereka orang kompeten]
Witterten schon fette Beute
[Mencium angpau-gadang]
Riefen, "Krieg!" dan wollten Macht
[Berteriak, "Perang!" dan menginginkan kekuasaan]
Mann, wer hätte das gedacht
[Saudaraku, siapa sangka]
Dass es einmal so weit kommt
[Bahwa itu 'kan terjadi kelak]
Wegen neunundneunzig Luftballons *)
[Karena sembilan-puluh-sembilan balon-udara]
Setelah kehabisan hidrogen, perlahan dan lembut, balon-balon itu melungsur, ada yang pecah di atas Tank, di pesawat-tempur, dan bahkan di ujung bedil para polisi. Semua orang hanya saling-menatap, dan dengan lesu, pulang ke rumah, kecuali Menteri Keuangan, yang harus begadang, "menghitung bintang-bintang" dan menaksir anggaran yang terbuang, oleh peristiwa "mukbang."
Seekor lalat, yang baru saja pulang dari kunjungan ke Koloni Lebah, sembari memegang dan memperhatikan sebuah balon udara merah, bergumam, 'Sembilan puluh-sembilan impianku, ada di setiap balon merah. Jika aku dapat menemukan sebuah suvenir, hanya untuk membuktikan dunia ada di sini, inilah balon-udara merah!' Lalu sang lalat, melepaskan balon-udara merah itu.”

Sebagai penutup, Chiwawa berkomentar, "Duhai saudara-saudariku, sistem pendidikan seyogyanya tak hanya berfokus pada menumbuhkan "keberanian" para-warganya, melainkan hendaknya mengembangkan kebajikan secara keseluruhan, termasuk, tak hanya keberanian, melainkan juga, hikmah, sikap-keberimbangan dan keadilan-sosial. Wallahu a'lam.”
Rujukan:
- Plato, The Law, translatted into English by AE Taylor, MA D.Litt, LL.D., JM Dent & Sons Ltd.
*) "99 Luftballoons" oleh Nena

Jumat, 16 April 2021

Kita 'Kan Jumpa Lagi!

Imam Malik, rahimahullah, berkata, "Manusia itu, beragam, ibarat burung, merpati terbang bersama merpati, elang berkawan dengan elang, bebek dengan bebek, dan burung kecil dengan burung kecil. Demikian pula, setiap manusia, bergaul dengan ragamnya sendiri."
Imam Syafi'i, rahimahullah, pernah berkata, bahwa hanya ada dua jenis burung, merpati, dan selain merpati. Ibnu Abbas, radhiyallahu 'anhu, pernah memutuskan bahwa jika ada orang yang membunuh seekor merpati di sekitaran Mekah, atau dibunuh oleh orang yang sedang ihram, maka dendanya, seekor domba. Adapun burung selain merpati, dendanya setara burung itu, seharga dimana burung itu terbunuh.

Meskipun suaranya seperti dengkuran, suara sang-merpati yang lembut dan merdu, mempesona manusia. Mereka menjentikkan jemarinya, seraya berkata, "Kur ... Kur," memikat sang-merpati agar berkukur, sehingga dapat mendengarnya setiap pagi.
Dan dalam pertemuan dengan para unggas, sang-merpati berkukur, melagukan,
Sontak, dimanapun engkau tak ditemukan!
Aku berbalik dan semuanya telah bersalin
Mencari jalan penyelesaian
Kucoba temukan ketenangan mengemudikan

Pohon ek dimana dulu kubersua denganmu
Dan torehan diatas prasasti itu
Masih kuingat setiap kata ucapanmu
"Aku bukanlah serdadu, tapi aku berjuang
Dapatkah engkau mendengarku dalam lengang?
Kutakkan menyerah, karena akan ada hari
Kita 'kan jumpa lagi!"
Setelah mengucapkan salam, sang-merpati membuka dengan, "Segala puji bagi Allah, pujian dan berkah yang berlimpah, semoga Rabb kita, menyayangi dan ridha, dan sebagaimana diperlukan agar tergapai Kemahamuliaan Wajah-Nya. Dan semoga selawat dan salam Allah, tercurah kepada kekasih kita, Rasulullah (ﷺ), keluarga beliau dan para sahabat, radhiyallahu 'anhum.

Duhai saudara-saudariku! Kita telah kehilangan seorang saudara, seorang sahabat, seorang dermawan, yang mengabdikan hampir seluruh nafasnya bagi keberlangsungan dakwah, keadilan dan kemanusiaan. Kita mendoakan, semoga Husnul Khatimah, dan semoga Allah melapangkan alam barzakhnya, melindunginya dari fitnah kubur, menjadikan alam kuburnya bagian dari taman Firdaus, merebakkan aroma surgawi di sekeliling barzakhnya, dan kelak, meletakkannya di antara mereka, yang dimuliakan di sisi-Nya. Insya Allah. Amin!

Duhai saudara-saudariku! Sebelum kedatangan Nabi kita tercinta (ﷺ), manusia menganut jalan-hidup yang berbeda; Yahudi, Nasrani, Majusi dan Musyrik. Saat Rasulullah (ﷺ) diutus, mereka yang menerima Islam, masing-masing akan diawasi dengan penuh kecurigaan. Mereka dianggap sebagai orang asing di wilayahnya dan di antara suku mereka. Mereka terpaksa menyembunyikan identitas ke-Islam-annya, dan dikucilkan oleh keluarga mereka sendiri. Walau dihina dan direndahkan, mereka tetap menanggung semua yang mereka hadapi dengan kesabaran dan keteguhan iman. Hal ini berlanjut sampai Allah, Subhanahu wa Ta'ala, memuliakan Islam; pengikut dan penolongnya berlipat ganda, penyokong kebenaran, berkuasa, sedangkan penyokong kebathilan, dipermalukan dan ditaklukkan. Itulah mengapa, pada awalnya, Islam itu, sesuatu yang asing.

