Jumat, 27 Januari 2023

Berpikir : Perspektif Islam

"Berpikir, dalam perspektif Islam, dipandang sebagai bentuk ibadah kepada Allah, yang akan dihargai sepanjang dilakukan dengan tulus 'ikhlas', niat-baik dan demi tujuan yang baik," berkata Swara ketika ia sampai, usai mengucapkan Basmalah dan Salam.
"Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dengan jelas,
كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ مُبٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوْٓا اٰيٰتِهٖ وَلِيَتَذَكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ
'(Al-Qur’an ini) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menghayati ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal-sehat, beroleh pelajaran.' [QS. Sad (38):29]
Al-Qur’an menyebutkan syarat ‘ulul al-bab’ yang mengarah pada berpikir. Berpikir merupakan bagian integral dari tradisi Islam. Allah menciptakan manusia agar berpikir dengan menggunakan penalaran (afala ya’qilun), berpikir kreatif (afala tatafaqqarun) dan pula, merenungkan, mencermati dan meneliti sesuatu (afala ya tadabbarun). Tradisi berpikir di masa-lalu membuahkan prestasi luar biasa umat Islam dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan seperti astrofisika, matematika, mekanika, musik dan lain-lain.

Dalam bahasa Arab, kata 'berpikir' mengacu pada kata 'tafakkur,' kata yang bersinonim ialah 'al-fikr.' Jadi, tafakkur secara harfiah bermakna memikirkan suatu hal, secara mendalam, sistematis, dan mendetail. Dengan kata lain, tafakkur itu, merenung atau merefleksikan secara intelektual. Merenung atau refleksi merupakan langkah penting guna menyadari apa yang terjadi di sekitar kita dan menarik kesimpulan darinya. Inilah kunci bagi manusia guna membedakan antara yang baik dan yang buruk, kejahatan dan kebajikan, dan seterusnya. Seseorang dapat pula menggunakan renungan di setiap bidang ilmiah. Namun, ilmu-ilmu rasional dan eksperimental tersebut, semata sebuah langkah awal atau sarana untuk mencapai tujuan akhir perenungan, yakni mengenal Allah, dengan syarat bahwa pikiran seseorang, tak terisi oleh konsepsi dan premis yang keliru [fallacies]. Tafakkur hendaknya dilandasi dan dimulai dengan iman kepada Allah sebagai Pencipta segala ciptaan. Allah berfirman,
وَهُوَ الَّذِيْ مَدَّ الْاَرْضَ وَجَعَلَ فِيْهَا رَوَاسِيَ وَاَنْهٰرًا ۗوَمِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِ جَعَلَ فِيْهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
'Dialah yang menghamparkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dia menjadikan padanya (semua) buah-buahan berpasang-pasangan (dan) menutupkan malam pada siang. Sesungguhnya, pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.' [QS. Ar-Ra'ad (13):3]
Ada tiga tahapan Tafakkur, pertama, memberikan konsepsi ide atau pemikiran atau 'Critical Thinking'; kedua, mengkonsentrasikan atau membentuk gagasan informasi baru atau 'Creative Thinking', dan puncaknya, yang ketiga, menghadirkan Allah sebagai Pencipta Yang Maha Agung. Tafakkur merupakan konsepsi yang sangat penting sehingga Imam Syafi'i, salah seorang Imam terbesar dalam sejarah, mengatakan bahwa Tafakkur mempertajam kecerdasan seseorang.

Didalam Al-Quran, Allah memerintahkan umat Islam agar berpikir kritis, di antaranya : Tafakkur (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya); Tadzakkur; Ta'qil; Tafqih; dan Tadabbur.

