Jumat, 30 Juli 2021

Pungguk dan Rembulan

Di belantara luas, belantara-muslihat, yang terliar dari yang terliar, yang terkeji dari yang terkeji, dimana para-benalu tumbuh subur, lolongan serigala tergantikan oleh lolongan anjing-piaraan, bernama Kota, hiduplah, di sebuah lorong sempit, di sebuah rumah reyot sempit, di kamar sewaan sempit, Pungguk yang malang. Kamarnya, terletak di bagian atas rumah, dengan pemandangan lepas di antara atap-atap tetangga. Selama hari-hari pertama kepergiannya menetap di Kota, ia merasa lesu, dan menyendiri. Alih-alih hutan dan perbukitan hijau semasa di dusun, yang ada cuma, panorama belantara pencakar-langit, tinggi menjulang. Dan lantas, ia tak punya satu teman pun; tiada satupun raut-wajah, yang akrab menyambutnya.

Kemudian, suatu malam, ia duduk di samping jendela, dalam suasana hati yang galau; ia membuka tingkapnya, dan melongok keluar. Duhai, betapa hatinya terlibur oleh sukacita! Walhasil, nampaklah wajah yang masyhur, rupa bulat dan ramah, ciri seorang teman baik, yang ia kenal di dusun. Rupanya, Rembulan menyapanya. Ia sama sekali tak meluntur, Rembulan-dalu tersayang, dan romannya, masih serupa dengan yang biasa ia tunjukkan, saat dirinya mengintip dari balik pohon dedalu, di tegalan. Binar Rembulan menggermang masuk ke dalam kamarnya yang sempit; dan Rembulan, dalam perannya, berijab pada Pungguk, bahwa setiap senja, saat ia telah menyembul, ia akan menemui Pungguk walau sebentar. Ikrar ini, telah ia tepati dengan tawaduk.

Sangat disayangkan, Rembulan hanya boleh tinggal selintas ketika ia berlabuh. Setiap kali muncul, ia menyampaikan sesuatu, atau hal-hal yang dilaluinya, pada malam sebelumnya, atau pada malam yang sama. "Buatlah sketsa adegan-adegan yang kupaparkan padamu," inilah yang ia ucapkan pada Pungguk, "Dan, engkau akan punya sebuah kitab arketipe yang amat indah."

Pungguk telah mengikuti arahan Rembulan selama beberapa senja. Bahkan ia mampu menyusun "Seribu Satu Malam" tandingan, dengan caranya sendiri dari visualisasi ini, tapi mungkin, jumlahnya tak terhitung. Sketsa yang ia berikan di sini, tak dipilih secara acak, melainkan sesuai urutan, seperti yang dijelaskan kepadanya. Ada pelukis berbakat yang hebat, atau penyair atau musisi, mungkin akan membuat sesuatu, yang melebihinya, jika mau; apa yang telah ia berikan di sini, cuma potret-potret singkat, dengan tergesa-gesa diletakkan di atas kertas, diselingi dengan sedikit fikrahnya sendiri; sebab Rembulan tak menemuinya setiap malam, sang-gegana terkadang, menangkup wajah Rembulan dari pandangan Pungguk.

Pada malam pertama, Rembulan berapolog,
“Suatu ketika, terjadi pertikaian antara Batin dan beberapa bagian tubuh. Batin, atas nama para kliennya, Otak, Mata, Telinga, dan Mulut, melakukan tindakan hukum terhadap Perut, tergugat I, Amarah, tergugat II, Kaki dan Tangan, tergugat III. Para tergugat, menunjuk Syahwat, sebagai Pembela mereka.
Batin menggugat mereka, dengan tuduhan bahwa para terdakwa, secara bersama-sama, menimbun makanan dan menikmatinya. Perut, karena rayuan Amarah, terus menuntut lebih banyak makanan lezat, dengan rakus. Perut—melalaikan kewajibannya—tak mendistribusikan makanan ke seluruh Tubuh, kecuali Kaki dan Tangan. Satu-satunya hal yang tampak dilakukan Perut, tanpa malu-malu, bersendawa di saat kenyang.

Sidang pertama, ditunda atas permintaan para terdakwa. Selama penundaan, mereka berusaha melobi Batin, namun tak berhasil. Sidang kedua, ditunda juga, pula atas permintaan para terdakwa. Untuk kedua kalinya, mereka berjerih-payah membujuk Penuntut, walakin, gagal maning.
Sidang ketiga, hakim yang bijak, Qalbu, berkata, "Agar persidangan berjalan adil, kami akan menghadirkan saksi dari kedua belah pihak. Pertama-tama, kami meminta Batin, menghadirkan saksi pertama!" Batin menjawab, "Yang Mulia, kami hadirkan Otak!"

Dan Batin bertanya pada Otak, "Wahai Otak, untuk apa engkau dicipta?" Otak mengilustrasikan, "Kami, Otak, sebuah Majelis, yang dikenal sebagai pusat kendali utama. Kami memiliki kendali penuh atas pikiran, tindakan, perasaan, dan ingatan. Kami dirahmati dengan kemampuan berakal, perspektif berpikir kritis, dengan tujuan, menemukan kebenaran dalam segala hal, dan menolak yang batil.
Pikiran berhubungan dengan otak. Kedua istilah tersebut sering digunakan secara bergantian. Otak ditanggap sebagai hal fisik, pikiran dipersepsikan sebagai mental. Otak terdiri dari sel-sel saraf dan dapat diraba, sedangkan pikiran, tak dapat disentuh. Otak itu, sumber ilmu kedua setelah Wahyu. Oleh karenanya, dalam kaitan ini, metode berpikir, terkait langsung dengan tujuan Islam dan Syariahnya, serta mengimplikasikan hal-hal yang penting, terhadap pemahaman dan pengembangan Syariah, sebagai bidang ilmu yang dinamis.
Yang Mulia, dalam kasus ini, kami menjadi korban. Amarah, bersekongkol dengan Perut, memaksa kami, menimbang semata urusan duniawi, menjadikan kami menalarkan "lapar" dan memutuskannya untuk mendikte Perut, meminta lebih banyak makanan. Namun, kesadaran kami, tiada henti bertanya, “Sampai sejauh manakah Perut bisa diisi?” Paling tidak, cuma untuk meluruskan punggung ini. Namun, Amarah memaksa kami menanamkan benih tentang tiga hal, tahta, tahta, dan tahta. Semua ini, menimbulkan, pengingkaran keberadaan kami."

Selanjutnya, Mata bersaksi, "Yang Mulia, kami, Mata, titik masuk paling cepat langsung ke qalbu, dan berpengaruh kuat atas pikiran, emosi, dan kesejahteraan-batin. Ketersediaan penglihatan, secara instan, saat kelopak mata terbuka, membuat kita pangling, bahwa lubang ke qalbu telah terbuka. Ternyata, mata, satu-satunya anggota tubuh, yang tak memerlukan periode 'pemanasan' agar berfungsi penuh.
'Cinta pada pandangan pertama' sering dicap sebagai konsep 'cantik', namun bila engkau merenungkannya, akan agak menakutkan. Sekilas pandangan, maka qalbumu berpotensi terpesona, kekayaanmu, darahmu, dan keringatmu, kan terikat pada seseorang, dan masa depanmu, kan sungguh-sungguh terbelenggu. Kami, mata, sangat kompleks dan menempati urutan kedua setelah kompleksitas otak. Fungsi sensitif dan kritis seperti itu, tak dapat diberikan tanpa instruksi yang tepat tentang cara menggunakannya.
Yang Mulia, dalam kasus ini, kami menjadi korban. Kami tak diperkenankan melihat kebenaran. Mereka yang mewujudkannya dalam kata-kata, poster, atau bahkan mural, jika nadanya sama, diberangus, kecuali sebingkai foto penguasa yang dipuja-puja. Semua ini, menyebabkan, penolakan keberadaan kami."

Telinga kemudian bersaksi, "Yang Mulia, telinga itu, organ pendengaran. Indera pendengaran, salah satu sarana memperoleh pengenalan. Kami mendengar sesuatu, lalu dicatat dalam pikiran. Mendengar dapat dianggap lebih penting dibanding melihat, ia dianggap sebagai sensasi-sosial, sebab kunci memahami, mempercayai, dan mengamalkan sesuatu itu, pendengaran.
Yang Mulia, fungsi terpenting pendengaran itu, mendengarkan dan menaati perintah Allah dan Rasul-Nya (ﷺ). Dalam kasus ini, kami menjadi korban. Kami hanya diizinkan mendengar irama-lagu para penjilat dan penyanjung, jika tidak, kami akan disumpal dengan kapas. Semua ini, diterapkan, sebagai peniadaan keberadaan kami."

Terakhir, Mulut bersaksi, “Yang Mulia, mulut berfungsi sebagai pintu gerbang masuknya makanan halal ke perut. Selain itu, sebagai pintu keluar suara-suara kebenaran. Untuk mendapatkan kekuatan jasmani dan rohani yang benar, hanya makanan halal, dan makanan sehat atau tayyib, dikonsumsi. Halal bermakna, makanan yang diperoleh secara legal, berbeda dengan makanan yang dicolong. Dalam hal daging, berarti diperoleh menurut cara penyembelihan hewan yang diperbolehkan. Makanan yang tak legal, berdampak buruk pada sifat orang yang mengkonsumsinya Memakan makanan haram, seperti makanan curian, akan menghambat kesehatan spiritual dan moral seseorang.
Makan tak boleh terburu-buru dan hendaknya terukur. Seseorang, sepantasnya tak mengisi penuh perutnya. Rasulullah (ﷺ) memerintahkan kita agar mengisi hanya sepertiga dari perut kita dengan makanan, dan sepertiga dengan air-minum, membiarkan sepertiga sisanya, hampa. Makanan itu, anugerah Allah. Kita layak mengkonsumsinya dengan kerendahan-hati dan moderasi, dan selalu bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya.
Yang Mulia, dalam kasus ini, kami menjadi korban, alih-alih makan makanan halal dan sehat, kami disuguhi makanan aneh, semisal aspal, beton, minyak, batu-bara, timah, dan emas. Yang paling mengerikan, kami bahkan ditawari melahap dana bantuan sosial bagi kaum dhu'afa. Dan sesuatu yang paling menakutkan, yang kemungkinan besar akan terjadi, kami diharuskan menenggak, Vaksin. Semua ini, menghasilkan, penyangkalan keberadaan kami."

Setelah itu, Syahwat dipersilahkan menghadirkan saksi. Amarah berbisik pada Syahwat, "Bro! Semua kesaksian korban, mengandung bukti yang kuat, kita tak sanggup menandinginya. Apa yang harus kita lakukan?" Syahwat berkata, "Tenang Bro! Aku akan memohon kepada Hakim, menunda persidangan, jadi, kita punya waktu, menyogok Batin dan kliennya." Lalu, ia meminta kepada Hakim, "Yang Mulia, kami masih memerlukan waktu guna persiapan saksi, mohon agar menunda persidangan!"
Sebagai Hakim, Qalbu menjawab, "Tak ada penundaan lagi bagi sidang ini, harus selesai hari ini." Amarah, berang, "Yang Mulia, ini tidak adil, kami semestinya diberi kesempatan membela-diri." Syahwat menambahkan, "Yang Mulia, jika kami tak diberi penundaan, kami akan protes," sembari menyuruh Amarah, Perut, Kaki dan Tangan, duduk di lantai. Dengan tenang, Qalbu, duduk di lantai, bergumam, "Sopooo Hakime, awakmu ta aku seeh?" Agar menghormati hakim, Batin dan para kliennya, pun melantai. Qalbu berpesan, "Tak ada yang boleh keluar ruangan. Jika waktu shalat telah tiba, kita kan tunaikan dengan shalat berjamaah, di pelataran ini!"

