Senin, 16 Januari 2023

Para Pemikir : Kenalan dengan Ilmu

"Graha ngomong begini, 'Para filsuf telah mempelajari ilmu selama ribuan tahun. Teorisasi Plato yang berusia 2.000 tahun dan penelitian psikologi perkembangan kontemporer sepakat: Ada hubungan yang erat antara ilmu dan keyakinan yang benar. Terdapat banyak bukti dari perkembangan psikologi kontemporer bahwa kemampuan mengenali, menjadi contoh keyakinan dan ilmu pada orang lain, merupakan kemampuan mendasar bagi anak-anak. Kenyataannya, kemampuan ini, sangat penting bagi apa yang disebut psikolog sebagai teori pikiran anak—kemampuan mereka menggunakan penalaran tentang kondisi mental orang lain guna menjelaskan dan memprediksi perilaku mereka. Anak-anak mengembangkan kemampuan mengenali hubungan antara sumber informasi seseorang dan pengetahuan orang itu,'" lanjut Swara ketika ia datang usai mengucapkan Basmalah dan Salam.
"Graha menambahkan, 'Setidaknya ada tiga jenis ilmu yang berbeda,
Know-how [Tahu-bagaimana], merupakan ilmu yang dimiliki orang-orang yang punya keahlian; mereka tahu bagaimana mengemudikan kapal atau menyembuhkan penyakit.
Knowledge-wh—Know-who, -what, -where, atau -why [Ilmu-wh]—merupakan ilmu yang memungkinkanmu menjawab pertanyaan siapa, apa, kapan, di mana, atau mengapa.
Knowledge-that [Ilmu-bahwa], atau Propositional-knowledge, merupakan ilmu tentang bagaimana fakta tertentu itu, benar.
Sebagian besar perbincangan filosofis tentang ilmu, secara tradisional berfokus pada Propositional-knowledge, atau faktual—Knowledge-that.

Menuntut ilmu tak pernah semudah sekarang ini. Pertanyaan sulit dapat dijawab cukup dengan menekan beberapa tombol. Kekuatan memori, persepsi, dan penalaran individu kita, dapat di 'double-check' oleh rekan dan pakar yang berada nun jauh di sana, hanya dengan sedikit usaha. Generasi sebelumnya, mengagumi sejumlah buku yang dapat kita jangkau.
Namun, keunggulan baru ini, tak selalu melindungi kita dari masalah lampau: jika ilmu mudah diperoleh, begitupun cuman opini, dan sulit membedakannya. Situs web yang terlihat dapat dipercaya dapat menjadi bias, pemegang otoritas ternama di dunia, bisa saja mengikuti bukti menyesatkan di jalur yang keliru, dan ilusi dapat mendistorsi apa yang tampaknya kita sendiri lihat atau ingat. Apa yang awalnya tampak seperti ilmu, bisa berubah menjadi sesuatu yang kurang dari sebenarnya. Merefleksikan sulitnya penelitian, kita dapat menemukan diri kita ingin tahu tentang apa sesungguhnya yang terjadi. Apa itu Ilmu? Apa perbedaan antara semata berpikir bahwa sesuatu itu benar dan sungguh-sungguh mengetahuinya? Bagaimana kita bisa tahu semuanya?
Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pertanyaan baheula, dan cabang filsafat yang berdedikasi untuk menjawabnya—epistemologi—telah aktif selama ribuan tahun. Selama berabad-abad, para filsuf yang menliti Ilmu, telah menemukan beberapa teka-teki dan paradoks yang aneh. Para Filsuf telah pula mengembangkan beberapa solusi inovatif bagi masalah ini.

Ilmu seringkali dilukiskan sebagai sumber-daya impersonal yang mengalir bebas: Ilmu dikatakan tersimpan dalam database dan perpustakaan, dan dipertukarkan melalui ‘the knowledge economy,' sebagaimana acapkali disebut perdagangan berbasis informasi. Seperti banyak sumber daya, Ilmu dapat diperoleh, digunakan untuk berbagai tujuan, dan hilang—terkadang dengan biaya yang besar. Akan tetapi, Ilmu punya hubungan yang lebih kental dengan kita ketimbang sumber daya semisal air atau emas. Emas, boleh jadi, bakalan terus ada, kendatipun jika makhluk hidup musnah dalam bencana; di sisi lain, kelangsungan keberadaan Ilmu, bergantung pada keberadaan orang yang mengetahuinya.
Sangat menggoda mengidentifikasi Ilmu dengan fakta, tetapi tak setiap fakta merupakan item Ilmu. Coba rajahkan di dalam benak kita, bahwa kita mengocok kotak karton tersegel yang berisi satu koin. Saat engkau meletakkan kotak tersebut, koin di dalam kotak, telah tergeletak di dalamnya, baik kepala maupun ekor: katakanlah itu Fakta. Namun selama tak ada yang melihat ke dalam kotak, Fakta ini, tetap tak diketahui; hal itu belumlah masuk dalam ranah Ilmu. Fakta, juga tak menjadi Ilmu semata dengan dituliskan. Jika engkau menulis kalimat 'Koinnya memperlihatkan kepala' di selembar kertas dan 'Koinnya memperlihatkan ekor' di kertas lain, maka engkau menuliskan fakta di salah satu kertas, namun engkau tetap takkan memperoleh manfaat Ilmu tentang hasil lemparan koin. Ilmu menuntut semacam akses ke fakta dari beberapa subjek hidup. Ketiadaan Akal-budi atau Pikiran guna mengaksesnya, apapun yang tersimpan dalam perpustakaan dan database, takkan jadi Ilmu, melainkan sekedar tanda-tinta dan jejak-elektronik. Dalam hal Ilmu apapun, akses ini, boleh dibilang atau mungkin, tak unik bagi seorang individu: fakta yang sama mungkin diketahui oleh seseorang dan tidak oleh orang lain. Pengetahuan umum mungkin dipunyai oleh banyak orang, tetapi tiada Ilmu yang tak terikat pada subjek manapun. Tak seperti air atau emas, Ilmu selalu menjadi milik seseorang.
Lebih tepatnya, kita seyogyanya mengatakan bahwa Ilmu selalu menjadi milik individu atau kelompok tertentu: pengetahuan sebuah kelompok dapat melampaui pengetahuan anggota individunya. Adakalanya, sebuah kelompok dianggap mengetahui fakta sekadar karena fakta ini diketahui oleh setiap anggota kelompok ('Orkestra tahu bahwa konser dimulai pukul 8 malam'). Akan tetapi, kita dapat pula mengatakan bahwa Orkestra tahu cara memainkan seluruh Symphony No. 9-nya Beethoven, walaupun masing-masing anggota, hanya mengetahui bagiannya sendiri. Atau kita dapat mengatakan bahwa sebuah negara bajingan, tahu cara meluncurkan rudal nuklir sekiranya jika tiada satupun individu dari negara tersebut, yang tahu bahkanpun setengah dari apa yang dibutuhkan guna mengelola peluncurannya. Kelompok dapat menggabungkan pengetahuan anggotanya dengan cara yang sangat produktif (atau destruktif).

