Senin, 12 April 2021

Serban Tuan Buldog

Dengan suara menderu, sang-beluk mencoba bernyanyi,
Berkinjak-kinjak di taris
Tendasku, satwa
Dan pernah, ada seekor dabat
Berputra, memangkas suket
Putranya itu, lelaki kece
Punya capung piaraan
Sang capung, lepas
Walakin pulang dengan kisah dituturkan
Kemudian ia berseru, "Kancil, memang, nakal!" "Kenapa?" para unggas bertanya. "Ia menggoda sang-Buldog!" jawab sang-beluk terkekeh. "Kapan kejadiannya? Sampaikanlah!" para unggas penasaran.
“Bermula saat Kancil menyapa Tuan Buldog, “Selamat saudaraku, engkau telah ditunjuk sebagai pengawas di beberapa peternakan!” Tuan Buldog, sang-pemberani berkepala-kelompang, dengan rangak berkata, “Aaah, itu soal biasa!" sambil memperbaiki serban dan kacamatanya, lalu membelai jenggotnya yang belang. Bukankah begitu, Tuan Rubah dan Tuan Serigala?" ia menoleh ke arah dua sobat kartelnya, si kembar: sang-rubah dan sang-serigala. Keduanya cuma melongo.
Kancil tahu, asalkan engkau tak mengusik majikannya, Tuan Buldog takkan menggigitmu, maka ia bertanya, "Serbankah yang engkau kenakan itu? Dan, wow, kurta hitam itu, melampaui mata-kaki, cukup panjang untukmu! Engkau memang beda, tak seperti Tuan Kucing, yang lebih suka memakai sepatu-bot." Tuan Buldog tersanjung, ia berkata, "Tahukah engkau apa yang disimbolkan serban ini?" "Engkau lebih tahu! Sampaikanlah untuk wawasanku!" pinta Kancil.
"Tidak, aku tak tahu!" Tuan Buldog memiringkan tendasnya, seolah sedang berpikir. "Oh, kukira engkau tahu! Perkenankan aku menyampaikannya!" kata Kancil. Tuan Buldog tertawa, "He he, aku cuma ingin tahu, namun aku yakin, engkau tak tahu apa-apa tentang serban!" tanggap Tuan Buldog, menutupi kebebalannya. "Kalau begitu, mohon sampaikan padaku!" Kancil meminta. "Tidak, tidak, tidak! Sampaikanlah kepada kami!" sela Tuan Buldog, gelagapan.
 
Kancil menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Asal-usul serban, tak pasti. Beberapa peradaban kuno, semisal India-kuno, Mesopotamia, Sumeria, dan Babilonia, jelas menggunakan serban. Sebuah gaya serban, yang disebut phakeolis, dikenakan oleh tentara prajurit Bizantium dari tahun 400 hingga 600 M, serta oleh warga sipil Bizantium, seperti yang digambarkan dalam lukisan dinding Yunani abad ke-10, di provinsi Cappadocia, Turki Modern. Di Cappadocia, tetap dikenakan oleh keturunan mereka yang berbahasa Yunani, di awal abad ke-20. Ulama Syiah, mengenakan serban putih, kecuali Sayyid, yang mengenakan serban hitam. Banyak lelaki Muslim, memilih warna hijau karena melambangkan surga, terutama di kalangan pengikut tasawuf. Di beberapa bagian Afrika Utara, dimana umumnya berwarna biru, bayang-bayang serban dapat menandakan suku pemakainya.

Serban itu, kain balut di sekitar kepala. Dipakai sejak zaman kuno, dan khususnya oleh orang Persia, serban hadir dalam beragam budaya dan merentas sejarah. Selain penanda agama, serban tetap merupakan pelengkap mode. Pada Abad Pertengahan, serban disebut "manik-manik," karena butiran-butiran kecil yang menghiasi kainnya. Pada akhir abad ke-18 dan daya tarik budaya Timur, serban menjadi aksesori penting dalam lemari pakaian wanita Barat. Berkat ikonografi era itu, serban menunjukkan kepada kita kehadiran pentingnya, baik itu untuk menghadirkan seorang wanita di haremnya, maupun arti-pentingnya dalam budaya Arab, oleh La Grande Odalisque, lukisan karya JAD Ingres pada tahun 1814, yang serbannya mengingatkan pada Formarina, karya Raphael, pelukis Renaisans Italia. Atau keanggunan bangsa Prancis dengan sentuhan eksotismenya, yang begitu dihargai dan ditonjolkan oleh lukisan Marie-Adélaïde de France karya JE Liotard pada tahun 1753. Serban, pada awalnya, merupakan aksesori lelaki, sebagai representasi kekuasaan, dikenakan untuk melawan terik-matahari, sekaligus penanda agama. Karenanya, serban menjadi atribut kaum-lelaki yang universal, lalu dikeluarkan dari lemari-baju kaum-wanita.

