Jumat, 30 April 2021

Reynard dan Kedok Colombina

“Et cerebrum non habet neque sensum!” tegas Chiwawa, “Pada sebagian umat manusia, yang, dari keberlimpahan hartanya, mempersolek-diri dalam segala hal, di luar akal-sehat, namun tampaknya, mereka tak sekalipun, berusaha mengembangkan pemikirannya, tumbuh menjadi 'hikmah.' Singkatnya, hampir seluruh dunia, berafiliasi dalam perhelatan Masquerade; dan seseorang dengan kemampuan pengamatan yang cukup, menghibur diri, bersama bauran masyarakat yang ia temui dalam hidup ini, dalam sebuah perjamuan ekstravaganza, yang dipersiapkan dan dihidangkan, semata-mata demi tujuan itu." jelasnya.

"Perkenankan aku, bercerita tentang Reynard, Sang-rubah!" ia melanjutkan. "Seperti yang engkau semua tahu—walau tidak, usah khawatir, engkau takkan memperoleh nilai E, karena aku berasumsi, engkau semua baik, paling tidak, punya nilai B—Tuan Reynard, Sang rubah yang culas, memamerkan tingkat intelek, yang khabarnya, dahsyat, atau ilmu misteri, dan menggunakannya untuk bermuslihat atau, sebaliknya, melanggar norma-norma normal dan menentang perilaku konvensional. Ia ketahuan mengidap gangguan kepribadian ganda. Di satu sisi, ia pandai dan bestari, di sisi lain, ia bengal dan suka menggombal. Ia dipercaya menguasai syahbandar, yang menjadikannya dipuja-puja para saudagar. 
Konon—entah benar atau tidak, atau ini cuma rekaanku belaka—ketika ia masih muda—selagi ego "rubah" belum menguasainya—ia kebetulan memasuki rumah seorang aktor dan, mengobrak-abrik seluruh isinya, menemukan Kedok Colombina, tiruan kepala manusia yang menakjubkan. Topeng ini, Tapuk Colombina, salah satu gaya Kedok Venetarian, yang dipopulerkan Colombina, atau Columbine, karakter yang tampil berulangkali di Commedia Dell'arte. Secara tradisional, berbentuk setengah kepala, dihiasi dengan beragam hiasan Permata, bulu dan kain. Seringkali disepuh dengan emas atau perak, dan kadang terdapat gagang yang berpita atau bertangkai.
Colombina, bahasa Italia, bila diterjemahkan berarti "burung-dara kecil." Ia dikenal sebagai pelayan dan kekasih Arlecchino, atau Harlequin. Ia mengenakan gaun compang-camping dan ditambal, mirip dengan rekannya, Arlecchino. Ia juga tampil dengan polesan tebal di sekitar mata, dan membawa tamborin, yang bisa ia pergunakan menangkis rayuan asmara Pantalone.
Di masa sekarang, jenis topeng ini, sering dipakai dalam Pesta Topeng dan Pesta Masquerade, karena memudahkan pemakainya, makan dan minum.

Reynard muda meletakkan cakarnya di atas tapuk, mengamatinya dengan seksama, berpikir, lalu ia berkata pada dirinya sendiri, “Betapa tampannya wajah yang kami temukan ini! Alangkah sayangnya, ia tak diperlengkapi dengan otak.” Ucapan Simba, raja para singa, bergema di telinganya, "Wahai Reynard, fokus pembicaraan kontemporer tentang topik kecerdasan atau intelek, lebih mengutamakan kehidupan sekarang dan meningkatkan kemampuan kita, untuk mencapai tingkat pendidikan, serta kedudukan dan prestise yang lebih tinggi. Hal ini, bertolak-belakang dengan konseptualisasi dalam perspektif Islam, yang berkonsentrasi pada pemahaman spiritual. Kata intelek dalam bahasa Arab, 'aql; yang dapat dimaknai ke dalam beberapa kata, antara lain, akal-budi, pemahaman, perenungan, kearifan, wawasan, rasionalitas, pikiran, kecerdasan atau intelek.
Inilah kemampuan naluriah yang diberikan Allah kepada manusia, yang dengannya, kita memahami realitas keberadaan kita, dan dunia ini. Mereka yang menggunakan akal-sehatnya, mampu menalar dan merasionalisasi, sehingga dapat menggapai puncak kebenaran. Islam menekankan akal—salah satu dari lima kebutuhan universal yang hendaknya dipelihara, empat yang lain : iman, kehidupan, keturunan, dan harta benda—karena ia menjadi dasar dimana manusia bertanggungjawab atas pilihannya. Sifat inilah yang mengangkat harkat-manusia di atas ciptaan Allah yang lain, jika karunia ini dipergunakan dengan tepat. Hukum Islam dirancang sedemikian rupa, agar dapat memelihara akal-sehat dan kecerdasan, serta memastikan kesejahteraan dan kebebasannya. Islam melarang penggunaan zat apapun, yang dapat mempengaruhi pikiran secara negatif atau menurunkan kemampuannya, dengan cara apapun.
Islam mendorong kita, agar mengembangkan kecerdasan, merenungkan, serta mengikuti argumen dan bukti rasional. 'Kebebasan berpikir' itu, berkah yang diberikan Allah kepada kita, namun dalam batas-batas tertentu. Pemikiran atau pernyataan pikiran, tak dapat berada di luar batas yang ditentukan oleh Syariah, dan akal itu sendiri, statusnya, tak boleh berada di atas wahyu. Walau sebagian besar agama itu logis, kita hendaknya tak perlu berusaha menjelaskan semuanya, dengan logika semata, sebab ada batasnya. Ada beberapa hal yang berada di luar kemampuan pemahaman pikiran manusia, karena ilmu yang dianugerahkan kepada kita, terbatas. Bahkan, sangat sedikit bila dibandingkan dengan ilmu Allah. Secara umum, Al-Qur'an dan Hadits, seyogyanya menjadi panduan kita, agar dapat memahami dunia ini, dan mengembangkan keyakinan yang tepat.

