'Kala sang bayu menyapu rerumputan, sang huma beriak laksana kolam, dan saat menghempas sang milu, sang huma melambai kesana-kemari bagai laut-lepas. Inilah yang disebut tarian sang bayu; akan tetapi, sang bayu, tak cuma menari, ia juga berceloteh, dan betapa melengking ia bernyanyi, yang berasal dari tarikan nafas terdalamnya, dan alangkah senjangnya sang bahana, di pucuk-pucuk pohon di hutan, yang melewati celah-celah dan kisi-kisi, serta retakan di dinding! Sang bayu menghalau sang gegana ke atas sana, bagai kawanan domba yang ketakutan. Dapatkah engkau mendengar bagaimana sang bayu menderu melintasi lembah terbuka, laksana sang bayangkara meniup terompetnya? Dengan nada yang indah, ia bersiul dan mendesir ke cerobong asap dan perapian. Sang agni berderak dan menyala, dan menyorot jauh ke dalam ruangan, lalu tempat kecil itu, jadi hangat dan nyaman, serta menyenangkan duduk di sana, mendengarkan sang bahana. Biarkan sang bayu berceloteh, sebab ia tahu berjibun kisah dan hikayat, lebih banyak dari yang kita ketahui. Dengarkan saja apa yang dapat ia khabarkan.
Sang bayu berkisah, 'Tersebutlah, seorang nelayan yang, di masa mudanya, bersumpah takkan melempar jalanya, lebih dari empat kali sehari. Sumpah ini, ia taati seyakin-yakinnya; meskipun di saat ia telah berkeluarga, yang beranggota jamak, seringkali ia menyesal telah melakukannya.
Suatu pagi, setelah melemparkan jalanya tiga kali, tanpa hasil secuilpun, ia hampir sesat-akal lantaran nelangsa. Masih tersisa satu lemparan lagi, yang ia putuskan, akan di eksekusi dengan cermat.
Setelah melemparkannya, alih-alih dapat seekor ikan, ia hanya menarik sebuah bejana kecil dari tembaga bersegel timah. Segel ini, ia lepaskan dengan penuh semangat, berharap menemukan sesuatu yang berharga; namun, yang membuatnya tersipu, barang kecil itu, kelompang. Ia melemparkannya ke tanah, dan terus menatapnya dengan putus-asa, hingga ia melihat kepulan asap keluar darinya, membentuk awan gelap, dan memanjang di sepanjang laut dan pantai, membentuk kabut besar. Saat seluruh asap telah keluar dari bejana, lalu saling menghubungkan diri mewujudkan sebuah rupa, berbentuk Jin yang sangat besar, yang dengan berkacak, seketika berseru, 'Ahirna, abdi beebaaas!'
Saat melihat sosok yang menakutkan, pada awalnya, sang nelayan akan melarikan-diri, akan tetapi, saking takutnya, tungkainya serasa lumpuh. Setelah menenangkan diri, dan mengingat Allah, ia memberanikan diri, dan berkata, 'Hai Jin songong, naon atuh, anjeun lakukeun di dieu?' Sang Jin menoleh kepada orang yang membebaskannya, dengan sorotan mata tajam, berkata, 'Anjeun sangat berani menyebutku arwah yang sombong. Bicaralah padaku dengan lebih sopan sebelum aku membunuhmu.' 'Hah! Naon? Paéhan abdi?' jawab sang nelayan, 'Abdi mah takkan pernah takut pada anjeun!' Mendengar ini, tanpa disadarinya, sang Jin menciut dan mengempis semakin kecil. Tiba-tiba, sang nelayan menangkupnya dengan bejana kecil tadi dan langsung menutup dengan penutupnya, 'Sekarang, wahai Jin, permohonan anjeun akan sia-sia. Abdi akan mengembalikanmu ke laut tempat kumenemukanmu, dan aku akan mendirikan monumen demi memperingatkan nelayan lain, jika mereka, kadarullah, bertemu denganmu, agar mereka mengenali Jin jahat sepertimu, yang telah bersumpah membunuh penyelamatmu!' Sang Jin berusaha dengan sekuat tenaga, agar dapat keluar dari bejana; namun segel menahannya. Oleh sebab itu, dengan menyembunyikan kemarahannya, ia berbicara dengan nada yang lebih menyenangkan kepada sang nelayan; memohon padanya sekali lagi, agar melepas penutupnya, dan berjanji menuruti segala keinginan sang nelayan.