Tengah-malam berlalu, Syahwat, Amarah, Perut, Kaki dan Tangan, mulai merasa resah dan lunglai, tak ada asupan makanan. Mereka menoleh ke arah Qalbu, Batin dan para kliennya, semuanya tenang, duduk bersila, di lantai. Syahwat bertanya kepada Hakim, "Yang Mulia, bagaimana bisa engkau bertahan?" Qalbu menjawab, “Aku berdzikir, dan itu cukup bagiku.” Amarah bertanya pada Batin, "Dan engkau Bro!" Dengan mata terpejam, Batin menjawab, "Aku berdzikir, dan itu cukup bagiku dan para korbanmu!"

Lantas, Qalbu beranjak, duduk kembali ke kursinya, berkata, "Baiklah, kita kan mulai persidangan!" Syahwat memprotes, "Tapi Yang Mulia, kami kan minta penundaan?" Qalbu menjawab, "Kami telah mengabulkan permohonan penundaan selama sehari, kemarin, dan hari telah berganti, sekarang, hari baru. Njaluk tundho maneh? 'Rah iso! Selanjutnya, kami akan membacakan putusan."
Pada saat itu, Qalbu memutuskan, "Setelah mendengar keterangan para saksi, kami memutuskan, bahwa para Terdakwa, bersalah melanggar nilai-nilai moral Tubuh. Oleh sebab itu, Pengadilan menjatuhkan hukuman kepada para terdakwa sebagai berikut,

Tergugat I, Perut, divonis menjalani
  1. Membagikan kembali, makanan kepada seluruh anggotanya;
  2. Anjuran berpuasa, setiap Senin dan Kamis, atau puasa Ayyamul Bidh, pada tanggal 13, 14 dan 15, dalam hitungan bulan Hijriah. Dan wajib berpuasa di bulan Ramadhan, selama sebulan penuh, tanpa pengurangan apapun. Secara moral, Puasa itu, pelatihan-diri, ia mengajarkan kita pengendalian-diri, kepercayaan-diri, kepuasan dan ketekunan;
  3. Memecat koleganya, Amarah, dan tak diperbolehkan melangsungkan kontak, dengan alasan apapun, dan dengan cara apapun.
Tergugat II, Amarah, divonis menjalani hukuman pengekangan.

Tergugat III, Kaki dan Tangan, divonis menjalankan segala tugas dan kewajibannya, sesuai fitrahnya.

Hakim menambahkan, “Adapun Syahwat, telah bertindak “Contempt of Court,” yaitu ketidaktaatan, atau ketidakhormatan, terhadap pengadilan dan pejabatnya, dalam bentuk perilaku yang membantah atau menentang otoritas, keadilan, dan martabat pengadilan, dengan demikian, pengadilan memutuskan, mencabut izin kepengacaraannya, sampai ia sadar sepenuhnya."
Hakim, sejak saat itu, menutup kasus ini."
Rembulan menyimpulkan, “Duhai Pungguk! Negara itu, ibarat sebuah tubuh, jika setiap komponennya menjalankan amanah Allah, tak menutup kemungkinan, tabir Masyarakat yang Adil dan Makmur, Insya Allah, akan tersingkap. Wallahu a'lam.”
Kutipan dan Rujukan:
- Capt. Anas Abdul-Hameed Al-Qoz, Men and The Universe - Reflections of Ibn Al-Qayyem, Darussalam
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin
- H.W. Dulcken, Ph. D, What the Moon Saw and Other Tales by Hans C. Andersen, George Routledge and Sons.

Selasa, 27 Juli 2021

Sekarung Taktik

Suatu hari, di sebuah kedai, para unggas sedang mengomongkan ihwal pemberitahuan Raven, bahwa Agenda Pariwisata, selayaknya ditunda, lantaran pelaksanaannya, belum memungkinkan. Raven lebih lanjut mengajukan pertimbangan yang dapat diterima, dan memutuskan bahwa, acara tersebut, yang akan menampilkan aktor dari luar Negeri, akan diselenggarakan pada warsa berikutnya.
Tatkala mereka membincangkan kata-putus Raven, Gagak memasuki kedai, dan menongkrong di penjuru. Para unggas tak terlalu memperhatikan, mereka asyik dengan percakapan masing-masing. Salah seekor unggas, yang memperhatikan Gagak, berkata kepada yang lain, "Bro! Vernacular puak manusia, menyebutkan bahwa, suatu kebiasaan umum di antara cucu Adam, berujar perihal yang hak dan layak, namun berperilaku sebaliknya. "
Unggas lain menanggapi, "Benarkah? Sampaikan lebih banyak lagi!" Yang lain menimpali, "Ya... mohon jelaskan!" Sang unggas menjawab, "Petik ini! ...
Reynard, sang rubah, dan Puss, sang kucing, yang bepergian bersama, memuslihati kebosanan lawatan mereka, dengan beraneka cakapan filosofis. “Dari segala kebajikan moral,” seru Reynard, “Welas-asih itu, pastilah, yang paling mulia! Bukankah begitu, kawan bijakku?” "Tak diragukan," jawab Puss, dengan rupa yang tersantun; "Tiada yang lebih berperikemakhlukan, sepeka apapun, selain watak welas-asih."
Selagi mereka bermoral dan saling-mengalem atas kearifan-budi masing-masing, seekor Serigala melesat keluar dari hutan, ke haluan sekawanan domba yang sedang mencari-makan di padang rumput yang tak jauh, dan tanpa terpengaruh secuilpun pun oleh ratapan seekor anak domba yang malang, melahapnya di depan mata mereka.
“Kekejaman yang mencekam!” seru Puss. "Mengapa ia tak memakan hama, bukann menyantap makanan hasil kebiadabannya pada makhluk tak berdosa itu?" Reynard sepakat dengan kolega observasinya, yang menambahkan tinjauan teramat menyedihkan tentang sifat tercela oleh perangai-keji.
Sifat naik-pitam mereka, dalam hal bara dan gairah, lantas memuncak, saat tiba di sebuah pondok kecil di pinggir jalan, dimana Reynard yang welas-asih, seketika mengarahkan adicitanya pada seekor ayam jantan, yang sedang bolak-balik di pelataran. Dan kini, sebagai kata-perpisahan, ia melampaui batas, dan tanpa ragu, menghabisi cendera-matanya, dalam sekejap. Sementara itu, seekor tikus montok, yang berlari keluar dari kandang, sungguh menguapkan filosofi sang-Puss, yang terbenam dalam jamuan-makan, tanpa rasa simpati, walau secolek.
Tiba-tiba, Gagak berseru, "Ia pembohong!" Para unggas terpana, satu dari mereka berkata, "Hati-hati Gagak! Yang Mulia, Nuri, akan tersinggung!" Yang lain bereaksi, "Betul, kita semua maklum, yang dikenal sebagai Pembohong itu, Nuri!" Yang lain mengakui, "Setuju, cuma dirinyalah, semata-wayang!"
Mengabaikan ocehan tersebut, Gagak berargumen, "Menunda Agenda Pariwisata tahun ini, bukanlah hal yang cerdas!" Gagak menambahkan, "Ia kira, ia sangat pintar? Ia bertingkah seolah-olah tahu lebih banyak dibanding aku? Ia hanya kenal satu taktik, sedang aku, lebih paham sekarung penuh taktik!"
"Begini," sanggah satu unggas, "Kuakui, ia hanya mengerti satu taktik tertentu, tapi yang satu itu, mari kuberitahu, bernilai seribu taktikmu!" Yang lain berkata, "Jika paham banyak taktik, buktikan saja!" Gagak menantang, "Mari kita buktikan, aku mengundang engkau sekalian, cari jalan apapun, menguji taktikku!" Para unggas berunding, lalu berkata, "Lihat di luar sana, ada banyak unggas berkelompok. Mari kita lihat, apa yang mampu engkau lakukan terhadap mereka!"

Di luar, seekor unggas, berdiri di bangku, mengumumkan, "Perhatian ... perhatian! Gagak akan menyatakan sesuatu, dengarkanlah!" Maka, para unggaspun menanti taktik yang akan Gagak buat. Namun, sangat banyaknya taktik yang Gagak rencanakan, ia tak bisa memutuskan, mana yang layak dicoba terlebih dahulu. Ia berlari kesana, kemari, tiada lain selain kesia-siaan. Serasa lama bermimpi sampai-sampai salah-satu mengeluh, "Mana taktiknya!" Yang lain bergabung, "Kami menunggu!" Yang lain berteriak, "Huuu!" Dan karenanya, es krim, sisa-sisa junk-food, kertas pembungkus, ampas minuman-ringan, dan banyak sampah lainnya, dihempaskan ke paras sang Gagak.
Seekor unggas berkata, "Hei Gagak! Lihat ini!" Kemudian ia berseru kepada para unggas, "Gaes! Perhatikan ini! Kalian semua, kenal Nona Merak, kan? ... "Tentu saja, siapa yang tak mengenalnya?" ... "Ya, orang dungu juga kenal! " ... "Ia foto-model!" ... "Aktris!" ... "Multi-talenta!" ... "Influenser!" ... "Politisi!" ... "Betul, jika dikehendaki!" ... "Tergantung ...!" ... "Duit mengomong!" ...
"Hari ini, Nona Merak meresmikan sebuah toko. Sepantasnya, kalian menyaksikan!" Para unggas menjawab, "Memikat! Mohon, tunjukkan kami tempatnya!" "Oke!" lugas sang-unggas, "Tapi dengan satu syarat, engkau sekalian, harus mengikuti jejakku, bernyanyi!" Mereka setuju, dan sang unggaspun jadi dirigen dadakan, 
I am just a poor boy
[Aku cuma anak-melarat]
Though my story's seldom told
[Walau kisahku jarang dilakonkan]
I have squandered my resistance
[Kusia-siakan penentanganku]
For a pocketful of mumbles
[Demi sekocek ocehan]
Such are promises
[Sepantun janji-janji]
All lies and jest
[Segala dusta dan banyolan]
Still, a man hears what he wants to hear
[Tetap saja, insan ingin dengar yang kepingin ia dengar]
And disregards the rest *)
[Dan abaikan lainnya]
Ditinggal sendiri, sembari duduk di trotoar, sang Gagak melantunkan,
Hello darkness, my old friend
[Halo ketaksaan, konco lawasku]
I've come to talk with you again
[Kudatang berbincang kembali denganmu]
Because a vision softly creeping
[Karena sebuah bayang merambat perlahan]
Left its seeds while I was sleeping
[Tinggalkan benihnya saat kuterlelap]
And the vision that was planted in my brain
[Dan bayang itu, tertancap dalam benakku]
Still remains
[Masih tersisa]
Within the sound of silence **)
[Dalam bahana keheningan]
Di dalam kedai, para unggas membahas, "Ia yang menyusun muslihat terhadap sesama, umumnya, makhluk dungu terbawah. Bagi siapa yang menguasai sedikit judgement dan wawasan mengenai hal apapun, seyogyanya, ia simpan dulu, dan memanfaatkannya, saat ia melihat peluang; sebaliknya, janganlah ia pertontonkan kepada orang-lain dalam ketergesa-gesaan dan kecongkakan.
Keberhati-hatian yang baik dan tepat, yang dimanfaatkan di saat-saat kritis, akan menjadikan seseorang lebih bermanfaat, dan akan meninggalkan kesan yang lebih baik, dibanding meluncur begitu saja bagai bandit licik dan cerdik, dan akhirnya, cuma jadi gelembung-gelembung sabun.
Saat seseorang sedemikian dungunya, merendahkan koleganya, dengan tampak seolah bijak dan punya berlimpah taktik dibanding orang-lain, khalayak cenderung menghalanginya, menunjukkan kemampuannya; dimana, saat ia tergelincir—dan sangat mungkin itu terjadi padanya—kemalangannya, alih-alih dibelas-kasihani, malah jadi bahan tertawaan.
Ia yang ingin unjuk gigi—sebuah ungkapan, yang umumnya, sangat berhasrat akan mangsanya, atau dengan bangga mempertontonkan muslihatnya—sering memajang dirinya ke perangkap yang lebih tajam dibanding dirinya, dan terkena sendiri kekonyolan dari orang yang rencananya, akan ia konyolkan."
Yang lain memadukan, "Akal-sehat yang bersahaja, dan kejujuran yang sungguh-sungguh itu, panduan yang lebih baik sepanjang hidup, dan perisai yang lebih terpercaya terhadap bahaya, dibanding akal-bulus gigi rumpang, dan hilangnya kecerdasan. Akal-bulus itu, sifat yang sangat menjerat, dan merupakan tanda kerdilnya kejeniusan; meski itu berhasil, akan sering menjadi pretensi yang membutakan kearifan; di sisi lain, kebersahajaan perilaku itu, sekutu integritas, dan akal-sehat itu, walau tak terlalu cantik, syarat utama kearifan."

"Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan :
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
*) "The Boxer" karya Paul Simon
**) "The Sound of Silence" karya Paul Simon

Jumat, 23 Juli 2021

Bila Raja Tupai Berhikayat

Hari itu, hari yang cerah dan ceria, seekor unggas berkata kepada yang lain, "Hei! Ingin dengar sesuatu yang menarik tentang Hikayat?" Yang lain menjawab, "Ya tentu saja!" ... "Ide bagus!" ... "Beri, berikanku, sebuah hikayat!" ... "Aku menunggu!" ... "Yo, dengarkan,
Suatu hari, dari semua raja-satwa, diharap berkumpul, dalam Sidang Umum, difasilitasi oleh sebuah organisasi internasional, yang disebut Para Bapak Bapak atau PBB. Organisasi ini, organisasi internasional hewani terbesar dan paling beken sedunia.
Setiap raja-satwa, diperkenankan bersuara, tentang apa saja, pokoknya menginspirasi. Dan satu demi satu, para raja menyampaikan pidatonya. Saat giliran Raja Tupai, Lynx, yang menjabat sebagai Sekjen PBB berkata, "Sekarang, kami mengundang Raja Tapai, tampil di mimbar!" Salah seekor anggota dewan, Kuilu, berbisik, "Yang Mulia, bukan Tapai, melainkan Tu-pai!" Lynx dengan santai berkomentar, "Ya... biar saja, aku tahu!"

Merasa diremehkan, Raja Tupai menolak beranjak dari kursinya, meski petugas majelis telah memberi isyarat. Ia berharap, Pak Sekjen melakukan koreksi, dan juga semoga, sekutu, kolega dan rekan bisnisnya, Panda, mendukungnya. Ia melirik sedikit, tampak Panda sedang sibuk mencatat. Pak Sekjen mengulangi, "Yang merasa diberi kesempatan berpidato, di-per-si-la-kan!" Masih tak bergeming, Raja Tupai menoleh ke arah Panda, kelihatan sibuk dengan sempoa-nya. Sekali lagi, Lynx mengumumkan, "Kalo kagak mau, kagak ape-ape!" Gelagapan, Raja Tupai menengok sang-Panda. Rupanya, ia sedang asyik bermain mahyong.
Dengan alibi, tak ingin kehilangan momen, Raja Tupai mulai berpidato, "Yang Mulia Sekretaris Jenderal! Hadirin sekalian! Semua Raja telah menyampaikan pidatonya, maka, perkenankan kami, menyajikan sebuah hikayat, yang mungkin menginspirasi. Begini Hikayatnya,

Saat senja, Raja pulang ke istana, dari berburu, dan Permaisuri berdiri menyambutnya, dan mereka duduk. Setelah jamuan, Permaisuri mulai membicarakan seorang Pangeran muda yang akan dihukum. Sang pangeran muda, dituduh berbohong, sebab memaklumkan di hadapan publik, bahwa ia sehat wal-afiat. Menurut para-tabib resmi, berdasarkan 'tes-laboratorium,' ia berpotensi tertular penyakit. Akan tetapi, tudingan tersebut, dibantah secara luas oleh beragam kalangan.
Raja berkata, "Hari ini juga, jika ada salah seorang wazirku yang memohonkan ampunan untuknya, akan kupenjara." Permaisuri berkata, "Tidakkah engkau sadari, selama ini, engkau tak mempercayaiku? Dengar, sekarang mereka semua berkomplot, mereka ingin melepaskan pemuda ini dari tanganmu, dan membebaskannya, bahwa setelah itu, saat mereka punya kesempatan, mereka akan menuntaskan makarnya.
Duhai raja, malam ini aku melihat dalam mimpiku, bahwa engkau sedang duduk di atas tahtamu, saat seekor naga berbisa, muncul di hadapanmu; Aku menghitung, berkepala empat-puluh, yang masing-masing berbisa, dan di belakangnya, beringsut sejumlah ular yang tak terhitung jumlahnya. Dan mereka berdatangan hingga sang-naga menyambar Raja dan singgasananya, akan tetapi, sang-naga tak mampu menelannya, dan karenanya, ia memuntahkannya. Tiga kali, yang demikian itu ia lakukan, dan akhirnya, tak berhasil, ia menggabungkan seluruh bisa yang ada di empat-puluh kepalanya, dan saat ia akan menyemburkan racunnya, aku berteriak dari seberang, 'Wahai Raja, sang-naga menyemburkan racun!' Dan akupun terisak sampai aku terbangun oleh ketakutan.” Lantas, Rajapun ikut ketakutan, dan ia berkata, “Bagaimana penafsiran mimpi ini?” Sang-bini menjawab, “Duhai raja, penafsiran mimpi ini jelas; sang-naga, itulah sang-pemuda, dan empat-puluh kepala itu, para wazir-mu, masing-masing berpeluh racun, dan kumpulan ular itu, rakyat jelata yang mengikutinya; sang-naga yang tiga kali berusaha menelanmu, pemuda itu lagi, yang bermaksud jahat terhadapmu, dan tak berhasil karena ia lemah, dan usahanya menyemburmu, racun yang ada di empat puluh kepalanya, itulah empat-puluh wazir yang bersatu, dan keinginannya membunuhmu dengan pertolongan mereka; dan tangisanku itu, perkataanku yang setiap hari mengucapkan, 'Duhai raja, waspadalah! Waspadalah!.' 
Inilah tafsir mimpiku. Duhai Raja, berhati-hatilah terhadapnya, ikuti nasihatku; setiap hari engkau berkata, 'Aku akan membunuhnya;' namun engkau tak kunjung membunuhnya. Kisahku bersamamu, laksana kisah seorang raja dan seorang penenun." Raja berkata, "Sampaikanlah, mari kita dengarkan." Permaisuri berkisah,

“Dulu, ada seorang Raja yang agung. Suatu hari, seorang lelaki datang menghadap dan berkata, 'Rajaku, aku akan menenun serban untukmu, sedemikian rupa, sehingga orang yang dilahirkan karena pernikahan, dapat melihatnya, sedangkan para-bedebah, tak dapat melihatnya.' Raja terkagum dan menitahkan, bahwa sang-penenun, harus menenun serban tersebut; dan sang-penenun berhak menerima tunjangan dari Raja dan boleh menetap.
Suatu hari, sang-penenun melipat sisi ini dan sisi itu, dari sebuah kertas, dan membawanya, kemudian meletakkannya di hadapan Raja, lalu berkata, 'Baginda, aku telah selesai menenun serbannya.' Maka, Raja membuka kertas tersebut, tak melihat apapun; dan para wazir dan bangsawan yang berdiri di sana, melihat ke atas kertas, tak jua menemukan apapun. Lantas Raja membatin, 'Adakah yang engkau lihat? Waduh, nanti aku dikira bedebah;' dan Rajapun bermuram-durja. Dan iapun putar-otak, 'Nah, obatnya seperti ini, bahwa aku akan mengatakan bahwa sorbannya memang ada dan bagus, serta aku mengaguminya, jika tidak, aku akan ditertawakan di hadapan rakyatku.' Dan iapun berkata, 'Wahai tuan penenun, serban yang bagus, akupun sangat menyukainya.' Lantas, sang pemuda penenun berkata, 'Baginda, perintahkanlah dayang-dayang agar paduka dipakaikan sebuah topi, agar aku bisa menggelung serban untuk tuanku.' Para dayang membawakan sebuah topi, dan sang-pemuda penenun meletakkan kertas itu di hadapannya, dan menggerakkan tangannya seolah ia menggelung serban, dan menempatkannya di kepala Raja. Seluruh bangsawan yang berdiri di sana, berkata, 'Duhai raja, sungguh indah, betapa serban yang bahari!' dan mereka mengelu-elukannya. Selanjutnya, Raja bangkit dari singgasana dan, ditemani dua orang wazir, masuk ke sebuah ruangan pribadi dan berkata, 'Wahai para wazir, aku memang bedebah; aku tak nampak serbannya!"

Permaisuri melanjutkan, 'Duhai Raja, yang kumimpikan malam tadi, tiada keraguan, seperti yang telah kutafsirkan. Duhai Raja, bila hidup dan tahta Raja sirna, siapa yang tahu, apa yang akan mereka lakukan guna mencelakaiku?” Dan ia mulai menangis. Saat Raja melihat Permaisuri, sedemikian sedihnya, membuat hatinya luluh, dan ia berkata, “Esok hari, aku sungguh-sungguh akan menolak kata-kata para wazirku yang memohonkan ampunan untuk Pangeran bajingan itu, dan aku memang akan membunuhnya; karena, menurut mimpi yang engkau alami, ini bukan urusan yang ringan." Dan merekapun terlelap."

"Demikianlah," ucap Raja Tupai, "Yang Mulia, hikayat ini, telah menjadi pedoman dan pegangan, para pendongeng, dalam beberapa tahun terakhir. Semoga bisa digarap."

Hadirin bertepuk tangan, riuh. Kuilu, berbisik pada Lynx, "Dahsyat! Hikayat tersebut, identik dengan "Seribu Satu Malam"-nya Syahrazad." Lynx menukas, "Sangat mirip dengan Keiserens nye klæder karya Hans Christian Andersen!" Kuilu menimpali, "Ya, mirip, kecuali kata "para-bedebah!" Lynx berkomentar, "Ya... ya... dan ia termasuk... salah satunya!" seraya ujung jempolnya, di arahkan ke Raja Tupai."
Para unggas terbahak, dan sekaligus, dengan girang, menggamat,
De kalles of de reinbou
So pridi in de skaiy
A olso on de feses
Of pipel gowin baiy
Ai si frens syekin hends
Saiyin haw du yu du?
Deiy riili sayin
Ai-lep-yu

Ai hie bebis kraiy
Ai woch dem grouw
Deiy'l len mac moo
Den al nefeh nou
En a ting to maself
Wad e wandeful weeld *)
"Wallahu a'lam."
Kutipan dan Rujukan:
- EJW Gibb MRAS, The History of Forty Vezirs, written in Turkish by Shaykh Zada, George Redway.
*) "What a Wonderful World" karya Bob Thiele dan George David Weiss.

Selasa, 20 Juli 2021

Semacam Upik-Abu?

Sesi dimulai. Setelah mengucapkan salam dan menyampaikan kalimat pembuka, Dr Swan mengungkapkan, "Duhai saudara-saudariku! Titik awal menuju penataan dalam membangun keluarga yang shalih, yang akan berkontribusi dalam mewujudkan masyarakat ideal, ialah tanggung jawab pihak pendidik, terhadap mereka yang menjadi tanggung jawabnya dalam hal pengasuhan, pengajaran dan pengkajian. Hal ini, tentu merupakan tanggungjawab yang berat dan krusial, dan bila seorang pendidik menyelesaikan tugasnya secara total, tak pelak lagi, akan tumbuhlah para orang shalih. Allah berfirman,
فَوَرَبِّكَ لَنَسْـَٔلَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ عَمَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
"Maka demi Rabb-mu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu." [QS. Al-Hijr (15):92-93]
Malik bin Huwairits, radhiyallahu 'ahnu, meriwayatkan, "Kami menemui Rasulullah (ﷺ) dan kami semua, masih belia, dan menginap selama dua puluh malam. Rasulullah (ﷺ) itu, sosok yang welas-asih. Beliau (ﷺ) bersabda,
لَوْ رَجَعْتُمْ إِلَى بِلاَدِكُمْ فَعَلَّمْتُمُوهُمْ، مُرُوهُمْ فَلْيُصَلُّوا صَلاَةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا، وَصَلاَةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا، وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ، وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
'Kalaulah nanti kalian kembali ke negeri kalian, sampaikanlah ajaran agama kepada keluargamu, dan ajarilah mereka, dengan sempurna menunaikan shalat ini di waktu ini, serta shalat itu di waktu itu, apabila telah datang waktu shalat, maka hendaklah, salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan, dan yang paling tua menjadi imam kalian.' [Sahih al-Bukhari]
Para pendidik, terutama orang tua, yang peduli pendidikan, mendidik dan membimbing anak-anaknya, berpedoman pada tuntunan dan petunjuk Al-Qur'an dan As-Sunnah. Ada beberapa tanggung jawab pada pihak pendidik.