Adakah Ilmu di luar ilmu individu dan kelompok manusia? Apa yang semestinya kita ucapkan tentang apa yang diketahui oleh hewan bukan manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini mengancam agar menarik kita ke dalam perdebatan biologis dan teologis yang sulit. Karenanya, sebagian besar ahli epistemologi memulai dengan masalah Ilmu yang lebih sederhana dari seorang manusia. Ilmu, dalam makna yang penting di sini, merupakan penghubung antara seseorang dan fakta.
Ada yang menarik di sini, apa perbedaan 'mengetahui' dengan kata kerja kontras 'mengira'? Penggunaan sehari-hari memberikan beberapa petunjuk. Perhatikan dua kalimat berikut,
Jill tahu bahwa pintunya terkunci.
Bill mengira pintunya terkunci.
Kita seketika mencatat perbedaan antara Jill dan Bill—tapi, apanya? Salah satu faktor yang terlintas dalam pikiran berkaitan dengan kebenaran pernyataan yang disematkan tentang pintu. Jika Bill mengira pintunya terkunci, mungkin karena pintu Bill sebenarnya tak terkunci. Mungkin ia tak memutar kunci cukup dalam pagi ini saat ia hendak meninggalkan rumah. Sedangkan pintunya Jill, semestinya terkunci agar kalimat tentangnya jadi benar: engkau tak bisa mengatakan, 'Jill tahu bahwa pintunya terkunci, namun pintunya tak terkunci.' Ilmu menghubungkan subjek dengan kebenaran. Fitur 'tahu bahwa' disebut factivity: kita hanya dapat mengetahui fakta, atau proposisi yang benar. 'Tahu bahwa' bukan satu-satunya konstruksi faktis: yang lain termasuk 'menyadari itu', 'melihat itu', 'mengingat itu', 'membuktikan itu'. Engkau dapat menyadari bahwa tiket lotre-mu, hanya beroleh hadiah jika benar-benar menang. Salah satu fitur khusus dari 'tahu' adalah bahwa ia merupakan kata kerja yang paling umum, ditujukan bagi keadaan yang lebih dalam, bahwa mengingat, menyadari, dan yang lainnya, punya kesamaan. Melihat lumbung terbakar atau membuktikan bahwa tiada bilangan prima terbesar, hanyalah dua dari banyak cara mencapai Ilmu.

Tautan khusus menuju Kebenaran itu, bagian dari esensi Ilmu. Sebaliknya, semata percaya dapat dengan mudah menghubungkan subjek dengan proposisi yang keliru. Lebih lanjut, Ilmu masih punya persyaratan, melampaui kebenaran dan keyakinan. Seseorang yang sangat percaya tetapi dengan alasan yang keliru, bakalan tak berhasil memiliki Ilmu. Seorang ayah yang putrinya dituduh melakukan kejahatan, boleh jadi merasa sangat yakin bahwa putrinya tak bersalah. Namun bila keyakinannya didasarkan pada emosi daripada bukti (misalkan ia dengan sengaja menghindari melihat fakta apa pun tentang perkara tersebut), bahkan jika ia benar bahwa putrinya tak bersalah, mungkin ia tak benar-benar mengetahuinya. Lalu andai keyakinan sejati yang dipegang-teguh itu, tak mamadai sebagai Ilmu, apa lagi yang perlu ditambahkan? Pertanyaan ini ternyata sangat sulit—memang, membahasnya secara ringkas.
Lantaran Kebenaran itu, fitur yang sangat penting dalam esensi Ilmu, sesuatu yang lebih jauh perlu diungkap. Mari kita asumsikan bahwa Kebenaran itu objektif, atau didasarkan pada kenyataan dan sama bagi kita semua. Sebagian besar filsuf sepakat tentang objektivitas kebenaran, tetapi ada pembantah yang berpikir sebaliknya. Filsuf Yunani Kuno, Protagoras (abad ke-5 SM) berpendapat bahwa Ilmu selalu benar, namun pula, bahwa hal yang berbeda bisa jadi benar bagi orang yang berbeda. Berdiri di luar ruangan pada hari musim panas yang berangin dan merasa sedikit mual, aku dapat mengetahui bahwa angin itu dingin, sedangkan engkau tahu bahwa, angin itu hangat. Protagoras tak semata bermakna aku tahu bahwa angin terasa dingin bagiku, sedangkan engkau tahu bahwa angin itu, terasa hangat bagimu—anggapan bahwa orang yang berbeda, punya perasaan yang berbeda, merupakan sesuatu yang dapat dianut oleh para pendukung pandangan arus utama, yang menurutnya kebenaran itu sama bagi semua orang. (Hal ini dapat menjadi fakta objektif yang jelas, bahwa angin hangat terasa dingin bagi orang yang sedang sakit.) Protagoras mengatakan sesuatu yang lebih radikal: benar bagiku bahwa angin benar-benar dingin dan benar bagimu bahwa angin itu hangat. Nyatanya, Protagoras selalu memahami kebenaran sebagai relatif terhadap suatu subjek: beberapa hal benar bagimu; hal-hal lain benar-bagi-sahabat-terbaikmu atau benar-bagi-musuh-terburukmu, namun tak ada yang semata benar.
Teori Ilmu relativis Protagoras menarik, namun sulit diterima, dan bahkan boleh dibilang, menyangkal dirinya sendiri. Jika segala sesuatu benar-benar bagi setiap orang seperti yang dilihatnya, maka tak ada yang pernah membuat kekeliruan. Memang benar bagi pelancong gurun yang berhalusinasi bahwa sungguh ada oasis di depan sana; memang benar bagi orang yang membuat kesalahan aritmetika bahwa tujuh dan lima dijumlahkan menjadi sebelas. Bagaimana jika nanti engkau merasa telah melakukan kekeliruan? Jika segala sesuatu selalu seperti yang terlihat, maka benar bagimu bahwa engkau telah berbuat keliru, meskipun penampilan tak pernah bisa menyesatkan, jadi semestinya engkau tak mungkin melakukan kesalahan sejak awal. Ini canggung. Salah satu taktik Yunani Kuno menangani masalah ini, melibatkan pemisahan engkau-di-saat-ini dari engkau-beberapa-saat-yang-lalu. Hal-hal yang sebenarnya cuma benar bagimu-di-saat-ini, dan hal-hal yang berbeda mungkin benar-bagimu-nanti.