'Anjeun pengkhianat!' jawab sang nelayan, 'Dan aku akan kehilangan nyawaku, bila aku dengan bodohnya, mempercayaimu. Aku lebih beruntung karena sekarang berada di luar kekuasaanmu, dan anjeun yang berada di bawah kekuasaanku. Aku sekarang akan mengembalikanmu ke laut.'
'Duh juragan,' jawab sang Jin, 'Inget, dendam dilarang, tidakkah agan ingin tahu tentang abdi dan kaum abdi?' 'Kumaha éta?' tanya sang nelayan. 'Eleuh-eleuh!' jawab sang Jin, 'Menurut agan, bisakah abdi bercerita dari dalam kurungan ini? Biarkan abdi keluar, dan abdi akan memberitahukan, sebanyak yang agan mau.' 'Teu hayang,' tukas sang nelayan, 'Abdi tak mau membiarkan anjeun keluar. Sebaliknya, kini, abdi akan melemparkan anjeun kembali ke dalam laut.' 'Dangukeun agan, abdi menta,' seru sang Jin, 'Jika agan mau membebaskanku, abdi bersumpah, dengan sekhusyuk-khusyuknya, bahwa abdi takkan menyakiti agan: sebaliknya, abdi akan memberitahukan, sagalana, apapun yang anjeun merlukeun.'
Terbujuk oleh janji ini, sang nelayan sekali lagi membuka bejana; dan sang Jin, yang kembali ke wujudnya, seketika menendang bejana ke laut. Sang nelayan terkejut dengan tindakan ini, namun sang Jin meyakinkannya, 'Agan aman sareng abdi!'
Beberapa saat kemudian, sang nelayan berkata, 'Sekarang, ceritakan tentang diri dan kaum anjeun!' Sang Jin mulai berbicara,
'Kamilah bangsa jin, kami punya dunia kami sendiri, berbeda dari manusia atau malaikat. Kami sesungguhnya, biasa saja, seperti manusia, juga punya kemampuan, berkarakteristik dalam hal berpikir dan merenung. Demikian pula, memilih antara jalan kebaikan dan jalan kejahatan, dengan cara yang sama seperti manusia. Namun, kami berbeda dari manusia dalam karakteristik lain, termasuk satu karakteristik yang sangat penting, yakni asal-usul kami.
Kami disebut Jin, karena kami tertutup dari pandangan manusia. Tiada keraguan bahwa jin dicipta sebelum manusia, dan Allah menciptakan kami, dari marajin-min-naar (ما راج من نار ), nyala api tanpa asap, sesuatu yang bercampur dengan kelamnya api. Menurut para ahli bahasa, penyebutan jin itu, beragam. Jika seseorang mengacu pada bangsa jin, mereka disebut Jinni. Jika menyebutkan jin yang hidup di antara manusia, mereka disebut Aamar, yang jamaknya, Amaar. Jika menyebutkan jin-jin yang memusuhi kaum-muda, mereka disebut Arwah. Jika seseorang menyebutkan jin jahat yang memusuhi manusia, mereka disebut Shaitan, dalam bentuk tunggal, dan Shayatin, untuk jamaknya. Jika mereka menyebabkan lebih banyak kerusakan dan menjadi kuat, mereka disebut Ifrit. Dan menurut Nabi kita tercinta (ﷺ), ada tiga jenis jin, ada yang terbang di udara, ada yang berwujud ular dan anjing, dan ada yang menetap di suatu tempat dan berkelana.
Setan, kata yang berasal dari bahasa Arab, istilah umum yang merujuk pada pembangkang yang songong. Kata ini digunakan, secara umum, terhadap makhluk tertentu, yang saking sombongnya, memberontak terhadap Rabb-nya. Setan, yang kerapkali Allah sebutkan dalam Al-Qur'an, berasal dari dunia jin. Ia menyembah Allah pada awal penciptaannya. Ia menetap di antara para malaikat di surga. Ia pernah masuk ke surga. Tapi kemudian, ia tak menaati Allah di kala ia menolak bersujud kepada Adam, yang disebabkan kesombongan, keangkuhan dan keirihatian. Lantaran itulah, Allah mencabut darinya, rahmat-Nya. Ia juga disebut Taghut, sebab ia telah melampaui batas, zhalim, pembangkang Rabb dan berusaha menempatkan dirinya sebagai illah yang kudu disembah. Setan telah berputus-asa dari setiap kesempatan rahmat dari Allah, dan karena alasan itulah, Allah menamainya Iblis, yang bermakna bahwa tak ada keshalihan di dalam dirinya, dan juga bermakna, berputus-asa dan tersesat. Banyak ulama awal yang menyebutkan bahwa namanya, sebelum ia mendurhakai Rabb-nya, ialah Azazil. Wallahu a'lam.
