Jumat, 10 Desember 2021

Cincin Kesepuluh (1)

"Ia yang berkompetensi, hendaknya punya Bashirah," berkata Rembulan setelah menyapa dengan Basmalah dan Salam. Kemudian ia berkata, "Aku pernah mengunjungi sebuah negeri bernama Bhumi Swatantra dan pantulan cahayaku, menangkap percakapan antara seorang guru dan muridnya.
Sang murid bertanya, 'Duhai guru, samakah semua agama? Atau, ke arah tempat yang samakah, semua agama itu?' Sang guru menjawab, 'Tidak. Agama-agama di dunia, bahkan tak sepakat tentang apa tujuannya. Doktrin kesetaraan agama, ada berdampingan di Eropa abad Kedelapan-belas, dengan doktrin kesetaraan yang didasarkan pada argumen rasional belaka, bahwa manusia dicipta sama. Apapun dasar teologis yang mungkin ada bagi doktrin bahwa manusia diciptakan sama, pasti diragukan. Baik itu Nasrani, Buddha, atau pengikut agama lain, akan punya cara pandang yang berbeda.

Kesetaraan agama teoretis, cuma memiliki sedikit penerapan praktis di Eropa hingga periode Reformasi. Akan tetapi, hal ini tetap penting, dalam menahan sejauh mana kemungkinan sirnanya ketidaksetaraan. Gagasannya muncul ketika Demokrasi, didukung di Eropa modern, berasal dari minoritas agama yang bermaksud membela perlawanan mereka terhadap Persekusi—dan sungguh aneh, kejadiannya sudah lama, tapi kok malah terjadi lagi dan lagi, di negeri kita.
Para minoritas ini, Katolik atau Protestan, terdiri dari orang-orang yang cukup baik. Setelah kehilangan pemimpin sejati mereka, yang dituduh sesat, mereka memimpin diri mereka sendiri. Jadi, sebenarnya, yang dimaksud itu, bahwa dalam sebuah negara, hendaknya ada jaminan bagi setiap warga-negara, berhak menunaikan ibadahnya masing-masing. Oleh sebab itu, para 'Founding Parents' kita, mengambil jalan tengah, dengan menyatakan, 'Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.'

'Ketahuilah bahwa para 'Founding Parents' kita itu, orang-orang yang berkompeten, mereka mampu melihat, mereka punya Bashirah.' Sang murid bertanya, 'Apa Bashirah itu?' Sang guru menjelaskan, 'Bashirah, dari kata Arab بصيرة, yang bermakna persepsi, wawasan, dan pandangan ke depan tentang kebenaran transendental.
Singkatnya, bolehlah dikatakan bahwa Bashirah itu, cahaya 'Mata-bathin.' Ada tiga tingkatan insan yang memiliki Bashirah. Pertama, ia yang menggunakan Cahaya Akalnya, akan terus merasakan keberadaan dan kedekatan Allah. Ini disebut Shu'aal Bashirah. Kedua, ia yang menggunakan Cahaya Ilmunya, akan merasa bahwa keberadaan mereka tiada, dan yang ada hanyalah Allah. Ini disebut 'Ainul Bashirah. Ketiga, ia yang telah mencapai tingkat Cahaya Ilahi, yang pada hakikatnya, ia melihat kepada Allah semata, dan tak melihat apapun selain Dia. Bukan berarti mereka tak melihat alam sekitar, melainkan lantaran alam di sekitar mereka, pada dasarnya tak mandiri, tetapi selalu tunduk dan membutuhkan Allah, maka keberadaan smesta ini, tak menarik perhatian mereka, oleh karenanya, mereka memandang alam-semesta dan kekayaan di dalamnya, seolah tiada. Ini disebut Haqqul Bashirah. Seluruh pancaran sinar mata-hati ini, akan memancarkan segala macam kemuliaan dan sangat berfaedah, sehingga ia istiqamah dalam menapak Kebenaran Hakiki dan ber-Akhlakul Karimah. Ketajaman yang terdalam ilmu Hakiki ini, disebut firasah.'

Sang guru terdiam sejenak, lalu berkata, 'Sekarang, mari kita mulai dengan 'Melihat.' Dalam perspektif Islam, 'Melihat,' punya dua pengertian, ada 'Melihat' dengan mata, organ luar, yang dengannya seseorang dapat melihat, misalnya, birunya langit, bintang-bintangnya, ketinggian dan keluasannya. Dalam 'Melihat' seperti ini, manusia setara dengan spesies lain, dan oleh sebab itu, bukanlah 'Melihat' seperti ini yang dianjurkan agar dipraktikkan para insan. Dalam pengertian lain, 'Melihat' itu, melampaui penglihatan eksternal perdana, supaya melihat dengan Mata-bathin. Konsep 'Melihat' dengan Mata-bathin, semata dapat dilakukan dengan akal yang sehat, dipadu dengan peran qalbu yang hidup, serta memperbanyak amal-shalih, sehingga terbukalah pintu-pintu langit bagi yang melihatnya; ia mengembara di antara wilayah dan lahannya, dan bergaul dengan para malaikatnya.

