Selasa, 31 Agustus 2021

Mucho Mistrust (1)

Rembulan berkata setelah menyapa dengan salam, "Para pemimpin yang arif-bijaksana itu, mawas-diri; terjaga akan prasangkanya, kondisi-sosialnya, dan dengan demikian, mampu menyeimbangkan kecenderungan terlalu optimis dengan naluri intuitifnya. Seorang pemimpin yang bijak-bestari, mengumpulkan sebanyak mungkin ilmu dan pemahaman, agar memberdayakannya, demi membuat keputusan yang tepat, pada waktu yang tepat. Itulah sebabnya, para pemimpin yang arif-bijaksana, dikelilingi oleh orang-orang terbaik."
"Dan apa pendapat Hakim Keempat?" Pungguk ingin tahu. Rembulan mengungkapkan, "Hakim Keempat menjelaskan, 'Islam punya 'Dimensi Politik' selain sifat spiritual dan sosialnya. Isu-isu politik disebutkan lebih dari 100 kali dalam Al-Qur'an, setidaknya, 73 di antaranya, berkaitan dengan mencela penguasa yang tidak-adil, atau menyanjung orang-orang yang menyanggah, menikai atau menentang penguasa seperti itu. Seseorang bertanya kepada Rasulullah (ﷺ), “Jihad apa yang terbaik?” Beliau (ﷺ) bersabda,
كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
"Kalimat kebenaran di hadapan penguasa-tiran." [Musnad Ahmad; Sahih menurut An-Nawawi]
Rasulullah (ﷺ) menyatakan bahwa, yang terbaik dari seluruh syuhada itu, orang yang melawan penguasa lalim, menuntut keadilan dan menentang ketidakadilan sang-penguasa, dan ia, sebagai akibatnya, bisa jadi, kehilangan nyawanya.

Hari pertama Kalender Islam itu, hari ketika Rasulullah (ﷺ) sampai di Madinah, dan disambut sebagai pemimpin politik baru negara-kota, bukan atas kelahiran beliau (ﷺ), atau awal wahyu. Dan di antara proyek pertama yang Rasulullah (ﷺ) mulakan di Madinah, ialah penyusunan kontrak sosial-politik, yang dikenal sebagai Sahifatul-Madinah atau Piagam Madinah, yang mengakui setiap suku di Madinah, mengenali agama lain, dan menggambarkan bagaimana semestinya hubungan dilakukan di antara kelompok-kelompok suku dan agama ini. Piagam tersebut termasuk kesepakatan pertahanan bersama, mekanisme dasar resolusi konflik antar kelompok, dan otonomi bagi orang Yahudi sehubungan dengan urusan internal mereka.

Dalam ranah politik, Al-Hikmah, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah, mengangkat tema-tema luas tertentu mengenai isu-isu politik. Karena kedua sumber utama Islam ini, tak merinci banyak detail politik, bahkan saat keduanya membahas masalah sosial, politik, ekonomi, hukum, pribadi dan keluarga; penataan Undang-undangnya, tugas Ijtihad, atau yang dikenal sebagai 'Permusyawaratan\Perwakilan.'
Bila dikaitkan dengan konsep Demokrasi, ada dua konsep Islam yang berkaitan dengan politik: Syura dan Bai'at. Dalam pemikiran politik Islam, Syura, mengacu pada musyawarah, yang dilakukan dengan tujuan, mengumpulkan dan mendiskusikan pendapat yang berbeda tentang suatu hal tertentu, demi mencapai suatu keputusan. Mayoritas ahli fiqih klasik dan cendekiawan studi Islam kontemporer, menganggap Syura sebagai fardhu (diwajibkan). Para ulama—terutama yang berasal dari zaman klasik—yang memandang Syura bukanlah fardhu, tetap menganggapnya sebagai mandub (dianjurkan).

Konsep Syura atau Musyawarah, dipahami sebagai sarana tindakan yang disengaja, guna melindungi kepentingan publik dan menyelesaikan masalah publik. Jadi, apa itu musyawarah? Musyawarah bermakna, kegiatan mendiskusikan sesuatu dengan seseorang, sebelum membuat keputusan. Bermusyawarah bukanlah kebiasaan yang terisolasi. Kesediaan melibatkan-diri di dalamnya, dihasilkan langsung dari kualitas seperti kerendahan-hati, ketulusan, kehati-hatian dan semangat belajar. Tanpa kualitas-kualitas ini, tak seorang pun mampu turut-serta dengan tulus dalam Permusyawaratan. Iman kepada Allah, membawa serta semua kebajikan ini, dan membuat seseorang benar-benar tulus dalam segala aspek kehidupan. Ketulusan dan kerendahan-hati inilah, yang memaksa seorang mukmin agar tak memutuskan apapun, tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan orang lain.
Bentuk terbaik dari musyawarah itu, bilamana seseorang meminta nasihat orang lain, seraya berusaha berbagi pengalaman. Bermusyawarah itu, penting, tak hanya bagi individu, melainkan juga bagi masyarakat. Sejauh menyangkut individu, melalui musyawarah, ia mengembangkan kepribadiannya. Bermusyawarah, membuat seseorang menjadi orang yang lebih baik dan masyarakat yang terdiri dari individu-individu semacam ini, menjadi masyarakat yang arif-bijaksana.
Musyawarah yang berbuah, ada dua syarat yang menyertainya. Salah satu prasyarat musyawarah yang efektif, bahwa kedua-belah pihak hendaknya, berpikiran terbuka. Syarat lainnya, kedua-belah pihak, selayaknya siap menerima pendapat sesuai dengan kemampuannya dan tanpa bias. Bisa dilakukan antara si kaya dan si miskin, antara senior dan junior, antara yang berpendidikan dan yang tak berpendidikan, antara yang muda dan yang tua, atau antara lelaki dan perempuan. Sifat musyawarah yang mencakup semua ini, menjadikannya bermanfaat sampai batas tertinggi.
Kebiasaan bermusyawarah, menciptakan tingkat kepercayaan antara anggota masyarakat yang berbeda. Saling-percaya dan semangat kerja-sama, sangat penting demi membangun masyarakat yang baik, dan musyawarah itu, bagian penting dari prosesnya. Musyawarah, di satu sisi, budaya 'memberi dan menerima'. Ketika engkau memusyawarahkan suatu masalah dengan seseorang, itu bukan sekadar pertukaran verbal. Selama bermusyawarah, engkau mengambil sesuatu dari orang lain, dan juga memberikan sesuatu kepada orang lain. Sesungguhnya, masyarakat itu, ibarat keluarga, dimana adanya saling-percaya dan saling-menolong. Di sini, musyawarah tak bermakna menangani masalah-masalah besar belaka. Masalah semacam itu, tak diragukan lagi memerlukan musyawarah, akan tetapi, yang lebih penting, konsultasi pribadi. Setiap orang membutuhkan nasihat orang lain, bahkan dalam hal kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks politik Islam, Bai’at, dimaknai sebagai sumpah-setia yang diberikan kepada calon Kepala Negara, berdasarkan syarat-syarat tertentu. Hal ini dapat digambarkan sebagai kontrak dimana umat Islam mengucapkan bahwa mereka akan menerima orang yang dicalonkan sebagai pemimpin mereka, selama orang tersebut mematuhi syarat-syarat tertentu. Ini mungkin termasuk berbagai kebijakan dan janji yang berbeda tentang keadilan sosial, distribusi kekayaan, pertahanan militer dan sebagainya. Penting ditekankan bahwa, Bai'at dapat dibatalkan. Dengan demikian, Bai'at dapat dipersepsikan sebagai landasan bagi sistem 'checks and balances,' dan prinsip pertanggungjawaban negara kepada rakyat.

Konsep Bai'at, erat kaitannya dengan konsep Imamah atau konsep pengangkatan Kepala Negara, yang hukumnya, fardhu kifayah. Lembaga Kepala Negara, ditentukan untuk menggantikan kenabian sebagai sarana melindungi Dien dan mengelola urusan duniawi. Ada beberapa syarat yang sesuai dengan Imamah, umumnya, antara lain, Adil, yang memenuhi semua kriteria; Berilmu, yang membuatnya dapat melakukan ijtihad guna menghadapi kejadian-kejadian yang timbul, dan membuat kebijakan hukum; Pancaindranya lengkap dan sehat pendengaran, penglihatan, lidah, dan sebagainya, sehingga ia dapat menangkap dengan benar dan tepat, apa yang ditangkap oleh indranya itu; tak ada kekurangan pada anggota tubuhnya, yang menghalanginya bergerak dan cepat bangkit; Visi pemikirannya baik, sehingga ia dapat menciptakan kebijakan bagi kepentingan rakyat dan mewujudkan kemaslahatan mereka; Ia mempunyai keberanian dan sifat menjaga rakyat, yang membuatnya mempertahankan rakyatnya dan memerangi musuh. Ada juga syarat khusus, yaitu dari keluarga Quraisy, karena nash hadits kenabian tentang hal itu, dan berdasarkan ijma’.

Imamah, dalam doktrin Sunni, secara umum dipandang sebagai kekhalifahan historis, semacam kepemimpinan sah Islam setelah Nabi kita tercinta (ﷺ). Kepala Negara, dengan demikian, identik dengan khalifah yang berkuasa. Aturan yang sebenarnya, bahkan jika dikurangi seminimal mungkin, sangat diperlukan guna legitimasi imam. Teori Sunni klasik menganggap Lembaga Kepala Negara sebagai institusi yang diperlukan demi melegitimasi semua tindakan pemerintahan. Kepala Negara boleh ditunjuk oleh pendahulunya, atau dipilih. Dalam hal pemilihan, ada tiga syarat mengenai mereka yang berhak melakukan pemilihan, pertama, kredibilitas pribadinya atau keadilannya, memenuhi semua kriteria. Kedua, berilmu, yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak dan pantas memangku jabatan Kepala Negara dengan syarat-syaratnya. Ketiga, mempunyai pendapat yang kuat dan hikmah, yang membuatnya dapat memilih siapa yang paling pantas memangku jabatan Kepala Negara, dan siapa yang paling mampu dan pandai dalam membuat kebijakan yang dapat mewujudkan kemaslahatan umat.
Kepala Negara disebut Khalifah (penerus) karena ia meneruskan Rasulullah (ﷺ) sebagai kepala umatnya. Namun, mayoritas ulama, tak memperkenankan menyebutnya "Khalifah Allah," dan memperlakukan mereka yang mengatakan ini sebagai sesat, dengan argumen bahwa Khalifah meneruskan seseorang yang telah wafat, dan Allah tidaklah absen dan tidaklah mati.

