Imam Malik, rahimahullah, berkata, "Manusia itu, beragam, ibarat burung, merpati terbang bersama merpati, elang berkawan dengan elang, bebek dengan bebek, dan burung kecil dengan burung kecil. Demikian pula, setiap manusia, bergaul dengan ragamnya sendiri."Imam Syafi'i, rahimahullah, pernah berkata, bahwa hanya ada dua jenis burung, merpati, dan selain merpati. Ibnu Abbas, radhiyallahu 'anhu, pernah memutuskan bahwa jika ada orang yang membunuh seekor merpati di sekitaran Mekah, atau dibunuh oleh orang yang sedang ihram, maka dendanya, seekor domba. Adapun burung selain merpati, dendanya setara burung itu, seharga dimana burung itu terbunuh.Meskipun suaranya seperti dengkuran, suara sang-merpati yang lembut dan merdu, mempesona manusia. Mereka menjentikkan jemarinya, seraya berkata, "Kur ... Kur," memikat sang-merpati agar berkukur, sehingga dapat mendengarnya setiap pagi.Dan dalam pertemuan dengan para unggas, sang-merpati berkukur, melagukan,Sontak, dimanapun engkau tak ditemukan!Aku berbalik dan semuanya telah bersalinMencari jalan penyelesaianKucoba temukan ketenangan mengemudikanPohon ek dimana dulu kubersua denganmuDan torehan diatas prasasti ituMasih kuingat setiap kata ucapanmu"Aku bukanlah serdadu, tapi aku berjuangDapatkah engkau mendengarku dalam lengang?Kutakkan menyerah, karena akan ada hariKita 'kan jumpa lagi!"Setelah mengucapkan salam, sang-merpati membuka dengan, "Segala puji bagi Allah, pujian dan berkah yang berlimpah, semoga Rabb kita, menyayangi dan ridha, dan sebagaimana diperlukan agar tergapai Kemahamuliaan Wajah-Nya. Dan semoga selawat dan salam Allah, tercurah kepada kekasih kita, Rasulullah (ﷺ), keluarga beliau dan para sahabat, radhiyallahu 'anhum.Duhai saudara-saudariku! Kita telah kehilangan seorang saudara, seorang sahabat, seorang dermawan, yang mengabdikan hampir seluruh nafasnya bagi keberlangsungan dakwah, keadilan dan kemanusiaan. Kita mendoakan, semoga Husnul Khatimah, dan semoga Allah melapangkan alam barzakhnya, melindunginya dari fitnah kubur, menjadikan alam kuburnya bagian dari taman Firdaus, merebakkan aroma surgawi di sekeliling barzakhnya, dan kelak, meletakkannya di antara mereka, yang dimuliakan di sisi-Nya. Insya Allah. Amin!Duhai saudara-saudariku! Sebelum kedatangan Nabi kita tercinta (ﷺ), manusia menganut jalan-hidup yang berbeda; Yahudi, Nasrani, Majusi dan Musyrik. Saat Rasulullah (ﷺ) diutus, mereka yang menerima Islam, masing-masing akan diawasi dengan penuh kecurigaan. Mereka dianggap sebagai orang asing di wilayahnya dan di antara suku mereka. Mereka terpaksa menyembunyikan identitas ke-Islam-annya, dan dikucilkan oleh keluarga mereka sendiri. Walau dihina dan direndahkan, mereka tetap menanggung semua yang mereka hadapi dengan kesabaran dan keteguhan iman. Hal ini berlanjut sampai Allah, Subhanahu wa Ta'ala, memuliakan Islam; pengikut dan penolongnya berlipat ganda, penyokong kebenaran, berkuasa, sedangkan penyokong kebathilan, dipermalukan dan ditaklukkan. Itulah mengapa, pada awalnya, Islam itu, sesuatu yang asing.Duhai saudara-saudariku! Nabi kita tercinta (ﷺ), bersabda,بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ"“Sesungguhnya, Islam dimulai dengan keterasingan, dan akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka 'Tuba' bagi para 'Ghuraba.'” [Shahih Muslim]"Islam dimulai dengan keterasingan," bermakna bahwa, sebelum kedatangannya (ﷺ), manusia berada dalam kesesatan. Maka Allah mengutus Rasulullah (ﷺ) guna menuntun mereka ke arah jalan kebenaran.Umat Islam pada waktu itu, lemah, mirip dengan keadaan kita saat ini. Mereka terusir dan keluar dari rumah mereka dan terpaksa mengungsi ke negara-negara terpencil. Mereka dua kali terpaksa hijrah ke Abissinia dan akhirnya ke Madinah. Di antara mereka, ada yang di aniaya dan disiksa, serta dibunuh. Selama masa itu, mereka yang masuk Islam, dianggap "orang asing." Mereka tetap sabar, karena Allah.Kemudian Islam bangkit dan kuat di Madinah. Mereka unggul dalam segala dimensi. Setelah itu, orang-orang mulai berduyun-duyun masuk Islam. Kemudian, Rasulullah (ﷺ) wafat, namun umat Islam tetap teguh dengan jalan-hidupnya. Mereka bekerjasama dan tolong-menolong selama masa Amirul Mukminin, Abu Bakar dan Umar, radhiyallahu 'anhum. Kemudian setan melancarkan makarnya terhadap kaum Muslimin. Ia memunculkan kecemasan dan kenestapaan, dan menyebarkan di antara mereka, hasrat dan keraguan yang dipenuhi syahwat. Cobaan-cobaan ini terus berlanjut, sedikit demi sedikit, hingga sebagian besar makhluk ciptaan Allah ini, terbenam dalam kepatuhan pada iblis. Ada yang terjerat oleh keragu-raguan, ada yang terjerumus karena godaan syahwat, dan ada juga yang terperangkap oleh kedua-duanya.Disebutkan bahwa "Tuba," bermakna "sesuatu yang baik." Allah menyebutkan kata ini dalam Al-Qur'an,اَلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ طُوۡبٰی لَہُمۡ وَ حُسۡنُ مَاٰبٍ“Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-shalih, 'Tuba' bagi mereka dan tempat kembali yang menyenangkan.” [QS. Ar-Ra'd (13):29]Ibrahim An-Nakha'i, rahimahullah, ulama Tabi'in yang masyhur, mengatakan Tuba bermakna "kebaikan bagi mereka." Qatadah berkata, "Bila seseorang mengatakan 'Tuba' untukmu, itu bermakna, engkau telah mencapai sesuatu yang baik." 'Ikrimah dan Mujahid, mengatakan bahwa Tuba berarti "Surga." Dan juga dikatakan bahwa Tuba, menunjuk pada "sebuah pohon di surga" yang Rasulullah (ﷺ) pernah sebutkan, ketika beliau (ﷺ) bersabda,نَّ فِي الْجَنَّةِ لَشَجَرَةً يَسِيرُ الرَّاكِبُ فِي ظِلِّهَا مِائَةَ عَامٍ لاَ يَقْطَعُهَاالْجَنَّةِ لَشَجَرَةً الرَّاكِبُ لِّهَا ائَةَ امٍ لاَ ا“Sesungguhnya, ada pohon di surga (yang sangat besar dan lebar, sehingga) jika ada seorang pengendara-kuda melintasi bayangannya selama seratus tahun, ia belum bisa sampai ke penghujungnya.” [Sahih al-Bukhari]Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah (ﷺ), “Apa itu 'Tuba'?” Beliau (ﷺ) bersabda,شَجَرَةٌ فِي الْجَنَّةِ مَسِيرَةُ مِئَةِ سَنَةٍ ثِيَابُ أَهْلِ الْجَنَّةِ تَخْرُجُ مِنْ أَكْمَامِهَا“Itu sebuah pohon di Surga yang lebarnya perjalanan seratus tahun. Pakaian penghuni surga, berasal dari daunnya.” [Ibnu Hibban; Shahih li ghairihi (shahih karena bukti eksternal) menurut Al-Albani]Duhai saudara-saudariku! Di dunia ini, orang mukmin itu, bagai orang-asing, ia tak berputus-asa bila itu mempermalukannya, dan ia juga tak mengidamkan kemegahan. Orang lain, semuanya seragam, sedang ia sendiri, tampil-beda.Kita, umat Islam, para Ghuraba'. Kita