Kutipan & Rujukan:"Breaking News!" tiba-tiba Swara berseru saat muncul setelah mengucapkan Basmalah dan Salam. "Apa yang terjadi Swara?" tanya sang Pungguk. "Katak datang ke rumah Kodok, dan perpustakaan Kodok berantakan. 'Kodok, perpustakaan ente amburadul!'Sambil menuliskan sesuatu di atas selembar kertas, Kodok menyahut, "Biarin 'aja! Ane lagi sebel!" Katak bertanya, 'Kesal dengan siapa?''Ibu Kos!' jawab Kodok dengan ketus, 'Bayangin coba, ane ngajuin perpanjangan kontrak untuk yang ketiga kalinya ..."'Trus?' Katak kepo.'Bukannya diperpanjang, malah ane di c'ramahin. Kata Ibu kost, kalau 'udah diperpanjang, ya 'udah, cukup dua kali aja.''Lalu?' Katak tambah kepo.'Ya udah, supaya kontrak ane diperpanjang, ane pingin ngerubah sejarah ajah. Rah diperpanjang, rah patheken.' jawab Kodok.'Kodok, dengerin!' kata Katak, 'Sejarah itu penting tauk!'Kodok berhenti menulis, 'Apa pentingnya sejarah?'Katak diam sejenak, lalu berfilosofi, 'Terkadang, sejarah dapat menunjukkan kepada kita wawasan yang mendalam dan mendasar tentang kondisi manusia; bahwa memilah-milah masa lalu kita dapat menemukan beberapa benang intrinsik dalam hidup kita. Sejarawan telah lama ditugaskan meramal 'esensi', sifat manusia, Tuhan, kondisi, hukum, dan sebagainya. Tapi bergunakah 'esensi' bagi kita sekarang? Percayakah kita pada hubungan 'penting' antara manusia dan waktu yang berbeda? Jika ya, itu karena kita ingin menghadirkan Hak Asasi Manusia universal, kita ingin berpegang pada kepatutan dan harapan. Dan juga, kita maunya demikian. Akan tetapi, bagi para sejarawan tidak, dan seharusnya tidak, lantaran banyak kegunaannya: sejarawan dapat mengingatkan kita bahwa 'Hak Asasi Manusia' itu, penemuan sejarah—tidak kurang 'nyata' bagi semua itu—sama seperti 'hukum kodrat', 'kepemilikan,' 'keluarga,' dan seterusnya.'Esensi' dapat membawa kita ke dalam masalah, seperti ketika kita percaya bahwa istilah 'men' [bahasa Inggris untuk 'manusia'] selalu dapat mewakili 'women'; atau ketika kita berpikir bahwa 'ras' yang berbeda punya karakteristik intrinsik; atau di saat kita membayangkan bahwa mode politik dan pemerintahan kita itu, satu-satunya pola perilaku yang tepat. Jadi para sejarawan mungkin mengambil pekerjaan lain: sebagai pengingat bagi mereka yang mencari 'esensi' dari harga yang mungkin dituntut.Koran berbicara setiap hari tentang bagaimana 'Sejarah' akan menilai politisi atau peristiwa; politisi memperdebatkan kebijakan luar negeri atas dasar 'apa yang ditunjukkan Sejarah kepada kita'; faksi yang bertikai di seluruh dunia membenarkan pembunuhan mereka atas dasar 'Sejarah mereka'. Inilah Sejarah dengan orang-orang yang ditinggalkan–karena apapun yang telah terjadi di masa lalu, dan apapun maknanya di masa sekarang, bergantung pada manusia, pilihan, penilaian, tindakan, dan gagasan mereka. Memberi label kisah nyata dari 'Sejarah' masa lalu berarti menampilkannya sebagai sesuatu yang terjadi terlepas dari interaksi dan agensi manusia.Namun, tak satu pun dari ini bermakna bahwa sejarawan harus meninggalkan 'kebenaran' dan semata berkonsentrasi pada 'bercerita'. Sejarawan hendaknya berpegang pada apa yang dimungkinkan oleh sumber, dan menerima apa yang tidak. Mereka tak dapat mengarang cerita baru, atau menyembunyikan bukti yang tak sesuai dengan narasi mereka. Namun, seperti