Di Eropa Barat, serban muncul berkat jalur perdagangan besar ke India, Jalur Sutra, lalu ke Amerika. Berkat jalur-jalur inilah, Eropa terbuka bagi pelbagai budaya dunia. Tembakau, gula, rempah-rempah, diimpor. Seni dari tempat lain, dan akibatnya, mode, secara alami diimpor ke Eropa Barat. Pada akhir abad kedelapan-belas dan awal abad kesembilan-belas, dengan munculnya Orientalisme dan mode berkaliber dari Mesir, berkat propaganda Napoleon di Mesir, menandai pergeseran ruang penyimpanan serban, dari pria ke wanita, yang beroman-wajah Timur.
Di Yunani, terutama di pulau Kreta, kaum-lelaki, secara tradisional mengenakan serban yang disebut sariki. Nama tutup kepala ini, dipinjam dari sark, kata Turki yang bermakna serban. Sekarang ini, lebih sering disebut kritiko mandili, saputangan Kreta. Serban jenis ini, tak jamak ditemukan pada generasi muda, melainkan pada lelaki yang lebih tua, di desa-desa pegunungan yang lebih terpencil.

Serban, biasanya dipakai di Tanduk Afrika oleh ulama Muslim, serta pendeta Kristen Ortodoks Ethiopia. Tutup kepala ini, telah lama ada di wilayah tersebut, dimana sering dipakai oleh para sultan, wazir, serta pejabat artisokratis dan peradilan lainnya. Di antara para bangsawan tersebut, Sultan Somalia, Mohamad Ali Shire dari Kesultanan Warsangali, Osman Mahamuud dari Kesultanan Majirtin, serta Yusuf Ali Kenadid dan Ali Yusuf Kenadid dari Kesultanan Hobyo. Syekh Abadir Umar Ar-Rida, salah seorang tokoh dalam sejarah Islam, mengenakan serban.

Di sebagian besar negeri Jazirah Arab, syal kotak-kotak atau bergambar petak-petak, yang disebut keffiyeh, ghutrah, shumagh atau chefiyah, sering dipakai, walau demikian, Imamah tradisional Arab, masih betah di Oman, Sudan dan sebagian Semenanjung Arab. Serban berwarna, Ghabanah, serban budaya warisan umum di daerah Hijaz, masih mempertahankan kebiasaan penduduk Mekah, Madinah dan, Jeddah, pada khususnya. Ghabanah, merupakan seragam pusaka bagi para pedagang dan golongan masyarakat umum kelas prestisius dan menengah, kecuali para ulama, yang memiliki kekhususan, didominasi warna putih. Serban Hijazi, yang beragam bentuknya, merupakan turunan dari serban Rasulullah (ﷺ), yang pernah menetap di Mekah dan Madinah. Ada beberapa jenis Ghabanah, yang paling kondang, mungkin, Halabi kuning, yang dibuat di Aleppo, yang ditemukan dalam beragam prasasti, dan dibalut dengan taqiyah berongga dan berkubah, atau topi fez Turki, atau dalam kalpak. Serban warna-warni yang disebut Masar, merupakan budaya penutup kepala nasional di Oman, dan juga umum di bagian selatan Yaman dan Hadhramaut. Selain itu, ghutrah atau syumagh putih, biasanya dibungkus dengan gaya Hamdaniyah, yang juga merupakan corak serban di Uni Emirat Arab.

Lelaki India, mengenakan serban bergaya paggar Rajasthani. Di India, serban disebut pagri, yaitu hiasan kepala yang dikenakan oleh kaum-pria, dan diikat di lengan. Ada beberapa gaya, khusus untuk wilayah atau agama pemakainya, dan bervariasi dalam bentuk, ukuran dan warna. Misalnya, Misore Pheta, Marathi Pheta, Puneri Pagadi dan Sikh Dastar. Pagri, simbol kehormatan dan penghormatan dimanapun ia dipakai. Penerapan Pagri, untuk menghormati tamu penting dengan menyisakan selembar untuk mereka pakai. Bagi Maharaja, serban itu, tanda kekuasaan tanpa tanding. Semakin besar serbannya, semakin berkuasa Maharaja itu. Serban mereka, biasanya dihiasi dengan perhiasan mewah guna menonjolkan kekuasaannya.