Organ luar kita, mata, takkan mampu melihat Al-Ghaib, alam atau sesuatu yang garib. Beriman pada yang ghaib, salah satu prinsip dasar Islam, yakni Rukun Iman, dan salah satu Alam-ghaib yang Islam sampaikan, yakni alam Malakut, yang dijelaskan dengan sangat rinci dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Ada orang mengira bahwa Iblis itu, malaikat yang jatuh atau bahwa ia awalnya, seorang malaikat. Iblis bukanlah malaikat, melainkan sebenarnya berasal dari bangsa Jin. Allah berfirman,
وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ اَمْرِ رَبِّهٖۗ اَفَتَتَّخِذُوْنَهٗ وَذُرِّيَّتَهٗٓ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِيْ وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّۗ بِئْسَ لِلظّٰلِمِيْنَ بَدَلًا
'Dan (ingatlah) di kala Kami berfirman kepada para malaikat, 'Sujudlah kamu kepada Adam!' Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia (golongan) jin, maka ia mendurhakai perintah Rabbnya. Pantaskah kamu menjadikannya, dan keturunannya, sebagai pemimpin selain Aku, padahal merekalah musuhmu? Sangat buruklah (Iblis itu) sebagai pengganti (Allah) bagi orang yang zhalim.' [QS. Al-Kahfi (18):50]
Allah menciptakan malaikat, yang berbeda dari kita. Kita tak dapat melihatnya, mendengarnya, menyentuhnya, atau mendudukkannya pada indera manusiawi kita. Lalu bagaimana kita bisa belajar tentang Malaikat? Seperti hal-hal ghaib lainnya, kita mempelajarinya dari apa yang Allah sampaikan kepada kita dalam Kitab-Nya, atau apa yang dilukiskan Nabi kita tercinta (ﷺ) dalam hadits-haditsnya.
Mata manusia, secara kasat mata, tak dapat melihat Malaikat, namun tidak pada hewan tertentu. Hewan dapat melihat atau mendengar beberapa hal, lebih baik dibanding manusia. Terkadang, hewan dapat melihat Malaikat. Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمْ صِيَاحَ الدِّيَكَةِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ، فَإِنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا، وَإِذَا سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الْحِمَارِ فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَإِنَّهُ رَأَى شَيْطَانًا
'Saat kalian mendengar kokok ayam jantan, mohonlah Rahmat Allah, karena (kokoknya menunjukkan bahwa) mereka telah melihat malaikat. Dan ketika kalian mendengar keledai yang meringkik, mintalah perlindungan kepada Allah dari setan karena (ringkikannya menunjukkan) bahwa mereka telah melihat setan.' [Sahih Al-Bukhari & Muslim]
Para malaikat, umumnya, menetap di Langit. Mereka turun ke bumi ketika ada perintah Allah. Para malaikat tak dapat turun dari Langit, sesuka mereka, tetapi hanya jika Allah memerintahkan mereka. Suatu ketika, Rasulullah (ﷺ) bertanya kepada malaikat Jibril, alaihissalam, 'Mengapa engkau tak sering-sering mengunjungi kami?' Allah lalu mewahyukan,
وَمَا نَتَنَزَّلُ اِلَّا بِاَمْرِ رَبِّكَۚ لَهٗ مَا بَيْنَ اَيْدِيْنَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا بَيْنَ ذٰلِكَ وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
'Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali atas perintah Rabbmu. Milik-Nya segala yang ada di hadapan kita, yang ada di belakang kita, dan segala yang ada di antara keduanya, dan Rabbmu tidaklah lupa.' [QS. Maryam (19):64]
Para Malaikat, ditunjuk atas Langit dan Bumi. Setiap peristiwa di alam semesta, bermuasal dari Malaikat. Ada orang yang bilang bahwa Bintanglah yang menjadi penyebabnya, tapi pernyataan ini, keliru, yang melakukannya, para Malaikat. Allah berfirman,
وَالْمُرْسَلٰتِ عُرْفًاۙ فَالْعٰصِفٰتِ عَصْفًاۙ وَّالنّٰشِرٰتِ نَشْرًاۙ فَالْفٰرِقٰتِ فَرْقًاۙ فَالْمُلْقِيٰتِ ذِكْرًاۙ
'Demi (malaikat-malaikat) yang diutus membawa kebaikan, dan (malaikat-malaikat) yang terbang dengan kencangnya, dan (malaikat-malaikat) yang menyebarkan (rahmat Allah) dengan seluas-luasnya, dan (malaikat-malaikat) yang membedakan (antara yang baik dan yang buruk) dengan sejelas-jelasnya, dan (malaikat-malaikat) yang menyampaikan wahyu.' [QS. Al-Mursalat (77):1-5]
Karena para malaikat itu, bagian dari alam-ghaib yang berada di luar alam fisik kita, mereka tak seperti apapun yang kita lihat di sekitar kita. Kita hendaknya mencamkan hal ini, di saat membahas sifat-sifat mereka. Misalnya, kita diberitahu, bahwa mereka punya sayap, namun ini bukan berarti bahwa sayap mereka, mirip dengan sayap burung, lebah, ataupun pesawat terbang.
Para malaikat termasuk di antara tentara Allah, yang jumlahnya sangat banyak, dan hanya Dia, Subhanahu wa Ta'ala, yang mengetahui jumlahnya. Malaikat punya sayap. Ada yang lebih kuat dari apapun yang kita ketahui di dunia ini. Ada yang lebih besar dari apapun yang telah kita lihat. Mereka umumnya, punya rupa yang bagus. Mereka tak perlu tidur atau istirahat, mereka tak butuh makan. Banyak orang jahil, mengira bahwa semua malaikat berwarna putih. Namun, kita belajar dari Sunnah, bahwa ketika para malaikat muncul di hadapan manusia di dunia ini, mereka akan muncul dengan warna atau ragam yang sesuai dengan keadaan saat itu. Ketika Rasulullah (ﷺ) melihat malaikat Jibril untuk pertama kalinya, Jibril berpakaian hijau. Munkar-Nakir berwarna biru kehitaman. Malaikat maut datang menemui orang-orang mukmin dengan berwajah putih, dan kepada orang-orang kafir dengan wajah gelap.
Para malaikat dapat mengubah wujud mereka kapanpun Allah kehendaki. Misalnya, malaikat Jibril, alaihissalam, kerap menemui Rasulullah (ﷺ) dan para Sahabat dalam wujud seorang lelaki, sebagaimana para malaikat datang menemui Nabi Ibrahim, alaihissalam, sebagai laki-laki. Dan Jibril menemui Maryam dalam rupa seorang pria.