Duhai saudara-saudariku! Nabi kita tercinta (ﷺ), bersabda,
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
"“Sesungguhnya, Islam dimulai dengan keterasingan, dan akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka 'Tuba' bagi para 'Ghuraba.'” [Shahih Muslim]
"Islam dimulai dengan keterasingan," bermakna bahwa, sebelum kedatangannya (ﷺ), manusia berada dalam kesesatan. Maka Allah mengutus Rasulullah (ﷺ) guna menuntun mereka ke arah jalan kebenaran.
Umat Islam pada waktu itu, lemah, mirip dengan keadaan kita saat ini. Mereka terusir dan keluar dari rumah mereka dan terpaksa mengungsi ke negara-negara terpencil. Mereka dua kali terpaksa hijrah ke Abissinia dan akhirnya ke Madinah. Di antara mereka, ada yang di aniaya dan disiksa, serta dibunuh. Selama masa itu, mereka yang masuk Islam, dianggap "orang asing." Mereka tetap sabar, karena Allah.

Kemudian Islam bangkit dan kuat di Madinah. Mereka unggul dalam segala dimensi. Setelah itu, orang-orang mulai berduyun-duyun masuk Islam. Kemudian, Rasulullah (ﷺ) wafat, namun umat Islam tetap teguh dengan jalan-hidupnya. Mereka bekerjasama dan tolong-menolong selama masa Amirul Mukminin, Abu Bakar dan Umar, radhiyallahu 'anhum. Kemudian setan melancarkan makarnya terhadap kaum Muslimin. Ia memunculkan kecemasan dan kenestapaan, dan menyebarkan di antara mereka, hasrat dan keraguan yang dipenuhi syahwat. Cobaan-cobaan ini terus berlanjut, sedikit demi sedikit, hingga sebagian besar makhluk ciptaan Allah ini, terbenam dalam kepatuhan pada iblis. Ada yang terjerat oleh keragu-raguan, ada yang terjerumus karena godaan syahwat, dan ada juga yang terperangkap oleh kedua-duanya.

Disebutkan bahwa "Tuba," bermakna "sesuatu yang baik." Allah menyebutkan kata ini dalam Al-Qur'an,
اَلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ طُوۡبٰی لَہُمۡ وَ حُسۡنُ مَاٰبٍ
“Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-shalih, 'Tuba' bagi mereka dan tempat kembali yang menyenangkan.” [QS. Ar-Ra'd (13):29]
Ibrahim An-Nakha'i, rahimahullah, ulama Tabi'in yang masyhur, mengatakan Tuba bermakna "kebaikan bagi mereka." Qatadah berkata, "Bila seseorang mengatakan 'Tuba' untukmu, itu bermakna, engkau telah mencapai sesuatu yang baik." 'Ikrimah dan Mujahid, mengatakan bahwa Tuba berarti "Surga." Dan juga dikatakan bahwa Tuba, menunjuk pada "sebuah pohon di surga" yang Rasulullah (ﷺ) pernah sebutkan, ketika beliau (ﷺ) bersabda,
نَّ فِي الْجَنَّةِ لَشَجَرَةً يَسِيرُ الرَّاكِبُ فِي ظِلِّهَا مِائَةَ عَامٍ لاَ يَقْطَعُهَا
الْجَنَّةِ لَشَجَرَةً الرَّاكِبُ لِّهَا ائَةَ امٍ لاَ ا
“Sesungguhnya, ada pohon di surga (yang sangat besar dan lebar, sehingga) jika ada seorang pengendara-kuda melintasi bayangannya selama seratus tahun, ia belum bisa sampai ke penghujungnya.” [Sahih al-Bukhari]
Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah (ﷺ), “Apa itu 'Tuba'?” Beliau (ﷺ) bersabda,
شَجَرَةٌ فِي الْجَنَّةِ مَسِيرَةُ مِئَةِ سَنَةٍ ثِيَابُ أَهْلِ الْجَنَّةِ تَخْرُجُ مِنْ أَكْمَامِهَا
“Itu sebuah pohon di Surga yang lebarnya perjalanan seratus tahun. Pakaian penghuni surga, berasal dari daunnya.” [Ibnu Hibban; Shahih li ghairihi (shahih karena bukti eksternal) menurut Al-Albani]
Duhai saudara-saudariku! Di dunia ini, orang mukmin itu, bagai orang-asing, ia tak berputus-asa bila itu mempermalukannya, dan ia juga tak mengidamkan kemegahan. Orang lain, semuanya seragam, sedang ia sendiri, tampil-beda.
Kita, umat Islam, para Ghuraba'. Kita Ghuraba' di antara umat manusia, terasing oleh teman-teman kita, dan bahkan diasingkan oleh negara kita sendiri. Keterasingan yang kita rasakan, merupakan impresi yang dialami para nabi dan rasul.
Ketika Nabi Musa, alaihissalam, melarikan-diri, menjauh dari kaum Firaun, ia rehat di Madyan. Ia, alaihissalam, sendirian, cemas dan lapar. Ia berseru, "Rabb-ku! Aku sendirian, sakit dan terasingkan!' Dia, Subhanahu wa Ta'ala, berfirman, "Musa, orang yang sendirian itu, orang yang tak menjadikan-Ku, sebagai kausa pelipur-lara dan kenyamanannya. Orang yang sakit itu, orang yang tak menjadikan-Ku, sebagai Penyembuh-nya. Orang yang terasingkan itu, sesungguhnya orang yang tak mau bersepakat dengan-Ku.”