Coba pikirkan sebuah fakta yang paling remeh dan mudah dicermati, yang engkau ketahui. Misalnya, engkau tahu bahwa engkau sedang memakai sepatu. Ya kan? Para Skeptis, ingin engkau menimbang-nimbang lagi. Benarkah itu atau boleh jadi engkau sedang bermimpi? Jika itu mimpi, engkau bisa saja berbaring tanpa alas kaki di tempat tidur. Atau engkau mungkin tertidur di KRL, berpakaian lengkap.
Yunani Kuno itu, sebetulnya tempat kelahiran dua tradisi skeptis yang berbeda, Academic dan Pyrrhonian. Skeptisisme Academic mengacu pada periode skeptis Platonisme kuno, berasal dari sekitar tahun 266 SM, tatkala Arcesilaus menjadi cendekiawan sekolah Akademi Platonis, hingga sekitar tahun 90 SM, saat Antiokhus dari Ascalon menolak skeptisisme, meskipun filsuf individu, seperti Favorinus dan gurunya Plutarch, lanjut membela skeptisisme setelah masa ini. Berbeda dengan aliran skeptisisme yang ada, para Pyrrhonis, berpendapat bahwa pengetahuan tentang sesuatu itu, tak mungkin. Gagasan atau pendapat, tak pernah benar; namun demikian, ada derajat yang masuk akal, dan karenanya, derajat keyakinanlah, yang memungkinkan seseorang bertindak. Ajaran ini dicirikan oleh perdebatannya terhadap kaum Stoa, terutama dogma bahwa kesan meyakinkan mengarah pada Ilmu sejati. Para Skeptisme Academic terpenting antara lain Arcesilaus, Carneades, dan Philo dari Larissa. Sumber informasi kuno yang paling luas tentang skeptisisme Akademik ialah Academica, yang ditulis oleh filsuf skeptis Academic Cicero.
Gerakan Skeptisisme Pyrrhonian dinamai demikian, guna menghormati Pyrrho dari Elis (c.360–270 SM), yang kita kenal bukan melalui teks tertulisnya sendiri—ia tak meninggalkan karya abadi— melainkan lewat laporan filsuf dan sejarawan lain. Sebagai seorang pemuda, Pyrrho bergabung dengan ekspedisi Alexander the Great ke India, dimana ia disebutkan menikmati paparan filosofi India. Setelah pulang, Pyrrho mulai menarik pengikut, akhirnya menjadi sangat populer, sehingga kampung halamannya, menghormatinya dengan sebuah patung dan maklumat bahwa semua filsuf dapat tinggal di sana, bebas pajak. Pengaruh Pyrrho mencapai kita terutama melalui tulisan pengagumnya Sextus Empiricus (c.160–210 M), yang menarik ide-ide skeptis dari berbagai sumber kuno, membentuk cabang skeptisisme yang sekarang dikenal sebagai Pyrrhonisme.
Pertanyaan lama tentang skeptisisme menerima beberapa jawaban baru yang mengejutkan di abad ke-20. Pendekatan sederhana yang aneh, diajukan oleh filsuf Inggris G. E. Moore dalam kuliah umum pada tahun 1939. Sebagai jawaban atas pertanyaan tentang bagaimana kita dapat membuktikan realitas dunia luar, Moore hanya mengangkat tangannya (berkata, 'Ini satu tangan , dan ini yang lain'), menjelaskan bahwa semua itu, objek eksternal, dan menarik kesimpulan logis bahwa objek eksternal benar-benar ada. Moore menganggap ini sebagai bukti yang sepenuhnya memuaskan: dari premis bahwa ia memiliki tangan, dan premis selanjutnya bahwa tangannya adalah objek eksternal (atau, seperti yang diuraikannya, 'hal-hal yang harus ditemui di ruang angkasa'), itu jelas mengikuti. bahwa hal-hal eksternal ada. Orang yang skeptis, tentu saja, mengeluhkan bahwa Moore tak sunnguh tahu bahwa ia memiliki tangan—tetapi di sini, Moore mengusulkan agar mengalihkan beban pembuktian ke orang yang skeptis. 'Betapa absurdnya menyatakan bahwa aku tak benar-benar mengetahuinya, namun semata mempercayainya, dan mungkin bukan itu masalahnya!' Moore bersikeras bahwa ia tahu bahwa ia punya tangan, bahkanpun ia berusaha membuktikannya. ia benar tentang hal ini. Setelah mengabaikan kekhawatiran skeptis sebagai sesuatu yang tak masuk akal, Moore bertujuan menjelaskan mengapa dia tak memberikan bukti bahwa ia punya tangan, dan mengapa kita masih harus menerimanya sebagai orang yang tahu tentang hal ini.
Kendati filsuf yang menerima saran Moore bahwa ada yang keliru dengan penalaran para skeptis, mungkin merasa tak puas dengan desakan Moore yang polos dan keras kepala pada pengetahuan akal sehatnya. Ada yang telah mencoba mengidentifikasi dengan lebih tepat, kekeliruan apa yang dibuat oleh para skeptis, sambil juga membangun pertahanan positif dari klaim akal sehat kita atas Ilmu. Salah satu strategi utama dikemukakan oleh Bertrand Russell, kolega Moore di Cambridge. Russell segera memberikan satu poin kepada para skeptis: secara logis mungkin bahwa semua kesan kita (atau 'data akal', menggunakan terminologi Russell) berasal dari sesuatu yang sangat berbeda dari dunia nyata, yang biasanya kita huni. Namun dalam pendekatan Russell terhadap skeptisisme, yang sekarang dikenal sebagai pendekatan the ‘Inference to the Best Explanation,’ kita dapat mengabulkan poin tentang kemungkinan logis dan tetap bertahan melawan para skeptis. Russell berpendapat bahwa ada celah besar antara mengakui sesuatu secara logis, mungkin, dan menyimpulkan bahwa kita tak dapat mengesampingkannya secara rasional: kita memiliki prinsip rasional selain aturan logika, yang dipahami secara sempit. Secara khusus, Russell menggunakan prinsip kesederhanaan: other things being equal, penjelasan yang lebih sederhana secara rasional lebih disukai daripada penjelasan yang lebih kompleks. Secara logis mungkin bahwa semua data indra yang biasanya engkau berikan kepada kucing peliharaanmu (suara mengeong, penglihatan dan merasakan bulu-bulunya, dan sebagainya) tak berasal dari sumber yang engkau harapkan. Mungkin kesan-kesan ini muncul dari rangkaian makhluk yang berbeda, atau dari serangkaian mimpi konsisten yang tak dapat dijelaskan, atau sumber aneh lainnya. Tetapi hipotesis paling sederhana, menurut Russell, ialah salah satu yang paling engkau yakini secara alami: ada satu hewan nyata yang interaksi berkala denganmu, menyebabkan kesan seperti kucing yang relevan dalam aliran pengalaman pribadimu. Sama seperti bahwa masuk-akal bagi para ilmuwan, menjelaskan pola dalam data mereka, dengan mengacu pada hukum sederhana, masuk-akal menjelaskan pola dalam pengalaman kita sehari-hari dengan merujuk pada dunia sederhana dari objek abadi (hipotesis 'dunia nyata').