Tentang Tadzakkur, Allah berfirman,
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
'Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), 'Duhai Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini, sia-sia. Mahasuci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka.' [QS. Ali 'Imran (3):190-191]
Ayat ini mengilustrasikan bahwa orang yang berpikir, akan merenungkan ciptaan Allah (langit dan bumi, malam dan siang) dengan menggunakan mata-batin (basirah). Oleh karenanya, manusia akan melihat Kebesaran Allah dan bersyukur kepada Allah setiap saat. Sultanul Mutakallimin, Fakhruddin Ar-Razi—seorang polymath Muslim berpengaruh dan salah seorang pelopor logika induktif—menyatakan bahwa mereka yang ingat dan percaya pada Keesaan Tuhan, dengan menggunakan aql (akal) mereka, akan mencapai al-falah (kesuksesan). Guna menggapai tingkat tadzakkur, manusia perlu meringkas sesuatu agar membantunya memahami dengan bijak. Oleh sebab itu, manusia dapat mempunyai gagasan terhadap sesuatu dalam bentuk diagram atau gambaran sederhana. Penerapan tadzakkur berlaku pada mata pelajaran seperti Al-Quran dan al-Hadits.

Tentang Ta'qil, Allah berfirman,
اَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَاَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتٰبَ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
'Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab-suci? Tidakkah kamu bernalar?' [QS. Al-Baqarah (2):44]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menekankan pada segelintir umat manusia, yang menyuruh orang lain agar mengikuti Hukum Allah, namun mereka sendiri, menolak melakukannya. Beberapa mufassirun menyatakan bahwa orang semacam ini, merujuk pada Bani Israil dan kaum Munafik. Allah mengutuk orang-orang semacam ini dengan berfirman 'Tidakkah kamu bernalar?' yang membawa kita pada kalimat 'ogah mikir,' yang merefer pada 'tak memahami kebenaran.' Guna memahami kebenaran, manusia perlu mensintesis informasi terlebih dahulu [bernalar], sebelum 'jumping into the conclusion.'

Tentang Tafqih, Allah berfirman,
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ
'Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan banyak dari kalangan jin dan manusia untuk (masuk neraka) Jahanam (karena kesesatan mereka). Mereka mempunyai qalbu yang tak mereka pergunakan guna memahami (ayat-ayat Allah) dan mata yang tak mereka pergunakan melihat (ayat-ayat Allah), serta telinga yang tak mereka pergunakan mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka bagaikan hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.' [QS. Al-A'raf (7):179]
Berdasarkan ayat ini, kita tahu bahwa ada keterhubungan antara qalbu dan akal. Menurut Imam al-Ghazali, al-qalb (hati) bergantung pada al-‘aql (akal). Ia menyatakan bahwa bila manusia hendak melakukan hal yang benar, seketika ia akan memerintahkan pikirannya agar melihat Keagungan Allah. Pada level ini, manusia perlu menganalisis informasi setelah mengidentifikasi dua entitas yang berbeda. Manusia akan mengidentifikasi benar dan salah, keuntungan dan kerugian, unsur positif dan negatif yang mencerminkan sesuatu.