Duhai saudara-saudariku! Ada tiga derajat keterasingan. Yang Pertama, keterasingan para hamba-hamba Allah dan Sunnah Rasul-Nya (ﷺ) di antara makhluk-makhluk ciptaan. Inilah keterasingan yang disanjung Rasulullah (ﷺ), beliau (ﷺ) menyampaikan bahwa agama yang beliau bawa, bermula sebagai sesuatu yang asing, dan akan kembali menjadi sesuatu yang asing, dan bahwa mereka yang mengikutinya akan terasingkan. Keterasingan ini, dapat berada di beberapa tempat dan belum tentu ada di tempat lain, di beberapa waktu dan belum tentu ada di waktu yang lain, di antara satu kaum dan belum tentu ada pada kaum yang lain.
Mereka yang mengalami keterasingan ini, sesungguhnya hamba-hamba Allah yang sejati, karena mereka tak mencari sokongan lain selain jejak Rasul-Nya (ﷺ) dan hanya menyeru kepada apa yang beliau (ﷺ) bawa. Mereka, orang-orang yang terpisah dari manusia di dunia ini, walaupun sangat membutuhkannya, dan pada Hari Kiamat, saat semua orang mengejar berhala-berhala mereka, mereka akan tetap menanti Rabb yang senantiasa mereka sembah. Diantara mereka, akan ditanya, "Tak maukah engkau mengikuti yang lain?" Mereka menjawab, "Kami berpisah dari manusia di dunia, meskipun saat itu, kami sangat membutuhkan mereka dibanding saat ini, sekarang, kami hanya menantikan Rabb kami, Yang sedari dulu kami sembah."
Keterasingan ini, tak disertai dengan kesepian atau rasa-keanehan yang nyata, sebaliknya orang ini, merasakan bahwa dirinyalah yang paling nyaman di saat orang-orang menghindarinya, dan merasakan keterasingan yang dahsyat bila orang lain berusaha mendekatinya. Hal ini karena Allah, Sahabat dan Pelindungnya, seperti Rasul-Nya (ﷺ) dan orang-orang yang beriman, meskipun karena hal ini, hampir semua orang, pada akhirnya menentangnya dan memperlakukannya dengan kasar.

Salah satu sifat orang-asing ini, berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah, meskipun orang lain menjauhinya. Mereka mensucikan Tauhid, bahkan jika mayoritas orang mencela mereka karenanya. Mereka menjauhkan-diri dari memuja siapapun—kecuali Allah, dan mengikuti jejak Rasul-Nya (ﷺ)—baik itu Raja, Perdana Menteri, Presiden, Syekh, Tariqah, Madzab, maupun kelompok; sebaliknya, mereka menjadi abdi-dalem Allah dan Sunnah Rasul-Nya (ﷺ). Orang-orang ini, benar-benar memegang bara-api yang memerah; kebanyakan orang—bahkan semuanya—mencela mereka, mengasingkannya dan memisahkannya dari kelompok mayoritas.

Kedua, keterasingan yang tercela, keterasingan penganut kebathilan dan para penganut kezhaliman, jika dibanding dengan para penganut kebenaran. Inilah keterasingan yang hakiki, meskipun pengikutnya banyak. Merekalah yang sesungguhnya, yang merasakan kesepian dan ketersesatan itu, meskipun mungkin, mereka menemukan kenyamanan di antara orang-orang yang mengelilinginya, mereka mungkin tenar diantara manusia di bumi ini, namun tak dikenal oleh para penduduk langit.

Ketiga, derajat yang dimiliki oleh semua orang, keterasingan dari tanah-airnya sendiri, ini dengan sendirinya, tak terpuji ataupun tak tercela. Seluruh umat manusia itu, orang-asing di dunia ini, karena dunia ini, bukanlah maqam yang kekal; dunia ini, bukanlah maqam dimana mereka dicipta.

Duhai saudara-saudariku! Ingatkah engkau akan sebuah hadits palsu, “Cinta tanah-air itu, bagian dari Iman?” Pernyataan ini, sebuah ungkapan. Namun, makna dari pernyataan itu sendiri, sepertinya kurang tepat. Para ulama telah membahas berbagai makna ungkapan ini. Yang mendekati kebenaran, bila digunakan sebagai pepatah, maka akan benar dalam artian bahwa, tanah-air itu, merujuk pada tempat-asal manusia, Surga. Oleh sebab itu, menurut para ulama, kecintaan terhadap tanah-air yang tulen ini, bersumber dari aspek Iman. Jika pepatah ini dipergunakan dalam artian lain, semisal untuk menumbuhkan cinta dogma nasionalisme dan semangat kepartaian, akan tak disukai oleh Dien kita. Hal ini, berbeda dengan menghalau penjajah, karena Islam memerintahkan agar penindasan tak boleh ada di muka Bumi ini. Wajib bagi seorang Muslim, mempertahankan negeri, harta-benda dan keluarganya, dari para penindas.

Kenyataannya, orang mukmin itu, orang-asing di dunia ini, karena leluhurnya, Nabi Adam, alaihissalam, dulunya tinggal di alam keabadian itu, kemudian terhalau darinya. Maka, ia selalu merindukan kembali ke tanah-airnya. Dan ia selalu bersiap-siap kembali ke rumah dimana dulu ia pernah terusir.
Orang-orang mukmin, di dunia ini, laksana orang-asing, setiap orang dari mereka, melintasi tanah yang bukan miliknya, merindukan tanah-airnya, dan hari dimana ia akan kembali ke sana. Ia mempersiapkan segala yang diperlukan guna perjalanan pulang ke rumah. Ia takkan mau bersaing mendapatkan kedudukan dengan orang-orang di tanah yang ia lewati. Ia juga takkan bersedih saat mengalami perlakuan-buruk selama berada di antara orang-orang itu.
Insya Allah, setelah mereka semua sampai di tanah-air, mereka akan saling-jumpa lagi. Wallahu a'lam.”