Dalam beberapa tahun terakhir, ada filsuf yang menggunakan alat dari filsafat bahasa dalam upaya menyerang skeptisisme secara lebih agresif. Pemikiran yang memotivasi di balik pendekatan baru ini ('pendekatan semantik') adalah bahwa kita dapat menemukan amunisi melawan skeptis dengan melihat secara dekat cara kata-kata bermakna atau kaitannya dengan kenyataan. Secara khusus, argumen-argumen baru melawan skeptisisme ini, mengacu pada gerakan dalam filsafat bahasa yang dikenal sebagai Semantic Externalism, sebuah gerakan yang ditelusuri kembali ke karya Ruth Barcan Marcus, Saul Kripke, dan Hilary Putnam pada 1960-an dan 1970-an.
Gagasan utama Eksternalisme Semantik, bahwa kata-kata memperoleh maknanya bukan dari gambar atau deskripsi yang diasosiasikan oleh masing-masing pembicara dengan kata-kata itu di benak mereka (yang akan menjadi 'Internalisme Semantik'), melainkan dari rantai kausal yang menghubungkan kita dengan hal-hal di dunia sekitar kita.
Misalnya, pada zaman Shakespeare, air dianggap sebagai suatu unsur; ilmuwan modern sekarang mencirikannya sebagai senyawa H2O. Tetapi bahkan jika pertanyaan 'Apa itu air?' akan dijawab dengan sangat berbeda oleh Shakespeare, ilmuwan modern, dan rata-rata orang di jalan, kita semua berinteraksi dengan substansi yang sama. Para Semantic Externalist berpendapat bahwa kita semua dapat merujuk pada substansi yang sama tatkala kita mengatakan secara tepat 'air' sebab penggunaan kata yang bermakna tersebut, berlabuh pada kontak kausal bersama kita dengan substansi tertentu. Lantaran Shakespeare dan ilmuwan modern telah melihat dan merasakan cairan yang sama, apapun yang mereka pikirkan tentang sifatnya, sekarang kita dapat mengatakan bahwa maknanya sama ketika mereka menggunakan kata 'air'. Terkadang, rantai sebab-akibat yang relevan harus dijalankan melalui pembicara lain: tiada orang yang hidup sekarang ini, yang pernah bertemu dengan mendiang kaisar Prancis Napoleon, tetapi kita masih dapat membicarakannya, selama kita menggunakan kata 'Napoleon' melalui sumber dengan jenis hubungan sebab akibat yang tepat pada diri orang tersebut. Eksternalisme Semantik sangat berguna dalam menjelaskan bagaimana pembicara dengan ide yang berbeda (dan bertentangan) tentang sesuatu masih dapat berbicara tentang hal yang sama: ketika Jill mengatakan bahwa Napoleon sangat pendek, dan Bill mengatakan bahwa Napoleon sebenarnya tinggi di atas rata-rata (bahwa desas-desus tentang perawakannya yang kecil dimulai oleh musuh Inggrisnya), mereka dapat memperbincangkan orang yang sama, meskipun ada perbedaan dalam gambaran mental mereka.
Penerapan Semantic Externalism yang paling ternama terhadap skeptisisme ditemukan dalam buku karya Hilary Putnam, tahun 1981, Reason, Truth and History.

Dalam banyak bidang—sastra, musik, arsitektur—label 'Modern' dimulai sejak awal abad ke-20. Filsafat aneh dalam memulai periode Modernnya hampir 400 tahun sebelumnya. Keghariban ini, sebagian besar dijelaskan oleh pergeseran radikal abad ke-16 dalam pemahaman kita tentang alam-raya, sebuah pergeseran yang mengubah pula wawasan kita tentang Ilmu itu sendiri. Di sisi Modern kita dari garis ini, para pemikir seputar Galileo Galilei (1564–1642) yamg turut andil dalam proyek-proyek penelitian, dapat dikenali mirip dengan pekerjaan kita. Jika kita melihat kembali ke era Pra-Modern, kita melihat sesuatu yang asing: era ini, menampilkan cara berpikir yang sangat berbeda tentang cara kerja jagat-raya, dan bagaima ia dapat dikenali.
Untuk mencicipi rasa-gharib dari pemikiran pra-Modern, cobalah petikan berikut dari pemikir Renaisans, Paracelsus (1493–1541), 'Seluruh dunia mengelilingi manusia bagaikan lingkaran yang mengelilingi satu titik. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu terkait dengan satu titik ini, tak berbeda dengan biji apel yang dikelilingi dan diawetkan oleh buahnya… Segala sesuatu yang telah dipahami secara mendalam oleh teori astronomi dengan mempelajari aspek planet dan bintang… dapat pula diterapkan pada cakrawala tubuh.'
Pemikir dalam tradisi ini, menganggap alam semesta, berputar mengitari manusia, dan berusaha mendapatkan pengetahuan tentang alam, dengan menemukan kesejajaran antara kita dan langit, melihat realitas sebagai karya seni simbolik, yang disusun dengan pikiran kita.