Al-Qur'an menyebutkan bahwa setiap manusia, secara kasat mata, punya tubuh, jiwa individual (yang punya ego dan hati-nurani) dan ruh (yang pertama kali ditiupkan Allah ke tubuh Adam, alaihissalam). Kita mengatakan bahwa jiwa, punya kemampuans tertentu yang jelas semisal kecerdasan, kehendak, sentimen (ulama seperti Al-Ghazali terkadang menyamakan ketiganya dengan 'kemampuan,' masing-masing 'kecerdasan', 'kemarahan' dan 'keinginan'), ucapan, imajinasi, dan ingatan. Penjelasan tentang Tubuh, cukup jelas, dan inderanya, tentulah meliputi panca indera (penglihatan, pendengaran, penciuman, kecapan-rasa dan sentuhan). Semua ini, fana, kematianlah yang menjadi pemisahan jiwa dari tubuh. Jiwalah inti pribadi individu manusia, dan ia, kekal. Dalam Al-Qur'an, jiwa dipandang memiliki tiga bagian utama—atau mungkin tiga 'sifat' (sebab jiwa tetap satu). Yaitu: 'jiwa yang menyuruh pada kejahatan' (QS. Yusuf 12:53); ‘jiwa yang mencela diri sendiri’ (QS. Al-Qiyamah, 75:2); dan ‘jiwa yang tenang’ (QS. Al-Fajr, 89:27). Dengan kata lain, jiwa mempunyai ego, hati-nurani, dan keadaan yang berada di luar ego. Jiwa berada di luar kepribadian individu secara keseluruhan, dan teramatlah sedikit yang dapat diungkapkan tentangnya oleh kata-kata. Allah berfirman,
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِۗ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا
'Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh. Katakanlah, 'Roh itu termasuk urusan Rabb-ku, sedangkan engkau tak diberi ilmu tentangnya melainkan sedikit saja.' [QS. Al-Isra' (17):85]
Jiwa dikatakan sebagai 'saksi batin' individu terhadap tubuh, dan 'kapten kapalnya'. Roh dikatakan sebagai 'saksi batin' supra-individu terhadap jasad dan jiwa yang menyatu, dan sebagai angin dan kehidupan pada layarnya. Dalam Al-Qur'an, ada dua surga bagi setiap orang yang diberkahi, Allah berfirman,
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهٖ جَنَّتٰنِۚ
'Bagi siapa yang takut pada keagungan Rabb-nya, disediakan dua surga.' [QS. Ar-Rahman (55):46)]
Beberapa mufassir menganggapnya sebagai surga jiwa dan ruh. Dengan kata lain, ada keadaan kebahagiaan yang sempurna bagi setiap subjektivitas manusia: jiwa dan roh.

Selain jantung fisik yang memompa darah ke seluruh tubuh, manusia juga punya jantung spiritual non-fisik, yang sesuai dengan jantung fisik, namun pada tingkat realitas yang lebih tinggi. 'Jantung spiritual' ini, sebenarnya 'pintu' atau 'jembatan' antara jiwa dan roh. Dalam Al-Qur'an, ia punya empat 'derajat': (dalam urutan 'naik'): 'sadr' ('dada'); 'qalb' ('hati atau qalbu'); 'fuad' ('batin terdalam'), dan 'lubb' ('inti'—sesuatu yang murni dan bersih, terkadang dipandang bersama-sama sebagai qalbunya batin dan kecerdasan). 'Fuad' diidentikkan dengan jiwa, dan 'lubb' diidentikkan dengan ruh.
Konsekuensinya, inilah qalbu yang 'dipandang' oleh Allah. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
'Sesungguhnya, Allah tak memandang pada bentuk rupa dan hartamu. Akan tetapi, Allah semata memandang pada qalbu dan amalanmu.' [Sahih Muslim]
Karenanya, bagian inilah yang perlu diperlakukan manusia dengan benar! Bahkan terlebih lagi pada 'batin terdalam', sebab qalbu 'memahami' (atau, sebaliknya, menjadi 'buta'), dimana sebenarnya 'batin terdalam itu, melihat ('secara spiritual'). Allah berfirman, mengacu pada Rasulullah (ﷺ), dalam Al-Qur'an,
مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَاٰى
‘Batin terdalamnya, tak mendustakan apa yang telah dilihatnya.’ [QS. An-Najm (53):11].
Sepanjang sejarah, cendekiawan dan mistikus Muslim yang tak terhitung banyaknya, telah pula membuktikan realitas 'jantung spiritual'. 'Jantung spiritual' inilah tempat kedudukan ilmu spiritual dan cinta.

Sejak filsuf Jerman Immanuel Kant menerbitkan Critique of Pure Reason pada tahun 1781, 'ilmu metafisik' semacam ini, belum dianggap serius oleh para filsuf dan akademisi Barat. Namun sebelumnya, penglihatan 'batin' atau spiritual merupakan doktrin agama yang termasyhur. Misalnya, dalam Republic-nya Plato, Socrates berkata, 'Dengan mengejar [studi filosofis tertentu], organ tertentu dalam jiwa setiap siswa dibersihkan dan dihidupkan kembali, yang telah dibutakan dan dihancurkan oleh pengejarannya terhadap yang lain. Namun lebih berharga menyelamatkannya dibanding seribu mata, sebab hanya dengan organ ini, kebenaran dapat dilihat.’