Setelah menutup dengan salam, sang merpati berkukur, melagukan,
Gulita berganti terbitnya sang-mentari
Halimun berganti birunya jagad ini
Kelamnya bumantara berganti bintang-kemilau
Perkasa dalam lubuk-qalbu
Engkau tetap jadi penyemangat-hidupku
Kumerasakanmu, dimanapun keberadaanmu

Pohon ek dimana dulu kubersua denganmu
Dan torehan diatas prasasti itu
Masih kuingat setiap kata ucapanmu
"Aku bukanlah serdadu, tapi aku berjuang
Dapatkah engkau mendengarku dalam lengang?
Kutakkan menyerah, karena akan ada hari
Kita 'kan jumpa lagi!"
Rujukan :
- Al-Hafidh Ibn Rajab Al-Hanbali, The Ghurabah: The Strangers, Amazon
- Ibnu Rajab Al-Hanbali & Imam Al-Ajurri, The Journey of the Strangers, Dar As-Sunnah

Senin, 12 April 2021

Serban Tuan Buldog

Dengan suara menderu, sang-beluk mencoba bernyanyi,
Berkinjak-kinjak di taris
Tendasku, satwa
Dan pernah, ada seekor dabat
Berputra, memangkas suket
Putranya itu, lelaki kece
Punya capung piaraan
Sang capung, lepas
Walakin pulang dengan kisah dituturkan
Kemudian ia berseru, "Kancil, memang, nakal!" "Kenapa?" para unggas bertanya. "Ia menggoda sang-Buldog!" jawab sang-beluk terkekeh. "Kapan kejadiannya? Sampaikanlah!" para unggas penasaran.
“Bermula saat Kancil menyapa Tuan Buldog, “Selamat saudaraku, engkau telah ditunjuk sebagai pengawas di beberapa peternakan!” Tuan Buldog, sang-pemberani berkepala-kelompang, dengan rangak berkata, “Aaah, itu soal biasa!" sambil memperbaiki serban dan kacamatanya, lalu membelai jenggotnya yang belang. Bukankah begitu, Tuan Rubah dan Tuan Serigala?" ia menoleh ke arah dua sobat kartelnya, si kembar: sang-rubah dan sang-serigala. Keduanya cuma melongo.
Kancil tahu, asalkan engkau tak mengusik majikannya, Tuan Buldog takkan menggigitmu, maka ia bertanya, "Serbankah yang engkau kenakan itu? Dan, wow, kurta hitam itu, melampaui mata-kaki, cukup panjang untukmu! Engkau memang beda, tak seperti Tuan Kucing, yang lebih suka memakai sepatu-bot." Tuan Buldog tersanjung, ia berkata, "Tahukah engkau apa yang disimbolkan serban ini?" "Engkau lebih tahu! Sampaikanlah untuk wawasanku!" pinta Kancil.
"Tidak, aku tak tahu!" Tuan Buldog memiringkan tendasnya, seolah sedang berpikir. "Oh, kukira engkau tahu! Perkenankan aku menyampaikannya!" kata Kancil. Tuan Buldog tertawa, "He he, aku cuma ingin tahu, namun aku yakin, engkau tak tahu apa-apa tentang serban!" tanggap Tuan Buldog, menutupi kebebalannya. "Kalau begitu, mohon sampaikan padaku!" Kancil meminta. "Tidak, tidak, tidak! Sampaikanlah kepada kami!" sela Tuan Buldog, gelagapan.
 
Kancil menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Asal-usul serban, tak pasti. Beberapa peradaban kuno, semisal India-kuno, Mesopotamia, Sumeria, dan Babilonia, jelas menggunakan serban. Sebuah gaya serban, yang disebut phakeolis, dikenakan oleh tentara prajurit Bizantium dari tahun 400 hingga 600 M, serta oleh warga sipil Bizantium, seperti yang digambarkan dalam lukisan dinding Yunani abad ke-10, di provinsi Cappadocia, Turki Modern. Di Cappadocia, tetap dikenakan oleh keturunan mereka yang berbahasa Yunani, di awal abad ke-20. Ulama Syiah, mengenakan serban putih, kecuali Sayyid, yang mengenakan serban hitam. Banyak lelaki Muslim, memilih warna hijau karena melambangkan surga, terutama di kalangan pengikut tasawuf. Di beberapa bagian Afrika Utara, dimana umumnya berwarna biru, bayang-bayang serban dapat menandakan suku pemakainya.

Serban itu, kain balut di sekitar kepala. Dipakai sejak zaman kuno, dan khususnya oleh orang Persia, serban hadir dalam beragam budaya dan merentas sejarah. Selain penanda agama, serban tetap merupakan pelengkap mode. Pada Abad Pertengahan, serban disebut "manik-manik," karena butiran-butiran kecil yang menghiasi kainnya. Pada akhir abad ke-18 dan daya tarik budaya Timur, serban menjadi aksesori penting dalam lemari pakaian wanita Barat. Berkat ikonografi era itu, serban menunjukkan kepada kita kehadiran pentingnya, baik itu untuk menghadirkan seorang wanita di haremnya, maupun arti-pentingnya dalam budaya Arab, oleh La Grande Odalisque, lukisan karya JAD Ingres pada tahun 1814, yang serbannya mengingatkan pada Formarina, karya Raphael, pelukis Renaisans Italia. Atau keanggunan bangsa Prancis dengan sentuhan eksotismenya, yang begitu dihargai dan ditonjolkan oleh lukisan Marie-Adélaïde de France karya JE Liotard pada tahun 1753. Serban, pada awalnya, merupakan aksesori lelaki, sebagai representasi kekuasaan, dikenakan untuk melawan terik-matahari, sekaligus penanda agama. Karenanya, serban menjadi atribut kaum-lelaki yang universal, lalu dikeluarkan dari lemari-baju kaum-wanita.

Di Eropa Barat, serban muncul berkat jalur perdagangan besar ke India, Jalur Sutra, lalu ke Amerika. Berkat jalur-jalur inilah, Eropa terbuka bagi pelbagai budaya dunia. Tembakau, gula, rempah-rempah, diimpor. Seni dari tempat lain, dan akibatnya, mode, secara alami diimpor ke Eropa Barat. Pada akhir abad kedelapan-belas dan awal abad kesembilan-belas, dengan munculnya Orientalisme dan mode berkaliber dari Mesir, berkat propaganda Napoleon di Mesir, menandai pergeseran ruang penyimpanan serban, dari pria ke wanita, yang beroman-wajah Timur.
Di Yunani, terutama di pulau Kreta, kaum-lelaki, secara tradisional mengenakan serban yang disebut sariki. Nama tutup kepala ini, dipinjam dari sark, kata Turki yang bermakna serban. Sekarang ini, lebih sering disebut kritiko mandili, saputangan Kreta. Serban jenis ini, tak jamak ditemukan pada generasi muda, melainkan pada lelaki yang lebih tua, di desa-desa pegunungan yang lebih terpencil.

