Selasa, 09 November 2021

Para Prajurit

"Kemarin malam," sapa Rembulan setelah mengucapkan basmalah dan salam. “Aku baru saja melakukan perjalanan singkat ke negeri yang disebut Bhumi Raksana, dan aku menyaksikan lima macam prajurit di posisinya masing-masing.

Tapi, pertama-tama, kuingin engkau mendengarkan apolog berikut.
Kehormatan, Kehati-hatian, dan Kesenangan, bermitra menempati rumah bersama. Kehormatan bertugas memimpin rumah-tangga, Kehati-hatian menyediakannya, dan Kesenangan mengaturnya.
Selama beberapa waktu, segalanya berjalan dengan sangat baik, dan penuh keselarasan. Akan tetapi, selang beberapa lama, Kesenangan merasa berada di atas awang-awang, mulai melakukan pemborosan dengan berfoya-foya, dan memenuhi rumah dengan teman happy-happy-nya, pemalas, suka hura-hura, dan berakibat membengkaknya pengeluaran, yang mengancam rumah-tangga itu, bangkrut.
Maka, Kehormatan dan Kehati-hatian, merasa sangat perlu memutuskan kemitraan, dengan keluar dari rumah, dan membiarkan Kesenangan, jalani hidup dengan caranya sendiri, yang tak berlangsung lama, karena ia segera mengalami kepapaan, dan datang mengemis, kepada para mantan mitranya, Kehormatan dan Kehati-hatian, yang kini telah menetap bersama-sama di tempat tinggal lain.
Namun, mereka takkan pernah mau mengakui Kesenangan sebagai mitra dalam rumah-tangganya, cukup sekali-sekali saja, mereka mengundangnya, pada hari libur, sekadar pelesir, dan sebagai imbalannya, mereka membiayainya, semata buat beramal.
Sifat Keinginan itu, tak banyak: adalah tugas akal-sehat dan qalbu, mengatur cita-rasa dan selera-hasrat; dan mereka yang menataati aturan-aturannya, akan mampu mewariskan keberlimpahan, kewarasan, dan keteladanan, anugerah yang kaya, kepada anak-cucu.
Segala yang berada di luar kecukupan itu, berlebih-lebihan; segala yang bukan disebut makanan itu, kemewahan; segala yang berada di luar kepatutan itu, bermegah-megahan. Kehilangan penguasaan-diri, punya aspek senyuman dan pemikat, namun sebagai pengiring yang mengerikan; karena berisi segala macam penyakit, lantaran Kematian bertindak sebagai juru-masaknya, yang dengan perlahan-lahan, menginfus racun ke dalam setiap adukan saus.
Kemewahan itu, terhadap kepemilikan, ibarat wabah terhadap kesehatan; sama menularnya, dan sama merusaknya; penyakit yang tak hanya dialami individu, melainkan juga, para juragan monarki yang mulia, dan sebagian besar negeri yang sedang tumbuh, telah mati, dan sebagai konsekuensinya, bahkan kota-kota terkayapun, dapat turun-derajat menjadi kesengsaraan, dan keturunan-warganya menjadi semiskin nenek-moyang mereka yang paling awal; namun tak punya pengekangan-diri, ketekunan, atau kebajikan.

Kedua, kuingin engkau tahu, bahwa kelabilan umat manusia, sangat sering, memberikan nilai dan kepentingan berlebihan, pada hal-hal baru, walau mungkin, jauh lebih rendah kualitasnya dibanding yang mereka miliki sebelumnya, dan tak merasa bersalah setelah lama menikmati manfaatnya.
Jadi, aku mencermati seorang Perwira Kavaleri, punya seekor kuda yang sangat mengagumkan, namun, entah mengapa, kepingin beli kuda yang lain, yang tak sebagus yang pertama, namun yang kerap ia rawat dengan tekun, menyediakan selalu, segala yang terbaik, dari yang mungkin diinginkan sang kuda.
'Apa alasannya,' berkata sang kuda kedua kepada yang pertama, 'Bahwa majikan kita, memperlakukanku lebih baik dan memanjakanku, dibanding engkau, yang lebih gagah, lebih gesit, dan lebih kuat dibanding diriku?'
Kuda pertama memberi jawaban begini, 'Nah, itulah eksploitasi umat manusia, yang selalu lebih menyukai apapun objek kebaruan bagi mereka, dibanding hal-hal yang lebih bernilai, namun lebih akrab di mata mereka; dan engkau sendiri, sebaiknya bersiap-siap, memberi tempat pada objek perhatian yang lebih baru dibanding dirimu. Segalanya berubah, tiada yang tetap sama.'