Pertama, tanggungjawab Pendidikan Iman. Yang dimaksud dengan pendidikan iman disini, menghubungkan anak, sejak ia mulai mengetahui prinsip-prinsip iman, dan mengajarinya rukun Islam, dan dasar-dasar syari'at. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip iman, keyakinan kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para nabi dan rasul-Nya, Hari Akhir dan takdir Ilahi. Rukun Islam yang dimaksud, bersaksi tentang Keesaan Allah tanpa menyekutukan-Nya, dan bahwa Muhammad (ﷺ) itu, Nabi dan Rasul-Nya, puasa, zakat, dan berhaji bagi siapa saja yang mampu. Dan dengan landasan syari'at, yang dimaksud, segala yang berhubungan dengan Islam, seperti akidah, ibadah, adab dan hukum.
Jadi, sang-pendidik hendaknya menanamkan konsep-konsep Keimanan dan ajaran Islam yang dianjurkan dengan menanamkan prinsip-prinsip jiwa anak, dan Rasulullah (ﷺ) merekomendasikan menanamkan prinsip-prinsip iman dan rukun Islam ke dalam pikiran anak di masa-masa awal hidupnya.

Kedua, tanggungjawab Pendidikan Etika, seperangkat prinsip-prinsip etika dan nilai-nilai moral yang sepatutnya ditanamkan pada anak, agar menjadi tatakrama atau adabnya sejak usia-dini, sampai ia mampu secara hukum, mencapai kedewasaan sepenuhnya. Terbukti bahwa, prinsip-prinsip etika dan nilai-nilai moral, produk dari keyakinan yang mendalam dan pendidikan agama yang benar.
Jadi, jelas bahwa, ketika anak dibesarkan, dari masa mudanya, dengan bertakwa kepada Allah, ia akan mengembangkan kemampuan bawaan, menerima dan mengejar standar dan nilai moral, serta akhlak al-karim. Demikian pula, jika anak dibesarkan dalam suasana yang asing dengan ajaran Islam, abai dari pengenalan ajaran Islam, maka anak seperti itu, rentan terhadap kerusakan dan kemaksiatan, atau bahkan bisa silap dan sesat. Oleh karenanya, tak mengherankan jika, Syariat Islam memberikan prioritas istimewa pada pendidikan akhlak anak.

Ketiga, tanggungjawab Pendidikan Jasmani, yaitu tanggung jawab para orangtua dan pendidik, membesarkan anak menjadi segar dan bugar.

Empat, tanggungjawab Pendidikan Intelektual. Maknanya, pembinaan mental kaum muda, menurut konsep-konsep Islam, bersama-sama dengan unsur-unsur ilmu pengetahuan modern. Di sini, pendidik bertanggung jawab atas pendidikan, pencerahan intelektual, dan kesehatan mental.

Lima, tanggungjawab Pendidikan Psikologis, bermakna, melatih anak sejak dini, agar berani, jujur, mau dan mampu berbuat baik kepada orang lain, disiplin-diri saat marah, serta bermoral yang benar.
Tujuan pendidikan ini, hendaknya menjaga kepribadian anak, tetap stabil dan seimbang. Merupakan tugas sang-pendidik, melatih anak guna menghindari segala faktor yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabatnya, atau membahayakan kepribadian manusiawinya, dengan cara yang dapat membawanya pada pesimisme dan kebencian. Di antara faktor-faktor terpenting yang hendaknya, diusahakan oleh para pendidik, membebaskan anak-anak dan murid-murid mereka, dari fenomena-fenomena seperti ini: perasaan-segan, takut, rendah-diri, iri-hati, dan marah.

Enam, tanggungjawab Pendidikan Sosial. Konsep pendidikan sosial bermakna, menumbuhkan anak dalam akhlak sosial yang benar dan prinsip-prinsip psikologis yang mulia berdasarkan Islam. Jadi, seorang anak akan memperoleh keturunan yang baik, sopan-santun, dan perilaku yang baik. Tak ada keraguan bahwa, pendidikan sosial itu, tanggung jawab yang paling penting dalam membesarkan anak-anak.

Tujuh, tanggungjawab Pendidikan Seksual. Makna pendidikan seks itu, mendidik seorang anak, mencerahkannya, dan terbuka kepadanya, sejak ia baligh, sehingga kelak bila ia dewasa, yang bertanggungjawab dan memahami kehidupan, ia akan mengetahui, apa yang halal dan apa yang haram. dan takkan terdorong oleh syahwat atau terjerat dalam kebejatan. Pendidikan seksual terdiri dari tahapan sebagai berikut;
  • Antara usia 7 dan 10 tahun: usia pengenalan: seorang anak diajarkan tatakrama memasuki dan memandang dunia kaum-wanita,
  • Antara usia 10 dan 14 tahun: usia remaja: seorang anak selayaknya dijauhkan dari segala bentuk gairah-syahwat.
  • Antara usia 14 dan 16 tahun: usia pubertas; seorang anak diajarkan tatakrama berjimak jika ia telah siap menikah.
  • Pasca-pubertas disebut juga usia muda; ia sepantasnya dituntun agar tetap menjaga kesuciannya, apabila belum menikah.
Kurasa, dakwah untuk materi ini, kita cukupkan dulu. Mari mendekat pada sebuah apolog, yang disajikan untuk semua, baik bagi sesama spesies maupun antar spesies, tanpa memandang suku, ras atau agama.
Ngomong-ngomong, sebagaimana yang engkau sekalian tahu, sebuah apolog itu, cerita moral pendek, yang bertujuan menyampaikan kepada pembaca atau pendengar, nasehat tentang sesuatu. Terkadang, engkau akan menemukan pelbagai jenis satwa—seperti dalam "Animal Farm" karya George Orwell—atau benda-mati, yang bercakap-cakap, dalam sebuah apolog.
Sebuah apolog, tak sama dengan fabel atau dongeng, dalam hal, selalu ada penilaian-moral yang disajikan dalam apolog, yang tak perlu ada pada dongeng. Apolog umumnya, dramatis, dan telah didefinisikan sebagai "a satire in action." Tak sebagaimana dongeng, apolog lebih menitik-beratkan sisi-moral, ketimbang detail-naratif.
Apolog, sangat berbeda dengan parabel, analogi atau perumpamaan, dalam beberapa pemahaman. Sebuah Parabel, merupakan kisah-cerdik, yang dimaksudkan memperbaiki tata-krama, namun dapat juga benar dalam artian bahwa "ketika peristiwa nyata semacam ini terjadi di antara manusia, inilah maknanya, dan beginilah selayaknya kita memikirkannya," sedangkan sebuah Apolog, dengan pengenalan flora dan fauna, yang meminjamkan ide, bahasa, dan emosi, hanya berisi kebenaran metaforis, "ketika situasi semacam ini ada, di belahan dunia manapun, inilah kebenaran yang menarik dibaliknya."
Parabel selalu blak-blakan dan tanpa kehalusan atau ketajaman-berpikir, dan tak memerlukan penafsiran; sedang Apolog, pada dasarnya, memerlukan, setidaknya, tingkat daya-renung dan akal-budi, guna mencapai wawasan-berpikir, dan dalam pengertian ini, menuntut lebih banyak dari pendengar atau pembacanya, dibanding Parabel. 
Asal usul apologue, teramat lawas, dan berasal dari Timur Tengah dan sekitarnya—Persia, Asia Kecil, Mesir, dll.—yang merupakan tanah-air Klasik segala sesuatu yang bergala dengan alegori, metafora, dan imajinasi. Panjang-pendek, bukanlah hal yang esensial dalam definisi sebuah Apolog, perkataan La Fontaine, seringkali, ringkas banget.

Jadi, mari kita merengsek,
Jargon manusia meriwayatkan, di sebuah negeri yang damai tapi gersang, disebut sebagai Bumi Suska-Santi, hiduplah seekor kera, Bu Vinta, bersama dua anaknya yang masih kecil. Yang tertua, Pheddo, dan yang bontot, Chiddo. Mereka menetap di sebuah lembah, dimana tiada lagi pepohonan yang rindang. Para-gorila, telah memaksa para-gajah merobohkan pepohonan, dan menjadikannya sebagai sarang. Yang tersisa di lembah tersebut, hanyalah rerumputan dan semak belukar. Tiada sepohon kayupun yang tumbuh, bahkan jika ada, kan dilahap para-gorila.

Entah bagaimana, sang ibu, sangat menyayangi Chiddo, namun mengabaikan dan meremehkan Pheddo. Kita tahu, semua ibu tak seperti ini, kecuali yang satu ini. Bu Vinta, cenderung membagikan lebih banyak makanan pada Chiddo daripada Pheddo. Sebelum sarapan, makan-siang, atau makan-malam, Pheddo harus bekerja lebih-dulu, membersihkan rumah, kamar-mandi, menyiram halaman, dan segala sesuatu yang diperintahkan ibunya.
Pheddo memperhatikan, ibunya sangat membanggakan Chiddo, lebih dari dirinya. Chiddo selalu dipandang istimewa dibanding Pheddo, dan sering ketahuan, ibunya memuji-muji Chiddo.

Bu Vinta, memberikan hak istimewa yang berbeda kepada Chiddo. Pernah, Chiddo bergaduh, dan Pheddo memarahinya. Chiddo mengadu pada ibunya, maka, siang dan malam, Pheddo bersemayam dalam sebuah kerangkeng. Sebaliknya, saat Pheddo melakukan sesuatu, walau belum tentu salah, namun bila Chiddo merasa terganggu, maka, tak ada tawar-menawar dan argumen, sebuah kerangkeng akan menunggu Pheddo.
Pernah, Chiddo melemparkan sebuah batu-besar ke kepala Pheddo, bukannya memarahi Chiddo, Pheddo malah disalahkan. Bu Vinta berkilah, Pheddo ceroboh, maka kerangkengpun jadi pasangan Pheddo sepanjang hari. Suatu kali, di hadapan Bu Vinta yang aneh ini, Chiddo mengejek dan mempermalukan Pheddo, namun, sang-nyonya, mendiamkan.

Bagai dalam hikayat "Upik-Abu," Pheddo, di masa bocahnya, menadah dan memufakati, bahwa dirinya, "kambing-hitam" keluarganya; bahwa adiknya, lebih dicintai dan disayangi tinimbang dirinya. Anak yang tak disukai, dapat mengalami berbagai akibat, berdasarkan aneka-rasa yang mereka persepsikan. Termasuk, merasa sedih, merasa marah atau terluka; rendah-diri, atau memandang buruk tentang diri mereka sendiri; merasa terabaikan; bertikai dengan saudara kandung; bertindak atau mengundang masalah; kurang motivasi dan bolos dalam belajar; berpenampilan buruk; merasa down atau tertekan.
Namun, tak seperti kanak-kanak seusianya, atas rahmat Sang Pencipta, dalam batin Pheddo, terbentuk sangka-baik. Ia akan selalu diingatkan, bahwa deritanya itu, ujian dari Sang Pencipta, yang membawa berita ampunan dan kasih-sayang baginya. Karenanya, ia selayaknya, menerimanya dengan sabar dan syukur, memohon pada Sang Pencipta, mengurangi kesengsaraannya, seperti sediakala. Ia sepatutnya, tak mengeluhkan petaka yang dialaminya, sebab, itu merupakan alamat, mempertanyakan takdir Sang Pencipta, perilaku-buruk, atau mempermalukan diri-sendiri. Terlepas dari seberapa akut penderitaannya, ia tak mau berharap mati, tak menyalahkan penderitaannya, atau mengutuk penyebab deritanya.