Pada abad ke-16, gagasan bahwa segala sesuatu mengitari manusia dan mencerminkan kemanusiaan, mengalami krisis, terancam oleh sejumlah penemuan yang, di masa itu, meresahkan, tak terkecuali proposal yang diajukan oleh Nicolaus Copernicus (1473–1543), bahwa bumi sebenarnya bukan pusat mayapada ini. Tradisi lama berjuang melawan kebangkitan yang baru. Dihadapkan dengan berita bahwa teleskop Galileo telah mendeteksi bulan yang mengorbit Jupiter, cendekiawan yang berpikiran tradisional Francesco Sizzi, berpendapat bahwa pengamatan semacam itu, jelas keliru. Menurut Sizzi, tak mungkin ada lebih dari tujuh 'kitaran planet' (atau benda langit selain bintang), mengingat ada tujuh lubang di kepala hewan (dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, dan satu mulut), tujuh logam, dan tujuh hari dalam seminggu.
Sizzi tak memenangkan pertarungan ini. Bukan semata oleh kita akur dengan Galileo bahwa ada lebih dari tujuh perihal yang bergerak di tata surya. Lebih mendasar lagi, kita punya cara berpikir yang berbeda tentang sang Buana dan Ilmu. Kita tak lagi berharap ada signifikansi khusus manusia terhadap fakta alam ('Mengapa tujuh planet dibandingkan dengan delapan atau 15?') dan kita berpikir bahwa Ilmu bakal diperoleh dengan pengamatan alam yang sistematis dan berpikiran terbuka ketimbang semacam analogi. serta pola yang menarik bagi Sizzi. Namun, transisi ke era Modern bukanlah hal yang mudah. Cara berpikir berorientasi pola, yang menjadi ciri khas pemikiran pra-Modern, secara alami menarik bagi makhluk yang dahaga akan makna, seperti kita. Cara berpikir ini, ditemukan dalam berbagai macam budaya: dalam pemikiran Tiongkok klasik, misalnya, lima elemen tradisional (kayu, air, api, tanah, dan logam) dipasangkan dengan panca indera dalam korespondensi serupa antara bagian dalam dan bagian luar. Lebih lanjut, sebagai daya-tarik, pandangan pra-Modern, seringkali lebih sesuai dengan pengalaman indra kita sehari-hari: secara naif, bumi terlihat stabil dan tetap, sedangkan matahari, bergerak melintasi langit, dan dibutuhkan disiplin yang mendalam, agar meyakinkan diri sendiri bahwa model matematis yang lebih sederhana (seperti model tata surya yang berpusat pada matahari) itu, benar.

Inilah sesuatu yang mungkin ingin engkau ketahui: Gunung Everest itu, gunung tertinggi di dunia. Namun bila fakta tentang Everest itu, tak datang sebagai berita untukmu, inilah sesuatu yang mungkin tak engkau ketahui: bagaimana tepatnya engkau mempelajari fakta itu (atau fakta trivia acak semacam itu). Menurut psikolog yang mempelajari memori, kecuali engkau memiliki pengalaman hidup yang penting ketika engkau pertama kali mendengar fakta tentang Everest (seperti gempa bumi yang terjadi pada saat itu, disebutkan dalam pelajaran geografi sekolah dasar pertamamu), engkau takkan mengingat sumber darimana engkau mempelajarinya. Faktanya, jika seseorang menantang pernyataanmu untuk mengetahui bahwa Gunung Everest itu, gunung tertinggi di dunia, engkau mungkin tak dapat berkata banyak guna mempertahankannya. engkau dapat mengatakan bahwa itu terasa seperti fakta yang engkau kenali. Para penentangnya dapat menolak bahwa perasaan keakraban itu dapat menipu. Bagi banyak orang di seluruh dunia, pernyataan bahwa Sydney itu ibu kota Australia, terasa seperti fakta yang sudah diketahui banyak orang. Acapkali, merasa yakin bahwa engkau benar, menyertai yang sebenarnya salah.
Misalkan, seseorang tak menyadari apapun yang benar-benar membenarkan penegasannya bahwa Gunung Everest itu, gunung tertinggi di dunia. Mungkinkah ia masih dianggap mengetahui fakta itu? Di sini para filsuf terpecah menjadi dua kubu. Kubu internalis mengatakan: Jika engkau benar-benar tak dapat memikirkan bukti pendukung, engkau berada dalam masalah. Keyakinanmu tentang Everest, tak dapat dihitung sebagai Ilmu jika yang mendukungnya, tak ada yang dapat diakses olehmu. Hal ini bukan seperti keyakinanmu bahwa engkau sekarang sedang membaca, yang engkau sendiri dapat benarkan dengan merujuk pada pengalaman yang sekarang engkau sadari; itu juga tak seperti keyakinanmu bahwa tak ada bilangan prima terbesar, yang dapat engkau benarkan melalui langkah-langkah pembuktian Euclid bagi dirimu sendiri. Ilmu didasarkan pada pengalamanmu sendiri dan oleh kemampuanmu sendiri dalam berpikir. Para internalis memberikan penekanan khusus pada apa yang dapat engkau lakukan dengan sumber daya yang tersedia dari sudut pandang orang pertama: jika engkau tak dapat melihat sendiri mengapa engkau hendaknya mempercayai sesuatu, engkau sebenarnya tak mengetahuinya. Kesadaran subjek akan alasan yang baik adalah bagian penting dari apa yang membedakan, mengetahui dari keadaan yang lebih rendah seperti menebak.
Sementara itu, menurut kubu eksternalis, Ilmu itu hubungan antara seseorang dan fakta, dan hubungan ini dapat terjadi bahkan ketika orang tersebut tak memenuhi tuntutan internalis bagi akses orang-pertama ke landasan pendukung. Jika benar-benar fakta bahwa Gunung Everest itu, gunung tertinggi di dunia, dan jika engkau benar-benar terkait dengan fakta itu dengan cara yang benar, maka engkau tahu bahwa Gunung Everest itu gunung yang tertinggi di dunia, kendatipun jika engkau tak dapat menjelaskan alasanmu memikirkan hal ini. Eksternalis dengan senang hati mengakui bahwa kadang-kadang engkau tak hanya mengetahui sesuatu, melainkan pula engkau punya wawasan orang-pertama yang khusus tentang bagaimana engkau mengetahuinya. Tapi dari perspektif eksternalis, wawasan tentang bagaimana engkau tahu itu, adalah bonus opsional, dan bukan sesuatu yang secara umum harus menyertai setiap contoh ilmu. Eksternalis berpendapat bahwa selalu menuntut wawasan tentang bagaimana kita mengetahui. berisiko yang memicu kemunduran. Pada cara berpikir internalis, mereka mencatat, engkau seharusnya tak hanya memiliki ide acak tentang bagaimana engkau mengetahui sesuatu, tetapi hendaknya benar-benar tahu bagaimana engkau mengetahuinya (wawasan semacam apakah yang tanpa didasari pengetahuan?). Namun bila ilmu selalu menuntut mengetahui bagaimana engkau tahu, maka ilmu tingkat kedua ini, membutuhkan jaminan internalisnya sendiri (mengetahui bagaimana engkau tahu bahwa engkau tahu), dan seterusnya. Seketika engkau membutuhkan tingkat wawasan yang tak terbatas agar mengetahui fakta paling sederhana. Jalan internalis mengancam untuk membawa kita pada skeptisisme, kata eksternalis.