Di Jawa, hiasan kepala lelaki bergaya serban secara tradisional, disebut iket. Secara harfiah, bermakna mengikat, cara eminen mengikat kain ke kepala pemakainya. Iket terdiri dari batik persegi atau persegi panjang, dilipat secara diagonal, membentuk segitiga. Meski demikian, banyak cara melipat dan mengikat kain di kepala, dan karenanya, cetakannya berbeda, secara umum, iket menunjukkan tingkat sosial dan daerah asal pemakainya. Walau asal-usulnya belum jelas diketahui, namun banyak sumber menyimpulkan bahwa orang Jawa, sangat mungkin dipengaruhi oleh pedagang Gujarat, yang mengenakan serban, yang datang ke Indonesia lebih dari 500 tahun yang lalu.

Seorang mukurinu Kristen, bentuk tunggal dari akurinu, di pantai Swahili, mengenakan serban. Di Kenya, Akurinu, mayoritas penganut Kristiani, mengenakan serban sebagai penutup kepala. Baik pria maupun wanita, mengenakan serban putih; anak-anak memakai tunik.
Jadi, serban itu, bukanlah penemuan Islam. Penganut Kristiani, sangat boleh mengklaim serban sebagai bagian warisan agama mereka, karena Perjanjian Lama, dipenuhi dengan acuan kekeramatan serban. Engkau dapat menemukannya dalam Imamat, Keluaran, Yesaya, Yehezkiel dan Zakharia. Sayangnya, para teroris, selalu dikarikaturkan mengenakan serban, yang merujuk kepada Umat Islam."

"Terima kasih atas penjelasan panjangmu, Kancil!" kata Tuan Buldog, masih dalam kepongahannya. "Aku tahu semuanya. Tapi, engkau tak menjelaskan, makna simbolis serban itu!" "Betul, Tuan Buldog, mohon bantu aku, memperluas wawasanku!" kata Kancil. "Tidak! Engkaulah yang seharusnya, menyampaikannya! Bukankah begitu, Tuan Rubah dan Serigala?" kata Tuan Buldog, kepada dua sekawan kartel dogol itu, yang mengangguk, "Ya! Ya!" mengiyakan.
“Simbol mengenakan serban itu, banyak,” Kancil menjelaskan, “Dari dianggap sebagai simbol kedaulatan, dedikasi, harga-diri, keberanian dan ketakwaan, sampai hanya sekedar cinta dan ketaatan pada kehendak para pendahulu. "Lalu, apa bedanya dengan mahkota?" tanya Tuan Buldog. Kancil menjelaskan, "Mahkota itu, bentuk hiasan kepala atau topi tradisional, yang dikenakan oleh para monarkhi sebagai simbol kekuasaan dan martabat mereka. Sebuah mahkota, seringkali, dengan perluasan, simbol pemerintahan raja atau barang-barang yang disahkan olehnya." Tuan Buldog mengangguk.
"Ngomong-ngomong," Kancil melanjutkan, "Tahukah engkau bahwa Nabi kita tercinta (ﷺ), juga mengenakan serban dan kurta?" Tuan Buldog buru-buru menjawab, "Tentu saja, aku pasti tahu tentang itu!" Kancil meminta seraya menundukkan kepala, "Mohon, sampaikan padaku!"
"Aaah...ehm! Karena aku orang yang berilmu dan ingin tahu sejauh mana ilmumu, engkaulah yang seharusnya, menyampaikannya!"