Bangsa Jin, dan para setan di antara mereka, makan dan minum. Makanan jin itu, tulang-belulang atau kotoran, dan segala sesuatu yang tak diucapkan atas Nama Allah. Maka, manusia tak diperbolehkan membersihkan diri dengan hal-hal semacamnya. Setan makan dan minum dengan tangan kirinya, dan engkau, sekalian manusia, diperintahkan, dalam hal ini, agar berbeda dengan mereka, karena sesiapa yang makan dengan tangan kirinya, Setan makan bersamanya, dan sesiapa yang minum dengan tangan kirinya, Setan minum bersamanya.
Sebagaimana dilarangnya manusia memakan daging yang tak diucapkan atasnya nama Allah, jin yang beriman, dibolehkan memakan tulang yang di atasnya disebutkan Nama Allah. Mereka tak diperkenankan makan daging yang tak diucapkan atas nama Allah. Segala yang dimakan tanpa menyebut nama Allah atasnya, menyediakan makanan bagi jin kafir, yang tak lain selain para setan, shayatin. Dengan kata lain, para setan mencari kehalalan semua makanan yang tak diucapkan atas nama Allah. Itulah sebabnya, mengapa banyak ulama berpendapat bahwa, bangkai yang mati dengan sendirinya, merupakan makanan para setan, karena Nama Allah tak disebutkan atasnya. Adapun bagaimana cara bangsa jin makan dan minum, baik Allah maupun Rasul-Nya (ﷺ), tak menyampaikannya padamu, duhai manusia, maka biarlah ilmu semacam itu, tetap dalam genggaman Allah, Yang Mahabijaksana.
Sang nelayan ingin tahu, 'Naha jin kawin jeung baranahan? ?' Sang jin menjawab, 'Jelas bahwa jin berhubungan-kelamin. Untuk membuktikannya, sebagian ulama merujuk pada gambaran para bidadari di surga. Allah berfirman tentang mereka,
فِيْهِنَّ قٰصِرٰتُ الطَّرْفِۙ لَمْ يَطْمِثْهُنَّ اِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَاۤنٌّۚ
'Di dalam surga itu, ada bidadari-bidadari yang membatasi pandangan, yang tak pernah disentuh oleh manusia maupun jin sebelumnya.' [QS, Ar-Rahman (55):56]
Kita pernah mendengar tentang seorang lelaki yang menikahi seorang jin atau seorang wanita yang menikahi jin atau seorang wanita yang dilamar oleh salah satu dari mereka. Banyak riwayat seperti ini, dari generasi awal dan ulama, yang menunjukkan adanya pernikahan antara manusia dan jin. Dengan asumsi bahwa itu mungkin, banyak dari para ulama menunjukkan ketidaksukaan pernikahan seperti itu. Ulama seperti Imam Malik, rahimahullah, tak menemukan teks yang melarangnya, namun ia sendiri. tak menyukai hal tersebut terjadi, dan ia memberikan alasannya, 'Aku tak menyukai bila itu akan menjadi suatu perkara saat kami menemukan seorang wanita yang sedang hamil dan kami bertanya padanya, 'Siapa suamimu?' dan ia menjawab, 'Seorang jin.' Banyak kejahatan yang akan menjadi akibatnya.' Sekelompok orang berpendapat bahwa tak boleh menikah dengan jin. Dari nikmat Allah, bahwa Dia menciptakan bagi manusia, pasangan dari spesies mereka sendiri. Jika itu bisa terjadi, tak mungkin ada persahabatan dan cinta di antara pasangan itu, lantaran spesies mereka berbeda. Tujuan dan hikmah pernikahan tak akan tercapai. Bagaimanapun, walau ada orang yang mengklaim bahwa pernikahan seperti itu, terjadi, dan kejadiannya di masa lalu, bilapun itu terjadi, akan sangat jarang dan aneh. Selanjutnya, orang yang melakukannya, hendaknya mencari hukum Islam tentang hal itu. Bisa jadi, orang yang melakukannya, dalam arti tertentu, terjebak dan tak punya cara menghindari keadaan seperti itu.'