Dalam dunia ilmu, banyak harta kita yang berharga, datang kepada kita sebagai barang bekas. Kita mengandalkan orang lain guna memahami segala sesuatu, mulai dari geografi tempat yang jauh hingga fakta duniawi tentang kehidupan teman-teman kita. Jika kita tak dapat menggunakan orang lain sebagai sumber, kita akan kehilangan pegangan pada topik yang beragam seperti sejarah kuno (kecuali apa yang dapat kita temukan melalui ekspedisi arkeologi pribadi kita sendiri) dan pernikahan selebritas (kecuali jika kita diundang). Kesaksian ternyata memperluas wawasan kita: tantangannya adalah menjelaskan dengan tepat bagaimana (dan seberapa jauh). Apakah mendengarkan orang lain—atau membaca apa yang telah mereka tulis—memberi kita ilmu dengan cara yang unik atau khas? Perlukah kita alasan khusus agar mempercayai orang untuk memperoleh ilmu dari mereka? Apa yang seyogyanya kita pikirkan tentang sumber daya seperti Wikipedia, dimana sebagian besar artikel punya banyak penulis anonim?
Di satu titik ekstrim, beberapa filsuf berpendapat bahwa kesaksian tak pernah benar-benar memberikan ilmu (John Locke akan menjadi contoh utama dari posisi ini). Di ujung lain spektrum, beberapa filsuf berpendapat bahwa kesaksian tak hanya memberikan ilmu, tetapi melakukannya dengan cara yang berbeda. Dalam pandangan ini, kesaksian itu, saluran khusus untuk menerima pengetahuan, saluran dengan status dasar yang sama dengan persepsi dan penalaran indrawi (jenis posisi ini dianut dalam filsafat India klasik, dan sekarang juga populer dalam teori Anglo-Amerika).
Kapankah kesaksian memberikan ilmu? Beberapa filsuf mengatakan: 'Tidak pernah.' Agar melihat mengapa para filsuf mungkin skeptis tentang kesaksian, bahkan jika mereka tak skeptis tentang jenis pengetahuan lainnya, pertama-tama akan membantu memperjelas apa yang kita maksud dengan 'kesaksian'. Dalam tindakan kesaksian, seseorang memberi tahumu sesuatu—melalui ucapan, gerak tubuh, atau tulisan—dan isi dari apa yang mereka ceritakan kepadamu, memainkan peran khusus dalam apa yang engkau dapatkan dari pertukaran itu. Bahkan orang yang skeptis tentang pengetahuan testimonial dapat setuju bahwa pengetahuan perseptual biasa dapat dihasilkan dari peristiwa mendengar atau membaca apa yang dikatakan seseorang. Misalnya, bayangkan engkau melihat seseorang menulis 'Aku punya tulisan tangan yang rapi' di secarik kertas, atau mendengar seseorang berkata 'Suaraku serak.' Jika engkau memang dapat melihat bahwa tulisannya rapi atau mendengar bahwa suaranya serak, engkau mengetahui kebenaran dari apa yang dikatakan atau ditulis. Tetapi pengetahuanmu di sini bersifat perseptual, bukan kesaksian, karena isi dari apa yang ditulis atau dikatakan, tak memainkan peran khusus dalam apa yang engkau pelajari: kalimat 'Smith mendapat pekerjaan' akan bekerja dengan baik untuk menyampaikan keindahan tulisan tangan atau keserakan suara. Jika engkau mempercayai sesuatu berdasarkan kesaksianku, engkau memahami apa yang kukatakan, dan mempercayai kata-kataku.
Posisi utama yang cukup positif adalah reduksionisme: kita memang memperoleh ilmu melalui kesaksian, tetapi kekuatan kesaksian yang memberikan ilmu bukanlah sesuatu yang istimewa. Apakah kita sedang membaca, mendengarkan, atau mengamati gerak tubuh atau bahasa isyarat seseorang, kita menerima kesaksian melalui persepsi indra biasa.