yang telah kita lihat, bahkan mematuhi aturan ini tak menyelesaikan setiap teka-teki yang ditinggalkan oleh masa lalu, dan tak dapat menghasilkan satu versi peristiwa yang tak rumit. Jika kita dapat menerima bahwa 'kebenaran' tak memerlukan huruf kapital 'K', tak terjadi di luar kehidupan dan tindakan manusia, kita dapat berusaha menyajikan kebenaran—atau lebih tepatnya desakan—dalam kompleksitas kontingennya. Melakukan lebih sedikit bermakna mengecewakan diri kita sendiri, dan suara-suara masa lalu.Jika sejarah begitu rumit, begitu sulit, dan tak sepenuhnya aman, mengapa melakukannya? Mengapa sejarah penting? Acapkali kita disarankan agar mempelajari sejarah guna mempelajari pelajaran untuk saat ini. Ini mungkin bermasalah. Jika yang kita maksud dengan ini, adalah bahwa sejarah (atau pelajaran Sejarah) memberi kita pelajaran guna dipelajari, mungkin tak ada yang tertarik. Terlepas dari hal lain, jika pola, struktur, hasil yang diperlukan ada, akan memungkinkan kita memprediksi masa depan. Tapi tidak; masa depan tetap buram dan mengasyikkan seperti sebelumnya. Namun, jika yang kita maksud adalah bahwa masa lalu memberi kita kesempatan menarik pelajaran agar dipertimbangkan, aku lebih yakin. Berpikir tentang apa yang telah dilakukan manusia di masa lalu—yang buruk dan yang baik—memberi kita contoh agar merenungkan tindakan kita di masa depan, seperti halnya mempelajari novel, film, dan televisi. Namun membayangkan bahwa ada pola-pola konkret pada peristiwa-peristiwa masa lalu, yang dapat menyediakan pola bagi kehidupan dan keputusan kita, berarti memproyeksikan ke dalam sejarah suatu harapan akan kepastian yang tak dapat dipenuhinya.Sejarah memberi kita identitas, seperti halnya ingatan bagi seorang individu. Kita dapat mengklaim masa lalu sebagai bagian dari identitas kita, tetapi terpenjara oleh masa lalu, berarti kehilangan sesuatu dari kemanusiaan kita, kemampuan kita membuat pilihan yang berbeda dan memilih cara yang berbeda melihat diri kita sendiri.Sejarawan sebagai milik berbagai suku yang berbeda: politik, sosial, budaya. Namun kita mencatat pula bahwa, meskipun label ini diberikan dan diterima oleh para sejarawan—digunakan, misalnya, saat mengiklankan pekerjaan akademik—label tersebut bukanlah batasan yang tegas dan erat. Namun, ada satu perbedaan utama yang membagi semua sejarawan menjadi dua kelompok: mereka yang percaya bahwa orang-orang di masa lalu pada dasarnya sama dengan kita; dan mereka yang percaya bahwa mereka pada dasarnya berbeda. Engkau mungkin ingat David Hume mengira bahwa semua 'lelaki' hampir sama di setiap zaman; L. P. Hartley menyarankan bahwa masa lalu itu, negara asing dimana mereka melakukan hal-hal yang berbeda dari kita. Mengingat bahwa kematian kucing biasanya tak menyenangkan di zaman kita sekarang, kisah tentang para pekerja magang abad kedelapan belas yang menemukan humor dalam membunuh kucing, dapat memberi kita contoh yang baik untuk memikirkan dikotomi ini.Pembunuhan kucing punya sejarahnya. Maknanya, aktivitas tersebut berubah dari waktu ke waktu, dan karenanya, dapat dijelaskan dan dianalisis oleh para sejarawan, seperti halnya aktivitas seperti pernikahan, agama, makan, navigasi, genosida, menangkap ikan, berganti pakaian, mencium sesuatu, dan hubungan-intim. Sejarah yang sangat singkat tentang