Serban, biasanya dipakai di Tanduk Afrika oleh ulama Muslim, serta pendeta Kristen Ortodoks Ethiopia. Tutup kepala ini, telah lama ada di wilayah tersebut, dimana sering dipakai oleh para sultan, wazir, serta pejabat artisokratis dan peradilan lainnya. Di antara para bangsawan tersebut, Sultan Somalia, Mohamad Ali Shire dari Kesultanan Warsangali, Osman Mahamuud dari Kesultanan Majirtin, serta Yusuf Ali Kenadid dan Ali Yusuf Kenadid dari Kesultanan Hobyo. Syekh Abadir Umar Ar-Rida, salah seorang tokoh dalam sejarah Islam, mengenakan serban.

Di sebagian besar negeri Jazirah Arab, syal kotak-kotak atau bergambar petak-petak, yang disebut keffiyeh, ghutrah, shumagh atau chefiyah, sering dipakai, walau demikian, Imamah tradisional Arab, masih betah di Oman, Sudan dan sebagian Semenanjung Arab. Serban berwarna, Ghabanah, serban budaya warisan umum di daerah Hijaz, masih mempertahankan kebiasaan penduduk Mekah, Madinah dan, Jeddah, pada khususnya. Ghabanah, merupakan seragam pusaka bagi para pedagang dan golongan masyarakat umum kelas prestisius dan menengah, kecuali para ulama, yang memiliki kekhususan, didominasi warna putih. Serban Hijazi, yang beragam bentuknya, merupakan turunan dari serban Rasulullah (ﷺ), yang pernah menetap di Mekah dan Madinah. Ada beberapa jenis Ghabanah, yang paling kondang, mungkin, Halabi kuning, yang dibuat di Aleppo, yang ditemukan dalam beragam prasasti, dan dibalut dengan taqiyah berongga dan berkubah, atau topi fez Turki, atau dalam kalpak. Serban warna-warni yang disebut Masar, merupakan budaya penutup kepala nasional di Oman, dan juga umum di bagian selatan Yaman dan Hadhramaut. Selain itu, ghutrah atau syumagh putih, biasanya dibungkus dengan gaya Hamdaniyah, yang juga merupakan corak serban di Uni Emirat Arab.

Lelaki India, mengenakan serban bergaya paggar Rajasthani. Di India, serban disebut pagri, yaitu hiasan kepala yang dikenakan oleh kaum-pria, dan diikat di lengan. Ada beberapa gaya, khusus untuk wilayah atau agama pemakainya, dan bervariasi dalam bentuk, ukuran dan warna. Misalnya, Misore Pheta, Marathi Pheta, Puneri Pagadi dan Sikh Dastar. Pagri, simbol kehormatan dan penghormatan dimanapun ia dipakai. Penerapan Pagri, untuk menghormati tamu penting dengan menyisakan selembar untuk mereka pakai. Bagi Maharaja, serban itu, tanda kekuasaan tanpa tanding. Semakin besar serbannya, semakin berkuasa Maharaja itu. Serban mereka, biasanya dihiasi dengan perhiasan mewah guna menonjolkan kekuasaannya.

Di Jawa, hiasan kepala lelaki bergaya serban secara tradisional, disebut iket. Secara harfiah, bermakna mengikat, cara eminen mengikat kain ke kepala pemakainya. Iket terdiri dari batik persegi atau persegi panjang, dilipat secara diagonal, membentuk segitiga. Meski demikian, banyak cara melipat dan mengikat kain di kepala, dan karenanya, cetakannya berbeda, secara umum, iket menunjukkan tingkat sosial dan daerah asal pemakainya. Walau asal-usulnya belum jelas diketahui, namun banyak sumber menyimpulkan bahwa orang Jawa, sangat mungkin dipengaruhi oleh pedagang Gujarat, yang mengenakan serban, yang datang ke Indonesia lebih dari 500 tahun yang lalu.

Seorang mukurinu Kristen, bentuk tunggal dari akurinu, di pantai Swahili, mengenakan serban. Di Kenya, Akurinu, mayoritas penganut Kristiani, mengenakan serban sebagai penutup kepala. Baik pria maupun wanita, mengenakan serban putih; anak-anak memakai tunik.
Jadi, serban itu, bukanlah penemuan Islam. Penganut Kristiani, sangat boleh mengklaim serban sebagai bagian warisan agama mereka, karena Perjanjian Lama, dipenuhi dengan acuan kekeramatan serban. Engkau dapat menemukannya dalam Imamat, Keluaran, Yesaya, Yehezkiel dan Zakharia. Sayangnya, para teroris, selalu dikarikaturkan mengenakan serban, yang merujuk kepada Umat Islam."