Ada beberapa kata yang lincir. Setiap malam, kata 'besok' bergeser ke depan untuk memilih hari yang berbeda dalam seminggu. 'Di sini' menunjuk tempat yang berbeda tergantung di mana engkau berdiri. 'Aku' berarti seseorang yang berbeda tergantung pada siapa yang berbicara; dan 'ini' bisa apa saja. Kata-kata seperti 'besar' dan 'kecil' juga rumit: tikus gemuk yang tak sehat dalam makna tertentu besar, tetapi dalam makna lain masih kecil. Bagaimana dengan kata kerja 'tahu'? Mungkinkah ia juga bergeser dengan cara yang menarik?
Apa kesamaan kata lain yang ditampilkan dalam paragraf terakhir adalah kepekaan konteks. Sangat menggoda mengatakan bahwa kata-kata peka konteks terus mengubah artinya, namun itu tak sepenuhnya benar. Kita tak perlu membeli kamus baru setiap hari guna mengetahui arti kata 'besok'. Alih-alih mengubah maknanya, kata-kata peka konteks bekerja seperti resep yang mengambil masukan dari konteks percakapan untuk menetapkan apa yang mereka perjuangkan. Setelah konteks ditetapkan, harus jelas apa yang ditunjukkan oleh 'ini', atau hari mana dalam seminggu yang dipilih dengan 'kemarin'.
'Kontekstualisme' adalah nama standar untuk pandangan bahwa kata-kata seperti 'tahu' dan 'sadar' peka terhadap konteks. Kontekstualisme tumbuh dari teori ilmu yang diluncurkan pada awal 1970-an, teori pengetahuan 'Alternatif yang Relevan'. Pendukung teori itu mengatakan bahwa mengetahui selalu melibatkan menangkap semacam kontras.

Berapa banyak yang kita ketahui tentang ilmu sebelum kita mulai mempelajarinya secara sistematis? Kita sepertinya tak memulai dengan tangan kosong. Para filsuf punya alasan khusus untuk berharap kita memiliki sesuatu pada awalnya, beberapa bakat untuk menemukan kasus-kasus pengetahuan yang asli: naluri atau intuisi tentang kasus-kasus tertentu, yang seharusnya mendukung beberapa teori filosofis daripada yang lain. Jika engkau merasa bahwa orang yang melihat jam rusak tak mengetahui waktu, perasaan itu dijadikan alasan bagimu agar menolak analisis ilmu klasik.
Kata 'intuisi' mungkin terkesan sebagai kekuatan mistik dari wawasan, tetapi intuisi tentang ilmu adalah fitur dari kehidupan sehari-hari. Fokuskan sejenak pada perbedaan antara kedua pernyataan ini: (1) 'Lee berpikir bahwa ia diikuti.' (2) 'Lee tahu bahwa ia sedang diikuti.' Ada perbedaan yang signifikan di sini, tetapi pilihan untuk mengatakan satu hal dibanding yang lain, biasanya tak melibatkan perhitungan yang disengaja. Engkau dapat merasakan bahwa seseorang mengetahui sesuatu (atau tidak mengetahuinya) tanpa mengingat teori pengetahuan eksplisit apapun: perasaan semacam inilah intuisi. Ada sebutan bagi kapasitas alami yang membangkitkan perasaan naluriah tentang ilmu dan kondisi mental lainnya: membaca pikiran. Kata yang populer adalah seberapa baik mereka memahami lingkungannya, dan kita menjadi lebih mampu memprediksi bagaimana mereka akan bertindak dan berinteraksi dengan kita. Tanpa kemampuan membaca pikiran, kita akan terjebak melihat pola permukaan anggota tubuh dan fitur wajah yang bergerak; membaca pikiran memberi kita akses ke keadaan yang lebih dalam di dalam diri seseorang. Apakah kita mencoba berkoordinasi atau bersaing dengan orang lain, sangat membantu untuk mengetahui apa yang mereka inginkan dan ketahui, serta apakah mereka ramah, marah, atau tidak sabar. Kita tak selalu melakukannya dengan benar: kita bisa salah mengira apa yang diketahui atau diinginkan seseorang, atau disesatkan oleh penipu ulung, tetapi navigasi sosial kita sehari-hari, sangat efektif, sehingga mengejutkan ketika kita terkadang salah membaca situasi.

Kemampuan membaca pikiran manusia, lebih baik dibanding spesies lain mana pun di bumi. Tak mengherankan bahwa membaca pikiran memiliki area khusus tersendiri di otak orang dewasa: meskipun kita dapat melakukannya dengan mudah, membaca pikiran melibatkan beberapa perhitungan yang rumit. Dalam hal ini, punya kesamaan dengan pengenalan wajah, yang juga melibatkan perhitungan yang sangat cepat dan mudah, dan pula sangat terspesialisasi dalam satu area tertentu di otak orang dewasa. Apa hubungan antara apa yang diinginkan, diperhatikan, berpura-pura, dan direncanakan seseorang ketika ia terlihat? Menavigasi pola-pola inilah tugas yang tak gampang. Jika kita dapat memutuskan, dalam percakapan santai, akankah menggambarkan seseorang hanya berpikir atau benar-benar mengetahui sesuatu, kita dapat melakukannya tanpa perhitungan sadar sebagian karena kita memiliki sumber daya otak khusus yang dikhususkan untuk tugas melacak keadaan mental.
Ada keterbatasan alami pada peralatan membaca-pikiran kita. Satu batasan adalah batasan kapasitas sederhana tentang berapa banyak level bersarang dari kondisi mental yang dapat kita wakili. Inilah batasan yang lebih dalam yang khusus untuk membaca pikiran: kita berkecenderungan untuk mementingkan diri sendiri. Lebih tepatnya, kita menderita bias yang disebut 'egosentrisme', yang menyulitkan kita mengesampingkan perspektif kita sendiri ketika kita menilai orang lain yang kurang mengetahui situasi mereka daripada kita.
Tak sepenuhnya jelas mengapa kita menghadapi begitu banyak masalah untuk mengurangi pengetahuan khusus kita sendiri ketika berusaha mewakili atau mengevaluasi perspektif lain, tetapi kita tahu bahwa bias egosentris sangat kuat: beberapa bias dapat ditekan jika engkau memperingatkan orang tentang hal itu, atau jika engkau memberikan insentif uang tunai agar kinerja yang lebih baik, tetapi egosentrisme tetap melekat pada kita bahkan dalam kondisi seperti itu. Ahli epistemologi bertanya-tanya apakah keterbatasan kemampuan alami kita untuk melihat perspektif lain ini, dapat memainkan peran tertentu dalam pola intuisi yang memotivasi kontekstualisme. Begitu aku berpikir tentang alternatif yang rumit seperti keledai yang menyamar, aku akan kesulitan mengevaluasi perspektif naif seorang pengunjung kebun binatang: bahkan jika aku secara eksplisit menyadari bahwa ia tak memikirkan kemungkinan aneh itu, egosentrisme dapat mendorongku agar menilainya seolah demikian. Berfungsikah ini atau tidak sebagai strategi untuk menjelaskan intuisi di balik kontekstualisme, ahli epistemologi dapat memperoleh manfaat dari pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme alami di balik intuisi kita tentang ada dan tidak adanya ilmu. Jika beberapa intuisi dapat ditunjukkan muncul dari keterbatasan atau bias alami dalam kapasitas membaca pikiran kita, kita dapat menanganinya dengan sangat hati-hati saat kita membangun teori ilmu kita.'