Suatu hari, Bu Vinta mendengar gonggongan anjing, mengisyaratkan para pemburu sedang mendekat. Ia terkejut, dan masih punya cukup waktu untuk kabur. Meski demikian, ia tak melupakan anak kesayangannya, Chiddo, yang digendongnya, agar lebih aman. Sementara Pheddo, yang diabaikan, secara naluriah, melompat ke punggungnya.
Maka, merekapun berlari-jauh bersama-sama. Sayang, tiada lagi pohon yang dapat dijadikan tempat persembunyian, tiada lagi pepohonan tempat mereka pernah memanjat dan bergelantung, serta berlompatan. Yang mampu mereka lakukan hanyalah, berlari dan berlari, di tengah desingan peluru-bius. Bu Vinta terus berlari dan menoleh ke belakang, sampai suara gonggongan anjing tak terdengar lagi. Mereka mampu melepaskan-diri dari para pemburu. Naas, dibutakan oleh ketergesa-gesaannya, ia tergelincir, membenturkan kepala sang-bontot ke atas sebongkah batu, matilah seketika. Anak yang dibingit, menempel di punggungnya yang kasar, luput dari bahaya pengejaran."
Dr Swan menitik-beratkan, "Duhai saudara-saudariku! Dengan memanjakan anak-anak kesayangan mereka, para orangtua, merusak dan meremukkannya; sementara anak-anak yang diabaikan, sanggup melakukan segalanya dengan sangat baik. Anak-anak manja yang paham, bahwa perlakuan orangtua mereka, dapat dijadikan senjata mendapatkan perhatian, hampir takkan mampu memahami apa sebenarnya ketaatan itu. Kesediaan para orangtua yang kurang bijak, memanjakan anak-anaknya, buta laksana cinta itu sendiri; mereka terjauhkan, dari melihat cacat atau ketidaksempurnaan di dalamnya, mengira kecacatan itulah keindahannya, dan akal-bulus para anak-manja, itulah keberkahannya.
Pemanjaan yang diperlihatkan orangtua kepada anak-anak mereka, kerap berasal dari kelemahan sifat-ramah manusia; tetapi pengaruhnya tak kurang riskan, dan oleh sebab itu, sangat penting menjaganya, dan tak terjangkit oleh favorit-buta yang menyebabkan kita, melampaui batas kasih-sayang yang bijak, yang sering membuktikan hancurnya sang-anak. Semua ini terjadi, akibat kebebalan sistem pilih-kasih dalam keluarga, karena pengalaman menunjukkan bahwa, anak-anak yang tak dialem dan dimanja, biasanya, menjadi manusia, terbaik dan terpandai. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- 'Abdullah Nasih 'Ulwan, Child Education in Islam, Dar Al Salam
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
- Al-Imam Al-Izz bin Abissalam, Trials and Tribulations : Wisdom and Benefits, translated by Abu Rumaysah, Daar Us-Sunnah Publishers

Jumat, 16 Juli 2021

Hono Coroko

Telah masuk sesi istirahat. Tersedia banyak waktu untuk shalat, makan-siang, dan melepas penat, sebelum lanjut ke sesi berikutnya. Setelah memenuhi kewajibannya, para-unggas diperkenankan beristirahat sejenak. Seekor unggas bertanya, "Berpengaruhkah mata dan telinga itu, terhadap qalbu?" Yang lain menjawab, "Tentu saja, seseorang hendaknya menjaga dan mendidik mata dan telinganya dengan baik, agar qalbunya tetap sehat."

Yang lain menyahut, "Tapi, mendidik anak-anak dan orang dewasa, berbeda!"

Yang lain berkata, "Lingkungan sekitar anak, bisa berdampak pada perkembangan spiritualnya. Pengaruh ini sering kali tak ketara, namun tetap berpengaruh besar. Akan tampak nyata ketika sang-anak tumbuh dewasa, dan bergerak dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Pemahaman umum di bidang perkembangan anak, bahwa seiring dengan tumbuh-kembangnya sang-anak, pengaruh orangtua cenderung berkurang—walaupun tak pernah berhenti—dan peran teman sebaya, serta masyarakat, menjadi lebih berarti. Hal tersebut merupakan proses yang berangsur-angsur, dan tentu berbeda bagi setiap orang. Kabar baiknya, bahwa dalam banyak persoalan, para remaja, akhirnya cenderung mengintegrasikan moral dan nilai-nilai orangtua mereka, bahkan jika mereka menghabiskan waktu untuk 'coba-coba'.
Terlepas dari fakta menyenangkan ini, amatlah penting memantau lingkungan rumah; lingkungan teman sebaya—teman mereka, aktivitas mereka, dan sebagainya—dan lingkungan masyarakat, agar memastikan pengalaman yang paling memperkaya secara spiritual bagi anak."

Yang lain mengingatkan, "Orangtua, hendaknya, jangan mempermalukan atau menghinakan anak-anak, terutama di hadapan orang lain. Ide-ide mereka tak boleh diremehkan, atau ditertawakan, atau bahkan dikucilkan. Hinaan, celaan, dan cemoohan, hanya akan merusak kepribadian dan ketenteraman sang-anak. Pada dasarnya, hal-hal tersebut, berefek terbalik dengan pujian dan kelembutan. Semua itu, menyebabkan turunnya harga-diri dan kepercayaan-diri dan, bahkan lebih gawat lagi, menimbulkan masalah ketergangguan kepribadian dan perilaku. Coba bayangkan, bagaimana perasaan kita, saat seseorang berkomentar negatif terhadap kita, atau mempermalukan kita. Bisa terasa menyakitkan, dan memalukan. Anak-anak merasakan hal yang sama dan, lantaran fakta bahwa kepribadian dan karakter mereka berkembang, mereka jauh lebih rentan dibanding orang dewasa. Alhasil, sang-anak akan sangat mungkin mengalami penderitaan, yang menorehkan luka, yang disebabkan oleh tindakan-tersebut, dan akan terus merasakannya dalam jangka waktu yang lebih lama. Orangtua hendaknya terus-menerus mengawasi sifat sensitif dan keunikan kerentanan sang-anak.

Yang lain menyarankan, "Dalam menjaga kesucian mata dan telinga, pengaruh negatif hendaknya dihilangkan dari lingkungan anak-anak. Misalnya, televisi. Televisi itu, alat standar bagi banyak orang. Sementara ada orang yang berpendapat bahwa televisi, punya manfaat, misalnya, program pendidikan, akan tetapi, mudharatnya jauh lebih besar dibanding manfaat apapun yang mungkin diperoleh. Agar menciptakan lingkungan rumah yang secara efektif lebih penuh dengan Keimanan, sangat dianjurkan menghilangkan sumber gangguan utama ini. Jika tak memungkinkan, maka pemantauan ketat terhadap acara televisi, sepatutnya diterapkan." 
Yang lain menginformasikan, "Penelitian telah menemukan, bahwa setiap hari, anak-anak menghabiskan rata-rata, tiga sampai empat jam, menonton televisi. Bila rentang hidup 65 tahun, itu berarti, mereka menghabiskan sembilan tahun di depan sebuah kotak. Dengan statistik ini, kita akan menyadari, bahwa anak-anak menghabiskan banyak waktu, di dunia fiksi, disibukkan oleh dunia maya ini, lebih sering dilakukan dibanding dalam dunia nyata. Akan sangat mengkhawatirkan saat kita mulai menyadari fakta ini, dan memahami implikasinya. Menonton televisi, berbahaya bagi perkembangan intelektual, psikologis, dan sosial sang-anak. Bahkan yang lebih menakutkan, bahwa anak-anak, bisa mencederai bathin mereka pada usia yang sangat muda; bahkan seringkali, takkan pernah bisa lagi, memulihkan kesucian dan kebajikan mereka."

Yang lain menimpali, “Televisi, sebenarnya telah dianggap berbahaya bagi proses dan perkembangan sel-sel otak anak, menghalangi otak menyelesaikan perkembangannya secara penuh. Ini karena, nonton televisi itu, aktivitas pasif, bukan aktivitas aktif.
Nonton televisi juga berarti, bahwa seorang anak, tak melakukan hal lain. Membaca, berinteraksi, dan merasakan pengalaman, penting bagi pembelajaran anak. Ketika seorang anak menonton televisi, ia jelas tak terlibat dalam kegiatan ini. Ia tak aktif menggunakan kemampuannya, tak berkreasi, tak bersosialisasi, tak bermain, dan tentulah, tak membaca dan menghafal Al-Qur’an. Banyak sekali waktu yang terbuang bagi kegiatan yang tak berguna ini. Bahkan bisa jadi, ia tak mencapai potensi penuhnya di area kritis ini. Selain itu, dapat berdampak negatif pada tugas dan fungsi di sekolah. Anak-anak yang sukses secara akademis, menghabiskan sebagian besar waktu mereka, ikut dalam kegiatan yang terpenuhi dan konstruktif. Televisi, tak tergolong ke dalamnya. Kita perlu mengajari anak-anak kita, bahwa penggunaan waktu secara positif dan konstruktif, sangat penting, dan sejatinya, merupakan bagian integral menjadi Muslim."

Yang lain bergabung, "Bahaya televisi terhadap bathin, banyak. Yang paling nyata, menjauh dari beribadah dan mengingat Allah. Bila masuk ke dalam pikiran dan qalbu sang-anak, televisi mampu menyebabkan kerusakan serius pada bathin. Seseorang yang banyak nonton televisi, cenderung tak tepat waktu menunaikan shalat, bahkan mungkin, tidak sama sekali, atau tak mau ikut berjamaah. Selain itu, televisi, bisa jadi, merupakan salah satu alat 'modelling' paling berpengaruh yang ada. Anak-anak meniru apa yang mereka lihat dari orang lain, di sekitar mereka dan dari media. Ini berarti, bahwa mereka tak hanya mengintegrasikan materi ke dalam pola berpikir mereka, namun juga, mereka memerankannya, dalam perilakunya."

Yang lain menambahkan, "Musik yang melanggar hukum Islam, hendaknya dijauhkan dari lingkungan anak-anak. Termasuk lagu dengan alat musik dan lirik yang memancing syahwat, dan menampilkan perilaku tercela, termasuk lirik-lirik menyesatkan dan lagu atau musik yang dangkal. Secara umum, mencakup segala yang mengalihkan perhatian atau mengalihkan seseorang dari Al-Qur'an dan Dzikrullah.
Namun, diperbolehkan, mendengarkan lagu-lagu Islami yang mengandung hikmah, nasehat, dorongan berbuat baik, serta pembinaan adab dan akhlak mulia. Hal ini, dapat dibenarkan, jika lagu-lagu tersebut menghidupkan kembali pikiran dan rasa-Islami, dan memotivasi pendengarnya menaati Allah dengan hidup dalam kerangka hukum Islam, agar menjauhkan-diri dari melanggar batas-batas yang ditetapkan Allah. Waktu yang paling tepat menikmati lagu-lagu Islami, antara lain, saat lebaran, pernikahan, atau saat merasa bosan dan membutuhkan sesuatu, guna membangkitkan semangat. Akan tetapi, hal ini janganlah dianggap sebagai sesuatu yang mesti dituruti, atau menjadi kebiasaan yang, tiada henti dilakukan."

