“Suatu ketika, aku melintasi sebuah negeri bernama Bhumi Adhinata,” ungkap Rembulan usai mengucapkan basmalah dan menyapa dengan salam. “Di negeri itu, aku mengamati dua orang lelaki, dengan masing-masing waritanya. Namun sebelum bercerita tentang mereka, duhai Pungguk, kuingin mengingatkan diriku dan kepada engkau yang berkenan memperhatikan, tentang sesuatu!”
Lalu, Rembulan mengutip, "`Abdullah bin `Umar berkata, 'Aku mendengar Rasulullah (ﷺ) bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
'Setiap dari kalian itu, gembala, dan bertanggung jawab atas lingkungan kalian dan segala yang berada di bawah pengawasan kalian. Imam [pemimpin] itu, pelindung rakyatnya dan bertanggungjawab atas mereka; dan seorang lelaki itu, pemelihara keluarganya dan bertanggungjawab atas mereka. Seorang wanita itu, pamong rumah suaminya dan bertanggung jawab atasnya. Seorang hamba itu, penjaga harta milik majikannya dan bertanggungjawab atasnya.'
Kurasa, beliau juga (ﷺ) bersabda,
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
'Seorang lelaki itu, gembala harta ayahnya dan bertanggungjawab atasnya. Kalian semua itu, gembala, dan bertanggung jawab atas lingkungan kalian dan segala yang kalian jaga." [Sahih Al-Bukhari]
Ibnu Sinni meriwayatkan hadits shahih dari Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Setiap anak Adam itu, pemimpin: Seorang lelaki itu, pemimpin atas seluruh keluarganya, dan seorang wanita itu, kepala di dalam rumahnya.”
Jadi, terlepas dari, apakah kita memiliki seorang pemimpin Muslim atau tidak, setiap dari kita itu, gembala, pemimpin, kepala, komandan, pamong di rumahnya—dengan tanggungjawab besar, yang hendaknya ia tunaikan.
Islam itu, agama yang mengatur segala hal, termasuk Kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan pokok-bahasan penting yang dipergunakan guna menyebarkan pengajaran atau dakwah Islam, dan sebagai instrumen paling substansial, agar mewujudkan masyarakat ideal, yang didasarkan pada Keadilan dan Kasih-sayang. Kedua unsur tersebut, saling terkait dan menjadi acuan utama dalam Kepemimpinan. Pemimpin hendaknya menegakkan dan menggalakkan keadilan secara terus menerus, sesuai yang diperintahkan Allah,
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا
'Sesungguhnya, Allah menyuruhmu menyampaikan Amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaknya kamu menetapkannya dengan Adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.' [QS. An-Nisa (4):58]
Ayat ini, diwahyukan tepat setelah Mekah, secara damai, menyerahkan diri kepada kaum Muslimin. 'Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu 'anhu, sepupu dan menantu Rasulullah (ﷺ), merebut kunci Ka'bah dari Utsmân bin Talḥa, penjaga Ka'bah, non-Muslim. Ayat ini diwahyukan kepada Nabi (ﷺ) di dalam Ka'bah dengan perintah agar mengembalikan kunci tersebut kepada pemiliknya yang sah. Beliau (ﷺ) memerintahkan 'Ali agar segera mengembalikannya kepada penjaganya, disertai dengan permintaan maaf. Utsman juga dijanjikan bahwa keluarganya akan menyimpan kunci itu, selamanya. Sang penjaga sangat tersentuh oleh peri-keadilan Al-Qur'an, sehingga ia memutuskan, menerima Islam.