Sang nelayan lebih lanjut bertanya, 'Naha jin maot?' Sang Jin menjawab, 'Tiada keraguan bahwa bangsa jin, dan para setan di antara mereka, bisa mati. Mengenai berapa lama umur mereka, kita tak mengetahui banyak kecuali apa yang telah difirmankan Allah tentang setan terkutuk, Iblis, yang diberi penangguhan dan hidup sampai Hari Kiamat. Mengenai jin atau setan lainnya, kita tak mengetahui tentang umur mereka. Tapi kita tahu bahwa rentang hidup mereka, lebih lama ketimbang manusia. Bukti lebih lanjut bahwa mereka benar-benar bisa mati, dari riwayat bahwa Khalid bin Walid, membunuh setan al-Uza, sebuah pohon yang biasa disembah oleh orang-orang Arab. Dan seorang Sahabat membunuh jin, yang berwujud ular.
Bangsa Jin berdiam di bumi yang sama dengan manusia. Kebanyakan dari mereka, dapat ditemukan di antara reruntuhan dan daerah bangpak, serta tempat-tempat yang banyak kenajisan, seperti, kamar mandi, sarang ganja, kandang unta, kuburan. Oleh karenanya, orang-orang yang dekat dengan setan, biasanya mendiami tempat-tempat tersebut. Seseorang tak boleh Shalat di kamar mandi karena ada kotoran dan tempat tinggalnya setan, atau di kuburan, lantaran ini mengarah pada kemusyrikan dan juga merupakan rumah bagi shayatin.
Banyak dari mereka, berada di tempat-tempat yang menjadi sumber kejahatan, seperti pasar, dimana para setan mengibarkan panji-panji mereka. Maka, kalau bisa, jangan jadi yang pertama masuk pasar, dan jangan jadi yang terakhir keluar.
Para setan tinggal di rumah yang sama dimana manusia tinggal. Seseorang dapat menghentikan mereka memasuki atau mengusir mereka dari rumahnya, dengan menyebut Allah, membaca Al-Qur'an, khususnya, surah al-Baqarah dan ayat 255 dari surah itu, ayat Kursi. Para setan menyebar dan berkeliaran semakin banyak menjelang maghrib, dan oleh karenanya, disarankan pada umat Islam, agar menjaga anak-anak mereka, selama waktu-waktu tersebut. Dan para setan, lari terkentut-kentut bila mendengar Adzan, mereka tak tahan mendengarnya. Juga, di bulan Ramadhan, mereka dibelenggu.
Para setan suka duduk di antara tempat-teduh dan sinar matahari, maka umat Islam dilarang duduk di tempat seperti itu. Mereka juga punya hewan piaraan, dan makanan piaraan mereka itu, kotoran hewan piaraan manusia. Para setan menyertai beberapa hewan seperti unta, karenanya, umat Islam dilarang shalat di padang rumput unta, tetapi dibolehkan shalat di padang rumput domba, sebab mereka diberkahi. Ada yang mengatakan alasan diharamkannya shalat di tempat unta, karena air-seni dan kotorannya najis. Sebenarnya, air-seni dan kotoran hewan apapun yang boleh dimakan, dianggap bukan-najis.'
Sang nelayan bertanya lagi, 'Apa kemampuan dan kekuatan mereka? Dan apa kelemahan mereka?' Sang Jin menjawab, 'Hapunten Juragan! Anjeun parantos naros langkung ti tilu. Biasana, dina dongéng, Jin ngan ukur nawarkeun tilu kahayang.' Sang nelayan menanggapi, 'Leres? Anjeun telah berjanji, akan menyampaikan apapun yang kusuka? Ulah siga Mukidi, sok mungkir janji.' Sang Jin menukas, 'Ati-ati juragan, engke aya nu ngalaporkeun juragan ka pulisi, dina tuduhan, bocorkan rahasia gorong-gorong!' Sang nelayan terkekeh seraya berkata, 'Mukidi remen ngingkari janji, sabab amnesia!' Sang Jin manggut-manggut, prihatin, 'Oooh!' Kemudian sang nelayan berkata, 'Ah teu apal! Sekarang, sampaikan padaku, jawaban pertanyaanku tadi, pliiizz!'
[Bagian 4]