Perlu dicatat pula bahwa mata-hati merupakan ilmu-diri sebanyak ilmu tentang kebenaran dan realitas spiritual 'eksternal'. Allah menciptakan manusia untuk mengenal-Nya, dan Al-Qur'an membantu mereka agar mengenal diri mereka sendiri. Masih perlu dikatakan bahwa justru ilmu-diri [self-knowledge]-lah yang mengarah pada ilmu tentang Allah dan realitas spiritual. Faktanya, Allah menciptakan ruh dengan ilmu bawaan yang mendalam tentang Dia [fitrah] sebagai kesaksian terhadap jiwa mereka sendiri. Allah berfirman,
وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ
'(Ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Rabb-mu?' Mereka menjawab, 'Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi.' (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, 'Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini.' [QS. Al-A'raf (7):172]
Dan Allah menuntut jiwa-jiwa tersebut, agar tak melupakan-Nya dan mempertahankan kesaksian dan ilmu-diri ini dalam kehidupan. Boleh jadi, itulah sebabnya maksim Yunani Kuno 'nosce te ipsum' atau 'temet nosce' ['know thyself' atau 'kenali dirimu'] merupakan yang pertama dari tiga maksim Delphic yang tertera di halaman depan Kuil Apollo di Delphi, menurut penulis Yunani Pausanias. Dua maksim yang mengikuti 'kenali dirimu' adalah 'tak ada yang berlebihan' dan 'kepastian membawa kegilaan.'
Maksim, atau aforisme, 'kenali dirimu' punya beragam makna yang dikaitkan dengannya dalam literatur, dan seiring berjalannya waktu, seperti dalam bahasa Yunani kuno awal, frasa tersebut bermakna 'kenali takaranmu.'

Tak semua qalbu dapat 'melihat'. Kemampuan qalbu untuk 'melihat' bergantung pada amalan seseorang. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}
“Jika seorang hamba berbuat sebuah dosa, niscaya akan ditorehkan pada qalbunya setitik noda hitam. Seandainya ia meninggalkan dosa itu, beristighfar dan bertaubat; niscaya noda itu bakal dihapus. Namun bila ia kembali berbuat dosa; maka noda-noda tersebut, akan semakin bertambah hingga menghitamkan seluruh qalbunya. Itulah selubung yang difirmankan Allah, “Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka lakukan itu, telah menyelubungi mereka.' [Jami' at-Tirmidzi; Hasan-shahih oleh Tirmidzi, dan Hasan menurut Al-Albani]
Dengan kata lain, qalbu hanya mampu 'melihat' jika kebersihannya memadai. Visi spiritual, karenanya, menyangkut masalah kebajikan dan pertobatan tiada henti. Sebaliknya, kebutaan rohani merupakan akibat dari dosa dan egoisme, atau setidaknya, rasa berpuas diri, yang selaksana gerhana matahari total. Dan oleh sebab qalbu merupakan pula pusat iman, ilmu spiritual meningkatkan iman, begitu juga sebaliknya.

Lalu, bagaimana seseorang mengupam qalbunya guna menghilangkan karat yang menumpuk selama hayat masih di kandung badan? Seorang Sahabat, Abu Darda', radhiyallahu 'anhu, berkata, 'Bagi segala sesuatu, ada pengupam yang menghilangkan karat; dan pengupam qalbu ialah mengingat Allah.'
Selalu mengingat Allah: intinya, sebanyak yang mampu dilakukan, disertai Cinta. Perintah spiritual utama dalam Al-Qur'an, sesungguhnya, mengingat atau memuliakan Allah dengan cara tertentu (dengan niat yang benar), termasuk membaca Al-Qur'an itu sendiri. Demikian pula, sebagian besar sunnah itu sendiri, terdiri dari doa atau permohonan yang diucapkan sebelum atau sesudah hampir setiap perbuatan yang legal dan diperlukan, atau fungsi penting, yang dapat kita bayangkan. Termasuk dalam hal ini, segala sesuatu yang dimulai dari saat kelahiran hingga saat kematian; dari menandai awal-waktu setiap hari dalam seminggu hingga menandai akhirnya; dari bangun di pagi hari hingga tidur di malam hari; dari mendengar ayam berkokok di pagi hari hingga memandang bulan di malam hari; dari mengenakan pakaian hingga melepaskannya; dari makan dan minum sampai ke kamar-mandi; dari (melawan) marah hingga bercinta; dari batuk sampai bersin, bahkan sampai tertawa hingga menguap; dari meninggalkan rumah hingga memasukinya; dari menyapa seseorang hingga mengucapkan selamat tinggal kepadanya; dari sebelum memulai shalat hingga usai menunaikannya; dari sebelum memulai percakapan hingga setelah menyelesaikannya, dan demikian seterusnya.
Mengingat Allah setiap saat (atau sesering mungkin) dengan cinta, bahkan di luar shalat, bermakna menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya, dan inilah yang disebut Ihsan. Oleh karena itu, Ihsan atau kesempurnaan berarti memohon kepada Allah sebanyak mungkin (jika tak mampu secara terus-menerus), dan inilah sunnahnya.
Mengingat Allah [dzikir] itu, melegakan. Dikala tiada dzikir di dalam jiwa, ego selalu membisikkan pikiran yang bukan-bukan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهٖ نَفْسُهٗ ۖوَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ
'Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh dirinya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.' [QS. Qaf (50):16]
Ia membisikkan hal-hal yang jahat tentang orang lain—atau bahkan tentang Allah—dan berusaha membuatmu, melakukan hal-hal yang buruk, makanya dinamakan, nafsa la'ammaratun bissuu' (jiwa yang selalu menyuruh pada kejahatan) [ QS. Yusuf, 12:53]. Jika gagal, ia dengan keegoisannya, mengeluh tentang dirinya sendiri: tentang betapa tak adilnya ia diperlakukan; dan dengan begitu hebatnya, menggelembungkan diri laksana seekor Kodok—meskipun kodok lebih baik dibanding ego, atau, mungkinkah sama saja?—dan berbangga atas 'kemenangan' kecilnya. Maka, Allah memperingatkan,
وَمَنْ يَّعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمٰنِ نُقَيِّضْ لَهٗ شَيْطٰنًا فَهُوَ لَهٗ قَرِيْنٌ
'Dan barangsiapa yang berpaling dari pengajaran (Allah) Yang Maha Pengasih (Al-Qur’an), Kami biarkan setan (menyesatkannya). Maka, ia (setan) selalu menemaninya.' [QS, Az-Zukhruf (43):36].
Namun ketika dzikir hadir di dalam qalbu, aliran obrolan internal — 'aliran kesadaran' ego — mengering, dan qalbu akhirnya beroleh kedamaian dan ketenteraman. Allah berfirman,
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ
'Orang-orang yang beriman dan beramal-shalih, bagi merekalah kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.' [QS. Ar-Ra‘d (13):28].
Alih-alih bersama dirimu yang picik, engkau bersama Allah, setidaknya dalam benakmu. Allah berfirman,
فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ
'Maka, ingatlah pada-Ku, Aku pun akan mengingatmu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar pada-Ku.' [QS. Al-Baqarah (2):152].
Dan seiring berjalannya waktu, selalu berdzikir menyembuhkan qalbu dan membuatnya tenang. Bagi kebanyakan orang, inilah yang benar-benar diperhitungkan pada akhirnya, saat mereka meninggalkan jasad dan dunianya. Allah berfirman,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ
اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ
'(Yaitu) pada hari ketika tiada guna lagi harta dan anak-anak. Kecuali, orang yang menghadap Allah dengan Qalbin Salim (qalbu yang bersih). [QS. Asy-Syu‘ara (26):88–89].
Namun, melebihi itu semua, bagi sebagian orang, berdzikir secara terus-menerus, dapat menuntun pada visi dan inspirasi spiritual sejati. Allah berfirman dalam sebuah 'Hadits Qudsi',
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا، فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ، وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ عَبْدِي الْمُؤْمِنِ، يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
'Barangsiapa yang memusuhi orang yang berbhakti pada-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya. Tiadalah hamba-Ku mendekat kepada- Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dibanding hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah Sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, Aku pasti melindunginya.' [HR Al-Bukhari]
Engkau mungkin bertanya, 'Napaseh mesti tahu soal beginian, emang fenting?' Jawabannya, penting mengetahui tentang qalbu, oleh sejumlah alasan. Pertama, lantaran memungkinkan manusia memahami bahwa mereka hendaknya mensucikan jiwa mereka (tazkiyatun nafs), dan mengatasi ego dan kepicikan mereka. Kemegahan manusia sesungguhnya terletak di dalam qalbu—dan segala sesuatu yang dilakukan manusia, pertama kali dilakukan dari dalam qalbu (melalui niat yang benar). Qalbu-lah aspek manusia yang paling mulia. Dan itu membutuhkan pekerjaan spiritual yang konstan, terutama dzikir.
Kedua, karena ia menjelaskan paradoks iman dan kecerdasan, serta iman dan kejahatan. Paradoks pertama ialah bahwa ada orang-orang jenius yang tak beriman, dan tampaknya ada orang-orang yang tak cerdas dengan banyak iman. Paradoks kedua ialah bahwa ada orang baik yang melakukan perbuatan baik dan tak beriman, dan sebaliknya, ada orang yang sangat jahat yang beriman, atau yang tampaknya sangat religius. Mengetahui tentang qalbu, memperjelas bahwa iman bukanlah masalah kejeniusan mental—dan tak bergantung pada 'kecerdasan' mental—melainkan pada kebaikan aktif. Jadi, menjadi sangat pandai—atau tak terlalu pandai—tak banyak berpengaruh pada iman.
Kedua, jelaslah bahwa orang-orang yang berbuat jahat dan beriman, pada kenyataannya, secara bertahap bakalan kehilangan, melalui tindakan mereka. Sebaliknya, orang yang berbuat baik—untuk alasan altruistik dan bukan semata keegoisan—secara bertahap memperolehnya. Mereka mengupam qalbu-nya sendiri. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالإِثْمُ مَا حَكَّ فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
'Al-Birru (Keshalihan) itu, kebajikan akhlak, dan dosa itu, apa-apa yang dirimu merasa ragu dan engkau tak suka jika orang lain ketahui..' [Al-Adab Al-Mufrad; Shahih menurut Al-Albani]
Ketiga, secara lebih keduniawian, penting mengetahui tentang qalbu, lantaran kebanyakan orang, saat ini dididik agar mempercayai bahwa mereka pada dasarnya hanyalah 'pikiran' mereka sendiri dengan tubuh yang melekat padanya. 'Pikiran' dianggap hanya sebagai 'pemrograman' plus 'pengalaman kumulatif'. Ini diyakini secara fisik berada di dalam jalur saraf di otak fisik mereka, di dalam tengkorak kepala mereka, seperti halnya komputer pada dasarnya terdiri dari microchip di dalam PC atau ponsel. Jadi, ketika 'komputer' dimatikan atau rusak secara permanen, engkau mati. Ini tampaknya punya bukti medis yang kuat di baliknya, karena semua bagian tubuh, kecuali otak (termasuk jantung fisik), tampak dapat diganti dengan pembedahan, dan karena kerusakan otak dikaitkan dengan kehilangan ingatan. Jadi pada dasarnya, apakah kita mengatakannya atau tidak, secara tak sadar, kita cenderung percaya bahwa kita komputer organik yang sedang bergerak. Hal ini berarti bahwa seluruh interaksi kita dengan 'realitas' objektif dihubungkan oleh tubuh kita dan dimediasi oleh panca indera kita.
Namun, kita semua—atau mungkin banyak dari kita—punya pengalaman yang tak sesuai dengan model diri kita ini. Contohnya, banyak orang tampaknya mengetahui sebelumnya siapa yang menelepon mereka di telepon, meskipun mereka tak pernah menelepon pada saat itu, atau tak diharapkan menelepon untuk saat itu. Dan berkali-kali, orang yang menerima telepon berkata, 'Oh iya, gue baru aja mikirin ellu.' Hal ini terutama berlaku bagi orang-orang yang punya saling kasih-sayang yang tulus. Seringkali pula, seseorang punya 'perasaan' tentang sesuatu dan kemudian hal itu terjadi atau terbukti benar.
Seringkali perasaan itu ternyata keliru atau angan-angan belaka, tapi lebih sering, itu benar. Dan sungguh mencengangkan bagaimana, bahkan hewan peliharaan pun, tampak mengembangkan 'indra keenam' tentang pemiliknya sampai-sampai tahu kapan mereka pulang ke rumah: studi ilmiah benar-benar telah dilakukan mengenai hal ini.
Lalu ada semacam 'déjà vu' dan, yang lebih kuat, mimpi atau penglihatan firasat: terkadang engkau melihat hal yang bakal terjadi dalam mimpi; terkadang engkau melihat simbolnya. Boleh jadi, paling sering, engkau merasa was-was atau tak nyaman tentang sesuatu tanpa alasan yang jelas. Terkadang engkau merasakan bahaya bakalan datang. Sekarang psikolog dan ahli statistik punya penjelasan 'ilmiah' yang sangat bagus terhadap banyak fenomena ini, namun tak semuanya. Dan banyak orang mulai mengenali dari trial-and-error mereka sendiri, yang manakah dari berbagai jenis naluri mereka, yang harus mereka tanggapi dengan serius, dan mana yang sebaiknya diabaikan saja.
Jadi, mengetahui tentang qalbu itu, penting, lantaran memberimu model yang membantu melihat naluri secara lebih terbuka dan objektif. Hal ini sangat penting dengan naluri yang kuat tentang bahaya yang bakalan datang. Singkatnya, mengetahui tentang qalbu, membantumu menggunakan 'firasat'-mu sendiri. Sesungguhnya, Rasulullah (ﷺ) berkata kepada Wabisah ibnu Ma'bad, radiyallahu 'anhu, tiga kali, menggabungkan tiga jarinya dan mulai menyodoknya di dada, dan bersabda, 'Duhai Wabisah, tanyakan pada qalbumu, tanyakan pada dirimu sendiri.' [HR Imam Ahmad; Hasan oleh Al-Mundziri]