Basis Kepemimpinan, terdiri dari agama, moral dan sumber-daya manusia. Ketiga komponen ini, dilandasi oleh semangat Taqwa. Ada kajian yang menggunakan konsep Taqwa, yang dioperasionalkan pada dua komponen yang berbeda: pertama, spiritualitas dengan tiga dimensi, Iman, Ibadah dan Taubat; dan kedua, Tanggungjawab dengan enam dimensi pengendalian emosi : sedekah, pemberian-maaf, integritas, kesabaran dan keadilan. Dengan pengaruh mediasi dari variabel Kepercayaan, hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat Ketakwaan seorang pemimpin, mempengaruhi efektivitasnya, dimana satu dimensi spiritualitas yaitu Iman, dan tiga dimensi tanggung jawab: sedekah, integritas dan pengendalian-emosi, ditemukan menjadi predikat efektivitas kepemimpinan usaha, sedangkan Kepercayaan, ditemukan secara positif mempengaruhi efektivitas kepemimpinan. Selain itu, Kepercayaan, ditemukan sepenuhnya memediasi hubungan antara Iman dan efektivitas kepemimpinan; di sisi lain, Kepercayaan ditemukan memediasi sebagian hubungan antara Tanggungjawab dan efektivitas kepemimpinan. Selain itu, disebutkan bahwa kualitas kepemimpinan Islam, secara positif dapat mempengaruhi sikap pengikut atau rakyat, dan membawa tingkat kepuasan, motivasi, kinerja, energi positif dan loyalitas organisasi yang lebih tinggi, walaupun ditegaskan bahwa kualitas kepemimpinan Islam berfungsi sebagai sumber-daya manusia penting yang menawarkan nilai guna kinerja organisasi.
Islam itu, sejumlah pegangan tangan, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam hadits shahih, 'Pegangan Islam (yaitu, Ajaran dan Hukum Islam) akan dilepas oleh satu pegangan pada waktu yang lain. Setiap kali satu pegangan terlepas, orang akan berpegangan pada pegangan yang mengikutinya. Yang pertama dilepaskan itu, al-Hukm (Hukum Islam), dan yang terakhir, Shalat.”
Karenanya, Islam terdiri dari bagian-bagian yang menyatu; yang paling penting dari bagian-bagian itu, Hukum Islam, yang terdiri dari Shalat, Zakat, Haji, dll. Walau seorang Muslim sibuk menyerukan kepada masyarakat agar menegakkan Syariat Allah sebagai cara hidup dan sebagai konstitusi suatu negara, ia tak dikecualikan dari kewajiban menerapkan Syariat Allah dalam hidupnya, di dalam keluarganya, dan di antara semua orang yang dapat diajaknya.
Hal ini penting dipahami, lantaran beberapa orang yang, misalnya, menyeru orang lain agar membenahi keyakinan mereka dan meningkatkan tingkat pemahaman mereka, dituduh membuat frustrasi upaya orang lain, yang berusaha menegakkan Syariat Allah di sebuah negeri. Dalam contoh lain, engkau mungkin melihat, orang-orang yang kecewa saat mereka disuruh meluruskan shaf dalam shalat; mereka mungkin berkata, misalnya, 'Bukan yang seperti ini seharusnya kita disibukkan sekarang ini.' Namun jika seseorang merenungkan perintah (ﷺ) kekasih kita tentang kebiasaan ini, ia akan sampai pada kesimpulan yang berlawanan. Abu Mas'ud, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan,
Rasulullah (ﷺ) pernah menyentuh bahu kami dalam shalat, dan bersabda,
اسْتَوُوا وَلاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
'Tetaplah lurus, jangan berantakan, karena akan ada perselisihan di qalbumu. Hendaklah engkau yang tenang dan bijak, berada di dekatku, lalu orang-orang di sebelahnya, kemudian orang-orang di sebelahnya.'
Abu Mas'ud berkata, 'Saat ini ada banyak perselisihan di antara kalian.' [Sahih Muslim]
Kekasih kita (ﷺ) dengan jelas menyatakan bahwa tak meluruskan shaf dalam shalat, menyebabkan perselisihan di antara qalbu manusia. Oleh karenanya, kelirulah yang mengatakan bahwa berbicara tentang pentingnya meluruskan shaf, memecah-belah qalbu manusia dan mengalihkan mereka dari ajaran agama yang lebih mustahak.
Perselisihan di antara qalbu umat, kemudian mengarah pada kegagalan, kehancuran, dan sirnanya kekuatan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَا تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَۚ
'Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkanmu gentar dan kekuatanmu sirna, dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar.' [QS. Al-Anfal (8):46]
Abdullah meriwayatkan, 'Aku mendengar seseorang membaca sebuah ayat Al-Qur'an, namun aku mendengar Nabi (ﷺ) membacakannya secara berbeda. Maka, aku memegang tangannya, dan membawanya ke Rasulullah (ﷺ) yang bersabda,
كِلاَكُمَا مُحْسِنٌ
'Kalian berdua benar.'