Yang lain mengulas, "Ketika mempelajari Al-Qur'an, ada etiket dan pedoman tertentu. Pendidik bertanggungjawab mengajar muridnya, etiket yang diwajibkan dan direkomendasikan, yang sesuai dengan pembawa Al-Qur'an, dan menjadikannya salah satu peringkat terhormat mereka. Ia juga bertugas, memelihara pertumbuhan spiritual dan etika para pelajar atau hafiz, sehingga qalbu dan anggota tubuhnya, siap mengubah ilmu ini menjadi amal-shalih dan kekuatan spiritual.
Oleh karenanya, pendidik akan mengambil langkah yang cermat, terutama dalam hal hafalan Al-Qur'an. Segala hal yang diduga dapat mengganggu hafalan Al-Qur'an, sepatutnya dihindari, sebab, bagi seseorang yang telah menghafal Al-Qur'an, dituntut agar selalu menjaga hafalannya. Rasulullah (ﷺ) mengibaratkan orang yang hafal Al-Qur'an, dengan pemilik unta. Jika sang-unta dirawat dengan baik, ia akan jinak dan patuh. Namun jika dibiarkan dan diabaikan, maka akan hilang. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
إِنَّمَا مَثَلُ صَاحِبِ الْقُرْآنِ كَمَثَلِ الْإِبِلِ الْمُعَقَّلَةِ إِنْ عَاهَدَ عَلَيْهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ أَطْلَقَهَا ذَهَبَتْ
"Sesungguhnya, perumpamaan sahabat Al-Qur’an itu, laksana unta yang diikat. Jika ia menjaganya, ia akan terpelihara. Jika ia melepaskannya, ia akan kehilangannya.” [Muttafaqun Alaihi, menurut Al-Bukhari dan Muslim]
"Bagaimana dengan bahasa Arab?" tanya yang lain. Yang lain menjawab, “Tak ada yang salah dengan bahasa Arab. Imam Asy-Syafi'i, rahimahullah, menekankan bahwa, 'Diwajibkan atas setiap Muslim, mempelajari bahasa Arab dengan sekuat tenaga, agar dapat mengakui dengannya, bahwa 'tiada ilah yang patut disembah dengan sebenar-benarnya selain Allah, dan Muhammad (ﷺ), hamba dan Rasul-Nya,' serta dapat membaca Kitabullah, serta mengucapkan dalam menyebutkan apa yang diwajibkan atas dirinya, takbir, dan apa yang diperintahkan, tasbih, tasyahud, dan lain-lain.'
Ilmu Imam Syafi'i tentang sastra Arab-kuno, mendukung gaya sastranya. Pada masa itu, tiada seorang pun yang boleh menjadi ulama besar, kecuali ia menguasai bahasa Arab. Beliau, rahimahullah, menjelaskan, 'Al-Qur'an menunjukkan, bahwa tiada bagian dalam Kitabullah, yang tak berbahasa Arab.
Barangsiapa yang mengemukakan pendapat tentang adanya kata-kata asing dalam Al-Qur'an, mungkin melihat ada orang yang menerimanya, dengan kepasrahan (taqlid) semata-mata kepadanya, memasrahkan masalah pembuktian kepadanya, dan kepada mereka yang tak sepakat dengannya. Namun, dengan memasrahkan seperti ini, mereka telah mengabaikan tugas mereka: semoga Allah mengampuni mereka dan kita. Tetapi, barangkali, orang yang berpendapat, bahwa ada kata-kata dalam Al-Qur'an yang bukan bahasa Arab—dan pendapatnya diterima oleh orang lain—bermaksud, bahwa ada kata-kata tertentu, yang tak dipahami oleh sebagian orang Arab.
Dari semua bahasa, bahasa Arab-lah, yang paling kaya dan paling luas kosakatanya. Tahukah kita akan seseorang kecuali seorang nabi yang memahami semuanya? Namun, tak ada bagian yang lepas dari semua orang, sehingga selalu ada seseorang yang mengetahuinya. Ilmu bahasa ini bagi orang Arab, ilmu sunnah bagi para fuqaha’. Kita tak mengetahui siapapun, yang punya ilmu tentang seluruh sunnah tanpa melewatkan sebagian darinya. Jadi, jika ilmu seluruh ulama dikumpulkan, seluruh sunnah akan diketahui. Akan tetapi, jika ilmu masing-masing ulama diambil secara terpisah, maka masing-masing dapat ditemukan kekurangan pada sebagiannya, namun kekurangan masing-masing dapat ditemukan di antara yang lain.”

Tiba-tiba, seekor unggas menghampiri, berkata, "Mau dengar apolog tentang mata dan telinga?" Yang lain setuju, "Ya tentu saja!" Sang-unggas menyampaikan, "Dengarkan ini,
Dahulu kala, di era Piodasses, ada sebuah jenggala, bernama Bumi Tenawa. Menurut penduduk setempat, jenggala tersebut, diperintah oleh seekor Kong—tak segede gorila Kongo rekaan Merian C. Cooper, maupun Hanuman Putih, ataupun Sun Go Kong, melainkan hanya monyet-besar biasa—bernama, Raja Jaka Bingung, bergelar Prabu Kong Kalikong.

Sebagaimana yang terlukiskan dalam zaman para-monarkhi, demi pencitraan atas nama Pangeran yang bermartabat dan berkharisma, para anjing, kucing, dan kodok bayaran, menerbitkan warita, bahwa sang-baron, teramat-suka memangsa kulit-manusia. Namun, ketahuan, dan menjadi dusta terakbar, lantaran kenyataannya, sang-baron cuma menggemari, kulit-pisang.

Siaran berikutnya, mengalir, bahwa sang-baron, sangat cerdik, ia pernah mengungguli seorang dokter, dalam sebuah debat. Setelah ditelusuri, riwayat sebenarnya, seperti berikut.

Suatu hari, sang-baron sedang gering. Pejabat istana menyarankan, ia harus menemui dokter. Namun, sang-baron, yang takut menemui dokter, tak berkenan. Ia bersedia, asalkan, tak terjadi apa-apa pada pasien yang diperiksa oleh sang-dokter, dan ia saksikan sendiri.
Demikianlah, salah satu pengawal kerajaan, seekor simpanse, secara acak, ditarik keluar, dan—ternyata, ia juga enggan menemui dokter—dengan gemetar, Cemata, sang-simpanse, di selia oleh sang-dokter.
Sang-dokter bertanya, “Cemata, apa yang akan terjadi, jika aku mencongkel, sebuah matamu?” Cemata menjawab, “Aku akan setengah buta.” "Benar," kata sang-dokter. "Bagaimana jika, aku mencongkel, kedua matamu?" imbuh sang-dokter. "Aku akan benar-benar buta." Sang-dokter berdiri, menjabat-tangan Cemata, dan menyatakan bahwa ia sehat.

Saat Cemata melangkah keluar, selagi sang-dokter mengisi dokumen, sang-baron mengingat-ingat pembicaraan, antara sang-dokter dan Cemata. Lalu, iapun bersedia, diobati oleh sang-dokter. Maka, tak pelak lagi, bukan cuma anak-sekolah yang butuh contekan, nyatanya, sang-baron, juga!
Sang-dokter melewati formalitas dan bertanya, "Yang Mulia, apa yang akan terjadi, jika aku memotong sebuah telinga paduka?" Sang-baron, yang masih mengenakan mahkota dan jubah megahnya, menganggap ucapan Cemata, jawaban yang benar, menanggapi, “Aku akan setengah buta.” Sang-dokter tampak sedikit bingung, namun tetap melanjutkan. “Bagaimana jika, aku memotong, kedua telinga Baginda?”
"Aku akan benar-benar buta," jawab sang-baron. “Bolehkah Baginda menjelaskan, bagaimana bisa paduka jadi 'buta'?” sang-dokter ingin tahu. Sang-baron dengan tenang berkata, "Jika dokter memotong kedua kupingku, mahkotaku, akan melorot, menutupi mataku."

Akan tetapi, pada suatu hari yang tak menguntungkan, sebuah kecelakaan mengerikan, menimpa sang-baron. Ia terluka parah oleh tanduk ... Kambing? ... Bentar, bentar, coba kulihat dulu .... ya' benar, seekor Kambing ... bukan Banteng; keduanya sama-sama berakhir dengan bunyi "-ng," tapi idenya, beda.
Banyak yang penasaran, mengapa hal ini terjadi pada sang-baron? Dari sumber informasi yang dapat dipercaya, sang-kambing, menanduk sang-baron, sebab, sang-baron, menyambar kulit-pisang di moncong sang-kambing.
Insiden ini, membuat sang-baron teramat-sangat, murka. Ia berseru, "Ini Sparta, ini Ra-di-kal!" Ia bersumpah, setiap satwa-bertanduk, harus diusir dari kerajaannya. Kambing, Banteng, Domba, Rusa, dan setiap makhluk-hidup yang bertanduk, patut segera disingkirkan.

Cemata, bersama simpanse lain, Tora, dipercaya membebaskan sebuah kawasan, dari para satwa-bertanduk. Sampailah mereka di sebuah padang-rumput yang luas. Cemata memperhatikan kawanan terwelu—sejenis kelinci—kecil. Ia mengamati, dan berkata kepada Tora, "Lihat, bukankah itu satwa-bertanduk?" "Yang mana?" tanya Tora. "Di sana, sekelompok makhluk, aku belum pernah mengenali yang seperti ini." Tora memperhatikan lebih dekat, lalu sampai pada kesimpulan, "Jika itu tanduk, mestilah kehitaman, tapi, yang itu, berwarna putih dengan pola abu-abu atau kemerahan. Omong-omong, kagak ada yang namanya tanduk!"
Cemata, bersikukuh pada sudut pandangnya, "Itu tanduk!" "Pasti bukan!" Tora tak sepakat. "Tanduk!" "Tak mungkin!" "Taanduuk!" "Buukaan!"

Akhirnya, laksana dua caraka dalam aksara Honocoroko, keduanya menghunus pedang, siap berlaga. Para-terwelu mungil, yang menyaksikan, ketakutan. Untungnya, seekor terwelu dewasa, datang melerai. Cemata ingat, itu Bu Vanathi, sang-guru, ia sangat disegani di lokal setempat. "Apa yang kalian lakukan? Tolong, jangan pertontonkan kekerasan di hadapan anak-anak!" seru Bu Vanathi. Cemata berkata, "Maaf Bu, kami bertengkar, di atas kepala anak-anak itu, tandukkah?" Bu Vanathi menjawab, "Itu namanya, telinga, atau kuping, engkau dapat menemukannya juga, di kepalaku." Tora segera meminta maaf, "Ini kesalahan kami, maafkan kami Bu!" Sang-guru yang bijak, berkata, "Sudahlah, Ibu sarankan, sebaiknya, kalian lebih banyak belajar, bagaimana membedakan tanduk dan telinga. Adapun anak-anak ini, serahkan padaku, Ibu kan guru mereka, lebih tahu apa yang harus dilakukan dengan mereka, sesuai pedoman yang ada.” "Siap Bu!" jawab Cemata.

Bu Vanathi memanggil para-terwelu kecil, "Ayo anak-anak! Sudah waktunya masuk kelas! Tolong, pegang kedua telinga kalian! Kita akan berjalan sambil membaca Honocoroko." Dengan riang, para-terwelu mungil, bernalam,
Hono Coroko
[Ada caraka]
Doto sowolo
[Saling berlaga]
Podho joyonyo
[Sama saktinya]
Mogo bothongo
[Lihat matinya]
Kemudian sinyal berbunyi, sesi berikutnya akan segera dimulai, para unggas diminta bergegas kembali. Wallahu a'lam.
Kutipan & Rujukan:
- Imam Al-Nawawi, Etiquette With The Quran, Islamosaic
- Dr Aisha Hamdan, Nurturing Eeman in Children, IIPH
- Al-Imam Muhammad ibn Idris al-Shafi'i, al-Risala - Treatise on the Foundations of Islamic Jurisprudence, translated by Majid Khadduri, The Islamic Texts Society
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin

Selasa, 13 Juli 2021

Kesaksian Sang-Kodok Terhormat

Dr Swan mengetuk palu sekali, "Duhai saudara-saudariku! Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu kesuksesan, bahwa tahap kehidupan itu, ada lima,
  • Tahap pertama, dimulai dari kelahiran, hingga masa-pubertas dan ini, dalam masa lima belas tahun;
  • Tahap kedua, dimulai dari masa-pubertas, hingga akhir masa-remaja, yaitu sampai seseorang mencapai usia tiga-puluh-lima tahun. Tahapan ini, dianggap sebagai masa-muda;
  • Tahap ketiga, dimulai dari usia tiga-puluh-lima tahun, hingga usia lima-puluh tahun, dan inilah tahap kedewasaan;
  • Tahap keempat, dimulai dari usia lima-puluh tahun, hingga usia tujuh-puluh tahun, dan inilah tahap masa-tua;
  • Tahap kelima, dimulai dari usia tujuh-puluh tahun, hingga kematian, dan inilah tahap masa-jompo atau masa-berumur;
Awal dan akhir dari tahapan ini, dapat beragam pada tiap-tiap insan, namun tahapannya, ada lima. Terdapat perbedaan antara kata 'usia' dan 'dewasa'. Sebagai kata-kerja, perbedaannya bahwa, 'usia,' penyebab jadi tua; sedangkan 'dewasa,' telah mencapai kematangan. Sebagai kata benda, usia, keseluruhan waktu yang telah ditempuh makhluk-hidup sejak kelahiran, baik itu hewan, tumbuhan, maupun jenis lainnya. Sebagai kata sifat, dewasa itu, berkembang sepenuhnya; tumbuh dalam hal penampilan fisik, perilaku atau cara-berfikir. Bahasa Arab "'umr' (umur), bermakna, sisa waktu hidup.