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa tindakan meminta jabatan pemimpin negara, tidaklah makruh. Orang yang meminta jabatan dan berambisi memangkunya, tak dapat dihalangi atau dicegah, sebagaimana para anggota Dewan juga berkompetisi demi mendapatkan keanggotaanya.
Tak diperbolehkan adanya dua Kepala Negara atau pemimpin dalam satu waktu, dan ada sepuluh urusan yang bersifat umum, yang mengikatnya. Pertama, menjaga Dien agar tetap berada di atas pokok-pokoknya yang konstan, dan sesuai pemahaman yang disepakati oleh Generasi Salaf. Jika muncul pembuat bid’ah atau kesesatan, ia berkewajiban menjelaskan hujjah kebenaran baginya dan menjelaskan pemahaman yang benar kepadanya, serta menuntutnya sesuai dengan hak-hak dan aturan hukum yang ada, sehingga Dien terjaga dari kerancuan dan pemahaman yang keliru. Kedua, menjalankan hukum bagi pihak-pihak yang bertikai dan rnemutuskan permusuhan antar pihak yang berselisih, sehingga keadilan dapat dirasakan oleh semua orang. Tiada orang zhalim yang berani berbuat aniaya dan tiada orang yang dizhalimi, yang tak mampu membela dirinya. Ketiga, mennjaga keamanan masyarakat, sehingga manusia dapat hidup tenang dan bepergian dengan aman, tanpa takut mengalami penipuan dan ancaman atas diri dan hartanya. Keempat, menjalankan hukum had sehingga larangan-larangan Allah, tak ada yang melanggamya, dan menjaga hak-hak hamba-Nya agar tak hilang binasa. Kelima, menjaga perbatasan negara dengan perangkat yang memadai dan kekuatan yang dapat mempertahankan negara, sehingga musuh-musuh negara tak dapat menyerang dan tak menembus pertahanannya, serta tak bisa mencelakakan umat Islam atau kalangan kafir mu'ahad (yang diikat janjinya). Keenam, berjihad melawan pihak yang menentang Islam setelah disampaikan dakwah kepadanya, hingga ia masuk Islam atau masuk dalam jaminan Islam, atau dzimmah. Dengan demikian, usaha demi menjunjung tinggi agama Allah di atas agama-agama, seluruhnya dapat diwujudkan. Ketujuh, menarik fa'i dan memungut zakat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Syariat Islam, secara jelas dalam nash dan ijtihad. Kedelapan, menentukan gaji dan besarnya ‘atha kepada rakyat dan pihak yang mempunyai bagian dari Baitul-maal, tanpa berlebihan atau kekurangan, dan membagikannya tepat pada waktunya, tak lebih dahulu dari waktunya dan tak pula menundanya hingga lewat waktunya. Kesembilan, mengangkat pejabat-pejabat terpercaya dan mengangkat orang orang berkompeten demi membantunya dalam menunaikan amanah, dan wewenang yang ia pegang, serta mengatur harta yang berada di bawah wewenangnya, sehingga tugas-tugas dapat dikerjakan dengan sempurna dan harta negara terjaga di bawah pengaturan orang-orang terpercaya. Kesepuluh, agar ia melakukan sendiri inspeksi atas pekerjaan para pembantunya dan meneliti jalannya proyek, sehingga ia dapat melakukan kebijakan politik umat Islam dengan baik dan menjaga negara. la tak diperkenankan menyerahkan tugas ini kepada orang lain karena sibuk menikmati kelezatan atau beribadah, karena orang yang dipercaya, dapat saja menjadi pengkhianat, dan para penasehat, dapat berubah menjadi para-penipu.

Jika kepala negara telah menjalankan hak-hak umat, ia telah menunaikan hak Allah, baik yang berkenaan dengan hak-hak manusia, maupun kewajiban yang harus ia emban.
Saat itu, sang Kepala Negara punya dua hak atas rakyatnya, yaitu taat pada pemerintahannya, dan membantunya dalam hal menjalankan roda pemerintahan dengan baik, sepanjang karakternya tak berubah. Perubahan sifat Kepala Negara yang membuatnya keluar dari kompetensi sebagai Kepala Negara, ada dua hal: kredibilitas pribadinya rusak, dan terjadi ketidaklengkapan pada anggota tubuhnya. Rusaknya kredibilitas pribadi, dapat terjadi karena ia melakukan perbuatan yang fasik. Hal itu disebabkan dua jenis: ia mengikuti syahwatnya, dan mengikuti perkara yang syubhat. Yang pertama, berkaitan dengan perbuatan lahiriah, yakni dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, melakukan kemungkaran, mengikuti dorongan syahwat dan menuruti hawa nafsunya. Inilah kefasikan yang menghalanginya meneruskan jabatannya. Jika orang yang sedang menjabat Kepala Negara melakukannya, ia keluar dari kompetensi jabatannya itu. Jika ia kembali meraih kredibilitas pribadinya, ia tak dapat langsung memangku jabatannya kembali. Agar dapat menjabat kembali, ia harus mengikuti pemilihan dari awal.
Yang kedua, berhubungan dengan akidah, yaitu ia melakukan takwil terhadap suatu masalah yang syubhat, sehinga ia menghasilkan takwil yang menyalahi kebenaran.

Terdapat wujud ketidakmampuan Kepala Negara untuk bertindak, ada dua bentuk, yaitu 'terkuasai' dan 'tertawan.'
Pengertian terkuasai, jika pembantu-pembantunya, menguasai dan merebut kendali pemerintahan darinya, namun mereka tak memperlihatkan kemaksiatan dan membuat kesulitan terhadap masyarakat. Hal ini, tak menggugurkan jabatannya dan tak merusak legalitas jabatannya. Akan tetapi, hendaknya dicermati tindakan orang-orang yang menguasai kendali pemerintahannya itu. Jika berjalan sesuai dengan hukum agama dan keadilan, mereka boleh dianggap sebagai pelaksana kebijakan Kepala Negara. Hal ini dilakukan agar tak mengganggu jalannya pelaksanaan urusan-urusan agama, yang dapat membuat kerusakan Umat. Jika tindakan-tindakan yang mereka perbuat telah keluar dari rel tuntunan agama dan keadilan, mereka tak boleh diakui, dan selayaknya dimintakan pertolongan pihak yang dapat menangkap dan menghapuskan hegemoni kekuasaan mereka.
Adapun 'tertawan,' jika seorang calon Kepala Negara jatuh dalam tawanan musuh dan ia tak dapat membebaskan dirinya dari penawanan itu. Hal ini membuatnya tak dapat diangkat menjadi Kepala Negara, karena ia tak mungkin dapat menjalankan tugas jabatannya mengatur urusan kaum muslimin, baik musuh yang menawannya itu, kalangan musyrikin maupun kaum musiimin yang memberontak. Umat dapat memilih calon lain dari individu-individu yang berkompetensi, agar dipilih sebagai kepala negara.
Jika sang Kepala Negara jatuh ke dalam tawanan musuh setelah ia diangkat menjadi Kepala Negara, seluruh umat harus menyelamatkannya, karena dengan kepemimpinan yang ia pegang itu, kaum muslimin berkewajiban menyelamatkannya selama ia tetap memegang jabatannya, dan masih ada harapan membebaskannya, baik dengan perang maupun dengan penebusan. Adapun jika tak ada lagi harapan dapat dibebaskan, perlu dilihat siapa pihak yang menawannya, kaum muslimin yang memberontak, ataukah kaum musyrikin.

Perlu dicatat bahwa semua konsep yang telah dikemukakan, memanifestasikan kecenderungan yang kuat terhadap birokrasi dan mereka yang berada di dalam pemerintahan, agar menjalankan perintah Ilahi untuk 'mengajak pada kebajikan dan menolak berbuat kejahatan,' yang pada masa Rasulullah (ﷺ), dipahami sebagai tanggungjawab masing-masing dan setiap orang, dan kini telah dilembagakan ke dalam konsep Hisbah, sebuah doktrin Islam yang mengacu pada penegakan 'Moral Masyarakat,' berdasarkan perintah Al-Qur'an, 'amar ma'ruf, nahi munkar.' Ada pandangan yang meyakini bahwa para ulama, melaksanakan Hisbah dengan 'lidah,' dan para pejabat negara, sepantasnya menggunakan 'tangan.'

Jumat, 27 Agustus 2021

Omnes Pro Uno

"Dan apa yang diucapkan Hakim Ketiga?" bertanya Pungguk segera setelah Rembulan menyapanya dengan salam. Rembulan menjawab, "Kan kusampaikan apa yang kutangkap!
Hakim ketiga menyebutkan, "Persatuan memberi kekuatan. Perpecahan dan permusuhan, akan menjungkirbalikkan negara, sedangkan persatuan, melahirkan perkembangan dan kehebatan. Sebuah kerajaan yang terpecah-belah, tak dapat bertahan. Dan karena begitu pentingnya Kesetiakawanan dan Aliansi, bagi keberadaan dan kebahagiaan kita, tak perlulah kita sering diperingatkan agar tak membiarkannya dicerai-beraikan oleh para pendongeng dan pembisik, atau rencana-rencana busuk para rival kita.

Perhatikan sketsa berikut,
Tersebutlah seorang Raja, memiliki banyak Putra, dan masing-masing, memelihara panji-panjinya sendiri. Namun, mereka sinambung saling-bertikai tentang pataka siapa yang terbaik. Hari demi hari, mereka terus-terusan bertengkar, sampai-sampai tercerai jadi dua kelompok. Kelompok pertama, terdiri dari pangeran yang disokong oleh para bangsawan, dan karenanya, punya keunggulan. Mereka mampu menguasai para penggawa, wazir, aparat keamanan, hakim dan hampir seluruh orang-besar Istana. Mereka menyebut dirinya, "Para Pemegang Pataka."
Mereka berhasil menghalau kelompok kedua, para pangeran yang berpihak pada rakyat-jelata, keluar dari lingkaran istana. Mereka menempatkan kelompok kedua, di seberang sungai, dan mereka menyebutnya "Para Antagonis."
Para Pemegang Pataka, berbuat sesuka hatinya, bahkan adat-istiadat Istana pun, jika menghalangi maksud dan tujuan mereka, segera diubah. Walhasil, seluruh aturan telah dialihkan menjadi, apa yang disebut, "Unus pro Omnibus," yaitu keuntungan bagi mereka, dan hukuman bagi semua, yang menolak cara mereka. Haruskah sebuah buku dinilai dari sampulnya?
Sang Raja, tak mampu berkata apa-apa, ia gagal memulihkan perselisihan dengan nasihatnya, meskipun telah menggunakan segala cara dalam kekuasaannya, agar membujuk mereka, menghentikan perselisihan. Ketika pertengkaran itu, jauh lebih ganas dari biasanya, sang Raja ambruk, gering-gawat, tertekan memikirkan para putranya.
Suatu hari, di ambang kematian, sang Raja, disertai oleh Tabib kepercayaannya, ditemani putranya yang masih muda, memanggil para Pangeran. Para Antagonis, apes, sebab, satu-satunya jembatan, darimana mereka berada, telah diruntuhkan, dan para pengawal, dikerahkan menghalangi mereka, menyeberangi sungai. Lantas, cuma Para Pemegang Pataka yang menghadiri pertemuan dengan sang Raja.

Maka, mereka berkumpul mengitarinya, menunggu nasihat perpisahan. Ia menceritakan sebuah fabel,
Empat ekor Banteng, telah menjalin kesetiakawanan yang sangat erat, selalu saling berdekatan, dan makan bersama. Sang singa selalu memperhatikan mereka, dan sering berniat, memangsa mereka satu per satu. Akan tetapi, meski ia sendiri, mampu dengan mudah menaklukkan seekor dari mereka, ia tak berani menyerang seluruh Aliansi, sebab ia sadar, hal itu akan menyulitkan dirinya. Berhubung demikian, ia berpuas-diri dengan menjaga-jarak. Belakangan, merasa tak ada upaya yang bisa diperbuat terhadap mereka, selama ada persatuan di antara para banteng, ia mengambil peluang, dengan kisikan dan duaja, yang menimbulkan kecemburuan-sosial dan menimbulkan perpecahan di antara mereka.
Taktik ini berhasil dengan sangat baik, sehingga para Banteng saling-dongkol dan menutup-diri, yang segera matang jadi kebencian dan keengganan, dan, puncaknya, berujung pada perpecahan-absolut. Sang singa telah menunaikan misinya; dan—ketika para Banteng bersatu, mustahil baginya menyakiti mereka—kini, ia tak mengalami kesulitan sama sekali. Mereka telah bercerai-berai, sekaranglah waktunya, menerkam dan melahap para Banteng, satu demi satu.
Sungguh menyedihkan, tak satupun putranya, memahami perumpamaan dimaksud, mereka hanya saling-menatap, ketika ditanya, apa pesan moral cerita tersebut. Maka, ia memerintahkan salah seorang pangeran membawakan seikat tombak, lalu menyerahkannya kepada masing-masing pangeran lain, secara bergiliran. Ia meminta mereka, agar berusaha mematahkannya. Namun, meski masing-masing telah mengerahkan upaya terbaiknya, tiada yang sanggup. Sang Raja lalu menyuruh ikatan tombaknya, dilepaskan, dan setiap pangeran agar mengambil sebuah tombak, setelah itu, menginstruksikan masing-masing, mematahkannya, Dengan cara ini, mereka enteng melakukannya.
Dengan wajah ceria, sang Raja bertitah, "Nah, kalian semua, pahamkah?" Semuanya, diam, cuma saling pandang-pandangan, menggeleng dan bergumam satu sama lain, "Kaagak!" "'Gak kebayang!" "Mumet!" "Rah iso mikir!" "K'palaku pening!" "Kupingku berdenging!" "Cape deh!" "Apah?!" "Bisa diulang?"
Mendengar ini, sang Raja menepuk jidat, "Duh Gustiii!" dan mendadak, megap-megap, dan menghembuskan napas terakhirnya, dengan mulut menganga dan mata membeliak.

Dalam perjalanan pulang, sang pemuda bertanya kepada sang Tabib, "Duhai ayah, makna apa yang sang Raja hendak ungkapkan?" Sang Tabib menalarkan, "Pesan moral kisah empat Banteng, sangat populer, dan bila berupaya mencerahkannya, ibarat memegang lilin di bawah sinar-mentari. Pangkal Kesetiakawanan dan Aliansi itu, teramat penting bagi keberadaan dan kebahagiaan kita, tak perlulah kita terlalu sering diperingatkan, agar tak menderita bila dihancurkan oleh muslihat dan makar musuh kita. Dengan muslihat-keji seperti itu, atau memang oleh kecerobohan kita sendiri, kita kehilangan Kesetiakawanan, mengguncang kepentingan yang paling mendasar kita, dan singkirkan pilar yang berkontribusi mendukungnya. Perkara semacam ini, sah bagi semua individu, sahih juga bagi kerajaan dan negara; dan kata-kata bijak yang tak terbantahkan seperti yang ada sebelumnya, dipecut karena perhatian umat manusia, oleh insan terbaik yang pernah hidup, bahwa, manusia tak terkalahkan, jika bersatu.
"Mengenai Tombak," lanjut sang Tabib, "Sebuah kerajaan yang terberai oleh dirinya-sendiri, akan mengalami kehancuran; dan hal yang sama berlaku, di semua lini masyarakat dan korporasi manusia, dari konstitusi negara, hingga setiap perkumpulan kecil. Setiap keluarga, hendaknya menganggap dirinya sebagai bagian terkecil dari sebuah negara, dimana setiap anggotanya, pantas dipersatukan oleh satu kepentingan bersama. Perselisihan, berakibat fatal bagi kebahagiaan mereka, sebagaimana pengelompokan-pengelompokan, akan berbahaya bagi damainya persemakmuran. Namun sesungguhnya, perlunya Aliansi dan Kesetiakawanan, memperluas dirinya, ke segala jenis hubungan dalam kehidupan, dan akan sangat membantu, demi keuntungan mereka yang menghargai dan mengolahnya. Tak ada musuh yang berani menyerang anggota-tubuh manusia yang saling terkait-erat, dan akan takut menyinggung salah seorang anggotanya, agar tak menimbulkan kemarahan yang lain. Tapi jika mereka tersarak menjadi beberapa kelompok, dan terpercah-belah oleh pertikaian, bahkan lawan yang remeh pun, akan berani menyerangnya, dan seluruh persaudaraan akan bertanggung jawab atas kesalahan dan kekerasan itu."
Hakim Ketiga mengimbuhkan, "Tiada yang lebih penting demi melengkapi dan melanjutkan kesejahteraan umat manusia, selain masuknya mereka ke dalam, dan memelihara, Aliansi dan Kesetiakawanan. Keamanan suatu pemerintahan, terutama bergantung pada hal ini; dan karenanya, ia dilemahkan dan disibakkan oleh musuh-musuhnya, dalam bentuk perpecahan kelompok-kelompok. Sebuah kerajaan yang terpecah-belah, akan runtuh. Dan hal yang sama berlaku di antara semua kalangan masyarakat dan badan-usaha manusia, dari dasar-negara sampai ke setiap paguyuban kecil. Namun perlunya Kesetiakawanan, meluas ke segala macam hubungan dalam kehidupan; sebab itu sangat bermanfaat bagi sebuah keluarga atau bangsa. Mereka yang sebangsa, berkecenderungan alami untuk bersatu, yang mereka, dengan segala cara, tumbuh dan berkembang. Akan sangat melegakan bagi orang lain, saat melihat mereka ambruk di bawah bencana apapun, bila mengetahui bahwa ada banyak orang yang bersimpati; beban berat kesedihan, yang mereka tanggung, menjadi ringan, bila dibopong bersama-sama. Dan kemudian kebahagiaan, dari semua keinginan kita, butuh dikomunikasikan, dan umumnya bertambah, sebanding dengan jumlah mereka yang mengambil bagian dalam kebersamaan. Kita melawan ancaman dan dendam musuh, saat kita yakin, bahwa mereka tidaklah menyerang kita sendirian, melainkan menghadapi sekelompok Aliansi pada saat yang sama. Namun mereka yang berperilaku sedemikian rupa sehingga tak mau bersatu, hidup dalam ketakutan dan kedengkian abadi terhadap umat manusia, karena mereka sadar akan kelemahannya, dan tahu bahwa diri mereka mudah ditaklukkan, atau dipecahkan berkeping-keping oleh serangan perdana."

Rembulan memadukan, “Semua untuk Satu? Persatuan sungguh perlu, tapi bersatu demi membela kejahatan, penguasa lalim, pemimpin buruk, atau sesuatu yang mengarah pada kehancuran, perlu dipertanyakan. Dalam perspektif Islam, konsep Kesetiakawanan dan Aliansi, terkandung dalam doktrin al-Wala' wal Bara.' Kesetiakawanan dan Aliansi bagi seorang Muslim itu, teruntuk Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), dan orang-orang beriman, melalui keyakinan yang mengakar—'aqidah—dan atas pondasi yang kokoh. Ia tak membentuk Aliansi berdasarkan pengelompokan, kepentingan atau tujuan, maupun jalan, yang bertentangan dengan Kitabullah. Virtus omnia in se habet; omnia assunt bona, quem penes est vertus—Kemakrufan punya segala sesuatu dalam dirinya; sesiapa yang makruf, memiliki segala kebajikan, yang menyertainya. Umat ini, cukuplah bersama Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan tak pantas di antara mereka, saling bermusuhan, karena beranggapan bahwa yang benar itu, apa yang dianut kelompoknya, dan yang bukan, disangkal. Wallahu a'lam.”
Kutipan dan Rujukan:
- Muhammad Saeed Al-Qahtani, Al-Walaa' Wa'l-Baraa', Al-Firdous Ltd
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons

Selasa, 24 Agustus 2021

Kecantikan, Tak Sebatas Kulit (2)

Hakim Kedua bercerita, "Tersebutlah seseorang, punya putra dan putri. Sang putra, sangat tampan, dan sang putri, yang sedang-sedang saja. Suatu hari, mereka duduk di dekat cermin, yang berada di atas meja toilet ibu mereka. Sang putra, riang dengan barang barunya, memandang dirinya selama beberapa saat, dan dengan canda, namun agak lancang, menggoda sang putri, dengan mengatakan, betapa tampan dirinya. Sang putri tersinggung, dan tak tahan dengan ucapan nakal sang putra, ia memahaminya sebagai—sebab tak mungkin ia berbuat sebaliknya—dimaksudkan sebagai sindiran langsung padanya. Karenanya, ia segera berlari menemui sang Ayah, dan dengan sangat kesal, mengadu tentang sang kakak, terutama lantaran berlaku bak banci, bersolek di depan cermin, dan mencampuri hal-hal yang cuma menjadi milik kaum-wanita.
Sang ayah, memeluk keduanya, dengan penuh kelembutan dan kasih-sayang, dan menyampaikan bahwa ia ingin, mereka, memandang ke dalam cermin, setiap hari. Ia menambahkan, seraya berbicara kepada sang putra, "Dengan maksud agar, jika engkau beranggapan, wajahmu tampan, janganlah mencemarkan dan merusaknya, dengan perangai-buruk dan perilaku tercela. Ketampanan itu, sebagaimana yang tampan lakukan."
"Dan bahwa engkau," sambil berkata kepada sang putri, "Perbaikilah kekurangan pribadimu, bila ada, oleh manisnya tata-kramamu, dan keramahan ucapanmu. Kecantikan, tak sebatas kulit. Kecantikan batiniah, lebih baik dibanding kecantikan lahiriah. Kecantikan terbaik itu, dibesarkan dalam qalbu dan akal."
Dan iapun menyemangati mereka, "Duhai anak-anakku, kita hendaknya, setiap hari memandang diri kita sendiri, dengan menimbang-nimbang, agar mengubahnya menjadi tujuan yang lebih baik, daripada sekadar mengamati dan mengagumi kepribadian kita. Soyogyanya, mereka yang telah dimurahkan dengan karunia-Nya, dalam hal anugerah wajah yang baik, dengan sebaik-baik manusia, kesehatan, dan kekuatan, selalu ingat bahwa inilah takdir, yang sepantasnya, selalu disyukuri, namun jangan pernah disia-siakan. Kualitas seperti ini, hendaknya sebagai pemacu, agar mendorong kita mengembangkan daya-pikir, dengan belajar, dengan membaca, dan merenung, sehingga sesuai keindahannya, dengan penampilan luar kita.
Sekali lagi, sepantasnya, yang tak memiliki apa-apa dalam penampilan pribadi mereka, agar menarik perhatian dunia, berusaha juga meningkatkan kemampuan pikiran, dan menjuarai keindahan perangai yang baik, dan ucapan-ucapan yang menyenangkan, pesona yang—terlepas dari eksterior yang kasar—tak menghalangi pemiliknya, disayangi oleh semua orang yang berakal, yang akan dengan mudah menemukan nilai intrinsik, baik itu dari imajinasi yang hidup, persepsi yang jelas, maupun ketulusan-hati.

Perhatikan ucapan berturut-turut ini!

Perlakukan semua manusia dengan hormat. Martabat manusia itu, hak yang melekat, tak dapat dicabut, dan tak dapat diganggu-gugat dari setiap manusia. Allah telah memuliakan semua Anak Adam. Seluruh manusia itu, Anak Adam. Jadi, semua manusia, sepantasnya diperlakukan dengan hormat, dihargai dan diperhatikan, tanpa pembedaan apapun, seperti warna-kulit, ras, keturunan, latarbelakang sosial, asal kebangsaan, jenis-kelamin, usia, bahasa, agama, politik atau afiliasi dan mazhab, pendidikan, pekerjaan, penugasan, harta, kekayaan atau status lainnya.
Berikan penghormatan tertinggi pada orang yang berintegritas tertinggi. Walau tingkatan rasa-hormat dan penghargaan tertentu itu, milik semua manusia, mereka yang menunjukkan tingkat integritas tertinggi, berhak mendapatkan tingkat kehormatan tertinggi. Kriteria kehormatan yang lebih besar, bukanlah harta, kekayaan, ras, latarbelakang etnis, warna kulit, jenis kelamin, kebangsaan, latar belakang sosial, bahasa, pekerjaan atau apapun selain integritas. Bukan gelar akademis atau tingkat pendidikan, atau mazhab manapun, yang tak diterjemahkan ke dalam integritas karakter.
Konsep persamaan di depan hukum, berbeda dengan konsep persamaan dalam hal persyaratan, integrasi kesatuan harmonis, tatanan aturan atau perilaku. Al-Qur'an telah menunjukkan perbedaan berikut mengenai ketidaksetaraan persyaratan, integrasi kesatuan harmonis, tatanan aturan atau perilaku: Orang buta—secara metaforis—tak sama dengan orang yang melihat; Orang tuli—secara metaforis—tak sama dengan orang yang mendengarkan; Kegelapan dalam bentuk apapun, tak sama dengan terang-benderang; Air tawar dan manis, tak sama dengan air asin dan pahit; Yang hidup, tak sama dengan yang mati; Orang yang berilmu, tak sama dengan orang yang bodoh; Kebaikan, tak sama dengan kejahatan; Yang kejam, tak sama dengan yang baik, walau yang kejam itu, punya keberlimpahan yang mengesankan; Mereka yang beriman dan beramal-shalih, tak sama dengan mereka yang melakukan kebatilan; Mereka yang menjalani kehidupan neraka, tak sama dengan mereka yang menjalani kehidupan surgawi.

Ucapanmu, selaraskan dengan yang ada dalam hatimu. Mulutmu, akan melontarkan kemunafikan, bila mengucapkan sesuatu, yang berbeda dari apa yang ada dalam hati dan pikiranmu. Kebenaran itu, ketika engkau mengatakan dengan mulutmu, seperti dalam hati dan pikiranmu. Jika ada sesuatu yang berbeda dalam hati dan pikiranmu, dari apa yang engkau cakapkan, maka meski jika engkau nyatakan fakta, engkau tak dapat dianggap benar. Selama kata-katamu tak sesuai dengan pikiranmu, engkau tetap munafik dan tak dapat dianggap sebagai orang yang benar dan jujur.
Selalu utarakan kebenaran. Janganlah membuat pernyataan yang keliru atau menyesatkan, yang tak sesuai dengan fakta, kenyataan atau yang sebenarnya. Dan janganlah engkau mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Janganlah mengungkapkan kebenaran sebagian melainkan seluruh kebenaran, dan tak mencampur kebenaran dengan kepalsuan. Jangan pula menyajikan kebohongan dengan kedok kebenaran. Jangan cuma seolah-seolah mengatakan kebenaran, tetapi katakanlah yang sebenarnya. Mengatakan setengah benar atau mencampuradukkan kebenaran dengan kepalsuan itu, penipuan, dan tak boleh menipu orang lain dalam hal apapun. Misinformasi itu, semua tentang informasi—yang tak disengaja—tak akurat atau tak benar, yang muncul dari ketidaktahuan. Disinformasi, bertujuan menipu dan dirancang agar menyesatkan orang lain. Janganlah menyebarkan misinformasi maupun disinformasi.
Bicaralah yang lurus, tanpa ambiguitas atau penipuan. Ucapkan kata yang baik, dengan cara yang baik. Bicaralah dengan suara yang lemah-lembut. Kata-kata, tertulis atau lisan, punya kekuatan besar mengubah dunia di sekitar kita. Kata-kata yang baik, dapat mengilhami perasaan yang baik—misalnya, kebahagiaan, kepuasan, cinta atau kasih-sayang—dan tindakan yang diinginkan, termasuk kepahlawanan. Kata-kata kasar, dapat menimbulkan sentimen buruk, atau tindakan, atau reaksi yang tak diinginkan—misalnya, ketakutan, kebencian, kemarahan atau permusuhan. Tak hanya pilihan kata, yang mempengaruhi sikap dan perilaku orang yang kita ajak bicara, tetapi cara kita mengucapkan kata-kata yang dipilih, juga memainkan peran penting dalam hal ini. Oleh sebab itu, usahakanlah selalu memilih kata-kata terbaik untuk diucapkan, dan mengucapkannya dengan cara yang sebaik mungkin. Tergantung pada tempat dan waktu, jika memungkinkan, hindari menggunakan kata-kata slang. Kata-kata slang itu, kata-kata yang tak dianggap baku dalam bahasa atau dialek penutur, terutama dalam acara-acara resmi. Kadang-kadang, bisa termasuk bahasa yang tabu atau vulgar secara sosial, yang selayaknya dihindari dalam keadaan apapun. Berbicaralah dengan cara yang beradab, dalam bahasa yang diakui oleh masyarakat sebagai hal yang pantas secara sosial dan moral. Hindari pembicaraan jalanan yang murah dan gaul; berbicaralah dalam bahasa yang bermartabat dan sopan.

Bawa dirimu berkeliling, dengan cara yang bersahaja, santun, dan bermartabat, yang ditandai dengan kerendahan-hati, kalem, dan tenang. Dalam berjalan, seyogyanya engkau menahan pandanganmu dari segala tatapan bandot dan tatapan cabul. Engkau sepantasnya 'berbuat sesuai perkataan' dan belajar 'membawa keteladanan'. Selalu ingat bahwa, 'perbuatan itu, berbicara lebih lantang dibanding kata-kata'. Jadikan dirimu sebagai panutan perilaku, yang ingin engkau lihat pada orang lain, daripada berceramah tentang perilaku yang baik. Seluruh pemimpin besar dunia, telah menjadi panutan, yang menetapkan standar yang digunakan orang lain, agar mengkalibrasi perilaku mereka sendiri. Oleh karenanya, jadilah panutan, bukan ngomong-doang. Hidupkan nilai-nilai dirimu, daripada cuma meyakininya.
Jangan pernah melanggar batas hukum, moral, etika, sopan-santun, atau batas lain yang sesuai dalam kehidupan sehari-harimu. Hindari keagresian, pelanggaran dan pemborosan, yang mungkin kuantitatif—israf—atau kualitatif—tabzir. Jangan pernah agresif dalam kesumat, permusuhan atau kebencian. Demikian pula, jangan pernah melanggar batas hukum atau moral yang ditetapkan oleh Yang Mahakuasa dalam hal apapun. Selain itu, jangan boros dalam hal memuaskan rasa lapar, haus, atau syahwatmu. Jangan boros dalam pengeluaranmu, atau pelit, melainkan berimbanglah di antara kedua ekstrem ini. Daripada membelanjakan uang secara boros demi lagak dan pamer, lebih baik belanjakan demi kesejahteraan keluarga, kaum-kerabat, fakir miskin, dan tunawisma.

Konsep kepribadian tentang kebersihan dan bersuci, tak hanya berkaitan dengan lahiriah, tetapi juga, pikiran, qalbu dan batin. Bukan hanya kebersihan tubuh yang penting, tetapi, selain secara teratur membersihkan tubuhmu, berusahalah berakal-sehat, hati-nurani yang bersih, dan serangkaian emosi yang ideal. Tiada kebaikan semata dengan berpenampilan bersih, tapi membawa pikiran kotor, hati-nurani memberontak, dan nafsu terhina.
Berpakaianlah dengan apik, sebab tujuan berpakaian bukan cuma menutupi rasa-malumu, melainkan pula, membuatmu terlihat elok dan anggun. Namun, ingatlah selalu, bahwa pakaian yang elegan, hanya menghiasi tubuh dan kepribadian lahiriahmu, dan bukan karakter batinmu. Karaktermu yang sebenarnya, terletak di bawah kulit pertama dan keduamu, yaitu terletak pada daya-pikir, qalbu dan batinmu, serta ditunjukkan dalam perlakuanmu terhadap orang lain. Karenanya, selain dandanan yang elegan, engkau juga layak menghiasi karaktermu dengan jubah-integritas dan selendang-kebenaran.

Tunjukkan sifat Ihsan secara umum. Al-Qur'an memadukan konsep 'Adil'—sebagai 'memberikan apa yang semestinya'—dengan konsep 'Kepedulian atau Kesempurnaan' yang disebut, al-Ihsan.
Al-Ihsan termasuk,
  • Melakukan yang terbaik atau terindah, secara intrinsik atau ekstrinsik;
  • Melakukan yang menyenangkan secara visual, atau menyenangkan secara persepsi;
  • Bertindak atau berperilaku ramah dan baik;
  • Memperlihatkan kesempurnaan dalam pekerjaan dan perilaku umum; dan,
  • Menciptakan keseimbangan, simetri, dan proporsi yang adil.
Bila 'Adil' bermakna, 'memberikan apa yang menjadi haknya', maka 'ihsan' bermakna, 'memberikan lebih dari yang semestinya' atau 'mengambil lebih sedikit dari yang harus engkau bayar'. Misalnya, engkau berbuat adil, jika engkau membayar upah yang disepakati, yaitu karena seorang pekerja yang jasanya, engkau sewa. Namun bila engkau merasa bahwa jumlah upah tersebut, takkan cukup bagi sang pekerja demi memenuhi seluruh kebutuhannya, maka engkau memberinya lebih dari apa yang seharusnya atau yang disepakati, inilah makna 'al-Ihsan'.
Ketika persediaan dan perbekalan bagi seseorang sesuai dengan kebutuhannya, hidupnya tetap seimbang nan bahari. Dengan kata lain, ada 'keindahan' dalam hidupnya. Jika kebutuhan melebihi persediaan dan perbekalan, maka keseimbangan hidupnya, atau keindahan hidupnya, terganggu.
Demikian pula, jika ada orang dalam suatu masyarakat, punya terlalu banyak, dan yang lain, hanya memiliki sedikit, keseimbangan ekonomi masyarakat akan terganggu. Mengembalikan keseimbangan tersebut, disebut pula 'ihsan'. ‘Infaq’ atau belanja di jalan Allah, cara utama menciptakan keseimbangan ekonomi—atau ihsan—dalam masyarakat.

Berbuatlah ‘Ihsan’ bagi:
  • Orangtuamu;
  • Zavil Qurba, yaitu keluarga dan kaum-kerabat;
  • Al-Yatama, yaitu anak-yatim, janda dan orang-orang yang tak punya siapa-siapa, dalam masyarakat;
  • Al-Masakin, yaitu penyandang-cacat; mereka yang kehilangan pekerjaan; yang usahanya terhenti; yang penghasilannya tak dapat memenuhi kebutuhannya; tetangga dekat dan tetangga jauh; kolega atau rekan terdekat;
  • Ibnu Sabil, yaitu musafir yang membutuhkan; anak jalanan; tuna wisma;
  • Ma malakt aimanukum—"tangan-kananmu”—yaitu pembantu, bawahan, pekerja atau istri.
Jadilah termasuk 'muhsinin'. Beberapa sifat yang dikaitkan dengan muhsinin antara lain: Infaq, yaitu membelanjakan uang di jalan Allah; menahan emosi negatif, semisal, amarah; dan perasaan welas-asih, yang mendukung kesediaan memaafkan orang lain.
Ingatlah! Seburuk-buruk makhluk hidup di sisi Sang Pencipta itu, orang tuli dan buta, yang tak menggunakan persepsi indera, dan kemampuan berpikir, serta nalarnya. Oleh sebab itu, janganlah mengikuti secara membabi-buta, apapun yang tak engkau ketahui secara langsung. Dengan menggunakan kemampuan persepsi dan penalaranmu, hendaknya, engkau verifikasi terlebih dahulu. Bahkan jika sesuatu disajikan kepadamu sebagai petunjuk Ilahi, janganlah tuli dan buta olehnya.
Jangan pernah bekerja sama dalam berbuat amoral dan ilegal. Pertimbangkan pilihanmu bila ada kasus seperti itu, pada batu ujian moralitas dan legalitas. Engkau hendaknya membantu dan mendukung orang lain, dalam perbuatan yang lurus secara moral, mulia, terhormat, etis, sah dan halal. Jangan bekerja sama dalam kasus kejahatan, korupsi, pengecohan, penipuan, agresi, amoralitas, ilegalitas atau apapun yang keji atau jahat. Prinsip yang sama berlaku terhadap kerjasama antar individu, komunitas, politik atau pihak lain, serta antar bangsa. Sesungguhnya, pertolongan Allah-lah yang hendaknya kita pinta.”

"Itulah kata-kata yang diucapkan Hakim kedua. Malam berikutnya, akan kuutarakan, apa yang diucapkan Hakim Ketiga, Insya Allah," ucap Rembulan.
Sebelum berlayar ke belahan dunia lain, Rembulan menambahkan, "Duhai Pungguk! Kesempurnaan manusia itu, didasarkan pada dua kemampuan ini: Ilmu dan Cinta. Ilmu terbaik itu, ilmu tentang Allah, dan Cinta tertinggi itu, cinta kepada-Nya. Orang yang bijak-bestari itu, orang yang menempatkan hal yang benar pada tempat atau situasi, yang paling sesuai. Semakin arif-bijaksana seseorang, ia akan semakin bertaqwatakut kepada Allah. Ada hubungan antara taqwa, dan perilaku yang baik, karena takut kepada Allah, mempererat hubungan hamba dengan Allah; perilaku yang baik, mempererat hubungan antara seseorang dengan sesamanya, lantaran itu, takut kepada Allah, memungkinkan Allah mencintainya, dan perilaku yang baik, menjadikan orang-lain mencintai orang tersebut.
Jika engkau takut kepada Allah, Dia akan mencukupkanmu terhadap manusia, dan bila engkau takut kepada manusia, mereka takkan berguna bagimu, apapun terhadap Allah. Ia yang takut akan Allah, takkan pernah merasa kesepian. Sesiapa yang bertaqwa, maka manusia akan mencintainya, walau mereka tak menyukainya. Sesungguhnya, Allah-lah Yang menganugerahkan, kesuksesan. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- Marwan Ibrahim Al-Kaysi, Morals and Manners in Islam, The Islamic Foundation
- Tanveer Hussain, PhD, The Islamic Ethics and Behavior, The Islamic Teaching Series
- Ibn Al-Qayyim, Al-Fawaid, Umm Al-Qura
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
[Bagaian 1]

Jumat, 20 Agustus 2021

Kecantikan, Tak Sebatas Kulit (1)

“Semalam, aku telah menyampaikan ucapan Hakim Pertama, tentang Hikmah dan Aqidah. Malam ini, akan kusampaikan perkataan Hakim kedua,” sapa sang Rembulan setelah ucapkan salam.

Hakim kedua, menyatakan, "Tata-krama, dalam banyak budaya, ditentukan oleh keadaan lokal, dan oleh sebab itu, tunduk pada perubahan keadaan itu. Masyarakat manusia, bahkan komunitas suku primitif, sejak awal sejarah, semuanya telah mengembangkan aturan guna menata perilaku hubungan pribadi dan sosial. Aturan-aturan Ptah Hotep, buku tertua tentang Tata-krama, yang dikaitkan dengan orang Mesir kuno, mencatat ajaran-ajaran seorang ayah kepada putranya, tentang perilaku yang baik. Setiap orang, telah mematuhi aturan dan normanya sendiri; tata-krama telah sangat berubah selama berabad-abad, bahkan setiap orangpun, sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, dalam periode dan waktu tertentu.

Dalam perspektif Islam, Tata-krama Islam itu, ajek, karena berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Prinsip-prinsip luas, yang diperlukan guna menyelaraskan masalah-masalah, yang muncul dalam masyarakat manusia di berbagai zaman, terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagai cara hidup yang lengkap, Islam mengatur kegiatan ekonomi, politik dan ibadah serta tata-krama, yang berkaitan dengan transkasi dan rutinitas manusia sehari-hari. Islam tak sebatas pada kebaktian dan kelegalan tata-krama semata; tapi mencakup kriteria dan nilai-nilai, sikap, kebiasaan dan sopan-santun dalam setiap jangkauan perhatian dan hubungan manusia. Sebagai bagian dari keseluruhan ini, tata-krama Islami, berasal dari makna-makna Islam yang lapang, dan mencerminkan gagasan-gagasan dan nilai-nilai global.

Tata-krama yang baik, yang dianut Islam, yang diturunkan dari ajaran dan petunjuknya, disebut Adab al-Islam. Adab itu, istilah Arab, yang bermakna adat-istiadat; menunjukkan kebiasaan, etiket, kode perilaku yang berasal dari orang-orang yang dianggap sebagai panutan. Selama dua abad pertama setelah munculnya Islam, istilah 'adab' membawa implikasi etis dan sosial. Akar kata 'دب ' bermakna hal yang luar biasa, atau persiapan, pesta. Adab dalam pengertian ini, serupa dengan 'urbanitas' dalam bahasa Latin—kesopan-santunan, budi-bahasa, keberadaban kota yang berbeda dengan kekasaran Badui. Jadi, adab terhadap sesuatu, bermakna cara yang baik dari sesuatu itu.
Islam menentukan setiap aspek kehidupan seorang Muslim. Fakta esensial ini, sangat sulit dipahami oleh non-Muslim. Bagi seorang mukmin, Islam memberikan kriteria menilai seluruh perilaku dan tindak-tanduknya; ia menentukan hubungannya dengan individu lain, dengan masyarakat secara keseluruhan, dengan dunia fisik, dan juga, menentukan hubungan dengan dirinya sendiri.
Berbagai aspek Islam—ideologi, spiritual, hukum, sosial, ekonomi, politik, dll—saling konsisten dan saling melengkapi. Ekstensifnya adab al-Islam, sangat kontras dengan batasan 'etiket'. Asal-usul 'etiket,' dapat ditelusuri ke kata Prancis 'une etiket (tiket), daftar aturan rumit yang menetapkan perilaku, yang dapat diterima untuk setiap situasi, yang mungkin ditemui di pengadilan'. Adab al-Islam, bukan hanya aturan sopan-santun dalam berbagai kesempatan, tapi mencakup, segenap rentang hubungan manusia, dari tindakan yang paling sederhana, hingga urusan-urusan sosial yang paling rumit.
Makna adab al-Islam yang sebenarnya, terletak pada karakter dan fitrah keagamaannya. Ia berasal dari, dan menopang, kebutuhan manusia agar mengingat Allah, dalam rutinitas sehari-harinya; ia dirancang agar terus mengingat Allah, dan membantunya bertindak wajar dan benar. Ini terlihat nyata dalam doa-doa kepada Allah, yang menyertai sebagian besar peristiwa perilaku keseharian dalam Islam. 
Salah satu fondasi utama adab al-Islam itu, moral, landasan kepercayaan-diri dan kekuatan sebuah bangsa, dan lantaran itulah, korupsi dan maksiat, tentu saja merupakan salah satu penyebab utama kemunduran dan disintegrasi suatu bangsa. Mengingat pentingnya moralitas bagi kesehatan suatu bangsa, Islam normatif, pastinya, berhak menghadang dengan segala cara, yang mengarah pada kerusakan. Kenikmatan materil, seyogyanya tak mengorbankan kebajikan manusia, individu dan masyarakat. Politik, juga hendaknya sesuai dengan makna Islam, yaitu pengembangan karakter manusia, memanusiakan manusia.

Cita-cita kemanusiaan manusia, didasarkan pada konsep 'Amal Shalih' atau perbuatan-baik. Istilah ini, menerobos apa yang umumnya dipahami sebagai domain 'keagamaan' dan mencakup berbagai aktivitas manusia—dalam hubungannya dengan orang lain, hingga pada lingkungan benda bergerak dan tak-bergerak—yang dibenarkan dalam agama dan hukum Islam. Kehidupan Rasulullah (ﷺ), memberikan banyak keteladanan nyata: berlaku adil di antara dua orang, membantu seseorang menunggang kudanya, menolong memuat barang-barangnya, mengucapkan kata-kata yang baik, menghilangkan gangguan dari jalan-raya atau jalan-setapak, memberi makanan dan air-minum bagi anjing dan kucing liar, lebih dahulu menyapa orang lain, mengunjungi kerabat, dll; bahkan aktivitas bercinta dalam pernikahan, dinilai sebagai perbuatan-baik.
Karakteristik yang paling inklusif dari kepribadian Muslim yang ideal itu, kejatmikaan, kebersahajaan, dan tanpa keberpura-puraan. Keangkuhan dan kejemawaan dalam segala aspek perilaku, tak diterima, sebab tiada individu yang lebih tinggi dari yang lain, kecuali dalam tingkat iman dan kontribusi perbuatan baik. Jadi, pakaian yang menunjukkan keangkuhan, yang memamerkan status-sosial, tak diperkenankan. Tata-krama dalam makan, selayaknya menunjukkan kerendahan-hati, sebelum dan selama makan: tak dianjurkan bersandar di bantal. Duduk di lantai saat makan, tanda kerendahan-hati, dan karenanya, dianjurkan. Perabotan, sepantasnya menunjukkan kesopanan dan pengendalian-diri; misalnya, tempat-tidur, janganlah terlalu tinggi di atas tanah. Cara berjalan, cara menyapa dan berbicara, secara umum, hendaknya, menghindari noda-kekibiran.

Islam meminta dan menuntut, kebersahajaan dan kewajaran dalam segala aspek kehidupan, duniawi dan keagamaan. Berlebihan, eksentrisitas dan kepura-puraan, plin-plan dan ruwet, ditolak. Desakan pada informalitas tertentu dalam adab al-Islam, dimaksudkan agar memudahkan penggunaannya oleh sebagian besar anggota masyarakat Muslim. Kealamian tata-krama, dinilai sebagai sarana meredakan ketegangan-sosial, mengaktifkan dan memperkuat hubungan sosial.

Adab al-Islam, tak dirancang memecah-belah masyarakat menurut kelas sosial. Aturan-aturan yang diturunkan melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah, tak dirumuskan oleh golongan tertentu, yaitu golongan kaya dan berkuasa, agar menundukkan atau menjauhkan golongan lain. Islam sangat mementingkan kepatuhan seluruh masyarakat Muslim pada adabnya. Ia tak menganggap tata-krama ini, sebagai hak istimewa atau pemeliharaan kelompok tertentu, melainkan sebagai hak istimewa yang terbuka bagi setiap anggota masyarakat. Beragam tingkatan etiket, tak ada dalam Islam.

Fungsi Adab al-Islam dalam mempersatukan umat Islam, sekaligus sebagai ekspresi persatuan, sangat jelas. Namun Adab al-Islam, bukan sekadar tentang koherensi atau konsistensi perilaku; melainkan tentang koherensi atau konsistensi perilaku yang tepat. Dalam Islam, gagasan tentang perilaku yang 'tepat,' tak dapat dipisahkan dari pengertian perbuatan 'baik', atau dari 'iman' dan 'takwa'. Iman dan perbuatan-baik, keduanya diperlukan di dunia ini, demi masyarakat yang makmur dan ideal, dimana ada saling-berbagi dan tanggungjawab bersama. Dan kelak di Akhirat, iman dan perbuatan-baik itu, syarat yang diperlukan guna ampunan dan keselamatan, agar dapat masuk Jannah. Berlimpah ayat dalam Al-Qur'an, menghubungkan Iman dan Perbuatan-baik, sebagai ciri khas seorang Muslim sejati.

Dalam Islam, apa yang 'sentral' dan 'esensial,' ditentukan oleh hubungannya yang luas dengan tujuan-tujuan Islam, di antaranya, peradaban atau kemajuan masyarakat manusia, menggalakkan kebahagiaan dan kemakmuran, materi dan moral. Jika ditelaah, ketentuan dan larangan, yang merupakan bagian dari ajaran Islam, akan terlihat bukan keputusan yang sewenang-wenang, melainkan sistem perintah yang teratur, yang tujuannya—selain menguji ketaatan dan kesetiaan manusia kepada Allah—kemajuan manusia, sesuai jalur yang aman. tepat dan sempurna, pada tingkat individu, keluarga dan masyarakat. Rincian Adab al-Islam bukanlah formalitas yang tak berarti, tak disukai individu, karena tak terkait dengan kebutuhan aktual kehidupan pribadi atau sosialnya. Sebaliknya, ia secara langsung, membahas berbagai fungsi dasar, yang menyangkut seluruh anggota masyarakat, di hampir setiap waktu dalam kehidupannya. Ia ditujukan, mengkonsentrasikan perhatian pada pusat dan esensial, agar menyelamatkan manusia dari sesuatu yang kurang penting, dan yang mengalihkan perhatian. Ia membedakan cara dari tujuan, dan membantu individu dan komunitas, mengelola sumber daya pribadi dan kolektif, secara efektif. Mungkin bermanfaat bila mengilustrasikan poin umum ini, dengan membuat daftar kebutuhan dan fungsi dasar manusia seperti yang terlihat dalam perspektif adab al-Islam berikut:
  • Pakaian, terutama dimaksudkan melindungi pemakainya dari cuaca, dan menutupi bagian-bagian tubuh;
  • Perumahan, bertujuan menyediakan perlindungan dari iklim, dan mengamankan privasi dan keamanan yang diperlukan;
  • Kebersihan, selain melindungi manusia dari penyakit, juga mengekspresikan rasa-kemanusiaannya;
  • Perhiasan, make-up, dll., sarana seorang wanita agar terlihat menarik dan menyenangkan, di hadapan suaminya;
  • Cara berbahasa, penting sebagai sarana komunikasi, melayani dalam fungsi penting pertukaran dan hubungan dengan orang lain, seperti membeli, menjual, dll;
  • Humor, mengurangi ketegangan, dan menenangkan khalayak dalam sebuah pertemuan;
  • Hadiah, dimaksudkan agar mengungkapkan niat-baik, dan membina hubungan-baik dengan orang lain;
  • Mengundang orang lain makan, berbagi makanan dengan orang lain, agar menciptakan dan memperkuat ikatan sosial;
  • Hubungan sosial itu sendiri, dihargai karena mencegah atau membatasi isolasi-individu. Adat-istiadat sosial, dihargai, lantaran menciptakan stabilitas dan harmoni dalam hubungan sosial.
  • Makam, terutama untuk menghormati orang mati, tapi juga, melindungi yang hidup dari mayat yang membusuk;
  • Hewan, dalam hubungan langsung dengan manusia, dimaksudkan agar digunakan semata demi tujuan tertentu, seperti penyediaan makanan, tenaga-kerja, transportasi. Mereka tak bertujuan digunakan oleh manusia sebagai hiburannya, semisal, saat binatang saling diadu.
Aturan perilaku kehidupan Muslim, mengandung hikmah, baik dilihat dari segi agama, budaya, sosial, ekonomi, psikologis, maupun medis. Oleh sebab itu, demi kehidupan yang sehat dan seimbang, individu dan masyarakat, hendaknya menerapkan aturan-aturan ini, secara komprehensif dan seksama. Dimanapun diterapkan, dua hal yang sekiranya selalu diingat, yaitu kebajikan dan pertimbangan. Di antara akar makna 'Islam' itu—selain berserah-diri atau tunduk—perdamaian; seorang 'Muslim' itu, orang yang sudah tunduk pada ketetapan Allah, yang telah berusaha berdamai dengan Allah dan makhluk-Nya. Selain itu, Rasulullah (ﷺ) memastikan, seorang 'Muslim,' sebagai orang yang tak menyakiti orang lain, baik dengan tangan, ataupun lidah.

Kisah berikut, sketsa tentang nasihat seorang ayah, kepada putra dan putrinya.
[Bagian 2]

Selasa, 17 Agustus 2021

Lima Hakim

"Semalam, aku menyaksikan lima hakim, sedang duduk melingkar. Setiap Hakim, mensyarahkan sesuatu," buka sang Rembulan, "Namun sebelum melanjutkan, perhatikan ucapan ini,
Antiquae paginae narrant
[Pagina unik menarasikan]
Fabulas de antiquis temporibus
[Fabel dari zaman kuno]
Spei et virtutis, devotionis et amoris
[Asa dan darma, dedikasi dan afeksi]

Antiquae paginae narrant
[Pagina antik menarasikan]
Fabulas de antiquis temporibus
[Fabel dari zaman kuno]
Mea manus moratur super
[Tanganku meraba diatasnya]
Antiquos versus tamen nihil reddit
[Namun, pepetah kuno itu, tiada tanggapan]

Sola gutula in lacu temporis
[Walau setetes dalam liang waktu]
Perveniat litora nostrorum progeniorum *)
[Sampai di rantau para pendahulu kita]
Hakim pertama, menyuluh, "Ilmu itu, ibarat air. Dan air itu, terbagi menjadi samudera, selat, teluk, perairan, sungai dan danau. Danau terdalam itu, yang paling hening; engkau kan temukan laguh-lagah, di sisi danau yang terdangkal. Dalam visi manusia, danau yang dalam, punya tempat istimewa.
Jika engkau mendayung sampan ke titik-sentral danau, di situlah bagian terdalamnya. Dan bila engkau mencoba menggunakan visi artistikmu, dan lepaskan, cobalah terka, apa yang ada dalam perairan jenis itu. Dalam penemuanmu, engkau mungkin menemukan, monster, kota yang hilang, harta karun, putri duyung, alam kematian, dan sebagainya. Di situlah Akal dan Qalbu memainkan perannya, membentuk Daya-pikir Kritis, terakumulasi jadi Hikmah, dan hasilkan berbagai Kebijakan.
Kemudian, andai, engkau kembali ke tepian. Apa yang kan engkau temukan di sana? Tentulah, visi artistikmu tak mampu bekerja. Yang engkau temukan hanyalah, eceng gondok, berudu dan katak. Semakin engkau menuju ke birai, engkau kan jumpa, kodok dan bahkan, sampah. Itulah perbandingan kasar sederhana antara kedalaman dan kedangkalan ilmu.

Ilmu itu, informasi yang diketahui seseorang. Ilmu juga berguna memahami keyakinan seeorang tentang sebuah subjek, secara potensial, mampu menggunakannya demi tujuan tertentu. Ilmu ditimba dari pembelajaran, pendidikan, sains, daya-pikir, penalaran dan pemikiran logis.
Ilmu menjadi Hikmah, bila kita berkemampuan, mengasimilasi dan menerapkan ilmu, guna mengambil keputusan yang tepat. Seperti kata pepatah, 'Ilmu berbicara, namun Hikmah mendengarkan'.
Hikmah itu, kemampuan menilai dan memutuskan dengan tepat. Inilah kualitas tanwujud yang diperoleh melalui pengalaman dalam hidup kita. Hikmah menyiratkan lebih dari sekadar mampu memproses informasi dengan cara yang logis. Orang bijak dirahmati dengan pertimbangan yang baik. Hikmah dibangun di atas ilmu, yang bermakna, engkau bisa menjadi bijak dan berilmu, akan tetapi, engkau takkan mampu menjadi bijak tanpa berilmu.
Hikmah datangnya dari diri-sendiri, intuisi, pengalaman pribadi. Hikmah mendeskripsikan dan melembutkan kepribadian kita, "Sederhananya, Kepribadian itu, siapa kita, dan merupakan persona dan identitas dari segala yang kita perbuat."

Dalam perspektif Islam, Hikmah bermaqam di puncak. Makna muktabarnya, Hikmah sesuai dengan salah satu Nama Terindah Allah, yaitu al-Hakim atau Yang Maha Bijaksana. Inilah atribut yang mencerminkan keparipurnaan dalam esensi Sang Ilahi, yang membawa stempel ciptaan Allah yang indah. Jadi, Hikmah bersandar pada Allah, dan oleh latarbelakang ini, disebut Hikmah Allah. Hikmah Allah itu, Kitab-Nya, Al-Qur'an, dan hikmah Rasul-Nya (ﷺ), Sunnah beliau (ﷺ). Ilmu, dapat membuka pintu menuju Hikmah, tetapi Hikmah berbeda dari ilmu. Sains dan informasi, menyediakan sarana guna pencerahan. Al-Hikmah merupakan salah satu dari tiga ajaran utama Rasulullah (ﷺ), Ilmu Al-Qur'an, al-Hikmah dan at-Tazkiyah (penyucian diri). Setiap kategori, saling terkait. Ketiga ajaran fundamental ini, digabungkan, merupakan fondasi yang diperlukan guna membentuk kepribadian seorang Muslim sejati.

Puncak ilmu itu, mengenal Allah. Seseorang dikatakan berhasil dalam belajar atau menuntut ilmu, bila ia lebih mengenal Allah, dan mendekatkan diri kepada-Nya. Ilmu, tentulah akan didapat oleh orang yang mau menuntutnya. Namun Hikmah, dianugerahkan Allah, hanya kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Ilmu dapat dieksplorasi, Hikmah, sesungguhnya merupakan karunia Ilahi. Dalam hal berdakwah—sebuah kewajiban bagi seluruh Muslim dalam berbagai strata—berbeda menurut derajat ilmu, kearifan, metode, pangkat, profesi dan waktu. Salah satu hal yang mencerminkan Hikmah seorang Da'i atau Da'iyah, mendasarkan dakwahnya pada ilmu, karena Hikmah itu, bersumber dari Ilmu.

Ada dua syarat keimanan, Aqidah, yang mengakar kuat di dalam qalbu, dan amal, yang terwujud dalam tindakan seseorang. Jika salah satu dari dua komponen penting ini, hilang, iman akan musnah, atau menjadi tak seimbang. Oleh karenanya, hubungan antara kedua elemen ini, sangat penting. Iman itu, bagai pohon yang baik dan kuat, yang berakar kokoh di lahan yang subur, dengan cabang-cabangnya menjulang, menghasilkan buah yang berlimpah, produksi buahnya bagi semua orang atas nikmat Rabb-nya. Jadi, iman ibarat pohon; Aqidah berakar mendalam di qalbu, dan batang, cabang dan buahnya, amal dan tindakan.
Tak pelak lagi, jika akarnya dicabut, atau membusuk, atau kering, ia takkan ada lagi. Demikian pula, aqidah, kan tumbas, bila ia dicabut. Ketika batang atau cabang dipotong, atau ada yang ditebas, sang pohon akan melemah, dan bahkan mungkin mati, sebab keberadaan cabang dan daun, sangat penting demi kelangsungan hidup sang pohon. Begitu pula, jika amal diabaikan, sebagian atau seluruhnya, maka iman akan melemah, atau bahkan sirna.

Prinsip pertama Aqidah itu, iman kepada Allah. Prinsip Iman dan Amal inilah, yang paling penting, dan merupakan titik fokus Islam dan esensi Al-Qur'an. Tiada berlebihanlah kiranya, jika kita mengatakan bahwa seluruh Al-Qur'an, berbicara tentang keyakinan ini, karena Al-Qur'an mengutarakan langsung tentang Allah, serta Dzat, Nama, Sifat dan Tindakan-Nya. Al-Qur'an menyeru manusia beribadah hanya kepada-Nya, tanpa pasangan atau sekutu, dan meninggalkan penyembahan berhala, semuanya berkaitan dengan pewartaan tentang Allah, menyerukan pemenuhan kewajiban kita kepada-Nya, dan larangan beribadah yang ditujukan kepada makhluk atau benda. Atau, memerintahkan kita agar menaati-Nya, dan melarang kita mendurhakai-Nya, yang merupakan kewajiban iman.

Segenap isi Al-Qur'an, berbahasa tentang Iman kepada Allah. Hal inilah yang menjelaskan, mengapa kita menemukan bahwa Allah disebutkan dalam Al-Qur'an, dengan satu atau lain Nama dan Sifat-Nya, 10.062 kali; pada setiap halaman Al-Qur'an, Dia, Subhanahu wa Ta'ala, disebutkan rata-rata sekitar, dua puluh kali. Kita dapat mengatakan bahwa, iman kepada Allah, dalam kaitannya dengan semua prinsip-prinsip lain dan hal-hal kecil dari iman, laksana akar pohon, dalam kaitannya dengan batang dan cabang-cabangnya. Inilah dasar dari semua prinsip lainnya, fondasi agama. Semakin seseorang beriman kepada Allah, semakin ia, tumbuh dalam Islam.

Dalam titik pandang ini, kita membutuhkan orang yang beraqidah, bukan orang yang beropini belaka. Kita membutuhkan orang-orang yang dapat mengatasi penyakit dan masalah Umat ini, dan mereka yang cuma banyak beropini, tak dapat melakukannya. Ada perbedaan besar antara beropini, dan mengimani sesuatu. Jika engkau beropini, itu hanya menjadi bagian dari informasi yang engkau simpan; namun bila engkau mengimaninya, itu mengalir dengan darahmu, dan meresap jauh ke dalam qalbu dan benakmu.
Orang yang beraqidah, baki dan pasti; ia tak bimbang dan tak tak berspekulasi. Aqidahnya, benar dan malar, dan akan sungguh konsisten hingga belakang hari. Bukan lagi tunduk pada bukti, dan juga terjauh dari keraguan dan dugaan.
Orang yang semata berkesimpulan dan berpendapat, secara emosional, dingin, dan pesimis. Jika apa yang ia pikirkan terbukti benar, ia hanya tersenyum dengan menahan diri, dan bila tak terbukti benar, tak masalah, karena ia telah mengambil tindakan pencegahan agar memperhatikan bahwa, walau ia meyakini pendapatnya benar, bisa jadi, keliru, dan pendapat orang lain, yang ia sangka salah, mungkin benar. Sebaliknya, orang yang beraqidah, hangat dan antusias, dan tak merasa puas, kecuali Aqidahnya terpenuhi.

Orang yang hanya berpendapat, dapat dengan mudah berubah pikiran, dan menganut ide-ide baru, sebab ia hanya mengikuti dalil, atau kepentingannya sendiri, saat diterimanya dalam bentuk bukti. Sekadar pendapat, laksana mayat; yang tak bernyawa kecuali bila dihembus dengan nafas Aqidah. Opini belaka, semisal gua yang kelam, yang tetap tak bersinar, selain jika Aqidah menyinari dengan kebinarannya. Sekadar opini, ibarat kolam tergenang tempat nyamuk bertelur. Aqidah, di sisi lain, bagaikan samudera luas, dimana serangga kecil tak diperbolehkan berkembang biak. Semata opini, seperti nebula yang tak berbentuk, sedang Aqidah, bintang yang berpendar terang. Opini belaka, menimbulkan masalah dan rintangan, memperhatikan nafsu lahiriah, berbuah kebingungan dan menumbuhkan keragu-raguan, sedang Aqidah, tak hiraukan bahaya, menyebabkan jabal bergelegar, mengubah jalannya sejarah, menyeka kebingungan dan keragu-raguan, serta melahirkan kekuatan dan kepastian; ia tak memperkenankan apapun, kecuali pemenuhan intensi batin.

Seseorang bisa terpelajar, namun belum tentu arif-bijaksana. Perhatikan Apolog berikut, disajikan sebagai buah-pikiran,
Seekor Beluk-jampuk, yang secara seremonial, berkhidmat, menetap selama bertahun-tahun di reruntuhan kuil tua, dan sangat sering membaca manuskrip-manuskrip berjamur yang tidak-tidak, peninggalan pustaka ajar-ajar. Ia, yang tertular oleh sifat sombong dan riya' di tempat tersebut, dan mengira, kekeramatan sebagai hikmah, duduk-bersila sepanjang hari dengan setengah-mata tertutup, menganggap dirinya sangat terpelajar.
Dan sesuatu terjadi, pada suatu malam saat ia bersila, separuh terkubur dalam pertapaan dan setengah tertidur, seekor Bulbul, yang, kadarullah, bertengger di dekatnya, memulai kicauan merdunya. Sang Beluk-jampuk siuman dari lamunan indahnya, dan dengan suara memekik, menyela kicauan sang Bulbul. "Enyah!" teriaknya. “Hai penyair tambung, jangan mengalihkan perhatianku dengan hingar-bingar yang memudarkan perenungan muliaku ini; dan ketahuilah, pujangga lancut, bahwa keselarasan itu, terisi oleh kebenaran semata, yang diperoleh dengan kajian panjang nan melelahkan, dan bukan dalam nada-nada sendu, itu cuma pantas bagi kenyamanan telinga seorang pelayan, yang sedang kasmaran.”
"Hai literalis bongak," Bulbul membidas, “yang kearifannya semata terletak pada gombak, yang menutupi tampang-tak-bermaknamu; irama itu, pelipur alami dan rasional, dan, walau tak sesuai dengan kuping Beluk-jampuk, pernah dinikmati dan dikagumi oleh semua yang punya cita-rasa dan keanggunan sejati.”
Rembulan menutup, "Duhai Pungguk! Masih ada ucapan dari empat hakim, dan kan kusampaikan di malam-malam selanjutnya. Insya Allah. Wallahu a'lam!"
Kutipan & Rujukan:
- 'Umar S. al-Ashqar, Belief in Allah - In the Light of the Qur'an and Sunnah, IIPH
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin
*) "Secret Library Daquerreo" karya Kate Covington and Chaeley

Jumat, 13 Agustus 2021

Orang Mati, Tak Bisa Berdongeng (2)

"Kedua," Rembulan melantas, "Semua tergantung sudut pandang, dan siapa yang berkisah. Kesulitan akan terjadi, dalam penulisan sejarah bangsa-bangsa, baik purbakala maupun modern. Mereka yang bersemi pada periode tertentu, dan diasumsikan telah mencapai keparipurnaan dalam peradaban, dengan budi-bahasa yang lembut, bisa jadi, kelak di kemudian hari, di stempel dengan kekejaman, ketidakadilan, dan penindasan, karena telah mencampuradukkan kebersahajaan perilaku, dan mengusik perdamaian seluruh bangsa, dengan membawa teror perang, pembunuhan, dan kehancuran, ke kawasan yang sebelumnya dianugerahi dengan ketenangan tanpa sela.

Sebaliknya, mereka yang sungguh telah berbuat kejahatan, berteriak, "Kamilah korban, kami diserang, kami tak tahu apa-apa!" Ibarat seorang bocah yang membanting piring, lantaran hasratnya tak terkabul, menjadikan Kangmas, Mbakyu, Eyang Kakung dan Eyang Putri, kakinya berdarah, memijak beling. Rencang, sang asisten, terpaksalah membersihkan sisa-sisa pecahan piring. Sang bocah lari bersembunyi ke bawah ketiak ibunya, yang sedang menggendong adik bayi laki-lakinya, seraya beralibi, "Sanes kula, nanging kucing, pelakunipun!"
Kelak, bila sang bayi beranjak remaja, ketika ditanya tentang kejadian hari itu, akan bingung, sebab sang bocah, yang tumbuh dewasa, berdalih ini dan itu, bahkan mungkin menyangkal kesaksian Kangmas dan Mbakyu.

Begitulah keberpihakan umat manusia terhadap diri dan kelakuan mereka sendiri, sehingga sangat sulit, bahkan hampir tak mungkin, menggapai segala kepastian, dengan hanya membaca kisah-kisah yang di catat, pada satu sisi belaka. Kebenaran bersahaja, masih diselewengkan, karena purbasangka, keangkuhan, atau kepentingan, membengkokkan akal, dan tak menemukan apapun di dalam segala kecendekiaannya, sampai halimun yang mengaburkannya, tersapu oleh pelacakan yang amat kejat.
Sikap berimbang, memang diperlukan, namun berhati-hati terhadap sisi-kelam dan niat-buruk manusia, bukan pula sesuatu yang tercela. Buah apel, takkan tercampak ke awang-awang, melainkan di atas kepala Isaac Newton, yang sedang bersandar di pohon apel. Dan sang apel, takkan menggelinding jauh dari pohonnya, buktinya, Newton tetap bisa menggapainya.

Perkenankan aku, menyampaikan sebuah ilustrasi tentang seekor Singa dan seorang Lelaki.
Di dalam suatu ruang dan di dalam suatu waktu, dimana satwa diperbolehkan bercakap-cakap dengan manusia, seorang Lelaki dan seekor Singa, sedang mendiskusikan kedigdayaan relatif bangsa Manusia dan spesies Singa. Sang Lelaki berpendapat, ia dan konco-konconya, lebih perkasa dibanding Singa, oleh kecerdasan mereka yang lebih dahsyat. “Ikutlah denganku, dan kukan buktikan, bahwa akulah yang benar,” ajak sang Lelaki.

Ia membawa sang Singa ke sebuah ruangan, tempat patung buste seseorang, diletakkan di atas marmer besar yang panjang. "Menakjubkan, bukan?" Sang Singa mengangguk sambil bertanya, "Kuburankah tempat ini?" "Bukaaan, ini semacam monumen!" jawabnya. Sang Singa berkomentar, "Sejauh pengetahuanku, kata 'bust,' yakni "patung tubuh bagian atas dan kepala," dari bahasa Latin, 'bustum' bermakna "monumen pemakaman, makam," awalnya "tumpukan kayu pemakaman, tempat di mana mayat dibakar." Atau dari busto Italia "tubuh bagian atas," perkembangan arti dalam bahasa Italia mungkin berasal dari kebiasaan Etruria yang menyimpan abu orang mati dalam guci yang berbentuk seperti orang ketika masih hidup. Namun ada sesuatu yang menarik tentang kata "bust" dalam makna kekinian," Sang Lelaki penasaran, "Apa?" Dengan tenang, sang Singa menjelaskan, "Ungkapan tersebut, bahasa gaul, tetapi mengacu pada sesuatu yang berakhir dengan kegagalan, tanpa peluang untuk pulih." Sang Lelaki terdiam.

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di sebuah taman, dimana terlihat sebuah patung megah, seseorang duduk di kursi. Sang Singa mencermati, "Patung Lincolnkah itu?" "Bukaaan," kata sang Lelaki. Sang Singa bereaksi, "Aku tahu sebuah lelucon Pak Lincoln, 'Entah berapa kali kucing bertikai, akan selalu ada, banyak anak kucing." Sang Lelaki kesal, karena sang Singa, belum juga mau mengalah. 'Ayo pergi ke tempat lain, akan kutunjukkan padamu, patung yang mengagumkan!"

Mereka tiba di sebuah monumen, menyaksikan patung seseorang menunggang kuda yang ketiga kukunya, menyentuh tanah. Sang Singa menganalisis, "Patung lelaki dan perempuan, yang menunggangi kuda, sering dikaitkan dengan pertempuran, keberanian, dan penaklukan. Makna patung-patung ini, berupaya meraba dinamisme kuda yang kuat. Para pematung, memposisikannya dengan dua-kaki, melangkah maju dengan satu kaki terangkat, atau melengkung ke atas dengan satu kaki tertambat ke tanah.
Cerita berulang tentang kuda, bahwa jumlah kaki yang terangkat, menunjukkan nasib penunggangnya. Khalayak yang mempercayai cerita ini, mengatakan bahwa, jika ada patung-kuda yang, kaki kudanya, yang satu, tinggi terangkat, maka penunggangnya, meninggal oleh luka yang dialami saat pertempuran. Penunggangnya tewas dalam pertempuran, bila kudanya, berdiri di atas kaki belakangnya. Dan andai hampir seluruh kaki-kaki kudanya, menyentuh tanah, penunggangnya meninggal karena, biasa-biasa saja. Jadi, masihkah engkau menyatakannya, mengagumkan?"
"Ayyolaaah! Mengapa engkau tak mengalah saja? Baik, mari kita lihat patung yang lain!" jawab sang Lelaki.

Kemudian, mereka berada di sebuah taman dimana patung seseorang, berdiri tegak dan menjulang cukup tinggi. "Bagaimana?" tanya sang Lelaki. Sang Singa mencermati dan berkomentar, "Aku lebih suka, patung Marinir di Pantai Timur, tak dikultuskan, tapi mengingatkan!"

Akhirnya, mereka mencapai tempat terbuka di hutan dan di sana berdiri sebuah patung. Patung tersebut merepresentasikan, Heracles sedang merobek rahang Singa Nemea. "Lihat," kata sang Lelaki, "Betapa perkasanya kami! Sang raja rimba, bagai lilin terpilin di tangan kami!” seru sang Lelaki. “Hah!” Sang Singa tertawa, "Itu tak membuktikan apa-apa," tukas sang Singa, "Jika Singa pemahatnya, ia akan membuat, Singalah yang menginjak-nginjak tubuh Lelaki itu."

"Sudahlah Konco!" rayu sang Singa, "Daripada berdebat dan menyia-nyiakan liburanku tentang semua ini, bawa aku ke tempat yang lebih menyenangkan, pliiizz!" Sang Lelaki tersenyum, "Oke! Ikuti aku!"

Maka, dengan kereta kuda, mereka melaju menuju Pantai Timur, melantunkan, 
I look at the world
[Kuamati Mayapada]
And I notice, it's turning
[Dan kumaklumi, ia berputar]
While my guitar, gently weeps
[Sedang gitarku, menangis-merintih]
With every mistake
[Dengan setiap kesalahan]
We must surely, be learning
[Kita pastinya, mesti belajar]
Still, my guitar, gently weeps *)
[Masih saja, gitarku, tersengut-sengut]
Rembulan meningkap, "Sebuah kisah itu, apik, sampai kisah yang lain, epik. Seekor satwa, tak bisa memahat batu walau ia bertenggang, sebaliknya, orang mati, tak bisa berdongeng. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Fran S. Dobbins, False Gods; or the Idol Worship of the World, Hubbard Bros
- Colonel J. Garnier, The Worship of the Dead, Chapman and Hall
- James Northcote, RA, One Hundred Fables, Originals and Selected, J. Johnson
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
*) "While My Guitar Gently Weeps" karya John Lennon, George Harrison, dan Paul James Mccartney
[Bagian 1]

Selasa, 10 Agustus 2021

Orang Mati, Tak Bisa Berdongeng (1)

"Pertama-tama, aku akan menghadirkan, sebuah ilustrasi tentang Peluang. Bermula saat seorang Pengelana bertemu dengan Patung berbentuk manusia," sebut Rembulan. "Dan terjadilah diskusi, antara sang Pengelana dan sang Patung, ihwal bagaimana sang Patung, sampai di sana.
Sang Pengelana bertanya, "Kisah-kisah orang Yunani kuno, bercampur-aduk, namun, kelam-kabut ini, membuatnya menarik. Katakan pada ana, wahai rajahan, ente patung apa?" Sang Patung meriwayatkan, "Sistem keagamaan orang Yunani itu, perwujudan keindahan. Tiada pemujaan lain, yang pernah ada, yang mengangkat selera seni seperti ini. Sastranya, cerita mitologinya, berhala dan kuilnya, masih merajai, dan sebagian besar, membentuk ide-ide seni dunia. Para peminatnya, punya persepsi keindahan corak melebihi semua orang, dan gandrung merepresentasikannya.

Orang-orang Yunani, sepertinya, berasal dari bagian Barat-Laut Asia Kecil. Mereka disitir, Hellenes. Ritual yang mereka bawa dari Asia, penyembahan "Bapa di Kayangan," yang tak terlihat, yang berdiam di Eter, langit sebagai kuilnya, dan, yang altarnya, tepat di puncak gunung. Orang-orang Hindu menyebut makhluk yang sama sebagai Dyaus-pitar; orang Romawi, Diovis-pater atau Yupiter; orang Yunani, Zeuspater. Khalayak dapat dengan mudah melihat kemiripan antara nama-nama ini, dan bukti yang mereka sajikan, pada fakta bahwa, bangsa-bangsa ini, semuanya berasal dari satu ternak biasa. Sebagaimana ras Yunani purba, terpisahkan menjadi berbagai bagian Yunani dalam bentuk yang berbeda, mulai bermunculan. Ketika para pelaut negeri lain merapat di pantai mereka, yang membawa dewa-dewa mereka sendiri, alhasil, banyak dewa baru, diperkenalkan ke Yunani.

Imajinasi hidup orang-orang Yunani, dan kehidupan luar dari negeri primitif mereka, menghasilkan sejumlah cerita dan legenda tentang para dewa. Ada di antaranya, didasarkan pada kisah-kisah yang akrab dengan nenek moyang mereka, di kampung halaman terdahulu, Asia. Suku-suku tinggal di dusun-dusun yang terpisah. Para penyanyi dan pedagang yang lalu-lalang, membawakan kisah-kisah para dewa dan pahlawan ini, dari dusun ke dusun. Para penyair mencekunya, dan menghiasinya dengan sentuhan glamor yang lebih hidup. Maka segera, sistem kearifan-budaya legendaris, yang kaya dan lewah, dimiliki oleh seluruh rakyat.

Serupa dengan negeri-negeri lain, makhluk yang disebut dewa oleh orang Yunani, semata-mata personifikasi dari kekuatan dan objek alam, serta legenda belaka, tetapi mewakili perputaran semesta dan mekanismenya. Pada gagasan-gagasan primitif ini, diimbuh imajinasi, dan pancaran hangat puisi, menyelubungi keseluruhannya. Maka terbentuklah, agama Yunani yang populer.

Beta ini, Kaerus, personifikasi dari peluang, keberuntungan, dan momen-momen menguntungkan, sama seperti Kairos, sebuah kata Yunani Kuno yang bermakna momen yang tepat, kritis, atau layak. Kairos bersifat kualitatif dan permanen."

Sang Pengelana penasaran, "Lalu, mengapa ente berdiri berjinjit? Katakan, jika penyebabnya bisa ente ungkapkan!"

Sang Patung mengungkapkan, "Beta digambarkan sebagai dewa muda dan indah. Peluang, jelas tak pernah menua, dan, Keindahan, selalu menguntungkan, bersemi pada musimnya sendiri. Beta berjinjit, karena selalu berlari."

"Dan kenapa ente punya sepasang sayap di kaki?" Sang Pengelana pengin tahu lebih banyak, "Beta punya sayap di kaki, sebab terbang bersama sang-bayu. Beta cenderung melambung, jika diabaikan, beta takkan kembali lagi." sang Patung terbuka. "Dan kenapa ente memegang pisau cukur di tangan kanan?" imbuh sang Pengelana. "Beta memegang pisau cukur, atau sisik yang seimbang pada ujung yang tajam—yang menggambarkan momen singkat saat sebuah peristiwa muncul dan menghilang. Sebagai tanda bagi manusia, bahwa beta lebih tajam dibanding ujung tajam apapun." sang Patung menjelaskan.

"Kenapa rambut ente menutupi wajah?" tanya sang Pengelana. "Beta diperlihatkan cuma punya sehelai rambut. Mudah menangkap beta, dengan cara menarik rambut yang cuma sehelai, yang menggantung di wajah beta—merayap di atas alis—saat beta datang."

"Dan kenapa, bagian belakang kepala ente, botak?" selidik sang Pengelana. "Jika terlewatkan, takkan ada yang mampu bisa menangkap beta, sebab bagian belakang kepala beta, botak. Momen aksi hilang dengan rambut beta: peluang yang diabaikan, tak dapat diraih lagi."

"Mengapa artis itu mendandani ente?" sang Pengelana mengusut, "Demi diri ale, wahai orang asing, dan ia mamajangku di beranda, sebagai pelajaran. Sama seperti Hermes yang dianggap sebagai pelindung para maling. Peluang disebut pembuatnya. Beta berpengaruh buruk dalam masalah permalingan, manusia menghabiskan banyak sumber daya dan upaya, menyempurnakan gembok dan kunci, serta kata sandi, dan segala tindakan keamanan, dengan bantuan yang mereka harapkan dapat mengecoh Peluang. Namun, sewaktu mereka mengunci pintu-pintu, mereka mau tak mau membiarkan yang lain terbuka. Dan seperti yang diharapkan, beta melambung terbang secepat biasanya, menghadirkan kejutan kepada semua orang, dan menghasilkan, tak hanya maling, melainkan juga, sepasang-kekasih. Selain itu, beta menghasilkan sejenis manusia, yang dijuluki "oportunis," sebab mereka berkemampuan dengan cepat, merebut apapun keberuntungannya, beta, Kaerus, sang penggoda hebat, muncul, menawarkan kepada mereka.
Di sisi lain, seorang lelaki atau wanita yang suka menghakimi, biasanya mengira bahwa hal-hal seperti "peluang," bukanlah entitas, atau kekuatan, apalagi dewa, melainkan hasil kerajinan manusia. Dan karena sifatnya, dapat diatur atau dikendalikan."

Sang Patung mengabarkan, "Nenek-moyang zaman dahulu, menciptakan rajahan khusus ini, sehingga upaya kita takkan dirusak oleh kemalasan atau keragu-raguan.
Meskipun sering, hal-hal lain terjadi. Dalam sejarah, ada orang-orang shalih yang hidup di masa antara Nabi Adam dan Nuh, alaihimussalam, dan punya pengikut, menjadikannya sebagai teladan. Setelah kematian mereka, teman-teman yang berusaha menyamai mereka, berkata, 'Andai kita membuat patungnya, akan lebih menyenangkan bagi kita, dalam ibadah, dan akan mengingatkan kita pada mereka.' Lalu, mereka membuat patungnya, dan, setelah mereka semua meninggal dan generasi selanjutnya, menggantikan, sesuatu yang jahat mengendap ke dalam benak mereka, yang mengatakan, 'Nenek moyangmu, dulu menyembahnya, dan melalui pemujaan itu, mereka beroleh hujan.' Merekapun menyembahnya! Dengan cara ini, wahai orang asing, keberhati-hatian dan penilain yang cermat, sangat diperlukan, saat ale berurusan dengan patung-patung."
[Bagian 2]