Syu`ba, berkata, 'Kurasa, beliau (ﷺ) berkata kepada mereka,
لاَ تَخْتَلِفُوا فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا
“Janganlah kalian berselisih, karena kaum-kaum sebelum kalian, berselisih dan binasa [karena perselisihan mereka].' [Sahih al-Bukhari]
Jika kita gabungkan makna hadits dan ayat tersebut, maka maknanya menjadi, 'Luruskan shafmu, dan janganlah kalian berselisih (baik secara lahiriah saat mengatur shaf Sholat, maupun di dalam qalbumu); jika tidak, kalian akan binasa, akan runtuh, kekuatanmu akan sirna, dan musuh akan mengalahkanmu. Orang yang beranggapan bahwa jika ingin menegakkan Syariat Allah di muka bumi, harus mengabaikan penjajaran shaf dalam Sholat dan hal-hal serupa lainnya dalam Agama, laksana orang yang menganggap bahwa Sholat lebih penting ketimbang puasa dan lainnya, dan karenanya, ia mencela orang-orang yang berbicara tentang pentingnya puasa atau larangan transaksi berbasis riba. Ini keliru, sebab amalan yang wajib dalam agama itu, beragam. Dan seorang muslim wajib melaksanakannya, sesuai kemampuannya.
Oleh sebab itu, tidaklah adil mengatakan bahwa ada kewajiban yang berbenturan dengan kewajiban lainnya. Berjihad itu, wajib; mengajak orang lain ke jalan Allah itu, wajib; menentang keyakinan yang keliru itu, wajib; memerangi penyebaran ghibah dan fitnah itu, wajib; berbakti kepada orang tua itu, wajib; meluruskan shaf itu, wajib; seorang Muslim bertanggungjawab, sesuai kemampuannya, atas semua kewajiban ini.
Saat seseorang mengatakan bahwa ada prioritas, ia berkata benar. Namun, kita perlu tahu tentang prioritas, bukan demi meninggalkan kewajiban kita, melainkan mengkoordinasikan dan mengklasifikasikan kewajiban kita dan berlomba melakukan perbuatan baik.
Untuk setiap hal yang penting, ada hal lain yang bahkan lebih penting. Namun atas kehadiran apa yang lebih penting, tak mengecilkan atau meniadakan apa yang penting. Hanya saat situasi sulit dan terbatas, ketika seseorang hanya mampu menerapkan satu dari dua atau lebih urusan, ia hendaknya memprioritaskan hal yang lebih utama. Hal ini serupa dengan cara kita—ketika kita tak punya cukup waktu, misalnya—terkadang mengutamakan amal wajib dibanding yang sukarela.
Di saat waktu kita, tak terbatas, yang merupakan aturan dan bukan pengecualian, maka kita hendaknya mmengusahaknnya, sesuai kemampuan kita, menerapkan hal yang lebih penting dan yang lebih penting.
Kekasih kita (ﷺ) bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
'Barangsiapa di antara kalian melihat Kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya; dan jika ia tak mampu, maka dengan hatinya. Dan ini [mengubah kemungkaran di dalam hati, setidaknya dengan tulus membencinya] tingkatan Iman terlemah.' [Sahih Muslim]
Dan kita tak boleh melupakan prinsip yurisprudensi, 'Tak boleh menunda klarifikasi hukum dalam suatu masalah, sampai setelah waktunya.' Mari kita anggap engkau mendengar seseorang menyebutkan hadits palsu; akankah engkau menunda mempertanyakan tentang kekeliruannya sampai setelah Syariat Allah diterapkan sebagai cara hidup dan sebagai Konstitusi sebuah negara? Berharapkah engkau bahwa engkau kemudian akan memberitahukan padanya bahwa beberapa tahun yang silam, ia menyebutkan sebuah hadits palsu? Adakah jaminan kalian berdua akan hidup ketika Syariat Islam tegak di sebuah negara? Adakah jaminan yang engkau punya, bahwa engkau akan mengingat semua kekeliaruan yang tak engkau benahi selama bertahun-tahun, atau segala amal-shalih yang tak engkau serukan agar dikerjakan orang lain? Ketika engkau melihat seseorang melakukan kemungkaran, akankah engkau menunda menegurnya sampai negara Islam berdiri? Atau akankah engkau akan menerapkan hadits di atas, 'Barangsiapa dari kalian melihat Kemungkaran ...'
'Kemungkaran' dalam hadits tersebut, dinyatakan sebagai kata benda yang tak terbatas, yang menunjukkan bahwa hadits tersebut mengacu pada kemungkaran besar dan kecil."