Ilmu, jelas penting dalam kaitannya dengan pikiran dan keyakinan, itulah sebabnya, ia berstatus mulia. Kita tak dapat sungguh-sungguh memanfaatkan kecerdasan kita, mengambil keputusan yang tepat, tanpa berilmu. Ilmu, tentu saja, juga diperoleh melalui penggunaan pikiran. Kita dapat mengetahui secara spesifik, yang benar dan yang salah, yang diperbolehkan dan yang dilarang, dengan menimba ilmu. Meskipun naluri alami kita, fitrah kita, hanya menyembah Allah, tak mungkin bagi kita, melakukannya dengan benar, tanpa informasi yang rinci.
Tentang pentingnya ilmu, kekasih kita (ﷺ), bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu, kewajiban bagi setiap Muslim.” [Sahih Muslim]
Menuntut ilmu dengan tulus, akan membantu kita menemukan jalan lurus dalam hidup, dan tetap tegak di atasnya. Tanpa ilmu yang sah dan benar, perjalanan hidup kita, akan berantakan dan tak berhasil. Penting memahami perbedaan antara ilmu yang merupakan kewajiban individu, dengan yang merupakan kewajiban bersama. Ilmu yang wajib bagi setiap individu, meliputi pengetahuan dasar agama, seperti pemahaman Al-Qur'an dan Hadits, 'aqidah, perintah agama—sholat, puasa, zakat, hubungan sosial dan sejenisnya—dan ilmu tentang, yang halal dan haram. Ilmu yang wajib bagi masyarakat, hanya perlu dipelajari oleh sebagian masyarakat muslim; kewajiban tersebut, dibebaskan setelah dipenuhi oleh beberapa anggota masyarakat, namun jika tak ada seorang pun anggota masyarakat yang memenuhi kewajiban tersebut, maka setiap orang dalam masyarakat itu, akan dimintai pertanggungjawaban, karena tak mempelajarinya. Kategori ini, mencakup ilmu pengetahuan rinci tentang Islam dan Syariah, ilmu kedokteran, teknik, pendidikan, dan sebagainya.

Umat ​​manusia, selama berabad-abad, telah mendiskusikan dan memperdebatkan makna dan tujuan hidup, dan dalam prosesnya, bagaimana mencapai Hikmah. Dalam istilah sekuler, hikmah didefinisikan sebagai, kemampuan membuat pilihan yang aman dan keputusan yang tepat. Hikmah ini, kecerdasan yang dibentuk oleh pengalaman, atau informasi yang diperhalus oleh pemahaman dan wawasan yang mendalam. Hal ini, sering disertai dengan pengetahuan formal yang luas, namun ilmu duniawi, bukanlah syarat yang diperlukan bagi Hikmah. Fokus kaum sekuler berada pada intelek dan ilmu-pengetahuan, dengan sedikit menyebutkan dimensi spiritual. Perspektif Islam, menitikberatkan Hikmah pada makna spritual dan religi, berdasarkan wahyu Allah, Yang Maha Mengetahui, bahwa Hikmah tertinggi, datangnya dari Allah, karena Dia Maha Bijaksana, Maha Mengetahui. Manusia hendaknya, jangan pernah menganggap bahwa mereka memiliki lebih banyak hikmah dibanding Allah, karena akan jadi musyirik, yang dapat berakibat, mengerikan. Pada kenyataannya, 'hikmah' yang dipunyai manusia, hanyalah turunan dari Hikmah tertinggi Allah. Dia, Subhanahu wa Ta'ala, menganugerahkan hikmah ini, kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Dia menahannya, dari siapa yang Dia kehendaki. Al-Qur'an, salah satu sarana dimana manusia dapat memperoleh sebagian Hikmah Allah yang tersedia. Nabi kita tercinta (ﷺ), dikaruniai bagian khusus dari Hikmah Allah, dan hikmah Rasulullah (ﷺ), pada kenyataannya, Sunnahnya.”

Reynard muda mengitari tapuk itu sekali, lalu berbalik, mengelilinginya lagi, dan lagi, lalu ia berkata, "Duhai kedok yang indah, engkau terlihat rupawan, tebar-pesonamu telah menyebar ke segala penjuru, akan tetapi, pertunjukan lahiriah itu, riya,' pengganti nilai-nilai bathin yang sangat tercela!" Sekali lagi, ia memutarinya, dan berbisik, "Haec fabula de illis dicitur qui gloriam et honorem habent, prudentiam vero nullam. Kedok itu, wajah yang memalukan. Yang engkau butuhkan hanyalah, sentuhan kebijakan yang tepat!"

"Wallahu a'lam."
Rujukan :
- Dr. Aisha Utz, Psychology from the Islamic Perspective, IIPH
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons