Selasa, 28 September 2021

Murari dan Hari Hara (2)

Rembulan menyambung, "Sesungguhnya, yang halal itu, telah jelas, dan yang harampun, telah jelas. Sedangkan di antaranya, ada urusan yang syubhat—ambigu—yang kebanyakan manusia, tak mengetahui hukum-Nya. Barangsiapa yang menghindari persoalan syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang jatuh ke dalam ihwal yang syubhat, maka ia telah lingsir ke dalam masalah yang haram. Ibarat penggembala yang berada di dekat tembok larangan—milik orang lain—dan dikhawatirkan, ia akan masuk ke dalamnya. Sesungguhnya, bahwa setiap raja memiliki larangan—undang-­undang. Dan sungguh, bahwa larangan Allah itu, apa yang diharamkan-Nya."

Rembulan kemudian diam sejenak, dan memberitahu Pungguk, "Tahukah engkau? Aku serasa, ingin menyampaikan sebuah cerita kepadamu. Berkenankah engkau mendengarkan ceritaku?" Bergegas, Pungguk menukas, "Tentu saja, sampaikanlah padaku!"
"Jadi," jawab Rembulan, "Ceritanya, tentang Dua Maling!" berkata Rembulan. "Para maling keji dan kejamkah?" Pungguk bereaksi. "Tidak juga! Mereka hanya ditaklukkan oleh egonya, sehingga perilaku mereka terlihat konyol, dan pantas ditertawakan," jawab Rembulan, tersenyum, saat ia memulai.
Dalam bahasa para insan, sepasang Maling, Murari dan Hari Hara, mengetahui seekor Anak Sapi, tersimpan dalam sebuah kandang Sapi, telah mencanangkan untuk mencolongnya, dalam gelap-malam. Mereka mengumpulkan informasi dari warga sekitar, mengenai lokasi dan kondisi anak sapi tersebut. Seorang warga bertanya kepada Murari, 'Mengapa engkau menanyakannya?' Murari menjawab, 'Aku hanya khawatir, bukankah, menyayangi satwa itu, menggalakkan akhlak yang baik?' Sang penanya mengangguk, dan bertanya kepada Hari Hara, 'Dan engkau, mengapa?' Hari Hara, agak bingung, namun dengan rupa serius, berkata, "Bukan apa-apa, cuma berasal dari sifat manusiawiku. Sebenarnya, aku tak ingin mengatakannya, kan jika tangan kanan beramal, tangan kiri seharusnya tak tahu?' Sang penanya berlalu, manggut-manggut. Setelah itu, mereka menetapkan tengah malam, bertemu di tempat yang diinformasikan, guna menyelesaikan rencana bangor mereka.

Disepakati, salah seorang dari mereka, Murari, berjaga-jaga di luar, sementara yang lain, Hari Hara—yang tubuhnya kekar dan kuat, sebab ia dulu bertugas sebagai Satpam—masuk ke dalam kandang, dan mengangkat sang Anak Sapi keluar dari jendela.

Pada malam yang diusulkan, mereka menuju ke tempat dimaksud, dan salah satunya—yaitu Hari Hara, sesuai kesepakatan—masuk lewat jendela kandang Sapi, sementara Murari, yang tetap berjaga-jaga, mulai was-was, oleh sebab rasa takut ketahuan, mendesak sahabatnya, agar bergegas secepat mungkin; akan tetapi, Hari Hara, yang berada di dalam, menjawab bahwa karena sang satwa sangat berat, dan tak dapat dikendalikan, ia tak sanggup mengangkatnya, apalagi membopongnya ke jendela.

Murari, dengan sumpah-serapahnya, menjawab, 'Aku yakin, pastilah itu, iblis dari dirimu sendiri, yang perlu engkau atasi.' Namun Hari Hara menjawab, 'Sekarang, aku bahkan tak dapat keluar, binatangnya, memegangku sangat erat.' Sang sobat, Murari, karena tak bisa lagi menahan rasa takut, terbirit-birit, dan meninggalkan Hari Hara, menjalani nasibnya.

Di kejauhan, para warga menyaksikan dan tertawa terpingkal-pingkal, melihat kelakuan dua Maling malang itu. Lalu, apa sih yang sebenarnya terjadi? Setelah Murari dan Hari Hara menanyakan tentang sang Anak Sapi, para warga, merasa curiga.

Faktanya, begini: sang Anak Sapi, telah dipindahkan dari kandang segera setelah para Maling melihatnya di sana, mereka menempatkan seekor Beruang, yang akan dibawa ke kota sebagai pertunjukan; dan dengan satwa gedhe inilah, Hari Hara menemui dan mengalami kenestapaannya, lantaran, sang Beruang, terus merangkulnya kuat-kuat, sampai pagi saat ia ketahuan oleh warga dan dibawa ke penjara.

Murari, yang menunggu di tempat persembunyian, semakin khawatir, karena sobat kentalnya, belum juga pulang. Ia kemudian membuka jendela, namun melihat para warga, menggelandang Hari Hara. Ia mendengar Hari Hara berkata kepada para warga, membela-diri, 'Aku tak berniat nyolong. Dengar, aku cuma menemani sang beruang, tidur!' Seketika, ia menutup jendela, dan terduduk. Setelah menenangkan diri, ia memeluk kedua lututnya, dan dengan gundah-gulana, bersenandung,
Trouble, he will find you, no mater where you go
No matter if you're fast, no matter if you're slow
The eye of the storm, or the cry in the morn
You're fine for a while, but you start to loose control

He's there in the dark
He's there in my heart
He waits in the winds
He's gotta play a part
Trouble is a friend
Yeah, trouble is a friend of mine *)
Rembulan mengakhiri ceritanya dengan berkata, "Bahaya yang tak terhitung jumlahnya, yang menyertai para bajingan, membuat para orang jujur, bergidik memikirkannya. Tak hanya dari para aparat hukum dan perseteruan umat manusia terhadap mereka, melainkan pula, bahaya mengintainya di setiap sisi, dari situasi penuh resiko, dimana mereka terus-menerus menempatkan diri.
Sungguh aneh, bahwa banyak orang, mau melepaskan keselamatan, ketenangan, dan nama-baik, demi kesusahan, masalah, dan kebobrokan; lebih memilih bermalas-malasan dan menghambur-hamburkan uang dalam waktu yang singkat, yang disertai dengan rasa-malu dan rasa-sakit—dibanding pekerjaan yang sehat, yang membawa serta keberlimpahan, kebugaran, dan yang terpenting,, umur panjang. Seorang bajingan, mungkin cuma sehari, memperoleh lebih dari orang jujur, namun orang jujur—atas berkah Allah—akan mendapatkan lebih banyak dibanding sang bajingan, sepanjang tahun. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Mohammad Rahman, Phd., Your Money Matters - The Islamic Approach to Business, Money, and Work, IIPH
- James Northcote, RA, One Hundred Fables, Originals and Selected, J. Johnson
*) "Trouble Is A Friend" karya Lenka Kripac & Thomas Salter
[Bagian 1]

Jumat, 24 September 2021

Murari dan Hari Hara (1)

"Apa itu Etika?" bertanya sang Pungguk, mencari jawaban. Rembulan menanggap, “Secara umum, Etika itu, cabang filsafat, yang membahas masalah moral, tentang apa yang baik dan buruk; benar dan salah; mulia dan bajik; terpuji atau tercela. Secara khusus, etika normatif itu, studi tentang pendekatan pragmatis, agar sampai pada pedoman moral. Meskipun kebanyakan orang tak menganggap Etika sebagai agama—setidaknya bukan dalam makna yang sebenarnya, dan spiritual—pada dasarnya, etika itu, saling-melengkapi dengan banyak agama, dalam berbagai aspek."

"Lantas, bagaimana Etika dalam perspektif Islam?" sang Pungguk ingin tahu. Rembulan menjawab, "Bagi seorang Muslim, masalah moralitas—haq dan bathil—tak diserahkan kepada standar suka-suka manusia. Ia digantikan oleh masalah kepatuhan yang lebih mulia, lebih bermakna, dan lebih adil, kepada Sang Pencipta, berkenaan dengan apa yang telah Dia tetapkan menjadi halal dan haram. Hal inilah, yang mengangkat status para Muslim, namun tak menghalangi Etika itu, malahan, menetapkan standar etika bagi mereka.

Islam dimulai dengan tujuan yang jelas, berbuat kebaikan: beribadah kepada Allah, yang merupakan tujuan utama manusia diciptakan. Allah telah berfirman,
وَذَكِّرْ فَاِنَّ الذِّكْرٰى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ مَآ اُرِيْدُ مِنْهُمْ مِّنْ رِّزْقٍ وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ يُّطْعِمُوْنِ
'Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu, bermanfaat bagi orang-orang mukmin. Aku tak menciptakan Jin dan Manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka, dan Aku tak menghendaki, agar mereka memberi makan kepada-Ku.' [QS. Az-Zariyat (51):55-57]
Sebaliknya, bidang Etika Sekuler, sekadar menganjurkan 'berbuat baik demi berbuat kebajikan.' Allah telah memperingatkan kita tentang kewajiban hampa seperti itu, khususnya kesia-siaan berbuat baik demi mencari apapun selain keridhaan-Nya,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالًا ۗ اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَاۤىِٕهٖ فَحَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيْمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَزْنًا ذٰلِكَ جَزَاۤؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوْا وَاتَّخَذُوْٓا اٰيٰتِيْ وَرُسُلِيْ هُزُوًا
'Katakanlah (Muhammad), 'Perlukah Kami beritahukan kepadamu, tentang orang yang paling rugi perbuatannya?' (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya. Mereka itulah, orang yang mengingkari ayat-ayat Rabb mereka, dan (tak percaya) terhadap pertemuan dengan-Nya. Maka sia-sia amal mereka, dan Kami tak memberikan penimbangan terhadap (amal) mereka, pada hari Kiamat. [QS. Al-Kahf (18):103-106]
Sangat terang, bahwa Islam dan Etika Sekuler, tak semata pendekatan yang dapat dipertukarkan, agar hasil yang sama mencapai landasan moral yang lebih tinggi. Islam memberikan tujuan perilaku etis, sedangkan Etika Sekuler, merintangi tujuan hidup. Islam menentukan aturan hukum, sementara Etika Sekuler, berusaha mengembangkan Kode Moral Universal. Dengan demikian, Islam jelas lebih unggul daripada Etika Sekuler.

Khusus dalam konteks Etika Bisnis, Islam bisa dibilang, memberikan sikap epistemologis yang lebih baik. Untuk membuktikannya, kita akan menggunakan contoh CSR (Corporate Social Responsibility).
Apa itu CSR? Lebih mudah menjelaskan dengan contoh daripada memberikan definisi teknis. Ketika sebuah Rumah Sakit mensponsori klinik gratis di lokasi dalam kota; perusahaan telepon seluler besar turut dalam program kebersihan kota; atau bank menawarkan beasiswa kepada siswa yang membutuhkan, semua itu, berkenaan dengan kegiatan CSR. Secara umum, CSR mengacu pada perusahaan yang melakukan sesuatu yang positif, guna kesejahteraan masyarakat. Banyak perusahaan berada di bawah tekanan yang semakin meningkat—dari semua orang, mulai dari konsumen hingga pembuat Undang-undang—demi meningkatkan CSR mereka. Walau tanpa perlu analisis, bisa disimpulkan bahwa, CSR, yang melibatkan perilaku etis tingkat perusahaan, tiada lain selain kebajikan.
Namun, ketika CSR pertama kali muncul hampir empat puluh tahun yang lalu, Milton Friedman—Peraih Nobel bidang Ekonomi—sangat menentangnya. Ia bahkan merekomendasikan agar diambil langkah-langkah hukum demi mencegah para manajer, turut-serta dalam kegiatan CSR. Alasannya cukup sederhana; ia berpendapat, bahwa para manajer, tak boleh mengganggu tujuan maksimalisasi keuntungan perusahaan dengan memaksakan CSR, karena perusahaan dan masyarakat, akan lebih kaya dengan perusahaan yang sukses. Meskipun pendirian Friedman bertahan hari ini di antara pendukung setianya, sebagian besar para manajer dan anggota masyarakat lainnya, telah menganut CSR. Anehnya, para peneliti Etika, belum mampu menjelaskan secara akurat, mengapa demikian.
Jelas, bahwa ada banyak bagian yang hilang dalam teori CSR, dimulai dengan kurangnya definisi CSR yang akurat. Secara khusus, sungguhkah sebuah perusahaan melakukan kebajikan jika dimotivasi oleh keuntungan? Haruskah perusahaan ikut berperan dalam CSR jika tak menguntungkan? Jika demikian, berapa keuntungan yang semestinya dikorbankan, dan tingkat dukungan apa yang akan diberikan kepada CSR? Lebih besarkah hasil positif dari CSR dibanding inefisiensi yang ditimbulkannya, lantaran beberapa sumber daya perusahaan digunakan guna aktivitas yang tak sesuai, demi mengoptimalkan produksi barang atau jasa perusahaan?

Selagi studi dalam Etika Bisnis sekuler, belum menghasilkan teori CSR yang lengkap, yang menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Islam memberikan segala jawaban, serta pedoman normatif yang sempurna. Pendekatan Islam, lebih unggul dari pendekatan sekuler, oleh dua alasan.
Pertama-tama, Islam dengan tepat mempertahankan perbedaan tingkatan antara perusahaan-perusahaan dan para manajer. Islam memberlakukan pembatasan secara eksplisit pada individu, dan hanya secara implisit pada perusahaan—karena perusahaan itu, kumpulan orang dan aktivitas mereka. Dengan demikian, Islam tak memaksakan perilaku etis tingkat perusahaan. CSR tak secara eksplisit didorong atau dilarang dalam Islam. Alhasil, pendekatan Islam, bahkan tak tunduk pada pertanyaan yang melumpuhkan pendekatan sekuler terhadap Etika Bisnis, yaitu: mengapa perusahaan harus turut-serta dalam kegiatan CSR yang tak menghasilkan keuntungan, terutama ketika tak dapat 'merasakan' binar kehangatan?
Kedua, Islam mempertanyakan setiap perilaku yang tampak etis pada bagian individu atau ciptaan, yang tak termotivasi oleh peribadahan kepada Allah sebagai Pencipta mereka, karena perbuatan itu, dinilai berdasarkan niat. Sebaliknya, pendekatan Etika Bisnis sekuler, mendorong para manajer—dan, anehnya, perusahaan, yang bukan manusia—agar turut dalam perilaku etis, dengan menyarankan imbalan seperti keuntungan atau kebanggaan. Isu tentang pengesahan CSR yang berorientasi pada keuntungan, atau moralitas tipu-muslihat tingkat perusahaan, takkan ada dalam Islam.
Terlepas dari kenyataan bahwa Islam mengatur tanggungjawab sosial bagi individu, dan bukan pada tingkat organisasi, perusahaan, yang dipimpin oleh para manajer dan pemilik perusahaan yang Muslim, akan mempraktikkan apa yang bisa dibilang sebagai praktik bisnis yang paling bertanggung jawab secara sosial—dan mudah mengetahui alasannya.
Islam menganjurkan bersedekah, dan para sahabat teladan Nabi kita tercinta (ﷺ), menetapkan standar yang sangat tinggi dalam praktik sedekah mereka. Dengan demikian, para pemilik perusahaan yang Muslim, yang takut kepada Allah dan mencari berkah-Nya, akan mengorbankan dividen, demi moral. Keuntungan yang hilang ini, yang tak ternoda oleh pemasaran atau motif keuntungan lainnya, dapat dikelola secara efisien, yang mengarah ke tingkat CSR tertinggi. Selain itu, para manajer Muslim yang takut kepada Allah, akan memastikan bahwa, aktivitas perusahaan tidaklah zhalim atau curang.
Pada masa Khalifah Abu Bakar, radhiyallahu 'anhu, penduduk dilanda kekeringan. Mereka menemuinya dan berkata, 'Langit belum turun hujan, dan bumi belum bertumbuh. Semua orang sedang mengalami kesulitan yang berat.' Abu Bakar berkata, 'Pulanglah, dan bersabarlah, karena malam takkan turun sampai Allah, Yang Maha Pemurah, menganugerahkanmu, kelapangan.'
Tak lama kemudian, para pedagang 'Utsman kembali dari Syam dengan membawa seratus unta membawa gandum—atau makanan. Para penduduk pergi ke rumahnya dan mengetuk pintunya.
'Utsman, radhiyallahu 'anhu, keluar menemui sekelompok orang dan bertanya, 'Hendak apa kalian ke sini?' Mereka menjawab, 'Kami sedang melalui masa-masa kekeringan; langit belum hujan dan bumi belum bertumbuh. Masyarakat sedang mengalami kesulitan yang berat, namun kami telah mendengar bahwa engkau punya makanan. Juallah sedikit kepada kami. Sehingga kami dapat membagikannya kepada Muslim yang miskin dan membutuhkan.'
'Utsman berkata, 'Silahkan, selamat datang! Masuk dan belilah!' Mereka masuk dan menemukan makanan telah menanti di sana. Utsman berkata, 'Wahai para saudagar, berapa banyak yang akan kudapatkan dengan menjual barang daganganku dari Syam kepadamu?' Mereka menawarkan, 'Kami memberimu dua belas untuk sepuluh.' 'Utsman menjawab, 'Mereka menawariku lebih banyak.' Mereka berkata, 'Lima belas untuk sepuluh.' 'Utsman menjawab, 'Mereka menawariku lebih banyak.' Sekarang para pedagang berkata, 'Abu 'Amr, tak ada pedagang yang tersisa di Madinah selain kami! Siapa yang menawarimu lebih banyak?' Ia menjawab, 'Allah Subhanahu wa Ta'ala, menawarkanku sepuluh untuk setiap dirham. Ada lagi yang engkau punya?' Mereka berkata, 'Demi Allah, tidak!' Ia menyatakan, 'Kalau begitu, aku bersaksi bahwa aku telah memberikan makanan ini sebagai sedekah, kepada umat Muslim yang miskin dan membutuhkan.'
Oleh sebab rekomendasi dari Allah, Islam memberikan solusi bagi setiap krisis etika, sehingga umat Islam, tak perlu menggunakan sumber lain di luar Islam, guna belajar tentang moralitas atau filosofinya. Cukup mengejutkan bahwa umat Islam, kini telah melupakan hal ini, dan berusaha mempelajari moralitas dari pendekatan sekuler. Mengapa mereka memilih pendekatan yang lebih rendah dibanding yang lebih unggul?
Sebuah Kode Etik Universal yang dirancang di kalangan sekuler, mungkin bertentangan dengan Islam. Oleh karenanya, bagi umat Islam, mengenai Etika tersebut: Jika sesuai dengan Islam, boleh diterima; jika bertentangan dengan Islam, tolaklah. Ada beberapa pedoman khusus guna menerapkan prinsip umum ini.
Pertama, menimba ilmu tentang Islam. Pada kenyataannya, Etika Sekuler itu, artifisial dan bernafsi-nafsi, sedangkan perbuatan yang diridhai Allah itu, perbuatan yang paling mulia. Sebagai bagian dari Etika, umat Islam hendaknya, terlebih dahulu mendapatkan ilmu tentang Islam. Tawakkal yang benar itu, bertakwa; meninggalkan yang haram, mengamalkan yang halal, yakin kepada Allah, dan ridha dengan apa yang telah ditetapkan Allah.
Kedua, menggalakkan Etika melalui Islam. Umat Islam seyogyanya tak menentang moralitas; sebaliknya, mereka sepantasnya, mempromosikannya. Mereka juga, hendaknya senantiasa ingat akan kewajibannya, berdakwah dalam jalan Islam. Dengan demikian, masalah Etika, dapat digunakan oleh umat Islam yang berilmu, guna menggarisbawahi kebenaran Islam, dengan menunjukkan Kode Etik paripurna, yang dianjurkan dalam agama ini, sebagaimana ditentukan oleh Allah, dan dengan mendorong orang lain agar merenungkan keagungan agama Allah.
Ketiga, merancang proyek CSR yang mencerminkan Etika Islami. Saat ini, ada banyak masalah sosial yang dapat diatasi oleh perusahaan-perusahaan melalui CSR. Para manajer, hendaknya menggunakan kearifan mereka, menyatakan kewajiban mereka kepada Allah, dan memilih proyek yang paling tepat. Sebagai contoh, perusahaan dapat mensponsori inisiatif Kredit Mikro untuk menggantikan Riba, dimana proyek-proyek yang ada, bergantung pada pendanaannya. Ini bisa menjadi upaya CSR yang bermakna, yang membantu menaklukkan Riba.
Terakhir, berupayalah meningkatkan taqwa. Umat Islam seyogyanya selalu sadar, ingat akan Allah, takut akan Dia, dan mencamkan bahwa, Dia, Subhanahu wa Ta'ala, selalu mengawasi dan mengetahui.
[Bagian 2]

Selasa, 21 September 2021

Panda dan Doraemon

Dengarkan apa yang diucapkan Rembulan kepada sang Pungguk, "Bahaya dan kesulitan apapun, yang menimpa manusia, dalam hal harta atau keselamatan mereka, individu atau masyarakat, itu karena dosa-dosa, dan mengabaikan perintah-perintah Allah, serta aturan-hukum yang ditetapkan-Nya, dan mencari pembenaran di antara manusia, dengan selain hukum-hukum yang ditentukan Allah—Yang menciptakan seluruh makhluk, dan lebih menyayangi mereka, dibanding ibu dan ayah mereka, dan Dialah Yang lebih mengetahui, dibanding diri mereka sendiri, apa yang paling bermanfaat bagi mereka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala, berfirman, menjelaskan dalam Kitab-Nya, agar kita menyadari dan mengambil pelajaran, Dia, Subhanahu wa Ta'ala, berfirman,
وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ
'Dan musibah apapun yang menimpamu, itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).' [QS. Ash-Shuraa (42):30]
Dan Dia, Subhanahu wa Ta'ala, berfirman,
مَآ اَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ۖ وَمَآ اَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَّفْسِكَ
'Kebajikan apapun yang kamu peroleh, itu dari sisi Allah, dan keburukan apapun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri ....' [QS. An-Nisa (4):79]
Kebaikan apapun yang mendatangi kita—berkah atau keselamatan—itu dari Allah, Dialah Yang menyediakannya, awal dan akhirnya, dari karunia-Nya. Dialah Yang menganugerahkan kepada kita dari karunia-Nya, agar kita melaksanakan apa yang dituju, dan Dialah yang memberikan kepada kita, nikmat-Nya, dan menyempurnakannya, untuk kita.
Adapun keburukan apapun yang menimpa kita, baik kelaparan maupun ketakutan, atau apapun yang menyebabkan kerugian, maka, itu karena diri kita sendiri, kitalah yang menganiaya diri kita sendiri dan mendorong diri kita sendiri, pada kehancuran. Saat ini, banyak orang menghubungkan musibah yang menimpanya, baik yang berkaitan dengan harta dan ekonomi, atau keselamatan dan urusan politik, terhadap materi, politik, alasan ekonomi, atau segalah masalah, karena keterbatasan. Tak ayal lagi, hal ini disebabkan oleh, keterbatasan pemahaman dan kelemahan Iman, serta ketidakmampuan merenungkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya (ﷺ).
Namun jika kita berusaha memperbaiki diri, keluarga, tetangga dan orang-orang di sekitar kita, dan setiap orang yang dapat kita perbaiki, jika kita saling mendorong kebaikan dan melarang kejahatan, jika kita membantu mereka yang melakukan ini, dengan hikmah dan kearifan—maka, akan menghasilkan persatuan dan keselarasan. Saatnya perubahan, agar berbagai nikmat tak sirna, agar kita terhindar dari berbagai musibah dan bencana, yang tak kunjung lenyap. Allah berfirman,
ذٰلِكَ بِاَنَّ اللّٰهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً اَنْعَمَهَا عَلٰى قَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۙ وَاَنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌۙ
'Yang demikian itu, karena sesungguhnya, Allah takkan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu, mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.' [QS. Al-Anfal (8):53]
Rembulan, berhenti sejenak, kemudian bercerita, "Malam tadi, aku melihat ke bawah, ke sebuah kota bernama Cheap Dolum. Sinarku, menyoroti sebuah peternakan, dan sebuah pintu terlihat, tetapi terkunci. Jendela kayu yang tertutup, menabir jendela di balik dinding rumah. Namun, melalui jendela, aku menilik ke dalam, dan melihat seekor ayam betina, seekor anjing pemalas, seekor kucing yang terkantuk-kantuk, dan seekor bebek berisik.
Sang ayam, menemukan beberapa benih di tanah dan ia punya ide. 'Aku harus menanam benih-benih ini,' pikirnya. Maka, sang ayam bertanya kepada teman-temannya, 'Siapa yang bersedia membantuku menanam benih?' 'Jangan aku!' gonggong anjing pemalas. 'Ogah!' dengkur sang kucing. 'Emmohh!' kwek-kwek bebek yang berisik. 'Kalau begitu, aku saja!' kata sang ayam. Maka, iapun menanam benih sendirian.
Ketika benih telah tumbuh, sang ayam bertanya kepada teman-temannya, 'Siapa yang bersedia membantuku memetik gandum?' 'Jangan aku!' gonggong anjing pemalas. 'Ogah!' dengkur sang kucing.. 'Emmohh!' bebek berkwek-kwek berisik, 'Kalau begitu, aku saja!' kata sang ayam, lalu iapun memetik gandum sendirian.
Saat gandum telah di panen, sang ayam bertanya kepada teman-temannya, 'Siapa yang bersedia membantuku membawa gandum ke penggilingan agar di olah menjadi tepung?' 'Jangan aku!' gonggong anjing pemalas. 'Ogah!' dengkur sang kucing.. 'Emmohh!' bebek berkwek-kwek, berisik, 'Kalau begitu, aku saja!' kata sang ayam, membawa gandum ke penggilingan sendirian, menggiling gandum menjadi tepung dan membawa karung tepung yang berat kembali ke peternakan.
Sang ayam kemudian bertanya kepada teman-temannya, 'Siapa yang bersedia membantuku membuat roti?' 'Jangan aku!' gonggong anjing pemalas. 'Ogah!' dengkur sang kucing.. 'Emmohh!' bebek berkwek-kwek, berisik, 'Kalau begitu, aku saja!' kata sang ayam. Lantas, iapun memanggang roti sendirian.
Akhirnya, setelah rotinya selesai di panggang, panas dan harum, sang ayam yang lelah, bertanya kepada teman-temannya, 'Siapa yang bersedia membantuku memakan roti?' 'Aku saja!' anjing pemalas menyalak. 'Engkau tak keberatan, kan?' sang kucing mengeong. 'Mau dong!' sahut sang bebek.
Sang ayam bertanya kepada teman-temannya, 'Siapa yang mau mendengarkan cerita? 'Aku mau!' gonggong sang anjing pemalas. 'Iya deh!' dengkur sang kucing seraya menguap. 'Ya, demi rotinya!' sang bebek berisik, 'Dengarkan!' kata sang ayam memulai ceritanya.
Suatu malam yang cerah, saat sang mentari terbenam di dunia yang meriah, seekor Ayam jantan tua yang arif, terbang bertengger ke sebuah pohon. Sebelum ia menenangkan diri, beristirahat, ia mengepakkan sayapnya tiga kali, dan berkokok dengan keras. Namun tepat ketika ia akan meletakkan kepalanya, di sayapnya, matanya yang bagai manik-manik, menangkap kilatan merah dan sekilas hidung runcing yang panjang, dan tepat di bawahnya, berdiri tuan Rubah.
'Pernahkah engkau mendengar khabar yang luar biasa?' seru sang Rubah dengan riang dan bersemangat. 'Khabar apa?' tanya sang Ayam dengan santai. akan tetapi, dirinya merasa janggal dan berdebar-debar, karena, engkau tahu kan, ia sangat takut pada Rubah. 'Keluargamu dan keluargaku, dan segala satwa lainnya, telah sepakat melupakan perbedaan, serta hidup dalam damai dan persahabatan, mulai sekarang dan untuk selamanya. Bayangkan! Aku benar-benar tak sabar memelukmu! Turunlah sobat, dan mari kita rayakan peristiwa yang menggembirakan ini.'
'Hebat sekali!' kata sang Ayam. 'Maukah engkau mendengar cerita?' sang Ayam menawarkan. 'So pasti!' jawab sang Rubah, dengan gembira, membayangkan makan malamnya telah terhidang.

Seekor Babi, sedang mencari satu set mainan kereta api, maka, ia pergi ke pasar dan menemukan dua penjual, Panda dan Doraemon. Doraemon menawarkan satu set mainan seharga 60 dolar. 'Pokoknya, lengkap!' Doraemon menawarkan. 'Dan jika engkau menginginkannya, kukan beri ongkir gratis,' tambah Doraemon. 'Tapi, itu terlalu mahal!' jawab sang Babi. Kemudian, ia melihat lapak Panda, ada satu set kereta mainan dan di atasnya, tertulis, 'Obral 20 dolar.' 'Naah, ini yang kucari!' kata sang Babi. Ia bergegas menuju Panda, namun Doraemon menghentikannya dan berkata, 'Kawan, perhatikan, sebelum engkau membeli mainan itu, maukah engkau mendengar sebuah cerita?' Sang Babi berhenti, 'Baiklah!' Doraemon lalu bercerita,
Seekor Serigala yang, karena seringnya mengunjungi kawanan domba di sekitarannya, mulai dikenali oleh mereka, menyangka bahwa, akan lebih efektif, dalam rangka melaksanakan penyergapannya, menyaru dalam wujud lain. Demi tujuan ini, ia menyamar sebagai seorang gembala; dan berjalan memegang tongkat dengan kaki depannya, sehingga ia tampak membungkuk, kemudian dengan perlahan mendekati para korbannya. Kadarullah, sang Gembala dan anjingnya, sama-sama berbaring di atas rumput, tertidur lelap; pastilah ia akan berhasil menuntaskan proyeknya, andai ia tak ceroboh menirukan suara sang Gembala. Suara menyeramkan, membangunkan sang Gembala dan anjingnya, dan sang Serigala, jatuh dan tertimpa oleh kostum penyamarannya, merasa tak mungkin melawan atau melarikan diri, menyerahkan nyawanya sebagai mangsa tak berdaya bagi anjing sang Gembala.
'Cuma itu?' jawab sang Babi dengan sinis, 'Aku tak paham! Sekarang, biarkan aku membeli mainan kesukaanku,' sembari menghampiri Panda dan langsung memberikan 20 dollar. Namun, ketika ia akan mengambil seluruh set mainan, Panda menyela, 'Maaf Bung, harga 20 dolar, hanya keretanya, tak termasuk baterai, rel, dan kelemgkapan lainnya! Jika engkau ingin membawa satu set lengkap, engkau harus membayar lebih!' Sang Babi bingung, tapi apa sih, beli kereta saja, tanpa baterai dan asesorisnya, percuma. 'Jadi berapa yang harus kubayarkan?' tanya sang Babi, mengira bahwa biaya tambahannya, tak banyak. 'Karena engkau telah membayar 20 dolar, cukup menambah, 80 dolar.' Sang Babi terkesima, ternyata, ia harus merogoh kantongnya lebih dalam, namun, apa dikata. Setelah membayar dan membawa set mainan, saat hendak berjalan, Panda mengingatkan, 'Ingat Bung, tak ada garansi, tak ada penukaran dan tak ada uang kembali!' Sang Babi mengangguk, dan baru saja hendak melangkah, tiba-tiba, rel kereta mainannya, patah. 
Dan pada saat itu, sang babi tersentak, sadar bahwa duit 80 dolar, yang telah ia belikan mainan itu, uang titipan para kerabat. Aa' pesen bola-basket, Teteh pesen gincu, Pakdhe pesen blangkon, dan Budhe pesen Kebaya. 
Di kejauhan, Doraemon bernyanyi,
I'd rather be a hammer than a nail
Yes, I would
If I only could
I surely would

Away, I'd rather sail away
Like a swan that's here and gone
A man gets tied up to the ground
He gives the world
Its saddest sound
Its saddest sound *)
Ayam jantan menutup cerita dengan menjawab, 'Mengenai khabar tersebut, tentu saja, aku senang.' Akan tetapi, tampak ia berbicara tanpa ekspresi, dan berjinjit, seakan melihat sesuatu di kejauhan. 'Apa yang engkau lihat?' tanya sang Rubah, was-was. 'Wah, terlihat seperti ada sepasang Anjing yang menuju kemari. Mereka pasti telah mendengar khabar baik dan ...—tetapi sang Rubah tak mau mendengarkan lebih banyak. Ia segera berlari. 'Tunggu,' teriak sang Ayam. 'Mengapa lari? Bukankah para Anjing itu, jadi temanmu sekarang!'
'Iya,' jawab sang Rubah. "Tapi, mungkin mereka belum mendengar khabar itu. Dan juga, ada tugas penting untukku, yang hampir kulupakan.' Sang Ayam jantan, tersenyum saat ia membenamkan kepalanya, ke dalam bulu sayapnya, dan tidur, sebab ia telah berhasil mengecoh musuh, yang sangat licik.
Kemudian, ayam betina melanjutkan. 'Adapun rotinya, kalian semua tak mau membantuku sama sekali, mohon maaf, aku membuat cukup untuk satu satwa. Jadi, sekarang, engkau sekalian, takkan makan roti!' seraya memakan roti, sendirian."

Rembulan mengakhiri dengan, "Umumnya, orang-orang yang berniat buruk, merancang muslihat dan memaksa orang lain, dengan tujuan mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Mereka memperdaya orang-orang yang lemah, untuk dijadikan korban penipuan mereka. Itulah yang terjadi pada sang Babi, tetapi Ayam betina dan Ayam jantan, tak bisa dibodohi. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Shaykh Muhammad ibn Saalih al-’Uthaymeen, The Ill Effects of Sins, Translated by Aboo Talhah Daawood ibn Ronald Burbank, Al-Hidaayah
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin
*) "El Cóndor Pasa (If I Could)" karya Paul Simon & Daniel Alomia Robles 

Jumat, 17 September 2021

Look Who's Talking!

Rembulan tegak-berdiri, bulat dan terang, di atas awan, bergeser lembut-perlahan. Ketahui apa yang Rembulan sebutkan kepada Pungguk.
"Kuingin engkau tahu, bahwa Kekasih kita (ﷺ) bersabda,
مَنْ أَفْتَى بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ إِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ وَمَنْ أَشَارَ عَلَى أَخِيهِ بِأَمْرٍ يَعْلَمُ أَنَّ الرُّشْدَ فِي غَيْرِهِ فَقَدْ خانه
“Barangsiapa diberi keputusan hukum secara jahil, maka dosanya ada pada yang memberikannya; dan barangsiapa menasehati saudaranya, mengetahui bahwa petunjuk yang benar terletak pada arah yang lain, maka ia telah menipunya.” [Sunan Abu Dawud; Hasan menurut Al-Albani]
Secara umum, semua orang yang, secara langsung atau tak-langsung, bertanggungjawab memimpin dan mendidik Umat, secara individu—yaitu. semisal istri, anak-anak, kerabat, dll.—atau secara kolektif, Jama'ah mereka—misalnya, Masjid, komunitas, organisasi, dll.—sepantasnya, memperhatikan hadits ini dan implikasinya dengan cermat, lantaran merekalah yang paling mungkin akan terjerat dalam dosa besar kezhaliman dan ketersesatan saudara-saudaranya.
Hal ini sering terjadi, saat para pendidik, atau pemimpin seperti itu, yang mengetahui kebenaran dalam suatu masalah atau urusan tertentu, sebagaimana ditetapkan Al-Qur'an dan Sunnah, dengan sengaja memberikan Fatwa, atau menggalakkan secara langsung atau tak-langsung, pendapat atau pandangan yang keliru, suatu masalah atau isu-isu tertentu. Faktor pendorong pengecohan yang disengaja oleh sesama Muslim, yang menyerahkan kepercayaan mereka kepadanya, agar memimpin dan membimbing mereka dengan benar, salah-satu atau lebih,  lantaran hal-hal berikut ini,
  • Ittiba'ul Hawa, yaitu mengikuti prasangka, preferensi, selera, keinginan, dll. Hawa-nafsu dapat bermakna, kecenderungan batin yang diinginkan; kehendak batin terhadap yang disukai; kecintaan seseorang terhadap sesuatu, hingga menaklukkan qalbunya; hanyut akan sesuatu, lalu menjadi dorongan kuat yang menguasai qalbu, dan akhirnya menetap di dalamnya dengan kokoh, hingga sulit dihilangkan, kecuali dengan kerja keras dalam waktu yang lama.
  • Upaya memperoleh atau mempertahankan posisi jabatan—baik oleh ketenaran maupun duit;
  • Motif politik—keberpihakan, yaitu mendukung pandangan operatif dari suatu organisasi tertentu, demi memukau para pengikutnya, atau demi menarik massa.
Muslihat seperti ini, bisa juga diakibatkan karena keuntungan materi. Misalnya, seseorang meminta nasihat saudaranya sehubungan dengan usaha bisnis tertentu, tetapi saudaranya menyukai ide itu sendiri, dan kemudian Setan mempengaruhinya agar menyimpan konsep bisnis itu bagi dirinya sendiri, sehingga ia menanggapi peminta nasihat tersebut, agar tak turut serta dalam bisnis tersebut, menjelaskan bahwa cuma sedikit atau tiada manfaat di dalamnya. Bisa juga, ia memperdayai saudaranya, karena ia iri padanya, sehingga ia menyembunyikan apa yang ia ketahui.

Jadi, aku mengikuti sebuah kafilah, yang membawaku ke negeri yang disebut Asinus Terra. Aku melihat dua orang lelaki, sedang memperbincangkan sesuatu. Setelah mengikuti percakapan mereka, kupahami bahwa salah seorang, ingin membeli keledai, dan setuju dengan pemiliknya—lelaki lainnya—bahwa ia ingin mencoba satwa tersebut, sebelum membelinya. 
Ia lalu membawa pulang sang keledai, dan menempatkannya di halaman, yang penuh dengan jerami, bersama keledai lain, dimana sang satwa baru, meninggalkan mereka dan segera bergabung dengan salah satu yang paling malas dan paling banyak makannya. Melihat ini, sang Pembeli memasang tali-kekangnya, dan membawanya pulang ke pemiliknya. 
Pada saat itulah, aku menyaksikan mereka sedang bercakap-cakap. Sang Pemilik menanyakan, bagaimana bisa, dalam waktu yang sangat singkat, sang Pembeli mampu menguji-coba sang-keledai. Sebelum menjawab, sang Pembeli bercerita.
Seekor Singa, berkenan berburu ditemani seekor Keledai. Sepanjang perjalanan, sang Keledai berseru, 'Asinus Terra harga-mati! Asinus Terra harga-mati! Barangsiapa yang tak mengikuti cara keledai, salah semuanya!' Ini membuat sang Singa mengernyitkan kening, sampai mereka melewati sebuah rumah tua. Sang Keledai berkata, 'Rumah itu, sesungguhnya, hadiah untuk Mbahku!' Sang Singa agak terkejut, 'Benarkah? Bukankah itu dipersembahkan bagi Negeri ini?' Sang Keledai menjawab, 'Menurut bisik-bisik di antara spesies Keledai, cuma kamilah pemiliknya!' Sang Singa membatin, 'Sudah jelas milik semua, diaku punyanya, makan tuh punya Mbahmu!'
Akhirnya, setelah mencari buruan, para pemburu tersebut, melihat sejumlah Kambing Liar, berlarian ke dalam gua, dan merekapun menyusun rencana, menyergapnya. Dan, agar sang Keledai lebih berguna, sang Singa memintanya, bersembunyi di balik semak-semak, dan kemudian meringkik sejadi-jadinya, seseram mungkin. 'Dengan siasat ini, engkau akan mengusik para Kambing yang mendengar suaramu, sementara aku berdiri di depan gua, dan menerkam mereka saat ingin kabur,' sang Singa menjelaskan.
Maka terlaksanalah, dan siasat berjalan sesuai. Sang Keledai meringkik seram, dan para satwa yang takut, tak tahu harus berbuat apa, mulai berlari selekas mungkin, sementara sang Singa, yang berada ditempat yang tepat, menerkam dan melahap mereka, sesukanya.
Setelah perutnya kenyang, ia memanggil sang Keledai, dan membolehkannya keluar, seraya menyampaikan, telah cukuplah yang dilakukannya. Setelah itu, satwa bertelinga panjang itu, keluar dari persembunyiannya, dan mendekati sang Singa, bertanya, dengan bangga, bagaimana penampilannya. 'Dahsyat! Engkau melakukannya dengan sangat baik, namun—aku protes nih—andai aku tak paham sifat dan temperamenmu, mungkin, aku pula yang ikut gemetar!' sang Singa dengan enggan berkomentar.
'Awalnya, aku tak mengerti apa yang dimaksud sang Singa,' kata sang Pembeli. 'Namun, setelah sedikit berpikir, aku memahami, bahwa seorang pengecut yang congkak, dapat memaksa orang-orang yang tak mengenalnya; namun, bisa menjadi lelucon bagi mereka, yang mengenal siapa sebenarnya orang itu. Ada banyak orang, yang tampak menyeramkan dan agung, dalam cara mereka mengekspresikan diri, dan jika engkau terbujuk mengikuti kata-katanya, itu karena terkesan oleh sang Singa sejati; namun bila engkau berupaya mengetahui tentang siapa sebenarnya mereka, maka akan terungkaplah, keledai tamak meringkik.'
'Agar lebih jelas,' terang sang Pembeli, 'dengarkan lebih lanjut cerita tentang sang Keledai!'
Lantas, sang Keledai menemukan kostum Singa, yang ditinggalkan di hutan oleh Penari Barongsai. Ia lalu mengenakannya, dan dengan asyik, bersembunyi di balik semak-semak, kemudian tiba-tiba melompat keluar ke arah satwa yang lewat. Semuanya, terbirit-birit saat melihatnya.
Sang Keledai, tergelak, melihat para satwa, tunggang-langgang, seolah-olah ia sendirilah sang Singa, sehingga tak dapat menahan diri, meluapkan kegembiraanya, dengan meringkik sekeras-kerasnya. Seekor Rubah, yang mengambil langkah-seribu bersama satwa lain, berhenti sesaat setelah mendengar ringkikannya, dan segera tersadar, bahwa makhluk seram itu, tak lain hanyalah seekor Keledai. Kemudian ia melaporkan hal ini kepada sang Singa, dan bersama-sama satwa lain, mendekati sang Keledai. Tiba-tiba, angin kencang bertiup, membawa kostum Barongsai menjauh dari sang Keledai, sang Rubah berkata seraya terbahak-bahak, 'Look who's talking! Andai engkau tutup-mulut, mungkin pula akan menakutiku. Tapi, engkau memajang dirimu, dengan ringkikan konyolmu.'
Kedua lelaki tertawa. Sang Pemilik bertanya, 'Omong-omong, engkau belum menjawab pertanyaanku.' Sang Pembeli menanggapi, 'Aku tak membutuhkan uji-coba! Aku tahu bahwa, sang Keledai, akan sama saja dengan sahabat yang dipilihnya.' Mereka tertawa lagi, dan berdendang,
'Tell me why?'
[Emang 'nape?]
'Ain't nothin' but a heartache'
[Kagak laen s'lain 'pale-pusying]
'Tell me why?'
[Emang 'nape?]
'Ain't nothin' but a mistake'
[Kagak laen s'lain k'leru]
'Tell me why?'
[Emang 'nape?]
'I never wanna hear you say,
[Gua kagak mau dengerin lu ngomong,]
'I want it that way!' *)
[Gua pengen kek gitu!]
Rembulan menangkup, "Duhai Pungguk! Mereka yang paling lambat memahami dan paling lemah menangkap, umumnya, agresif dalam beropini, dan paling cepat mengungkapkan kesan kasar mereka. Dalam banyak kesempatan, diam-diam, kita mengagumi, pakaian dan sikap-penting seorang politisi, yang, kadarullah, kita temui di Kedai Kopi, terkesan bagai apa yang dilakukan seorang orator sejati. Kita mengira, sebelum kita mendengarnya berbicara, napasnya menghembuskan keseriusan seorang konselor istimewa, dan tampak luarnya, laksana seorang patriot terkemuka bermartabat, namun, ketika ia mengekspresikan diri, maka ia mengecewakan kita; ia meringkik, dan mengungkapkan kepada seluruh kalangan, siapa dirinya. Oleh sebab semua kepura-puraan itu, salah, dan cenderung memajang dan membuat konyol seseorang, maka semakin dalam ia berpura-pura, semakin kuat cibiran yang diterimanya, dan dengan demikian, semakin besar ketidaknyamanan dalam dirinya.
Seseorang dikenal dari ucapannya, ibarat pohon dari buahnya; dan jika kita ingin mengetahui sifat dan kualitas seseorang, biarkan ia ngomong, dan dirinya sendirilah, yang akan mengungkap jati-dirinya, lebih jelas dibanding, yang dapat ditunjukkan oleh siapapun. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- Darussalam Research Section, Guarding the Tongue from the the Book Al-Adhkaar, Darussalam
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
*) "I Want It That Way" karya Andreas Mikael Carlsson & Karl Martin Sandberg

Selasa, 14 September 2021

Look Who's Angry!

Kemarin," berkata Rembulan, "Aku bersandar di negeri bernama Bumi Rubrum. Namun sebelum bercerita, kuingin engkau tahu, bahwa orang-orang konyol, terkadang sangat berambisi dianggap cerdas, sehingga mengabaikan keadaan yang tak mengenakkan, atau, bisa jadi, berbahaya. 
Jadi, aku melihat seekor Keledai berandalan kecil, bertemu di hutan dengan seekor Babi Hutan, mendatangi dan menyapanya dengan sapaan yang kasar. Sang Babi hutan hendak membalas penghinaan tersebut dengan mencabik-cabik lambung sang Keledai, namun, dengan arif menahan amarahnya, ia merasa cukup mengatakan, 'Pergilah, dasar binatang buas. Aku bisa dengan mudah dan bertubi-tubi membalas perlakuanmu, tapi, aku tak mau mengotori taringku, dengan darah makhluk hina sepertimu.'

Tak ditanggapi oleh Babi Hutan, ia kemudian berlari menuju lorong hutan. Di sana, seekor Singa, bersama ibunya, berjalan dengan bangga di lorong hutan, dan para satwa dengan hormat, memberi jalan untuknya. Sang Keledai, melontarkan nada cemooh saat ia melintas. Sang singa merasakan kilatan amarah. Ia mulai menunjukkan taringnya, namun ibundanya, mencegah ia melakukan hal yang memalukan.

Setiba di rumah, sang Singa bertanya kepada ibundanya, 'Duhai Bunda, mengapa engkau mencegahku memberi pelajaran keledai konyol itu?' Sang Bunda, menjawab, 'Janganlah memberikan penghargaan kepada orang bodoh dengan satu hantaman cakarmu. Akankah engkau memuliakan makhluk hina dengan sepatah kata pun? 'Cah bagus, perhatikan ini, kejadian seperti itu, akan memancing amarahmu.' Sang singa mengangguk, lalu bertanya, 'Apa itu amarah, Bunda?' Sang Bunda menjelaskan, 'Secara bahasa, amarah itu, perasaan jengkel, tak senang, atau permusuhan yang kuat. Secara teknis, amarah itu, perubahan emosi internal, yang mendorong seseorang menyerang dan membalas, sehingga memuaskan batinnya. Murka, lebih intens dari marah, sehingga didefinisikan sebagai kemarahan liar dan kekerasan.

Amarah dapat dibagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama, wajib: marah karena Allah. Inilah amarah, yang muncul ketika ajaran Allah diabaikan atau diperlakukan dengan hina. Bahkan, jika seseorang punya Iman yang benar, ia seyogyanya menunjukkan amarah ini. Tak terbayangkan bahwa seseorang rela menyaksikan firman-firman Allah diabaikan, bahkan kadang-kadang dicemooh, dan ia tak merasakan apa-apa. Sesungguhnya, inilah tanda akan qalbu yang sakit.
Kekasih kita (ﷺ) juga meneladankan hal ini. Beliau (ﷺ) tak pernah marah karena motif pribadi, melainkan jika hukum Allah dilanggar, maka beliau (ﷺ) akan marah. Rasulullah (ﷺ) tak pernah dendam atas siapapun oleh dirinya sendiri, akan tetapi, beliau (ﷺ) melakukannya hanya ketika, Ikatan Hukum Allah dilanggar, dalam hal ini, beliau (ﷺ) akan membalas karena Allah. Setiap kali Nabiyullah (ﷺ) diberi pilihan, salah satu dari dua hal, beliau (ﷺ) akan memilih yang lebih mudah dari keduanya, selama tiada dosa melakukannya, namun jika itu, menimbulkan dosa, beliau (ﷺ) akan menjauhinya.

Kedua, kemarahan yang diekspresikan demi membela hak seseorang. Dari perspektif Syari'ah, jika hak seseorang dilanggar atau dianiaya, maka ia berhak marah. Ia berhak mencoba memperbaiki keadaannya. Jika tak demikian, bumi akan benar-benar rusak oleh penyebaran kekacauan dan kehancuran masyarakat.
Namun, dalam mengekspresikan kemarahan ini, ia tak berhak melakukan tindakan terlarang, seperti memaki orang lain atau bertindak ekstrem terhadap mereka, hanya karena marah.

Ketiga, amarah terlarang. Di sinilah, seseorang marah karena hal-hal kecil yang tiada seruan bagi seorang Muslim, agar marah. Jenis amarah ini, menyimpangi tingkat keseimbangan, menguasai pikiran dan Dien, dan membawa seseorang menuju kejahatan, dengan sangat tak masuk akal, sehingga hal itu, dapat mengarah pada kehancurannya, tanpa disadari. Hal ini juga dapat menyebabkan seseorang berbuat kejahatan dan dosa yang paling menyakitkan. Amarah pada tahap ini, tercela menurut Syari'ah.

Amarah punya efek dan konsekuensi berbahaya, yang dapat mempengaruhi insan dan Umat. Pada insan, Amarah dapat menyebabkan kerusakan fisik. Kemarahan muncul dari mendidihnya darah di hati, yang mengalir dalam pembuluh-darah, seperti yang ditunjukkan dari memerahnya wajah dan mata. Pengulangan proses ini, dapat menyebabkan tekanan darah dan mungkin arteriosklerosis, kemudian kelumpuhan. Jadi, dapat kita lihat bahwa, kemarahan berakhir dengan kerusakan fisik.

Amarah juga dapat menyebabkan ketidaksempurnaan Dien seseorang. Kemarahan dapat menyebabkan fitnah, kata-kata kotor, perampokan, dan pertumpahan darah. Semua itu, dosa dan ketidaksempurnaan dalam beragama. Selain itu, Amarah dapat menyebabkan seseorang tak dapat mengontrol dirinya. Pikiran menjadi kalut pada saat marah, dan dengan demikian, seseorang tak dapat mengendalikan diri. Maka, akan mungkin ia melakukan perbuatan yang mengerikan, yang akan ia sesali kemudian.

Kemarahan juga akan menyebabkan seseorang dihadapkan pada keadaan harus meminta maaf yang mempermalukannya. Ketika seseorang meledakkan amarahnya pada seseorang, ia mungkin melakukan tindakan yang salah, tanpa sadar, dan kemudian mendapati dirinya, dihadapkan pada keadaan meminta maaf yang mempermalukannya.
Kemarahan dapat menyebabkan siksaan yang pedih. Orang yang pemarah, selalu banyak melakukan kesalahan dan banyak melakukan dosa, yang berakibat, ditimpanya siksaan yang berat, baik di Dunia maupun di Akhirat.

Terhadap Umat, Amarah dapat memancing kerenggangan berjama'ah. Umat menikmati kebersamaan dengan orang yang bijak, dan yang perilakunya terkendali. Di sisi lain, mereka melepaskan diri dari ketergegabahan dan kedangkalan. Apalagi jika orang yang marah merangkap sebagai Da'i, ia akan kehilangan respon terhadap seruannya, dan ini juga akan menjadi kerugian besar bagi umat Islam.
Amarah, selanjutnya membawa pertikaian dan keretakan. Saat seseorang marah hanya untuk dirinya sendiri, itu berarti kemarahannya, untuk alasan pribadi dan bukan karena Allah. Setiap pekerjaan yang bukan karena Allah, takkan mendatangkan cinta atau kasih-sayang di antara Umat; sebaliknya, mengarah pada pertikaian dan perpecahan.

Kekasih kita (ﷺ) bersabda,
النَّاسُ مَعَادِنُ كَمَعَادِنِ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ خِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الإِسْلاَمِ إِذَا فَقُهُوا وَالأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
"Manusia ibarat barang tambang emas dan perak; orang-orang mulia pada masa jahiliah itu, orang-orang mulia pada masa Islam jika mereka memahami (agama). Ruh-ruh manusia bagaikan tentara yang berkumpul; jika saling-kenal, maka bersatu, dan jika tak saling-kenal, maka ia akan terpisah." [Sahih Muslim]
Bersikap-tegas dan Marah, dua hal yang berbeda. Bersikap-tegas menunjukkan bahwa engkau menghargai diri-sendiri, karena engkau bersedia membela kepentinganmu dan mengungkapkan pikiran dan perasaanmu. Bersikap-tegas, juga, menunjukkan bahwa engkau menyadari hak orang lain dan bersedia bekerja demi menyelesaikan konflik.
Dalam banyak kasus, sumber amarah seseorang itu, kesalahan atau kekeliruan perilaku orang lain. Orang yang akan marah, hendaknya menyadari, bahwa setiap orang cenderung berbuat kekeliruan atau melakukan sesuatu yang salah, termasuk dirinya sendiri. Oleh karenanya, satu pendekatan untuk kejadian seperti itu, pada dasarnya, antitesis dari Amarah: pemberian-maaf dan kebaikan-hati.
Bila seorang Muslim menyadari arti-pentingnya, dan keutamaan-besar dari karakteristik ini, ia seyogyanya berusaha mengembangkannya di dalam dirinya sendiri. Jika ia menjadi seseorang yang pemaaf, baik-hati dan tenang, ia mungkin akan menemukan sangat sedikit keadaan dimana Amarah akan menguasainya.

Al-Qur'an menuntun manusia agar menjadi pemaaf dan bahkan menyerahkan sebagian haknya atas nama orang lain. Allah berfirman,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
"Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh." [Qs. Al-A'raf (7):199]
Allah memuliakan orang-orang yang menahan amarahnya dan juga memaafkan orang lain.
وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ
"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Rabbmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang bertakwa, (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan." [QS. Ali 'Imran (3):133-134]
Amarah itu, api. Amarah itu, cacat yang telah ditimbulkan, yang akan menghabisimu. Bila Amarah berhasil dikendalikan, buahnya, Kesabaran. Allah telah memberi kita cara dan sarana agar memperoleh dan memperkuat kualitas kesabaran, karena Dia, Subhanahu wa Ta'ala, tak pernah memerintahkan kita melakukan sesuatu tanpa memberi kita bantuan dan dukungan melaksanakannya, serta cara dan sarana guna mencapainya. Dia tak pernah menciptakan penyakit tanpa menciptakan obatnya, dan Dia menjamin kesembuhan ketika obatnya digunakan.
Meski begitu, kesabaran itu, sulit, namun tak mustahil dicapai. Kesabaran terdiri dari dua elemen: ilmu dan amal, dan dari kedua elemen ini, diperoleh obat bagi semua masalah spiritual dan jasmaniah. Ilmu dan amal, akan selalu penting bila dipadukan.

Perhatikan ilustrasi berikut,
Seekor Kerbau, yang sedang merumput di padang rumput, tak sengaja, memijakkan kakinya di antara sekelompok Kodok muda, dan hampir menginjak salah satu dari mereka. Mereka mengadu kepada ibu mereka, ketika ia pulang, apa yang terjadi, menyampaikan bahwa binatang yang melakukannya, makhluk terbesar yang pernah mereka lihat dalam hidup mereka.
Bersama-sama, mereka pergi menemui sang Kerbau, dengan marah, sang Kodok tua membentak, 'Ta' tembak kamu!' kemudian menggelembungkan dan membuntalkan perutnya yang berbintik-bintik, sampai tingkat terbesar.
'Seberapapun besarnya dirimu, aku tak gentar!' sang Kerbau bereaksi. 'Lagipula, dengan keadaanmu itu, belum membuatku takut!' katanya. Maka, sang Kodok tua berusaha lebih keras lagi. Ia berusaha terus, dan akhirnya, balonnya kegedean, sayangnya: 'Dor!', ia meletupkan dirinya sendiri.
'Look who's angry!' berkata sang Kerbau, sembari terus merumput, dan dengan santai, bersenandung,
I look inside myself
And see my heart is black
I see my red door
I must have it painted black 
Maybe then, I'll fade away
And not have to face the facts
It's not easy facing up
When your whole world is black *)
"Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan :
- Darussalam Research Section, Golden Advice Series, Do Not Become Angry, Darussalam
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin
*) "Paint It Black" karya Mick Jagger & Keith Richard

Jumat, 10 September 2021

Keadilan, Ada di Mata yang Melihat? (2)

Hakim Kelima menyambung, "Pengaruh Keadilan terhadap masyarakat, diillustrasikan dalam kisah tentang Amirul Mukminin, 'Umar bin al-Khattab, radhiyallahu 'anhu. Diriwayatkan bahwa suatu ketika, Heraklius mengirim seorang utusan kepada Khalifah 'Umar, guna memantau aktivitas dan keadaannya.
Ketika sang-utusan masuk Madinah, ia mencari 'Umar dan bertanya, 'Dimana rajamu?' Mereka menjawab, 'Kami tak punya raja selain Amir yang terhormat. Ia sedang keluar kota Madinah.'
Lantas, iapun pergi melacak keberadaan 'Umar, dan menemukannya sedang tidur di atas pasir, menggunakan tongkatnya sebagai bantal. Tongkatnya kecil, yang selalu ia bawa, dan menggunakannya mencegah orang lain bila hendak berbuat kejahatan. Dikala ia melihatnya tidur seperti itu, ia merasakan kerendahan-hati dalam qalbunya, dan bergumam, 'Inilah orang yang menanarkan segala raja, namun lihatlah keadaannya. Duhai 'Umar, selama ini, engkau bersikap Adil, sehingga engkau bisa tidur. Sedangkan raja kami, seorang tiran, maka di sanalah ia terjaga sepanjang malam, dalam kegalauan.'
Jika Keadilan mangkir, orang merasa tak puas, dan mungkin bertindak demi mendapatkan hak mereka, terkadang menggunakan kekerasan.
Kekasih kita (ﷺ) bersabda,
مَنْ أَعَانَ عَلَى خُصُومَةٍ بِظُلْمٍ أَوْ يُعِينُ عَلَى ظُلْمٍ لَمْ يَزَلْ فِي سَخَطِ اللَّهِ حَتَّى يَنْزِعَ
“Barangsiapa yang menolong suatu permusuhan dengan kezhaliman; atau menolong atas kezhaliman; maka ia senantiasa dimurkai Allah, sampai Dia mencabutnya.” [Sunan Ibnu Majah; Sahih menurut Al-Albani]
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, Allah melarang kita, dipengaruhi oleh segala bentuk Hasrat, sedemikian rupa sehingga kita menyimpang dari Kebenaran dan Keadilan. Bila itu terjadi, maka, Keadilan, ibarat Kecantikan, hanyalah ada di mata yang melihatnya. Ada yang melihat korban yang tak bersalah. Yang lain, akan melihat, inkarnasi kejahatan, yang memperoleh apa yang pantas.

Perhatikan sketsa ini,
Dua ekor Kucing, yang baru saja nyolong keju, tak akur berbagi jarahan. Karenanya, agar menyelesaikan perselisihan, mereka sepakat menyerahkan masalah dimaksud, kepada, Nyimut, sang monyet. Arbiter yang diusulkan, dengan sigap menerima jabatan yang disepahami, dan, agar berimbang, meletakkan setiap potongan keju ke dalam masing-masing piringan-timbangan. 'Coba kulihat,' katanya, 'Yak... potongan yang ini, lebih besar dibanding yang lain,' dan seketika, menggigit potongan yang lebih besar, agar menguranginya, lalu ia mengamati kembali keseimbangannya. Piringan yang satu, sekarang lebih berat, yang memberi peluang bagi hakim kita yang cerdas nan cermat, alasan tambahan demi suapan kedua. 'Tahan, tahan,' ucap kedua Kucing yang mulai was-was dengan kejadian itu, 'Berikan saja bagian kami  masing-masing dan kami sudah puas.
''Jika kalian puas,' jawab Nyimut, 'Keadilan tidak, penyebab sifat rumit ini, bukan berarti begitu cepat diputuskan,' sembari sang monyet langsung menggigit satu bagian, kemudian ganti yang lain, sampai-sampai para Kucing yang apes, melihat keju jarahan mereka, berangsur-angsur mengurang, dan memohon dengan sangat padanya, agar tak menimbulkan masalah baru, melainkan memberikan saja apa yang tersisa. 'Tak secepat itu, kumohon kawan-kawan,' tukas Nyimut, 'Kami berutang keadilan kepada diri kami sendiri, dan juga kepada kalian. Yang tersisa ini, hak jabatanku.' Kilah sang monyet seraya menjejalkan seluruh sisa keju ke dalam mulutnya, dan dengan puas, menutup sidang.
Dan amati sketsa berikut ini,
Dua pelancong, sedang berjalan di tepi pantai yang sedang surut, mereka melihat seekor Tiram, dan keduanya membungkuk pada saat yang sama, berniat mengambilnya. Yang satu mendorong yang lain, dan perselisihan pun terjadi.
Pelancong ketiga, datang pada saat itu, dan kedua pelancong, memutuskan, menyerahkan permasalahan tersebut kepadanya, mana di antara keduanya, berhak memiliki Tiram yang dipersengketakan. Selagi kedua pelancong masing-masing sedang asyik memaparkan kisahnya, sang arbiter, dengan perlahan mengeluarkan pisaunya, membuka cangkang, dan melepaskan tiramnya. Sewaktu keduanya telah selesai, dan hendak mendengarkan keputusan sang hakim, dengan sekejap ia menelan Tiram itu, dan menawarkan kepada masing-masing sebilah cangkang. 'Pengadilan,' katanya, 'menghadiahi kalian masing-masing sepotong kerang. Tiramnya, menjadi ongkos persidangan.'
Hakim Kelima menyimpulkan, 'Bilamana para orang sakit berkuasa, yang tak bersalah dan yang berintegritas, pasti akan teraniaya; semakin buruk keadaan masyarakat, semakin ceria roman muka mereka, demi menakar tindak kejahatannya. Mempraktikkan kejujuran, di masa-masat suram, cukup menimbulkan kecurigaan; namun bila ada yang berani melaksanakannya—cuma sepuluh banding satu—ia akan dimakzulkan dengan tuduhan kejahatan berat, maupun pidana ringan. Agar dapat menegakkan Keadilan di negara yang bobrok dan korup, dengan secara tak langsung mencela penguasa; dan lebih dapat melindungi kepala orang yang menegakkannya. Saat kekejaman dan kedengkian berpadu dengan kekuasaan, tidaklah mudah menemukan pretensi kezhaliman terhadap orang-orang tak bersalah, dan segala perilaku ketidakadilan.'"