Tentang Tadabbur, Allah berfirman,
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ ۗ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللّٰهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَافًا كَثِيْرًا
'Tidakkah mereka mentadabburi Al-Qur’an? Seandainya (Al-Qur’an) itu tak datang dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya.' [QS. An-Nisa (4):82]
Pengembangan pemahaman tadabbur sangat penting bagi, apa yang kita sebut, Critical Thinking, sebab berpikir kritis, menurut definisinya, melibatkan refleksi pada apa yang diketahui dan bagaimana pengetahuan itu dibenarkan. Mereka tahu apa yang mereka pikirkan dan dapat membenarkan alasannya. Kata tadabbur bermakna mempelajari dan memahami al-Quran secara tuntas, yakni mengetahui hukum Islam dan meyakini seluruh isinya. Allah menegaskan bahwa Al-Quran itu, kitab yang lengkap karena berasal dari Allah. Tingkatan inilah yang lebih tinggi dimana manusia menimbang-nimbang gagasannya.
Al-Qur’an diturunkan kepada mereka yang, dengan membacanya atau mendengarkan ayat-ayatnya, lalu memikirkan dan merenungkan pesan-pesannya. Refleksi ini, mengarah pada apresiasi terhadap ciptaan Allah, ketenangan-diri, mengingat Allah, mengingatkan sang pemikir tentang 'kewajiban' dan persyaratan untuk memenuhinya, serta observasi studi dan eksplorasi alam semesta. Hal ini mengarah pada penemuan pengaturan alam semesta, yang telah dibuat tunduk kepada umat manusia guna mengolah bumi dan membangun peradaban.