pembunuhan kucing akan berbunyi seperti ini: di Mesir Kuno, kucing dipuja dan dihormati, jadi ketika sang tuan dan gundiknya, meninggal, kucing dikurung di kuburannya guna menemani mereka, dan karenanya, mati sesak napas.Pada awal Abad Pertengahan Eropa (c.400–1000), kucing kurang dihormati, dan sebagian besar mati secara alami, seperti karena kelaparan. Pada Abad Pertengahan akhir (c.1000–1450), kucing berpindah ke ujung lain spektrum, dan dikaitkan dengan iblis. Mencium anus kucing dipahami sebagai kebiasaan umum di antara kaum Cathar dan bidat lainnya—atau, setidaknya, itulah yang dituduhkan oleh penganiaya mereka. Beberapa Cathar juga percaya pada hubungan setan. Seseorang mengklaim bahwa ketika inkuisitor Geoffroi d'Ablis meninggal, kucing hitam muncul di peti matinya, menandakan bahwa iblis telah datang untuk merebut kembali miliknya. Jadi, di abad pertengahan, kucing dibunuh karena ditakuti, dimatikan dengan, misalnya, dilempari batu.Pada abad ketujuh belas, citra publik tentang kucing semakin memburuk: ia dipahami sebagai hewan penyihir, dan karenanya, dieksekusi-mati bersama tuan atau nyonya majikannya. Di Prancis abad kedelapan belas, kadang-kadang, sejumlah besar kucing dibantai dalam ritual tiruan oleh pekerja magang dan lainnya, yang menganggap pembunuhan itu sangat lucu.Di abad ke-20 dimana kita yang tercerahkan, tentu saja tak membunuh kucing; kecuali oleh kelalaian, memberi makan berlebihan, dan bila itu, untuk kebaikan mereka sendiri.Dan terakhir, dalam perampokan bank, ada juga peristiwa sejarah. Seorang lelaki masuk ke bank, menodongkan pistol ke teller dan berkata, 'Neng, sera'in semua uangnya, atau elu jadi geografi!.''Maksud loe, 'sejarah'?' tanya sang teller.'Heh, eneng,' jawab sang preman, 'jangan alihkan pembicaraan.'"Kodok yang sedari tadi mendengarkan, berdiri mengambil sebuah kamera, lalu pergi keluar menggiring sepedanya. Katak bertanya, 'Mau kemana?''Keluar!' kata Kodok.'Keluar kemana?' kata Katak.'Ngeliat tanggul yang jebol,' tambah Kodok.'Nah gitu dong,' Katak mengacungkan jempolnya, 'Ente ke tanggul buat ngitung berapa biaya perbaikannya kan?''Kagak,' kata Kodok.'Lha trus, ngapain?''Maen Tiktok!' kata Kodok seraya nge-gowes dan bernyanyi,I've been reading books of old[Telah kubaca buku-buku lama]The legends and the myths[Legenda dan mitos]Achilles and his gold[Achilles dan emasnya]Hercules and his gifts[Hercules dan bakatnya]Spiderman's control[Pengintaian Spiderman]And Batman with his fists[Dan Batman dengan tinjunya]And clearly, I don't see myself upon that list *)[Dan jelas, aku tak melihat diriku dalam daftar itu]Sebelum gaungnya berhenti, Swara berkata, "Dan Brown menulis dalam novel thriller-nya, the Da Vinci Code, 'Sejarah selalu ditulis oleh sang pemenang. Manakala dua kebudayaan bentrok, yang kalah dilenyapkan, dan sang pemenang menulis buku-buku sejarah—buku-buku yang mengagung-agungkan urusan mereka sendiri dan meremehkan musuh yang ditaklukkannya. Seperti yang pernah diucapkan Napoleon, 'Apaan sejarah itu, cuman sebuah fabel yang disepakati?'""Wallahu a'lam."
- John H. Arnold, History: A Very Short Introduction, Oxford University Press
- Dan Brown, The Da Vinci Code, Doubleday
*) "Something Just Like This" written by Chris Martin, Will Champion, Guy Berryman, Andrew Taggart, and Johnny Buckland