Ghuraba' di antara umat manusia, terasing oleh teman-teman kita, dan bahkan diasingkan oleh negara kita sendiri. Keterasingan yang kita rasakan, merupakan impresi yang dialami para nabi dan rasul.Ketika Nabi Musa, alaihissalam, melarikan-diri, menjauh dari kaum Firaun, ia rehat di Madyan. Ia, alaihissalam, sendirian, cemas dan lapar. Ia berseru, "Rabb-ku! Aku sendirian, sakit dan terasingkan!' Dia, Subhanahu wa Ta'ala, berfirman, "Musa, orang yang sendirian itu, orang yang tak menjadikan-Ku, sebagai kausa pelipur-lara dan kenyamanannya. Orang yang sakit itu, orang yang tak menjadikan-Ku, sebagai Penyembuh-nya. Orang yang terasingkan itu, sesungguhnya orang yang tak mau bersepakat dengan-Ku.”Duhai saudara-saudariku! Ada tiga derajat keterasingan. Yang Pertama, keterasingan para hamba-hamba Allah dan Sunnah Rasul-Nya (ﷺ) di antara makhluk-makhluk ciptaan. Inilah keterasingan yang disanjung Rasulullah (ﷺ), beliau (ﷺ) menyampaikan bahwa agama yang beliau bawa, bermula sebagai sesuatu yang asing, dan akan kembali menjadi sesuatu yang asing, dan bahwa mereka yang mengikutinya akan terasingkan. Keterasingan ini, dapat berada di beberapa tempat dan belum tentu ada di tempat lain, di beberapa waktu dan belum tentu ada di waktu yang lain, di antara satu kaum dan belum tentu ada pada kaum yang lain.Mereka yang mengalami keterasingan ini, sesungguhnya hamba-hamba Allah yang sejati, karena mereka tak mencari sokongan lain selain jejak Rasul-Nya (ﷺ) dan hanya menyeru kepada apa yang beliau (ﷺ) bawa. Mereka, orang-orang yang terpisah dari manusia di dunia ini, walaupun sangat membutuhkannya, dan pada Hari Kiamat, saat semua orang mengejar berhala-berhala mereka, mereka akan tetap menanti Rabb yang senantiasa mereka sembah. Diantara mereka, akan ditanya, "Tak maukah engkau mengikuti yang lain?" Mereka menjawab, "Kami berpisah dari manusia di dunia, meskipun saat itu, kami sangat membutuhkan mereka dibanding saat ini, sekarang, kami hanya menantikan Rabb kami, Yang sedari dulu kami sembah."Keterasingan ini, tak disertai dengan kesepian atau rasa-keanehan yang nyata, sebaliknya orang ini, merasakan bahwa dirinyalah yang paling nyaman di saat orang-orang menghindarinya, dan merasakan keterasingan yang dahsyat bila orang lain berusaha mendekatinya. Hal ini karena Allah, Sahabat dan Pelindungnya, seperti Rasul-Nya (ﷺ) dan orang-orang yang beriman, meskipun karena hal ini, hampir semua orang, pada akhirnya menentangnya dan memperlakukannya dengan kasar.Salah satu sifat orang-asing ini, berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah, meskipun orang lain menjauhinya. Mereka mensucikan Tauhid, bahkan jika mayoritas orang mencela mereka karenanya. Mereka menjauhkan-diri dari memuja siapapun—kecuali Allah, dan mengikuti jejak Rasul-Nya (ﷺ)—baik itu Raja, Perdana Menteri, Presiden, Syekh, Tariqah, Madzab, maupun kelompok; sebaliknya, mereka menjadi abdi-dalem Allah dan Sunnah Rasul-Nya (ﷺ). Orang-orang ini, benar-benar memegang bara-api yang memerah; kebanyakan orang—bahkan semuanya—mencela mereka, mengasingkannya dan memisahkannya dari kelompok mayoritas.Kedua, keterasingan yang tercela, keterasingan penganut kebathilan dan para penganut kezhaliman, jika dibanding dengan