Lalu, apa ciri-ciri berpikir? Ciri-cirinya ialah: mengajukan pertanyaan; mendefinisikan masalah; pemeriksaan bukti; asumsi analisis dan bias; menghindari penalaran emosional; mempertimbangkan interpretasi lain; menghindari penyederhanaan berlebihan; dan mentolerir kedwimaknaan.
Salah satu konsepsi dari Critical Thinking ialah Ijtihad. Ijtihad bermakna melakukan upaya, baik fisik maupun mental, pada masalah tertentu, bagi kemampuan penalaran independen, dimana setelah mencermati argumen secara menyeluruh dan membandingkannya dengan argumen paralel sebelumnya, sampailah pada sebuah solusi.
Mirip dengan Ijtihad, ialah konsepsi Qiyas, yang menunjukkan penalaran analogis dan hal ini terutama digunakan dalam masalah hukum Islam. Orang awam dapat melakukan qiyas sendiri namun pada hal-hal yang lebih kecil seperti menentukan ke arah mana seseorang menghadap ketika hendak shalat, jika mereka tak punya panduan resmi guna membantu mereka. Qiyas, dan pula, Ijtihad, memungkinkan para ahli hukum membuat hukum baru berdasarkan perubahan waktu dunia sebagai perubahan budaya kehidupan sehari-hari, meskipun hukum baru ini didasarkan pada pernyataan analogi yang telah diselesaikan sebelumnya."