"Terima kasih atas penjelasan panjangmu, Kancil!" kata Tuan Buldog, masih dalam kepongahannya. "Aku tahu semuanya. Tapi, engkau tak menjelaskan, makna simbolis serban itu!" "Betul, Tuan Buldog, mohon bantu aku, memperluas wawasanku!" kata Kancil. "Tidak! Engkaulah yang seharusnya, menyampaikannya! Bukankah begitu, Tuan Rubah dan Serigala?" kata Tuan Buldog, kepada dua sekawan kartel dogol itu, yang mengangguk, "Ya! Ya!" mengiyakan.
“Simbol mengenakan serban itu, banyak,” Kancil menjelaskan, “Dari dianggap sebagai simbol kedaulatan, dedikasi, harga-diri, keberanian dan ketakwaan, sampai hanya sekedar cinta dan ketaatan pada kehendak para pendahulu. "Lalu, apa bedanya dengan mahkota?" tanya Tuan Buldog. Kancil menjelaskan, "Mahkota itu, bentuk hiasan kepala atau topi tradisional, yang dikenakan oleh para monarkhi sebagai simbol kekuasaan dan martabat mereka. Sebuah mahkota, seringkali, dengan perluasan, simbol pemerintahan raja atau barang-barang yang disahkan olehnya." Tuan Buldog mengangguk.
"Ngomong-ngomong," Kancil melanjutkan, "Tahukah engkau bahwa Nabi kita tercinta (ﷺ), juga mengenakan serban dan kurta?" Tuan Buldog buru-buru menjawab, "Tentu saja, aku pasti tahu tentang itu!" Kancil meminta seraya menundukkan kepala, "Mohon, sampaikan padaku!"
"Aaah...ehm! Karena aku orang yang berilmu dan ingin tahu sejauh mana ilmumu, engkaulah yang seharusnya, menyampaikannya!"

"Siap! Mohon diralat jika aku keliru!" kata Kancil. "Mengenai Serban, Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Gelunglah Serbanmu. Ia akan menambah kendali-dirimu." Beliau (ﷺ) memerintahkan kita agar menggelung serban, dan juga menjelaskan bahwa memakai serban itu, tanda Islami, dan membedakan antara seorang Muslim dan Kafir.
Beliau (ﷺ) sering terlihat mengenakan serban putih atau hitam, dan lebih baik serban digelung, sedemikian rupa, sehingga salah satu atau kedua ujungnya menggantung dalam bentuk ekor atau ujung yang longgar. Ujung yang longgar itu, dapat dibiarkan menggantung, di belakang atau di depan. Namun sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa ujung ekornya, berada di belakang. Beberapa 'Ulama telah membuktikan kebolehan menggelung serban, sedemikian rupa, sehingga tak ada ujung longgar yang dibiarkan menggantung di belakang atau di depan. Yang kecil panjangnya tujuh lengan, sedangkan yang besar, panjangnya dua belas lengan.
Gelungan serban saat Shalat, Mustahab atau disukai. Walau tak mengenakan apa yang Mustahab ini, tak menjadikan Shalat kita, Makruh. Mengenakan imamah dalam mengimami jamaah shalat, tanpa serban, sepenuhnya diperbolehkan tanpa Karahat, tak ada tingkat celaan apapun. Aturan ini, berlaku bahkan jika serban harus berada dalam genggaman lengan sang Imam. Namun, tak dapat disangkal, fakta bahwa dengan mengenakan serban, pahalanya akan bertambah.
Rasulullah (ﷺ) terkadang mengenakan peci dengan serban, dan terkadang tanpa serban. Terkadang, beliau (ﷺ) mengenakan serban tanpa tutup kepala. Beliau (ﷺ) mengenakan peci "Yaman" putih yang di rajut. Selama pertempuran, beliau (ﷺ) mengenakan sejenis peci yang menutupi telinganya. Kadang-kadang, beliau (ﷺ) melepas peci itu, dan meletakkannya di atas Sutrah, yang digunakan sebagai benda pembatas, yang diletakkan di depan Imam saat melaksanakan Shalat di tempat terbuka. Beliau (ﷺ) juga bersabda, "Perbedaan antara kita dan orang musyrik, bahwa kita memakai peci di bawah serban, sedangkan orang musyrik, tak melakukannya."
Mengenakan peci yang pas di kepala atau topi tinggi, yang diisi dengan wol, dll. dan dijahit, atau selain itu, memakai topi jenis lain di bawah serban, atau bahkan tanpa serban, sangat dibolehkan.
Mengenakan serban, terbukti sebagai Sunnah, dengan sendirinya, nilai-nilai keutamaannya, mencukupi dan melengkapi, dan hendaknya mendorong semangat agar diterapkan.

Adapun Kurta, Rasulullah (ﷺ) lebih memilihnya dibanding segala jenis pakaian. Bila memanjang, Kurta Rasulullah (ﷺ), berada di atas mata kaki, sementara lengan baju, mencapai jari-jarinya. Mengenai panjang lengan, ada dua riwayat yang sedikit berbeda. Riwayat pertama, meletakkannya di atas pergelangan tangan, sementara yang lain, menyatakan bahwa lengannya mencapai jari-jari. Namun yang ini, tak perlu diperdebatkan.
Dan akhirnya, apapun yang kita lakukan dan kenakan, tergantung pada niat kita. Ada juga, orang yang mengenakan serban dan kurta, hanya untuk menambah "Followers," atau demi uang dan harta. Wallahu a'lam,” Kancil menutup penjelasannya.

"Hah! Akhirnya, kita sepakat, wahai Kancil!" kata Tuan Buldog. "Akupun demikian, jika selain demi uang dan harta, apa lagi?" Kancil mundur perlahan, seraya bergumam, "Ilmu yang mendalam tentang Sunnah, juga diperlukan. Banyak orang, dengan tulus berusaha mengikuti Sunnah, namun karena kurangnya ilmu, sungguh akan mengakibatkan rusaknya dan terancamnya, esensi dan fondasi Islam."
Ia berbalik, dan sekali loncat, melesat ke dalam hutan-belantara, yang terdengar, hanyalah suaranya, berseru, "Hei Buldog! Itu bukan kelakuanku, melainkan kelakuan orang yang songong! Hei Buldog! Semakin besar serbanmu, bukan berarti, semakin besar otakmu! Hei Buldog! Letakkanlah serbanmu, pada tempatnya!"
Tuan Rubah dan Serigala, si kembar sobat kartel, hanya melongo, sementara Tuan Buldog, menggeram, "Grrrrh...!"
Rujukan :
- Hazrat Moulana Fazlur Rahman Saheb, Turban, Kurta, Topee, Academy for the Revival of the Sunnah.

Jumat, 09 April 2021

Lagu Saus Tomat (3)

Kacer melanjutkan, "Orang ini, juga berkomplot dengan kaum hippie. Seperti yang kalian ketahui, seorang hippie, atau hippy, anasir budaya tandingan tahun 1960-an, awalnya gerakan pemuda yang dimulai di Amerika Serikat, selama pertengahan 1960-an dan menyebar ke negara-negara lain di seluruh dunia. Terdapat sisi baik kaum-hippie ini, antara lain, solidaritas, kesederhanaan, seni, cinta dan musik yang bagus. Tapi apa yang populer dan berkembang? Sisi buruknya, yakni minuman-keras, narkoba, dan perzinahan.
Minuman-keras tak baik untukmu. Ia membuatmu kecanduan, dan jika ingin menghentikannya dalam satu langkah, mustahil bagi seseorang menahannya. Larangan minuman-keras bahkan sebagai obatpun, sudah jelas. Thariq bin Suwaid al-Ja'fi bertanya kepada Nabi kita tercinta (ﷺ) tentang pembuatan khamr dan beliau (ﷺ) melarangnya, maka ia menjawab, "Wahai Rasulullah, aku mengolahnya sebagai obat-obatan," yang dijawab oleh Rasulullah (ﷺ), "Itu bukan obat, melainkan penyakit." Rasulullah (ﷺ) melaknat sepuluh golongan orang yang terkait dengan khamr; anggur serta minuman beralkohol apapun; orang yang mengolah dan yang memesannya, atau mendanai produksinya, yang meminumnya, yang mengantarkan dan yang menerimanya, yang mengemasnya, yang menjualnya, yang memperoleh uangnya, yang membelinya, dan bagi sesiapapun barang itu dibeli. Beliau (ﷺ) juga bersabda, "Siang dan malam akan berlalu, dan sekelompok golonganku akan minum khamr, menyebutnya dengan nama lain." Jadi, apapun yang namanya: anggur, minuman beralkohol, vodka, atau bir - semuanya sangat terlarang!
Opium, heroin, kanabis, dan segala jenis obat rekreasional lainnya, berefek merusak pikiran dan tubuh. Ada juga sebagai penyalur halusinasi, yang mengantarkan perasaan euforia sementara, namun orang yang menyalahgunakannya, akan berakhir dalam lingkaran-setan depresi, ketergantungan dan kecanduan. Dalam Sahih Muslim, diriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Setiap yang memabukkan itu, khamr, dan setiap yang memabukkan itu, haram!"
Allah telah mengharamkan zina, dan memasukkannya sebagai dosa besar, yang diancam dengan hukuman berat. Tak hanya mengharamkan, Allah juga menutup segala jalan yang menuju ke sana. Ada banyak hikmah dengan mengharamkan zina. Zina itu, aib bagi pribadi, kehormatan dan martabat seseorang. Ia juga merupakan kezhaliman besar terhadap kaum-wanita, karena memaksanya membesarkan anak, sendirian. Zina menyebabkan berjibun penyakit, yang membingungkan para dokter, dan para ilmuwan tak dapat bertindak. Pelarangan zina, juga bertujuan menghindari percampuran hubungan darah, karena hal ini menyebabkan kehilangan jejak keturunan dan mengabaikan hak. Padahal, masyarakat merupakan individu-individu yang membentuk keluarga. Maka, jika pohon-keluarga ini, terputus, dan tanggung jawab tak dapat lagi ditentukan, maka manusia menjadi seperti binatang.
Islam tak melarang apapun kecuali itu membahayakan, dan selalu memberikan pengganti yang lebih baik. Bagi Zina, penggantinya, menikah. Riba, bunga-uang dan/atau rente, penggantinya, jual-beli, dll. Wallahu a'lam.

Cassano al-Andalusi ini, berpihak pada sisi buruknya. Ia menjadi pemasok utama minuman-keras dan narkoba bagi kaum hippie. Ia juga menyediakan lokasi bagi para hippie. Alasan mengapa ia berbagi dengan para hippie itu, bertujuan melindungi peertambangan miliknya. Dengan adanya kaum hippie di lokasi itu, masyarakat takkan berani mengganggu. Ia bahkan tak peduli, ketika warga sekitar mengeluhkan adanya tenaga kerja dari luar daerah, yang hampir setiap hari masuk ke areal pertambangan. Apapun itu, semuanya demi bisnis.
Entah bagaimana, ia juga dekat dengan seorang penguasa, yang sangat mempercayainya. Segala urusan, diserahkan kepada Cassano al-Andalusi, untuk diselesaikan. Suatu ketika, seorang hippie berkata, "Cassano tak pernah gagal...!" Rupanya, itu hanya kalimat yang tak lengkap, yang ketika disempurnakan menjadi, "Cassano tak pernah gagal bersembunyi di balik bayang-bayang!" Jelas, ini bukti kegagalan-retoris, sebagaimana ucapan seorang penatua di desa kelahiran Cassano, "Siapapun yang berkawan dengan Cassano al-Andalusi, pandir!"
Jangankan bermain musik, Cassano bahkan tak bisa bersiul. Ia senang berpakaian mewah, namun pakaiannya itu, tak dapat menutupi kekumalannya. Ia sering gagal-paham.