Segala puji bagi Dia, Yang telah mencipta berbagai tahapan kehidupan. Selama tahap-tahap ini, ada insan yang tunduk pada perintah Allah, dan dengan demikian, unggul. Sebaliknya, yang menyia-nyiakan waktu, maka akibatnya, menderita kesia-siaan dan penyesalan. Sesungguhnya, kehidupan ini telah ditetapkan agar para insan mempergunakannya, mencapai apa yang dicarinya, dan menghilangkan segala yang menyebabkan kerugian dan kecacatan. Barangsiapa menjalani hidupnya dengan baik, sesuai perintah Allah, maka hidupnya akan menjadi sumber perdagangan baginya, menghasilkan untung yang berlipat-ganda, sedangkan yang berlaku zhalim, yang tak berperilaku sesuai, akan rusak batinnya. Sebuah amal-shalih, dicatat sebagai sepuluh kebaikan, sampai tujuh-ratus, bahkan bisa lebih, dan sebuah dosa, akan membuatnya sontak berbalik pada ketergangguan, yang dialami sebelumnya.

Perhatikan apolog yang berhias ini,
Tiga-ribu tahun yang lalu, atau lebih, dalam lidah manusia, di zaman dulu, semasa era Kadmos, hiduplah seekor kodok, berdiam dalam gua-teduh, yang suram, mengantuk, atau lunak, membiarkan tahun-tahun berlalu, dalam keheningan. Sesuatu yang ajaib, terjadi pada sang-kodok. Sekecil apapun yang diperbuatnya, akan berwujud emas. Bila ia bergerak maju, mundur, menyamping, bahkan pun jika ia ngorok, akan menghasilkan emas.

Ketika ia terbangun, rupanya, di samping aliran-air yang mengeras, yang bahkan belum ia sadari, bongkahan emas menyelimutinya, pas seperti bentuk diriya. Ia tak bisa meregang, atau bahkan menganga. Andai ia tahu, sebelum masa-tidurnya yang panjang, berapa tahun ia telah terpulas, tak pelak lagi, ia mampu menyelesaikan segala urusan duniawinya, besar dan kecil; dan takkan meninggalkan rakyatnya, berjuang sendiri demi kehidupan mereka yang merana. Tiga-ribu tahun telah ia lewati, tertanam dalam gumpalan logam-mulia yang padat.

Belumlah setahun yang lalu, ketika beberapa pekerja sedang menggali marmer di gunung, mereka menemukan kodok berukuran gergasi, di tengah-tengah emas-murni, saat dibelah-dua. Mereka terpana dengan penampakan yang tak begitu biasa, reptil yang mengantuk, bertemu-pandang dengan mereka, dan bila semakin mempertanyakan keberadaannya, keheranan mereka, semakin memuncak. Sulit membayangkan, dengan cara apa sang-kodok yang terhormat ini, dapat bertahan, dan memperoleh makanan, di penjara yang teramat-sempit, dan lebih sulit lagi, mempertanggungjawabkan masa kelahiran dan keberadaannya, di tempat yang sama sekali tak dapat diakses oleh seluruh spesiesnya. Mereka tak memperoleh kesimpulan lain selain, bahwa sisa-sisa peradaban-kuno ini, terbentuk bersama dengan batu-karang tempat ia dibesarkan, dan setara dengan gunung itu sendiri.

Khalayak berdatangan dari jauh, ingin menyaksikan makhluk-purbakala, yang sepenuhnya tahu akan fakta, apa sebenarnya penghormatan tertinggi mereka. Dalam sebuah episode 'Morning Show,' selagi pembawa acara sedang menyoal dugaan-dugaan yang muncuat, sang-kodok duduk, menembam dan mengembung seperti kodok biasa, hingga tampak akan meledak, dan akhirnya, iapun bersaksi, "Ya," katanya, "Engkau sekalian melihat dalam diriku, sebuah spesimen ras hewan purba. Aku dilahirkan sebelum Air Bah; dan siapakah yang ada di antara ras perintis makhluk-hidup terkini, yang berani bersaing denganku, dalam hal kemuliaan-keturunan atau martabat-perilaku?”

Seekor capung, pagi itu, muncul dari sungai, saat ia terbang dari satu tempat ke tempat lain, tak-sengaja hadir, dan mengamati yang terjadi, dengan penuh perhatian dan rasa ingin-tahu. “Agak aneh,” serunya, “Dasar apa yang awak miliki terhadap kebanggaan, baik sebab keturunan, semata karena baheula, atau usia awak, yang terhitung panjang? Sifat terpuji apa yang telah awak terima dari leluhur awak? Bukan berarti bahkan bagi awak sendiri, dan juga tak bermanfaat bagi orang lain, awak hampir sama tak pekanya dengan balok-emas tempat awak dibesarkan." "Maka," lanjutnya, "Aku menemukan kenyataan bahwa, dunia ini, hanya dua kali lebih tua dari awak. Namun aku, ephemeron yang malang, hari ini aku dilahirkan, hari ini pula, aku harus mati, namun aku berhasil menegakkan, katakan sesukamu, kehidupan yang lebih panjang."
"Maaf?" sela sang-kodok, dalam keterkejutannya. "Apa maksudmu dengan perkataan seperti itu?"
"Duhai Senora," berkata sang-capung, dalam napas panjangnya, "Tidur itu, sebuah bentuk kematian. Hari-hari awak, walau lebih dari yang dapat kuhitung, awak habiskan dalam tidur panjang yang berkelanjutan.
Bahkan aku, yang lahir hanya dari sampah sungai di sekitaran, saat matahari terbit hari ini, dan yang akan mati, saat terbenamnya, punya lebih banyak alasan menghargai keberadaanku, dibanding apa yang awak banggakan. Aku telah menikmati kehangatan sinar-matahari, terik siang-hari, dan kemurnian udara. Aku telah terbang dari satu aliran sungai ke aliran sungai berikutnya, dari satu pohon ke pohon yang lain, dan dari daratan ke pegunungan. Aku telah menafkahi anak-cucuku, dan aku akan meninggalkan banyak keturunan pada masyarakat masa-depan; singkatnya, aku telah memenuhi segala tujuan keberadaanku, dan aku merasakan kebahagiaan. Seluruh hidupku, sesungguhnya, hanyalah dua belas jam, namun walau satu jam saja, lebih disukai dibanding seribu-tahun eksistensi-semu yang telah lenyap, sepantun awak, yang abai, lalai dan tak-peduli.
Aku ingin menambahkan lebih lanjut, dalam arti perbaikan. Jangan terlena dan terbangun pukul sembilan, melainkan bangkitlah pada pukul lima. Semakin lama awak terjaga, semakin panjang hidup awak. Dan mohon, janganlah melagukan, senandung pengantar tidur!”

Khalayak bersorak, perlahan-lahan mencair, saat mereka meninggalkan pertunjukan, bernyanyi,
Every little thing she does is magic
Everything she do just turns me on
Even though my life before was tragic
Now I know my love for her goes on *)
Dr Swan mengetuk palu tiga kali, "Duhai saudara-saudariku! Dalam kehidupan-kekal dan keabadian yang tak pernah berakhir, laksana Kebakaan Yang Maha Penyayang, dapat diperoleh dengan menginvestasikan hidup yang singkat ini, secara tepat, sebab, siapapun yang menyia-nyiakan hidupnya, sesungguhnya, orang yang merugi, maka dari itu, hendaknya, orang yang berakal, mengetahui nilai hidupnya dan merenungkan keberadaannya, agar ia dapat merebut apa yang tak dapat kembali jika terlewatkan, dan yang mengakibatkan, ia dapat binasa, lantaran menyia-nyiakannya. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Ibn Al-Jawzi, Awaking From the Sleep of Heedlessness, Dar As-Sunnah
- Jefferys Taylor, Aesop in Rhyme with Some Originals, Baldwin and Cradock
*) "Every Little Thing She Does Is Magic" karya Sting

Jumat, 09 Juli 2021

Bila Ia Tahu Aku Sangat Miskin ...

Dr Swan mengilustrasikan, "Duhai saudara-saudariku! Menyuplai kebutuhan masyarakat, membantunya memperoleh manfaat dan memastikan kerjasama yang mustahak di antara mereka, butuh kejujuran, amanah, serta tak boleh berbohong, memperdaya, dan segala yang tak diridhai Allah. Allah berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
"Wahai orang-orang beriman! Janganlah mengkhianati Allah dan Rasul, dan (juga), janganlah mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui (akibatnya)." [QS. Al-'Anfal (8):27]
Perhatikan suka-duka pengalaman berikut ini,
Di suatu Jumat siang, Nasruddin Hodja sedang berjalan pulang setelah menunaikan Shalat Jumat. Ada sesuatu terlintas dalam benaknya, bahwa, apa sih makna di balik Shalat Jum'at itu? Namun dalam sekejap, ia tahu jawabannya. Ia teringat nasehat sang-ayah, “Duhai anakku! Kekasih kita (ﷺ) sedang berdiri di mimbar, menyampaikan Khotbah Jumat, ketika sebuah kafilah dagang dari Syria, masuk ke Kota Nabi, Madinah. Dikatakan, bahwa kafilah tersebut, milik Dihyah bin Khalifah, sebelum kembali ke Islam, dan ada kendang yang mengiringinya. Kafilah membawa barang dagangan seperti tepung, gandum, minyak dan lain-lain. Sesuai adat setempat, di zamannya, saat kafilah tiba, para wanita muda keluar menyambutnya dengan menabuh kendang, sebagai pemberitahuan agar khalayak segera datang berbelanja, membeli barang dagangan yang dibawa.
Para Sahabat, radhiyallahu 'anhum, bergegas keluar menghampiri, sehingga cuma tersisa dua-belas orang yang bersama beliau (ﷺ), termasuk Abu Bakar dan 'Umar, radhiayallahu 'anhum. Mereka bersicepat ke tempat kafilah tiba, berbelanja perbekalan sebelum gentas. Mereka memastikan, akan kembali tepat-waktu dan bergabung dalam Shalat. Ini bukan ketidaktaatan yang disengaja dari pihak para Sahabat, sebab pada saat itu, masa kemarau dan paceklik, dan merekapun punya ikatan yang sangat-erat dengan Rasulullah(ﷺ), yang, siapapun takkan mampu memahaminya. Sebenarnya, mereka hanya tak sepenuhnya memahami, pentingnya Khotbah Jumat.