Para Malaikat melakukan perjalanan dengan sangat cepat. Mereka menempuh perjalanan antara Langit dan Bumi dalam waktu singkat, mewahyukan perintah Allah, mencatat perbuatan kita, dan sebagainya. Karenanya, para Malaikat lebih cepat dibanding kuda, roket, suara, cahaya, atau apapun yang kita kenali. Di dunia fisik kita, kita mengatakan bahwa tiada yang mampu menempuh perjalanan lebih cepat dari cahaya. Akan tetapi, para malaikat, tak dikendalikan oleh aturan semesta ini. Allahlah Pencipta semesta dan hukum-hukumnya. Dia menganugerahkan kecepatan dan kekuatan malaikat yang disesuaikan dengan perutusan mereka.

Kita kerap berbincang tentang para malaikat, yang merujuk pada gender lelaki. Hal ini bukan berarti bahwa para malaikat itu, kaum lelaki—bukan pula bergender wanita. Orang-orang kafir di zaman Rasulullah (ﷺ) mengatakan bahwa para malaikat itu, putri-putri Allah. Tidaklah benar bila mengatakan bahwa Allah mempunyai anak, baik lelaki maupun perempuan, karena Dialah Rabb dan Pemilik segala sesuatu. Dia tak beranak, Dia tak membutuhkannya. Selanjutnya, kita tak dapat mengatakan bahwa para malaikat menikah atau punya anak, karena hal seperti ini, tak disebutkan dalam Al-Qur'an atau Sunnah. Bukankah Al-Qur'an dan Sunnah itu, pedoman kita agar tak sesat?