Saatnya berangkat, Rembulan harus melanjutkan perjalanan. Sebelum bertolak menjalankan tugasnya, ia mengingatkan, "Duhai Pungguk! Aku telah menyampaikan ucapan Kelima Hakim. Semua itu, nilai-nilai luhur yang diwariskan Para Pendahulumu. Jangan menganggapnya sia-sia, jangan mengubahnya, apalagi mencampakkannya. Jika ada yang mencoba melakukannya, pertahankan sekuat tenagamu. Mereka yang hendak merubahnya, atau membuatnya agar dapat tergantikan, menuduh orang lain makar, namun sesungguhnya, merekalah yang berbuat makar. Mereka yang tidak-adil, takkan mau mendengarkan keterangan yang baik, sebab mereka selalu dapat menemukan, pembenaran ketidakadilan mereka. Wallahu a'lam."

Dengan lembut, Rembulan sirna dari haluan, mengarungi samudera ruang angkasa, menuju belahan bumi lain, disertai kata-kata,
In navibus factis de chartaque atramento
[Dalam bahtera, terbuat dari tinta dan kertas]
Ego iterum navigabo ad illa tempora
[Kukan berlayar kembali ke masa-masa itu]
Hic ego sedeo et somnio de futuris
[Di sini, kududuk dan impikan masa-depan]
Nonne scribent de me etiam
[Akankah mereka menulis pula tentangku?]
Ego etiam cupio recreari
[Kujua ingin dibugarkan]
Et amari diu post mortem meam *)
[Dan dirindukan, jauh setelah ketiadaanku]
Kutipan & Rujukan:
- Dr. Aisha Utz, Psychology from the Islamic Perspective, IIPH
- Sayyid Qutb, In the Shade of the Qur'an, Vol. III, The Islamic Foundation
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin
*) "Secret Library Daquerreo" karya Kate Covington dan Chaeley
[Bagian 1]

Selasa, 07 September 2021

Keadilan, Ada di Mata yang Melihat? (1)

Malam berikutnya, Rembulan mengutarakan. “Duhai Pungguk! Keadilan itu, teruntuk semua! Keadilan itu, hak setiap insan. Persyaratan demi menegakkan Keadilan, semata memperhitungkan fakta bahwa, para insan itu, manusia, dan cuma itu, yang memenuhi persyaratan agar mereka diperlakukan Adil. Lantaran itulah, Keadilan hendaknya diperlebar kepada semuanya: orang beriman dan tak-beriman, kawan dan lawan, kulit-putih dan kulit-berwarna, dan sebagainya."

"Dan apa yang diucapkan Hakim Kelima?" Pungguk langsung menyambut. Rembulan menjawab, "Hakim Kelima mengungkapkan, 'Keadilan bermakna, adil dan merata, dan menghindari pembedaan, perlakuan tak setara, dan penindasan. Keadilan sangat diperlukan bagi insan maupun masyarakat. Ia menghasilkan kepuasan bagi insan dan fungsi yang sehat dalam masyarakat. Allah berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآئِ ذِى ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡىِ ۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ
"Sesungguhnya, Allah menyuruhmu, berlaku adil dan berbuat kebajikan, membantu kerabat, dan Dia melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu, agar kamu dapat mengambil pelajaran." [QS. An-Nahl(16):90]
Ada berbagai kategori Keadilan. Pertama, Keadilan di sisi Allah, dengan beribadah hanya kepada-Nya, tanpa menyekutukan-Nya, dan menaati perintah-Nya.

Kedua, Keadilan mendamaikan di antara para insan yang berselisih: dengan memberikan kepada masing-masing, apa yang menjadi haknya. Allah memerintahkan agar Keadilan dipergunakan saat menyelesaikan perselisihan di antara, baik kaum lelaki maupun kaum wanita yang beriman,
وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ ۖفَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
"Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zhalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu, kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." [QS. Al-Hujurat (49):9]
Kekasih kita (ﷺ) bersabda,
الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ قَاضِيَانِ فِي النَّارِ وَقَاضٍ فِي الْجَنَّةِ رَجُلٌ قَضَى بِغَيْرِ الْحَقِّ فَعَلِمَ ذَاكَ فَذَاكَ فِي النَّارِ وَقَاضٍ لَا يَعْلَمُ فَأَهْلَكَ حُقُوقَ النَّاسِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَقَاضٍ قَضَى بِالْحَقِّ فَذَلِكَ فِي الْجَنَّةِ
“Hakim itu, ada tiga ragam: dua hakim dalam neraka, dan satu hakim dalam surga. Yang menghakimi tanpa kebenaran, padahal ia mengetahuinya, ia berada dalam api-neraka. Hakim yang tak berilmu dan melanggar hak-hak manusia, ia berada pula dalam api-neraka. Seorang hakim yang memutuskan dengan kebenaran, ia berada dalam Jannah.” [Sunan at-Tirmidzi; Sahih menurut Al-Albani]
Ketiga, Keadilan di antara istri dan anak: tanpa mengutamakan yang satu, di atas yang lain. Keadilan dimulai dalam keluarga. Allah berfirman,
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ ۚ فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۚ وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۗ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗٓ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهٗٓ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
"Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika ia (anak perempuan) itu seorang saja, maka ia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika ia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika ia (yang meninggal) tak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika ia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Inilah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana." [QS. An-Nisa (4):11]
Pada titik ini, ayat tersebut menjelaskan sistem waris Islam. Berawal dari sebuah perintah, berupa anjuran yang kuat, yang disampaikan Allah kepada para orangtua, agar memelihara Keadilan di antara anak-anaknya.

Keempat, Keadilan dalam berucap, dengan tak bersaksi palsu atau berdusta. Dapat dipercaya atau Amanah, dan Keadilan, terkait erat. Allah berfirman,
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا
"Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik Yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.." [QS. An-Nisa (4):58]
Semua inilah, kewajiban utama yang diletakkan atas masyarakat Muslim, dan merangkum etika-moralnya, yakni, menunaikan Amanah dan menegakkan Keadilan. Amanah yang paling mendasar dan terpenting itu, apa yang Allah tanamkan dalam fitrah manusia. Inilah yang ditampik oleh langit, bumi, dan pegunungan, melainkan disanggupi manusia. Yaitu dengan rela dan sengaja, mengakui pedoman Ilahi, dan beriman kepada Allah. Inilah Amanah yang diberikan Allah kepada manusia dalam kodratnya. Makhluk-makhluk lain, telah diberi kepercayaan tanpa mereka perlu berusaha apapun. Dengan demikian, mereka mengenali Rabb mereka dan menyembah-Nya tanpa harus memilih, atau mengerahkan upaya khusus apapun. Hanya manusialah, yang telah dibebankan tugas ini, agar memenuhinya berdasarkan sifat penuntunnya, pengetahuannya, penalarannya, kemauannya dan usahanya. Dan, dalam hal ini, ia akan selalu menerima pertolongan Allah.
Inilah, kemudian, Amanah pertama yang seyogyanya, ditunaikan manusia. Inilah yang memunculkan semua amanah lain yang Allah perintahkan agar dipenuhi manusia. Salah satu yang terpenting, di antaranya, bersaksi menurut keyakinan Islam. Ini berbentuk, pertama, berupaya keras bagi diri-sendiri, sehingga kehidupan, perasaan, tindakan, dan perilaku seseorang, menjadi terjemahan penerapan Iman. Jadi, saat masyarakat memuji perilaku, nilai dan sikap atau tatakrama, serta standar moral seorang mukmin, mereka menyadari bahwa, hanya karena ia meyakini Islam, ia mampu mencapai standar yang tinggi.
Cara lain bersaksi menurut keyakinan Islam, mewujudkan betapa Islam, jauh lebih mendalam dan luhur dibandingkan keyakinan manusia lainnya. Kesaksian selanjutnya, diberikan dengan mengambil langkah-langkah agar membantu mengimplementasikan Islam sebagai Pedoman Hidup bagi masyarakat Muslim, dan dalam kehidupan manusia pada umumnya. Agar dapat melaksanakannya, orang beriman seyogyanya menggunakan berbagai sarana yang tersedia bagi mereka, baik sebagai insan maupun sebagai anggota masyarakat. Implementasi praktis seperti inilah, Amanah menjadi sangat penting, setelah memeluk Iman itu sendiri. Tiada insan dan kelompok, yang dikecualikan dari Amanah ini. Amanah lain, yang tersirat dalam apa yang telah disebutkan, bahwa memperlakukan manusia dan memberikan kepada mereka, apapun yang mereka amanahkan kepada kita. Termasuk kejujuran dalam jual-beli, menyampaikan nasihat yang tulus kepada pemerintah dan yang diperintah, merawat anak-anak dengan baik, melindungi kepentingan masyarakat dan membelanya dari serangan musuh, dan mematuhi segala tugas dan kewajiban yang digariskan sesuai etika Ilahi. Semuanya, Amanah yang selayaknya dipenuhi.

Kelima, Keadilan dalam keyakinan, dengan tak mempercayai selain Kebenaran. Bersikap adil dalam segala keadaan. Allah berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ ۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu-sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah, Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan." (QS. An-Nisa (4):135]
Hal ini, ditujukan kepada orang-orang beriman, menggunakan kualitas baru dan unik mereka, yang memastikan kelahiran kembali masyarakat mereka yang sebenarnya. Sesungguhnya, mereka telah menikmati kelahiran kembali jiwa, prinsip, konsep, dan tujuan.
Di sini kita melihat metode Al-Qur'an yang penuh Hikmah, dalam mendidik masyarakat Muslim secara penuh, mempersiapkan penerimanya bagi tugas-tugas sulit mereka. Amanah yang telah diberikan kepada mereka, demi menegakkan Keadilan, dalam makna kemutlakannnya, dalam setiap keadaan. Inilah jenis keadilan yang mencegah agresi dan penindasan dimanapun di atas bumi. Yang menjamin Keadilan di antara umat manusia, memberikan setiap insan, Muslim atau non-Muslim, hak-hak mereka. Dalam hak mereka atas Keadilan, segenap manusia, beriman dan tak-beriman, sama di sisi Allah. Demikian pula, kerabat dan orang asing, teman dan musuh, miskin dan kaya, diperlakukan dengan kesetaraan mutlak.
Menjunjung tinggi Keadilan, menjadi saksi kebenaran, dilakukan karena Allah. Bukan oleh manusia lain, atau terhadap siapa kesaksian diberikan. Juga, bukan demi melayani kepentingan individu, kelompok atau komunitas manapun. Bukan pula sesuatu yang memperhitungkan situasi perkara tertentu. Melainkan kesaksian yang diberikan karena Allah, bebas dari keinginan, purbasangka, kepentingan, atau pertimbangan apapun.
Allah melarang kita, dipengaruhi oleh segala bentuk Hasrat, sedemikian rupa, sehingga kita menyimpang dari Kebenaran dan Keadilan. Hasrat itu, beragam, mementingkan kecintaan pada diri-sendiri, keluarga-dekat dan kaum-kerabat, dan yang lainnya, merupakan salah satu jenis Hasrat, semisal bersimpati kepada orang kaya ketika memberikan kesaksian atau saat memperdamaikan. Sebaliknya, bersikap segan, atau bisa jadi, memusuhi orang miskin, merupakan sejenis Hasrat. Dalam bersaksi atau membuat pertimbangan, berpihak pada kelompok, suku, masyarakat, bangsa atau kampung-halaman tertentu, merupakan sebuah Hasrat, seperti halnya berpihak pada lawan, meskipun mereka itu, seteru Iman kita.'