Beberapa filsuf berpendapat bahwa situasi kita di sini, tak ada harapan. Engkau dapat memeriksa apakah jam-tanganmu berjalan cepat atau lambat dengan membandingkannya dengan jam atom Dewan Riset Nasional, tetapi tiada padanan yang jelas untuk memeriksa keakuratan intuisimu tentang ilmu. Jika engkau kesulitan menemukan teori ilmu yang menjelaskan semua perasaan naluriahmu tentang kasus-kasus tertentu, engkau mungkin curiga bahwa beberapa dari perasaan ini adalah ilusi. Tapi yang mana? Filsuf Robert Cummins berpendapat bahwa kita hanya bisa memilah-milah intuisi tentang pengetahuan mana yang benar jika kita memiliki akses independen bebas intuisi ke sifat ilmu itu sendiri. Tetapi jika kita memiliki akses langsung semacam itu, kita tak perlu bingung dengan intuisi tentang kasus-kasus tertentu guna memahami sifat ilmu: 'Jika engkau cukup tahu untuk mulai memperbaiki masalah dengan intuisi filosofis, engkau telah cukup tahu untuk bertahan tanpanya.' Cummins menyimpulkan bahwa para filsuf tak boleh mengandalkan intuisi tentang kasus-kasus dalam merumuskan teori-teori ilmu.
Itu tanggapan yang sangat pesimistis. Langkah paralel dalam domain perseptual adalah dengan mengatakan bahwa kita tak dapat mulai memperbaiki masalah dengan kesan visual kita tentang warna, dan mencari tahu mana yang ilusi, sampai kita memiliki cara mengakses warna yang independen dan bebas penglihatan. Meskipun kita mulai mengembangkan teknologi yang dapat memilah sinyal warna tanpa bergantung pada mata manusia—fotometer dapat mengukur warna pada diagram Hermann Grid dan takkan dibingungkan oleh titik sudut—kita tak benar-benar menunggu sampai memiliki peralatan itu, guna mulai memilah ilusi dari kesan yang akurat. Kita telah menggunakan berbagai teknik dari waktu ke waktu agar mengetahui tayangan mana yang benar, termasuk memeriksa ulang tayangan dalam konteks yang berbeda atau dari sudut yang berbeda. Pemahaman kita tentang penglihatan telah berkembang seiring dengan pemahaman kita tentang sifat cahaya dan warna.
Sementara itu, walau tanpa ekuivalen epistemologis fotometer guna mendeteksi keadaan ilmu, penelitian kita tentang intuisi tentang ilmu, dapat berkembang pula bersamaan dengan penelitian kita tentang ilmu itu sendiri. Saat kita bergerak menuju pemahaman yang lebih baik tentang naluri pengungkap pengetahuan kita, menyesuaikannya dengan gambaran yang lebih luas tentang psikologi kita, kita jadi lebih mampu memilah intuisi mana yang hendaknya diperhitungkan. Sementara itu, gambaran filosofis yang lebih tajam tentang ilmu itu sendiri, akan membantu memajukan pemahaman kita tentang sifat naluri tersebut. Alat selain intuisi, juga dapat dipakai untuk mengatasi masalah ilmu. Kita dapat bekerja mengembangkan teori ilmu yang konsisten secara internal, yang sesuai dengan teori kita yang lebih luas tentang bahasa manusia, logika, sains, dan pembelajaran. Kita dapat memperlembut intuisi kasar kita tentang kondisi yang memungkinkan ilmu dengan membangun model matematika dari ilmu individu dan kelompok. Kita dapat membandingkan kekuatan teori filosofis yang ada, yang dihasilkan dalam rentang periode sejarah dan lintas budaya yang berbeda. Beberapa klaim filosofis tentang ilmu, ternyata membingungkan atau merusak diri sendiri, tapi temuan lain tentang ilmu, seperti hubungannya yang khusus dengan kebenaran, telah teruji oleh waktu. Jika kita tak mengetahui sebelumnya metode mana yang paling cocok guna menyampaikan wawasan lebih lanjut tentang sifat ilmu, itu sebagian karena kita masih belum sepenuhnya memahami apa itu Ilmu.'"

Sudah waktunya pergi, dan sebelum berangkat, Swara berkata, "Jadi, cara berpikirmu sangat penting, sebab itu mempengaruhi seluruh pekerjaan yang engkau lakukan sepanjang hari. Inilah saatnya fokus pada cara berpikirmu. Mengubah cara berpikirmu, tak semata agar menjadi lebih optimis, melainkan pula, memberi pikiranmu ruang bernapas yang dibutuhkannya agar senantiasa tumbuh dan berkembang."
Gema Swara mulai melemah, dan ia perlahan menghilang sambil bersenandung,

Without going out of your door
[Tanpa keluar pintumu]
You can know all things on earth
[Engkau bisa tahu segala hal di bumi]
Without looking out of your window
[Tanpa memandang keluar jendelamu]
You can know the ways of heaven
[Engkau bisa tahu jalannya langit]
The farther one travels
[Makin jauh seseorang bepergian]
The less one knows
[Makin dikit yang tahu]
The less one really knows
[Makin dikit yang sungguh tahu]

Arrive without traveling
[Datang tanpa bepergian]
See all without looking
[Lihat semua tanpa memandang]
Do all without doing *)
[Laksanakan semua tanpa melakukan]

"Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Jennifer Nagel, Knowledge: A Very Short Introduction, Oxford University Press
- Joseph H. Shieber, PhD, Theories of Knowledge: How to Think about What You Know, the Great Courses
*) "The Inner Light" karya George Harrison. Sebenarnya diambil dari bait 47 Dao De Jing karya Laozi, bahwa pikiran itu, penghuni utama tempat tinggalnya; kejernihan mental sangat penting bagi pengendalian dan pemanfaatan indera yang tepat. Ketika hasrat ditekan, pikiran mengendalikan petugasnya, indera.