Pada suatu Sabtu malam, Cassano meminta saran dari begundalnya, apa yang sebaiknya dilakukan untuk bermalam-minggu. "Berpakaian dan pergilah ke Kelab-malam, lintasi senja dengan anggur dan disko!" kata penasihatnya yang bermata-juling, yang tahu benar selera bosnya. Tanpa ragu, inilah jawaban yang diinginkan Cassano. Segera, ia memerintahkan seluruh anak-buahnya, berangkat.
Di Kelab-malam itu, yang tampak dari luar seperti restoran biasa, ia disambut seorang germo, yang membungkuk dalam-dalam, demi kantong sang-Cassano. Seperti biasa, Cassano bertitah, "Beri kami anggur! Ayo berpesta! Ayo berdansa! Nikmatilah!"
Dan, tegukan demi tegukan, mengalir sepanjang tubuh Cassano. Mabuk, ia berteriak, "Hei dj, mainkan musik-tengah-malam!" Musik pun mulai berdentum, Cassano terhuyung-huyung saat bernyanyi,
Y aserejé-ja-dejé
De jebe tu de jebere seibiunouva majavi an de bugui an de güididípi
Aserejé-ja-de jé
De jebe tu de jebere seibiunouva majavi an de bugui an de güididípi
Aserejé-ja-dejé
De jebe tu de jebere seibiunouva majavi an de bugui an de güididípi *)
Tapi, masalahnya, Cassano tak berbahasa sesuai lagu yang diputarkan sang-dj, maka satu-satunya cara yang bisa ia lakukan, mengiramakan bagian chorusnya, dalam bahasa Spanyol, dan yang itupun, berantakan.
Kaum hippie, mengacungkan jempol, atau lebih tepatnya, sepuluh jari tangan dan kaki. "Dahsyat! Dahsyat!" teriak mereka. Apapun demi Cassano, akan mereka lakukan, bahkanpun jika harus mengeluarkan seluruh isi perut, akan mereka muntahkan. Mereka mengelu-elukan Cassano, berkata, "Ia orang yang mengikuti disko. Ia raja, menari dalam ritme ragatanga, dan dj yang ia kenal baik, yang selalu berada seputar jam dua-belasan, memainkan salsa, dan ia mendendangkannya."
Di sisi lain, di antara yang mabuk, banyak juga yang sinis, "Itu sesat!" Beberapa yang menganggapnya, Brujeria, yang merasukinya, setiap gerakannya, akan menghipnotismu. Ada juga yang menyebutnya, Chuleria. Yang lain mengira itu sesungguhnya, Rastafari Afrogitano!
Seorang bocah, anak seorang pelayan yang bekerja di Kelab-malam itu, mendengar nyanyian, atau ocehan Cassano, berkata, "Ayah, si brengsek itu, sepertinya tak mengenal bahasa. Sebenarnya, lagu itu, kesukaan Kakek."
Bergegas, sang ayah membungkam-mulut sang bocah seraya menoleh ke kiri dan ke kanan, dan berkata, "Nak, habiskan cokelatmu dan pulanglah! Jika tidak, besok, ayah tak punya lagi pekerjaan!" Sedemikian buruknyakah kejahatan itu, bahkan seorang ayah tak mampu melindungi putranya sendiri? Mengintip kata-kata Cassano al-K-Dramani, "Un diavolo scaccia l'altro," bahwa hanya kejahatan, yang dapat menghukum kejahatan; dan juga ucapan Lelouch Vi Britannia, "Agar dapat menaklukkan kejahatan, aku harus menjadi lebih jahat lagi," mungkin, bisa menjadi jawabannya. Akan tetapi, aku lebih suka memilih, "Agar dapat menaklukkan kejahatan, engkau hendaknya menaklukkan kejahatan dirimu sendiri," itulah, Jihad an-Nafs. Nabi kita tercinta (ﷺ), selalu membuka khutbah beliau (ﷺ) dengan Khutbatul Haajah. Pada bagian pertama, beliau (ﷺ) bersabda,
إن الحمد لله نحمده و نستعينه و نستغفره و نعود بالله من شرور أنفسنا و من سيئات أعمالنا
"Sesungguhnya, segala puja, hanya karena Allah. Kita memuja-Nya, memohon pertolongan dan pengampunan-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-kita, dan dari akibat-buruk perbuatan kita."
Memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan, merupakan kesaksian para hamba bahwa mereka tak punya kuasa menolong diri mereka sendiri, dan keyakinan bawaan pada ketidakberdayaan seperti ini, komponen kunci dari iman kita. Latarbelakang mengapa Allah memerintahkan kita agar berlindung kepada-Nya dari kejahatan, karena kejahatan takkan pernah berhenti dan akan terus berupaya menyesatkan kita ke dalam syirik.
Rasulullah (ﷺ) juga menasihati para sahabat, radhiyallahu 'anhum, melakukan hal yang sama, dan tradisi ini terus berlanjut hingga saat ini dimana banyak umat Islam membuka pidato dan tulisan mereka dengan Khutbatul Haajah. Disebut khotbah-hajat, karena seseorang dapat meminta sesuatu dari Allah, Subhaanahu wa Ta'ala, setelah membacanya, semisal pada acara akad-nikah.
Namun sayangnya, di beberapa negeri yang bermayoritas Muslim, ada yang enggan membawakan Kalimat Pembuka ini, dan bagi yang membawakannya saat berkhotbah, di cap “Wahabi.” Mungkin karena ketidaktahuan, atau bisa jadi, para "Wahabi" itu, menunjukkan sikap yang terkesan pragmatis, saat menyampaikan khotbah. Wallahu a'lam.
Seorang pengunjung, yang tak sengaja masuk ke Kelab, mengira tempat itu, restoran biasa, sambil berjalan keluar, bergumam, "Ketika seseorang dimabuk khamr, yang cerdik jadi bebal, dan yang bebal, berlagak pilon! Apa jadinya, jika seseorang dimabuk harta dan kekuasaan?"
Hening, Kacer mengakhiri ceriteranya. Sang-garuda-perkasa kemudian berdiri, bertepuk-tangan seraya berkata, "Bravo! Bravo!" menyemangati anak-asuhannya. Para unggas, tanpa menunggu perintah, langsung berdiri dan spontan turut-bersorak. Mereka melakukannya, bukan demi Kacer, melainkan sebagai penghormatan dan penghargaan untuk Sang-garuda-perkasa, yang selama ini, menurut nilai-nilai mereka, telah menunjukkan keteladanan terbaik. Wallahu a'lam."
Rujukan :
- Carl Davila, Fixing a Misbegotten Biography: Ziryab in the Mediterranean World, Al-Masaq
- Amira Ayad, Healing the Body and Soul, IIPH
*) "Asereje" karya Manuel Ruiz Queco

[Bagian 1]