Jumat, 03 September 2021

Mucho Mistrust (2)

Hakim keempat melanjutkan, "Kekuasaan cenderung menistakan, dan kekuasaan mutlak, menistakan secara mutlak. Dalam segala bentuk motif kemampuan atau vitalitas, kecakapan bertindak atau mengendalikan, kekuasaan itu, kewenangan dan pemberdayaan. Bila terlalu banyak kekuasaan diberikan, Otoritarianisme sangat mungkin terbentuk. 
 
Perhatikan sketsa berikut,
Dahulu kala, di sebuah Negeri bernama Bumi Panakkara, para satwa dijajah oleh makhluk menyeramkan, seekor anjing rasaksa, berjalan dengan kaki belakangnya, bernama Kludde, semacam Betoro Kolo, yang membuat keseharian para satwa, terus-menerus mengalami gerhana. Pada masa penjajahan Kludde, para satwa dipaksa bekerja keras dalam sistem-kerja atau mata-pencaharian yang ditentukan oleh Kludde, dan dampaknya, melemahkan perekonomian mereka. Kludde menganggap, status para satwa lebih rendah, agar melanggengkan kekuasaannya menduduki Bumi Panakkara.

Masa berganti, Kludde meninggalkan Bumi Panakkara, takluk pada Tengu, gergasi yang mengerikan. Aksi pertama yang dilakukan Tengu demi mendapatkan simpati para satwa, yakni dengan 'Gerakan Tiga T,' Tengu pemimpin para satwa, Tengu pelindung para satwa, dan Tengu cahaya para satwa. Tengu mengklaim bahwa, ia juga keturunan Betoro Kolo, dari garis Kaisar Matahari. Oleh karenanya, seluruh satwa, setiap pagi, harus memberi hormat kepada Kaisar Matahari, dengan membungkuk sembilan puluh derajat ke arah matahari terbit. Kedatangan Tengu, pada awalnya disambut hangat. Apalagi, Tengu menjanjikan kemerdekaan. Namun, semua Betoro Kolo, sama saja, mereka menyebabkan gerhana, dengan berupaya menelan Sang-mentari atau Rembulan.

Suatu malam, para satwa berkumpul di sebuah gudang, menyimak Pradhana tua, seekor kuda, melukiskan mimpinya, tentang dunia dimana semua satwa, hidup bebas dari Tirani. Pradhana tua meninggal segera setelah pertemuan itu, namun para satwa—terinspirasi oleh filosofi Wawasan Kesatwaannya—merencanakan pemberontakan melawan Tengu. Dua babi, Snobol dan Caesar, membuktikan diri sebagai tokoh dan perencana penting, dari usaha berbahaya ini. Saat Tengu panik mendengar berita bahwa Kaisar Matahari telah dikalahkan, terjadilah revolusi, Tengu diusir dari Bumi Panakkara. Prinsip-prinsip yang diprakarsai oleh Pradhana, terukir di pohon ek besar, berbunyi, 'Seluruh satwa, sederajat, dan bebas dari segala jenis tirani. Para satwa tak dibenarkan memakan kucai.'

Awalnya, pemberontakan tersebut, sukses. Para satwa menyelesaikan panen dan bertemu setiap hari Minggu, memperdebatkan kebijakan negeri. Para Babi, oleh kecerdasan-semu mereka, menjadi pengawas negeri. Namun sayang, Caesar, terbukti menjadi pemimpin haus-kekuasaan, nyolong susu sapi dan sejumlah apel, demi kepentingan diri-sendiri dan babi lain. Ia juga meminta jasa Mukastuti, seekor babi dengan kemampuan meyakinkan satwa lain, bahwa para Babi, selalu bermoral dan tepat dalam mengambil keputusan.

Belakangan, Kludde kembali ke Bumi Panakkara dan berusaha merebutnya. Berkat taktik Snobol, para satwa dapat mengalahkan Kludde, yang kemudian dikenal sebagai 'Pertempuran Kandang Sapi'. Snobol mengabdikan dirinya membenahi para satwa dengan cara intelektual, moral, dan fisik. Ia membawa literasi ke negeri Panakkara, sehingga para satwa dapat lebih memahami prinsip-prinsip Pradhana.

Musim dingin tiba, Snobol mulai merancang kincir angin, yang akan menyediakan listrik dan dengan demikian, menyediakan para satwa lebih banyak waktu luang. Akan tetapi, Caesar, dengan keras menentang rencana tersebut, dengan alasan bahwa membangun kincir angin, akan memberi mereka lebih sedikit waktu menghasilkan makanan. Pada hari Minggu, para Babi menawarkan pemungutan suara mengenai kincir angin kepada para satwa, namun Caesar memerintahkan empat anjing-penjaga ganas—yang semestinya mengawal Prinsip Pradhana sebagai falsafah dasar negeri, tapi dalam hal ini, tak menjalankan fungsi mereka—mengusir selama-lamanya, Snobol dari negerinya. Caesar mengumumkan bahwa takkan ada perdebatan lebih lanjut; ia juga mengatakan kepada mereka bahwa kincir angin akan dibangun, dan berbohong bahwa ide tersebut, sebenarnya, gagasannya, yang dicuri oleh Snobol. Caesar menggunakan Snobol sebagai kambing hitam, yang ia salahkan atas segala kenestapaan para satwa.

Sebagian besar tahun berikutnya, dihabiskan membangun kincir angin. Baksar, seekor kuda yang sangat tangguh, membuktikan diri sebagai satwa paling berharga dalam usaha ini. Bertentangan dengan prinsip Wawasan Kesatwaan, Caesar menyewa konsultan hukum dan mulai berdagang dengan para satwa jiran, dan menyebutnya, 'Kebijakan Caesarisme.'
Syahwat Caesar demi kekuasaan, membubung ke titik dimana ia menjadi Totalitarian, memaksa 'pengakuan' satwa yang tak-bersalah, dan memerintahkan para anjing membunuh mereka di hadapan para satwa. Ia dan para Babi, pindah ke Istana peninggalan Kludde dan mulai tidur di atas ranjang.

Para satwa menerima lebih sedikit makanan, sementara para Babi, bertambah gemuk. Setelah kincir angin selesai dibangun, Caesar menjual setumpuk kayu ke Panta; sang beruang putih, petani jiran, yang membayarnya dengan uang kertas palsu. Panta memperkenalkan diri sebagai keturunan Kaisar Langit, dan telah memperoleh Kitab Suci dari Raja Kera, Sun Wukong. Sebenarnya, naskah yang didapatnya itu, naskah-naskah Marx dan Engel. Sebaliknya, Caesar memperkenalkan diri sebagai keturunan Zhu Bajie atau Tie Pat Kai, rekan Wukong. Gayung bersambut, mereka kemudian mengadakan perjanjian kerjasama, dalam segala bidang, terutama mencari 'sabuk' Sun Wukong, yang konon tenggelam di Laut Cina Selatan. 'Persahabatan' ini, cuma dimaksudkan sebagai fasad yang digunakan masing-masing, guna menipu yang lain, dengan lebih baik.

Saking banyaknya Prinsip Wawasan Kesatwaan yang dilanggar para Babi, kata-kata Prinsip tersebut, di amandemen. Misalnya, setelah para Babi mabuk pada suatu malam, Prinsip, 'Para satwa tak dibenarkan memakan kucai,' diubah menjadi, 'Para satwa tak dibenarkan memakan kucai secara berlebihan.' Sepanjang periode kekuasaan Caesar, tak cuma para satwa yang menderita jiwa dan raga nan lara, melainkan juga, Undang-undang, jika dianggap tak mendukung keinginan Caesar, seketika diubah.

Pada saat badai menggulingkan kincir angin yang setengah jadi, Caesar, seperti yang telah diduga, menyalahkan Snobol dan memerintahkan para satwa, kembali mulai membangunnya. Baksar menawarkan kekuatannya demi membantu membangun kincir angin baru, namun saat ia pingsan, kelelahan, Caesar menjual kuda yang berbhakti ini, kepada seorang pengecut. Mukastuti mengelus-elus para satwa yang marah, bahwa Baksar sebenarnya dibawa ke dokter hewan dan meninggal dengan tenang di rumah sakit—sebuah dongeng yang dipercayai para satwa.

Tahun-tahun berlalu, Caesar memperluas batas-batas negeri menjadi bagian dari negeri sang beruang putih, Panta. Kehidupan seluruh satwa—kecuali para Babi—sangat berat. Akhirnya, para Babi, mulai berjalan dengan kaki belakang mereka, tak lebih seperti Kludde dan Tengu, mengambil banyak sifat dari mantan penjajah mereka. Prinsip-prinsip Wawasan Kesatwaan, direduksi menjadi satu Omnibus Law, 'Seluruh satwa, sederajat, kecuali ada yang lebih tinggi derajatnya dibanding yang lain.'

Suatu malam, Panta sedang berbagi minuman dengan para Babi di Istana Kludde. Caesar mengubah nama negeri Panakkara menjadi 'Negeri Menor,' dan ribut-ribut dengan Panta selama permainan kartu, dimana keduanya mencoba memainkan kartu As Sekop.
Saat satwa lain menyaksikan adegan ini dari luar jendela, mereka tak bisa menandai apapun melainkan para Babi itu, tak lain selain para Kroni, dan dengan lirih dan perih, mereka cuma bisa bersenandung,
Once I had a love and it was divine
Soon found out, I was losing my mind
It seemed like the real thing, but I was so blind
Mucho mistrust, love's gone behind *)
Berhenti sejenak, kemudian Hakim Keempat berkata, "Sketsanya belum rampung, dan engkau sekalian, dipersilahkan, memutuskan sketsa yang lebih baik, terutama bagi mereka yang berkenan menyimak dan mendengarkan. Wallahu a'lam."
Kutipan dan Rujukan:
- Abul Hassan Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sultaniyyah, translated by Asadullah Yate Phd, Ta-Ha Publishers Ltd
- George Orwell, Animal Farm, Longmans
*) "Heart of Glass" karya Chris Stein dan Deborah Harry
[Bagian 1]