“Jadi kesimpulannya,” kata Swara sebelum menutup perbincangan, “bahwa di dalam Al-Qur’an, banyak sekali ayat-ayat yang menganjurkan manusia agar berpikir. Banyak pemikiran Barat yang semata berdasarkan hukum adat, namun Islam mengatur agar berpikir berdasarkan hukum adat, hukum akal, dan hukum syariah.
Dan yang terpenting bahwa, Islam mendorong pemeluknya agar berpikir, akan tetapi, membatasi mereka, dan tentu saja, bagi kita semua, dari berpikir tentang hakikat Allah. Allah selalu memerintahkan manusia agar berpikir tentang ciptaan-Nya, yaitu manusia dan alam semesta, guna mengenal-Nya. Wallahu a'lam.”

Waktunya pergi, perlahan, gaung Swara mulai sirna, dan ia pun bersenandung,

َيَا نَبِى سَلَامْ عَلَيْك
[Ya nabi salam 'alayka]
Duhai Nabi, keselamatan tercurah untukmu
َيَارَسُولْ سَلَامْ عَلَيْك
[Ya rasul salam 'alayka]
Duhai Rasul, keselamatan tercurah untukmu
َيَا حَبِيبْ سَلَامْ عَلَيْك
[Ya habib salam 'alayka]
Duhai yang terkasih, keselamatan tercurah untukmu
َصَلَوَاتُ اللهْ عَلَيْك
[Salawatullah 'alayka] *)
Selawat Allah tercurah untukmu
Kutipan & Rujukan:
- H.R.H. Prince Ghazi bin Muhammad, A Thinking Person's Guide to Islam, Turath Publishing
- Muhammad Mumtaz Ali, Critical Thinking : An Islamic Perspective, Amazon
- Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, translated and edited by Paul Guyer  & Allen W. Wood, Cambridge University Press
- B. Jowett, M.A., The Republic of Plato - Translated into English with Introduction, Analysis, Marginal Analysis and Index, Clarendon Press
*) "Ya Nabi Salam Alayka" karya Salah Galal, Maher Zain & Hamza Namira