Allah menjadikan malaikat sebagai makhluk yang paling bermartabat dan baik. Mereka patuh dan taat dalam menunaikan perintah-Nya. Allah mempercayakan mereka menyampaikan pesan-pesan-Nya kepada para nabi. Dia juga mengamanahkan mereka agar menjaga Al-Qur'an yang ada di langit. Seseorang yang fasih membaca Al-Qur'an, akan bersama para malaikat yang shalih itu.
Para malaikat menerima ilmu mereka dari Allah. Mereka tak dapat mengetahui lebih dari apa yang Dia ajarkan kepada mereka, dan mereka juga tak mengetahui kurang dari itu.
Malaikat suka mendengarkan hal-hal baik dan tak suka mendengar hal-hal buruk. Mereka senang mendengarkan Al-Qur'an dan pujaan kepada Allah. Mereka tak mau mendengarkan musik, kebohongan, dan hal-hal sejenis lainnya, yang diajarkan Setan. Ketika Al-Qur'an dibacakan dengan ketulusan dan keikhlasan demi ridha Allah, para malaikat mendekat, mendengarkannya.
Kekasih kita (ﷺ) bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ مَلاَئِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ، يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ، فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ‏.‏ قَالَ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا‏.‏ قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهْوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالُوا يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ، وَيُكَبِّرُونَكَ، وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ‏.‏ قَالَ فَيَقُولُ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لاَ وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ‏.‏ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً، وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا، وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا‏.‏ قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ‏.‏ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لاَ وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا‏.‏ قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا، وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا، وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً‏.‏ قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنَ النَّارِ‏.‏ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لاَ وَاللَّهِ مَا رَأَوْهَا‏.‏ قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا، وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً‏.‏ قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ‏.‏ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ فِيهِمْ فُلاَنٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ‏.‏ قَالَ هُمُ الْجُلَسَاءُ لاَ يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ
'Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling jalan-raya dan setapak, melacak para ahli dzikir. Jika mereka menemukan satu kaum yang sedang mengingat Allah, mereka berseru, ‘Marilah kalian, menuju kebutuhan kalian.’
Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Lalu para malaikat itu, menaungi mereka dengan sayap-sayapnya, mereka bertumpuk-tumpuk hingga langit terendah.”
Rasulullah (ﷺ) melanjutkan, 'Kemudian Rabb mereka bertanya kepada mereka—dan Dia lebih mengetahui dibanding mereka—‘Apa yang diucapkan hamba-hamba-Ku?’ Mereka berkata, ‘Mereka bertasbih memahasucikan Engkau, bertakbir mengagungkan Engkau, bertahmid memuji Engkau, dan memuliakan Engkau.’ Lalu Allah berfirman, ‘Adakah mereka melihat-Ku?’ Mereka menjawab, ‘Tidak, Wallahi, mereka tak melihat-Mu.’ Allah berfirman, ‘Bagaimana bila mereka melihat-Ku?’ Mereka menjawab, ‘Jika mereka melihat-Mu, pasti mereka akan lebih bersungguh-sungguh beribadah kepada-Mu, akan lebih bersungguh-sungguh memuliakan-Mu, dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu.’”
Rasulullah(ﷺ) melanjutkan, “Allah berfirman, ‘Lalu, apa pinta mereka pada-Ku?’ Mereka menjawab, ‘Mereka memohon surga-Mu.’ Allah berfirman, ‘Sudahkah mereka melihatnya?’ Mereka menjawab, 'Tidak, Wallahi, duhai Rabb, mereka tak melihatnya.’ Allah berfirman, ‘Bagaimana jika mereka melihatnya?’ Mereka menjawab, ‘Bila mereka melihatnya, mereka pasti akan lebih bersungguh-sungguh agar mendapatkannya, akan lebih bersungguh-sungguh demi memintanya, dan sangat menginginkannya.’
Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Allah berfirman, ‘Lalu, dari apa mereka memohon perlindungan?’ Mereka menjawab, ‘Dari api-neraka.’ Allah berfirman, ‘Sudahkah mereka melihatnya?’ Mereka menjawab, ‘Tidak, Wallahi, mereka tak melihatnya.’ Allah berfirman, ‘Bagaimana bila mereka melihatnya?’ Mereka menjawab, ‘Jika mereka melihatnya, pastilah mereka lebih bersungguh-sungguh lari darinya dan sangat takut padanya.’
Beliau (ﷺ) melanjutkan, 'Allah berfirman, ‘Maka Aku persaksikan kepada kalian, sesungguhnya, Aku telah mengampuni mereka.’ Seorang malaikat pun berkata, ‘Namun, di antara mereka ada si Fulan dan ia bukan bagian dari mereka. Ia datang hanya untuk suatu keperluan.’ Allah berfirman, ‘Mereka semua, teman sejawat, dan tiada derita bagi orang yang duduk bermajelis dengan mereka.’" [Muttafaqun Alaih (disepakati atas Sahih Al-Bukhari & Muslim)]
[Bagian 2]