para penganut kebenaran. Inilah keterasingan yang hakiki, meskipun pengikutnya banyak. Merekalah yang sesungguhnya, yang merasakan kesepian dan ketersesatan itu, meskipun mungkin, mereka menemukan kenyamanan di antara orang-orang yang mengelilinginya, mereka mungkin tenar diantara manusia di bumi ini, namun tak dikenal oleh para penduduk langit.Ketiga, derajat yang dimiliki oleh semua orang, keterasingan dari tanah-airnya sendiri, ini dengan sendirinya, tak terpuji ataupun tak tercela. Seluruh umat manusia itu, orang-asing di dunia ini, karena dunia ini, bukanlah maqam yang kekal; dunia ini, bukanlah maqam dimana mereka dicipta.Duhai saudara-saudariku! Ingatkah engkau akan sebuah hadits palsu, “Cinta tanah-air itu, bagian dari Iman?” Pernyataan ini, sebuah ungkapan. Namun, makna dari pernyataan itu sendiri, sepertinya kurang tepat. Para ulama telah membahas berbagai makna ungkapan ini. Yang mendekati kebenaran, bila digunakan sebagai pepatah, maka akan benar dalam artian bahwa, tanah-air itu, merujuk pada tempat-asal manusia, Surga. Oleh sebab itu, menurut para ulama, kecintaan terhadap tanah-air yang tulen ini, bersumber dari aspek Iman. Jika pepatah ini dipergunakan dalam artian lain, semisal untuk menumbuhkan cinta dogma nasionalisme dan semangat kepartaian, akan tak disukai oleh Dien kita. Hal ini, berbeda dengan menghalau penjajah, karena Islam memerintahkan agar penindasan tak boleh ada di muka Bumi ini. Wajib bagi seorang Muslim, mempertahankan negeri, harta-benda dan keluarganya, dari para penindas.Kenyataannya, orang mukmin itu, orang-asing di dunia ini, karena leluhurnya, Nabi Adam, alaihissalam, dulunya tinggal di alam keabadian itu, kemudian terhalau darinya. Maka, ia selalu merindukan kembali ke tanah-airnya. Dan ia selalu bersiap-siap kembali ke rumah dimana dulu ia pernah terusir.Orang-orang mukmin, di dunia ini, laksana orang-asing, setiap orang dari mereka, melintasi tanah yang bukan miliknya, merindukan tanah-airnya, dan hari dimana ia akan kembali ke sana. Ia mempersiapkan segala yang diperlukan guna perjalanan pulang ke rumah. Ia takkan mau bersaing mendapatkan kedudukan dengan orang-orang di tanah yang ia lewati. Ia juga takkan bersedih saat mengalami perlakuan-buruk selama berada di antara orang-orang itu.Insya Allah, setelah mereka semua sampai di tanah-air, mereka akan saling-jumpa lagi. Wallahu a'lam.”Setelah menutup dengan salam, sang merpati berkukur, melagukan,Gulita berganti terbitnya sang-mentariHalimun berganti birunya jagad iniKelamnya bumantara berganti bintang-kemilauPerkasa dalam lubuk-qalbuEngkau tetap jadi penyemangat-hidupkuKumerasakanmu, dimanapun keberadaanmuPohon ek dimana dulu kubersua denganmuDan torehan diatas prasasti ituMasih kuingat setiap kata ucapanmu"Aku bukanlah serdadu, tapi aku berjuangDapatkah engkau mendengarku dalam lengang?Kutakkan menyerah, karena akan ada hariKita 'kan jumpa lagi!"
Rujukan :
- Al-Hafidh Ibn Rajab Al-Hanbali, The Ghurabah: The Strangers, Amazon
- Ibnu Rajab Al-Hanbali & Imam Al-Ajurri, The Journey of the Strangers, Dar As-Sunnah
- Al-Hafidh Ibn Rajab Al-Hanbali, The Ghurabah: The Strangers, Amazon
- Ibnu Rajab Al-Hanbali & Imam Al-Ajurri, The Journey of the Strangers, Dar As-Sunnah