"Siap! Mohon diralat jika aku keliru!" kata Kancil. "Mengenai Serban, Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Gelunglah Serbanmu. Ia akan menambah kendali-dirimu." Beliau (ﷺ) memerintahkan kita agar menggelung serban, dan juga menjelaskan bahwa memakai serban itu, tanda Islami, dan membedakan antara seorang Muslim dan Kafir.
Beliau (ﷺ) sering terlihat mengenakan serban putih atau hitam, dan lebih baik serban digelung, sedemikian rupa, sehingga salah satu atau kedua ujungnya menggantung dalam bentuk ekor atau ujung yang longgar. Ujung yang longgar itu, dapat dibiarkan menggantung, di belakang atau di depan. Namun sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa ujung ekornya, berada di belakang. Beberapa 'Ulama telah membuktikan kebolehan menggelung serban, sedemikian rupa, sehingga tak ada ujung longgar yang dibiarkan menggantung di belakang atau di depan. Yang kecil panjangnya tujuh lengan, sedangkan yang besar, panjangnya dua belas lengan.
Gelungan serban saat Shalat, Mustahab atau disukai. Walau tak mengenakan apa yang Mustahab ini, tak menjadikan Shalat kita, Makruh. Mengenakan imamah dalam mengimami jamaah shalat, tanpa serban, sepenuhnya diperbolehkan tanpa Karahat, tak ada tingkat celaan apapun. Aturan ini, berlaku bahkan jika serban harus berada dalam genggaman lengan sang Imam. Namun, tak dapat disangkal, fakta bahwa dengan mengenakan serban, pahalanya akan bertambah.
Rasulullah (ﷺ) terkadang mengenakan peci dengan serban, dan terkadang tanpa serban. Terkadang, beliau (ﷺ) mengenakan serban tanpa tutup kepala. Beliau (ﷺ) mengenakan peci "Yaman" putih yang di rajut. Selama pertempuran, beliau (ﷺ) mengenakan sejenis peci yang menutupi telinganya. Kadang-kadang, beliau (ﷺ) melepas peci itu, dan meletakkannya di atas Sutrah, yang digunakan sebagai benda pembatas, yang diletakkan di depan Imam saat melaksanakan Shalat di tempat terbuka. Beliau (ﷺ) juga bersabda, "Perbedaan antara kita dan orang musyrik, bahwa kita memakai peci di bawah serban, sedangkan orang musyrik, tak melakukannya."
Mengenakan peci yang pas di kepala atau topi tinggi, yang diisi dengan wol, dll. dan dijahit, atau selain itu, memakai topi jenis lain di bawah serban, atau bahkan tanpa serban, sangat dibolehkan.
Mengenakan serban, terbukti sebagai Sunnah, dengan sendirinya, nilai-nilai keutamaannya, mencukupi dan melengkapi, dan hendaknya mendorong semangat agar diterapkan.

Adapun Kurta, Rasulullah (ﷺ) lebih memilihnya dibanding segala jenis pakaian. Bila memanjang, Kurta Rasulullah (ﷺ), berada di atas mata kaki, sementara lengan baju, mencapai jari-jarinya. Mengenai panjang lengan, ada dua riwayat yang sedikit berbeda. Riwayat pertama, meletakkannya di atas pergelangan tangan, sementara yang lain, menyatakan bahwa lengannya mencapai jari-jari. Namun yang ini, tak perlu diperdebatkan.
Dan akhirnya, apapun yang kita lakukan dan kenakan, tergantung pada niat kita. Ada juga, orang yang mengenakan serban dan kurta, hanya untuk menambah "Followers," atau demi uang dan harta. Wallahu a'lam,” Kancil menutup penjelasannya.

"Hah! Akhirnya, kita sepakat, wahai Kancil!" kata Tuan Buldog. "Akupun demikian, jika selain demi uang dan harta, apa lagi?" Kancil mundur perlahan, seraya bergumam, "Ilmu yang mendalam tentang Sunnah, juga diperlukan. Banyak orang, dengan tulus berusaha mengikuti Sunnah, namun karena kurangnya ilmu, sungguh akan mengakibatkan rusaknya dan terancamnya, esensi dan fondasi Islam."
Ia berbalik, dan sekali loncat, melesat ke dalam hutan-belantara, yang terdengar, hanyalah suaranya, berseru, "Hei Buldog! Itu bukan kelakuanku, melainkan kelakuan orang yang songong! Hei Buldog! Semakin besar serbanmu, bukan berarti, semakin besar otakmu! Hei Buldog! Letakkanlah serbanmu, pada tempatnya!"
Tuan Rubah dan Serigala, si kembar sobat kartel, hanya melongo, sementara Tuan Buldog, menggeram, "Grrrrh...!"
Rujukan :
- Hazrat Moulana Fazlur Rahman Saheb, Turban, Kurta, Topee, Academy for the Revival of the Sunnah.