Di tempat lain, seorang Prajurit, semasa perang, bersusah-payah menjaga agar Kudanya cukup makan dan dirawat dengan baik, dan dalam kondisi prima. Ketika perang usai, gaji sang prajurit dipotong, dan ia mempertimbangkan Kudanya, yang telah menemaninya dalam banyak pertempuran sengit, dipergunakan menyeret balok kayu besar, dan dipersewakan, dalam pemakaian yang sangat kasar dan dengan cara yang tak menyenangkan lainnya.
Lantaran hampir tak diberi makan dan diperlakukan dengan buruk, kekuatan dan semangat sang satwa, menurun. Semuanya terjadi tak lama sebelum perang berkecamuk lagi, dan sang Prajurit, membawa pulang kembali Kudanya, dan berupaya, memberi makanan dan perawatan yang lebih baik, agar mengembalikannya seperti kuda perang lagi.
Namun, tiada waktu untuk ini; dan sang Kuda, saat kaki-kakinya yang lemah, menyerah lunglai saat menyerang, berkata kepada sang majikan, 'Sekarang, sudah terlambat membenahi kelalaianmu. Engkau telah melingsirku, dari Kuda menjadi Keledai. Bukan salahku jika aku tak mampu lagi memanggulmu seperti dulu. Perawatan, menentukan Kemampuan!'

Di lokasi lain, dua Prajurit yang bepergian bersama, dihadang oleh Perampok. Yang satu melarikan diri, yang lain, berdiri-tegak dan membela diri dengan tangan-kanannya yang bagas.
Perampok dibunuh, dan sang kawan pengecut, berlari menyongsong dan menghunus pedangnya, kemudian, melemparkan jubahnya seraya berkata, 'Akan kutebas orang itu, dan 'kan kuberi pelajaran agar ia tahu, dengan siapa ia berurusan.' Tentang hal ini, ia yang telah bertarung mati-matian melawan Perampok, dengan datar menjawab, 'Sekarang, aku cuma bisa berharap, engkau telah membantuku, walau itu cuma sekedar kata-kata yang baru saja engkau ucapkan, akan membangkitkan keberanianku, sebab aku percaya bahwa perkataanmu benar; tapi sekarang, simpanlah pedangmu di sarungnya dan tahanlah lidahmu yang sama tak bergunanya, sampai engkau bisa menipu orang lain, yang tak mengenalmu. Sungguh, aku yang telah mengenal kecepatan larimu, tahu betul, bahwa tiada yang dapat diandalkan pada keberanian orang sepertimu. Tindakan, lebih lantang ketimbang ngomong doang.'

Akhirnya, aku memperhatikan seorang Prajurit, yang sedang mendandani kudanya, menilik bahwa salah satu tapal sang kuda, longgar, akan tetapi, ia menunda memukul-masuk ladam tersebut.
Segera setelah itu, suara terompet berbunyi, menyerukan agar ia bergabung dengan korpsnya, yang diperintahkan bergegas-maju dan menyerang musuh.
Dalam panasnya kecamuk aksi peperangan, ladam yang longgar tadi, lepas, sang kuda menjadi timpang, tersandung, dan menghempaskan penunggangnya ke tanah, yang langsung dibantai para musuh.
Ada petitih masyhur, yang memperingatkan kita, agar jangan pernah meninggalkan sesuatu yang harus dilakukan esok, tapi memungkinkan bisa dilakukan hari ini, dan apolog tadi menunjukkan, bahwa, menunda semata satu jam sebuah urusan, yang tampaknya sepele, dapat menyebabkan kematian."

"Hanya itu yang dapat kusampaikan malam ini, duhai Pungguk! Setiap apolog yang kuhaturkan, punya pesan moralnya masing-masing, namun saling berkait. Maha Suci Allah dengan segala Kemuliaan-Nya. Wallahu a'lam."
Dengan lembut, Rembulan memudar, disertai lantunan,
Now I feel I'm growing older
[Sekarang kumerasa bertambah tua]
And the songs that I have sung
[Dan lagu-lagu yang telah kunyanyikan]
Echo in the distance
[Bergema di Cakrawala]
Like the sound
[Bagai bahana]
Of a windmill going round
[Dari kincir-angin nan terus-berputar]
Guess I'll always be a soldier of fortune *)
[Kutebak, kukan s'lalu jadi Prajurit Bayaran]
Kutipan & Rujukan:
- James Northcote, RA, One Hundred Fables, Originals and Selected, J. Johnson
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons
*) "Soldier of Fortune" karya Ritchie Blackmore & David Coverdale