Akan tetapi, Allah mencela dengan menyampaikan, bahwa, apa yang ada di sisi Allah, lebih baik dibanding permainan, hiburan, musik, tarian, dan perdagangan barang-barang berharga. Oleh sebab itu, mereka sepatutnya, menggantungkan rezeki, semata kepada-Nya. Pada kesempatan ini, ayat berikut diwahyukan,
وَاِذَا رَاَوْا تِجَارَةً اَوْ لَهْوًا ۨانْفَضُّوْٓا اِلَيْهَا وَتَرَكُوْكَ قَاۤىِٕمًاۗ قُلْ مَا عِنْدَ اللّٰهِ خَيْرٌ مِّنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِۗ وَاللّٰهُ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ
"Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka segera menuju kepadanya dan mereka tinggalkan engkau (Muhammad) sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, 'Apa yang ada di sisi Allah, lebih baik daripada permainan dan perdagangan,' dan Allah, Pemberi rezeki yang terbaik." [QS. Al-Jumu'ah (62):11]
Shalat itu, cara terefektif membina kehidupan sosial, ekspresi nyata ketakwaan kepada Allah dalam diri manusia. Inilah alasan mengapa, teramat penting bagi umat Islam, menjalankan Shalat Wajib berjamaah. Shalat Jumat itu, langkah-maju untuk mendapatkannya. Makna di baliknya, memberikan kesempatan kepada lebih banyak umat Islam, menghadiri jamaah yang lebih agung di Masjid, dalam suasana keshalihan religius. Selain Shalatnya, Khutbah Jum'at, juga menjadi bagian integral dari Jemaah Jum'at. Imam menyampaikan khotbah, dan mengajarkan agama Islam. Ia menjelaskan tentang masalah keseharian dalam lentera Islam. Keutamaan Hari Jumat itu, Hari Majelis.
Perhatikan gradasi kontak-sosial bagi umat Islam, bila mengikuti tata-krama yang bijak dalam agama Islam:
  • Setiap hari, bagi setiap individu, mengingat Allah bagi dirinya sendiri, lima-kali atau lebih, di rumah, tempat-usaha, masjid setempat, atau ruang-terbuka, tergantung pada kondisinya;
  • Setiap minggu, pada hari Jumat, ada pertemuan-lokal di Masjid Pusat di setiap wilayah, baik di desa, kota, maupun metropolitan;
  • Setiap tahun, pada setiap Hari Raya Ied, ada pertemuan lokal, yang lebih akbar;
  • Setidaknya, sekali dalam seumur hidup, jika memungkinkan, seorang Muslim, ikut serta dalam Ibadah Haji, yang termegah dari seluruh pertemuan Islam di dunia ini."
Kini, Nasruddin menyadari, betapa pentingnya menghadiri Jemaah Jumat, tepat waktu sesuai anjuran Rasulullah (ﷺ), tanpa berkata sepatah-kata pun, mendengarkan Imam Masjid menyampaikan khotbah. Sebelumnya, ia mengira, melaksanakan shalat Jumat saja, sudah mencukupi. Padahal, baik Shalat maupun Khutbah Jumat, satu-kesatuan.

Nasruddin lanjut melangkah, dan selagi berjalan menuju rumahnya, ia melewati sebuah taman, dan tanpa sengaja, mendengar perbincangan-ringan seorang ibu kepada putrinya, duduk di bangku, di bawah pohon, "Sayang, tak masalah menimbang-nimbang tentang apa yang akan engkau lakukan, dengan uang yang belum engkau peroleh. Entah uang itu, akan berasal dari pengembalian pajak, warisan, bonus atau kenaikan gaji, atau sumber lain, jangan banyak berkhayal dan mengandalkannya. Jangan berangan-angan membelanjakannya, atau menjanjikan apa yang akan engkau lakukan dengannya, kecuali uang itu benar-benar ada di tanganmu. Saat engkau punya uang, belanjakanlah dengan bijak, terutama demi ketaatan kepada Allah.

Dengarkan ini,
"Dolly, sang-pemerah-susu, gadis yang baik dan tekun, serta cermat dalam pekerjaannya, majikannya, menghadiahkan seember susu-segar baginya. Dengan ember di kepalanya, ia berjalan ke rumah Pak Dokter, yang berencana mengadakan pesta besar-besaran, dan memesan susu bagi jamuan-makannya.
“Dari hasil penjualan susu ini, kukan beroleh banyak dinar,” ujar Dolly, “Dan dengan dinar itu, kukan beli dua-puluh butir telur, yang dieram unggas tetanggaku yang baik-hati. Telur-telur tersebut, kan kuletakkan di bawah dekaman ayam milik nyonya-sepuh, dan jika hanya setengahnya yang menetas dan berkembang sebelum waktu yang cukup tiba, aku bisa menjualnya, dan membeli ayam guinea yang gemuk. Kemudian, aku akan membeli jaket, yang pernah kulirik di toko-desa tempo hari, dan oh iyaaa, topi dan pita. Lalu saat menghadiri perayaan, betapa rancaknya aku! Laksmi, yang sering meremehkan diriku, pastilah ada di sana, dan ia akan meminta dan menawarkan-diri, berteman lagi. Tapi, tak semudah itu; kukan melengos dan mendongak, serta ..." Naah, di sini, Dolly mendongakkan kepalanya, percis seperti yang ada dalam angan-angannya. Jatuhlah ember di atas kepala, dan susunya, berjebai habis di atas tanah! Selamat-jalan buat telur, ayam, jaket, topi, pita, dan semuanya!"
Mendengarnya, Nasruddin manggut-manggut, mengingat sesuatu. Bahkan, ia terinsaf oleh khotbah Imam Jumat di masjid tadi,
“Wahai saudara-saudaraku, aku mendengar seseorang menyatakan, “... takkan ada kejayaan Islam tanpa terlebih dahulu mencapai keunggulan ekonomi. Selanjutnya, takkan ada keunggulan ekonomi, tanpa mendirikan lembaga keuangan, yang tak dapat beroperasi tanpa mengandalkan Rente atau Riba.”
Tanggapan atas pernyataan ini, bahwa 'pernyataan tersebut, keliru.' Tentu saja, umat Islam berkewajiban membangun ekonomi di atas fondasi yang kuat, mengandalkan dan menggunakan sarana yang diperbolehkan Allah. Kekuatan ekonomi, akan membantu umat melakukan apa yang Allah tetapkan, meninggalkan apa yang Dia, Subhanahu wa Ta'ala, larang, dan berwaspada akan makar musuh terhadap mereka.
Allah memerintahkan umat Islam, agar saling membantu dalam ketakwaan dan kebenaran, termasuk memenuhi persyaratan kontrak hukum dan melindungi hak-hak bersama dengan cara yang diperbolehkan. Dia, Subhanahu wa Ta'ala, juga memperingatkan mereka, agar tak saling-melanggar hak dan kepemilikan.
Kekuatan, kerjasama, legislasi yang benar dan persiapan yang matang, akan memungkinkan ekonomi Islam berkembang dengan aman, serta, membantu umat Islam meningkatkan kekayaannya, dan memperoleh kebutuhan dan manfaat yang sah, dengan menggunakan metode yang Allah izinkan.
Setiap kali umat Islam dengan tulus menjaga Perintah Allah dan menganjurkan agar saling-menjaga Hukum Islam yang benar, maka Allah akan menjadikan mereka, lebih baik, dan akan memberkahi harta dan pekerjaan mereka. Allah juga akan menolong mereka mencapai tujuannya dan selamat dari penjajahan.
Sebuah lembaga keuangan, selalu dapat berfungsi tanpa perlu adanya Riba, semisal yang terjadi pada ekonomi Islam di abad-abad yang lalu, terutama pada masa awal Islam. Selama era keemasan itu, ekonomi Islam, dianut secara murni, terbesar dan terkuat, tanpa harus bergantung pada Riba. Allah memberikan kemenangan bagi agama-Nya dan mengibarkan bendera Islam setinggi-tingginya, melalui orang-orang takwa terdahulu ini, menganugerahkan kepada mereka, rezeki yang luas; Sesungguhnya, kekayaan bumi disingkapkan bagi mereka.
Sebagai tanggapan, kami nyatakan, bahwa umat Islam mendapat manfaat dari sistem ekonomi Islam selama empat belas abad terakhir, jauh sebelum bank-konvensional beroperasi. Selama jangka waktu yang panjang itu, proyek dan industri yang ada dalam Masyarakat Muslim, tak bergantung pada jenis transaksi yang dilarang. Selanjutnya, kami menyatakan fakta bahwa di zaman modern, orang tak perlu berurusan dengan Riba, guna mempertahankan mata pencaharian mereka.
Kita hendaknya mencermati bahwa, segala jenis kealpaan dan ketidakadilan, dihasilkan dari terlibat dalam jenis transaksi yang diharamkan. Hal ini menjadi nyata, sewaktu masyarakat tak memenuhi kewajibannya terhadap anggotanya, contohnya, dapat dipercaya, amanah dan jujur kepada orang lain, dan juga, menghindari segala jenis transaksi yang tak dibolehkan, melibatkan Riba, Gharar, penipuan dan kecurangan."
Sesampai di rumah, seorang pemungut cukai telah menanti Nasruddin, menyampaikan bahwa ia belum melunasi tagihan cukai senilai 500 dinar. Ia diminta segera melunasinya. Seperti biasa, Pak Cukai menjelaskan bahwa cukai yang dipungut, akan digunakan membayar utang-negara beserta bunganya, yang dipakai membangun fasilitas umum, seperti jalan-tol, jalan-layang, pelabuhan, dan bandara. Dan Pak Cukai menukas, "Semuanya dibangun demi ...!" Mendadak, Pak Cukai tersedak dan terbatuk-batuk, mungkin bengeknya kambuh. Nasruddin membathin, "Demi siaapa... suaranya kagak jel-las!" Kemudian Pak Cukai menetapkan, "Karena itu, jika engkau tak mau melunasinya hari ini, maka engkau harus dibawa ke Pengadilan!" sembari menyerahkan selembar surat.

Pada hari Senin, Nasruddin Hodja pergi ke Pengadilan, dimana telah menuggu Pak Cukai dan Pak Hakim. Pak Cukai menyampaikan kepada Pak Hakim, "Orang ini, tak mau membayar cukai 500 dinar, yang sudah lama tertunda. Kami mohon, Yang Mulia memerintahkannya segera membayar, tanpa menunda lagi."
“Aku memang berhutang,” jawab Nasruddin Hodja, “Dan aku berniat membayarnya. Bila perlu, aku akan menjual sapi dan kuda milikku, tapi kan butuh waktu!”
"Ia berdusta," seru Pak Cukai. “Ia tak punya sapi atau kuda atau apapun yang berharga. Aku telah memperoleh informasi, bahwa ia bahkan tak punya makanan di rumahnya!” Dengan tenang, Hodja berkata, “Bila ia tahu aku sangat miskin, wahai Bapak Hakim, tanyakan padanya, bagaimana bisa ia mengharapkanku, segera membayarnya?” Sebagai tanggapan, Pak Hakim, yang ini nih, bijak, memberikan penilaian singkatnya, "Kalau begitu, Tuan Cukai, akankah engkau memaksanya membayar cukai, meski ia tak punya apa-apa?" Pak Hakim, lalu menolak kasus tersebut. 
Di rumah, Hodja, bertanya kepada istrinya, "Duhai sayang! Pernahkah engkau melintasi jalan-layang atau jalan-tol, atau mengunjungi pelabuhan dan bandara?" Sang istri dengan lembut menjawab, "Duhai Hodja, kita ini, cuma punya seekor keledai, bagaimana mungkin menikmati kemegahan seperti itu? Jangan berkhayal!"
Dr Swan mengimbuhkan, "Duhai saudara-saudariku! Dalam hubungan ekonomi yang bercalar-balar, semisal ketidakmampuan membayar utang pada waktunya, semuanya secara etis, tak-berfungsi dalam timbal-balik ekonomi ini: pelanggaran-janji, berdalih, tiada ruang berargumen. Kebutuhan uang demi memenuhi kewajiban membayar utang, mengarah pada pengibulan dan pengalihan. Wallahu a'lam."
Kutipan dan Rujukan :
- Aboo Ibraaheem Majeed Alee Hasan, Etiiquettes of a Muslim on Friday, Message of Islaam
- Abdul 'Aziz Ibn Abdullah Ibn Baz, Warning Against Riba (Usury) Transactions, translated by Jalal Abu Al-Rub, Madinah Publishers and Distributions
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassel, Peter and Galpin
- Minyatur Yayinlari, 202 Jokes of Nasreddin Hodja, Amazon