Minggu, 22 Januari 2023

Rhetorical Fallacy-nya Kodok

"Mengapa Argumen berbeda dengan Opini?" Swara memulai perbincangan dengan sebuah pertanyaan ketika ia tiba, usai menyapa dengan Basmalah dan Salam.
"Banyak orang mengalami kesulitan memahami perbedaan antara argumen dan ekspresi keyakinan atau opini pribadi. Mereka menggunakan kata 'argumen' dan 'opini' secara bergantian. Terkadang, manakala engkau meminta argumen orang lain terhadap keyakinan atau posisi mereka pada suatu masalah, mereka akan memberikanmu opini mereka tentang masalah itu, ketimbang argumen. Dengan kata lain, mereka hanya memberitahukan apa yang mereka yakini.
Argumen itu, sekelompok pernyataan, satu atau lebih di antaranya, premis, mendukung atau memberikan bukti terhadap yang lain, atau boleh dibilang sebagai kesimpulannya. Premis suatu argumen ialah pernyataan-pernyataan yang bersama-sama membentuk alasan guna mempercayai bahwa kesimpulan itu benar. Beberapa premis merupakan kesimpulan dari argumen sebelumnya, sedangkan yang lain, mungkin merupakan pernyataan fakta, pengamatan pribadi, kesaksian ahli, atau ungkapan pengetahuan umum. Premis juga dapat ditemukan dalam bentuk definisi, prinsip, atau aturan, yang bersama dengan premis lain, digunakan dalam upaya untuk mendukung kebenaran kesimpulan.
Argumen bertujuan untuk menunjukkan kebenaran atau kesalahan klaim tertentu, dengan menyajikan bukti yang dapat meyakinkan orang lain agar menerima klaim itu. Jika klaim atau posisi ditegaskan dalam materi tertulis atau lisan dan tak ada pernyataan eksplisit atau implisit lain yang digunakan untuk mendukungnya, maka materi tersebut bukanlah argumen. Boleh jadi, hal itu mengungkapkan pendapat atau mengambil posisi tentang suatu masalah, namun hal tersebut bukanlah argumen, kecuali opini atau posisi itu dipertahankan dengan setidaknya sebuah bukti lagi atau pernyataan pendukung lainnya.
Argumen dibentuk oleh dua atau lebih pernyataan eksplisit dan/atau implisit, satu atau lebih yang mendukung atau memberikan bukti terhadap kebenaran atau manfaat pernyataan lain, yakni kesimpulannya.
Salah satu tugas yang teramat sulit dalam mengevaluasi argumen ialah mengidentifikasi yang mana dari beberapa pernyataan dalam tulisan atau wacana argumentatif yang merupakan kesimpulan. Kesimpulan dari sebuah argumen, tak boleh dikacaukan dengan poin utama dalam materi yang sedang dicermati. Sebagian besar editorial dan surat kepada editor, misalnya, punya maksud tertentu, namun banyak di antaranya bukanlah argumen. Jika tak ada alasan yang diberikan terhadap posisi yang diambil, tak ada yang bisa disimpulkan. Surat atau editorial, dalam masalah seperti ini, hanyalah serangkaian pernyataan atau poin yang tak ada dukungannya. Kesimpulan dari sebuah argumen, hendaknya berupa pernyataan atau klaim yang memiliki setidaknya, satu pernyataan lain yang mendukungnya. Jika engkau tak yakin apakah ada kesimpulan yang tersembul, carilah pernyataan yang tampaknya memberikan alasan agar mempercayai bahwa beberapa pernyataan lain dalam materi itu, benar. Pernyataan lain itu kemungkinan akan menjadi kesimpulan.
Adakalanya, namun tidak seringkali, kesimpulan mengikuti kata-kata seperti 'oleh karena itu', 'akibatnya', 'maka', 'jadi', 'lalu', atau 'mengikuti itu'. Terkadang, namun tidak kerapkali, premis mengikuti kata-kata seperti 'sejak', 'karena', 'jika' atau 'asumsi itu'. Namun, dalam argumen kehidupan nyata, bagian-bagian dari argumen tersebut, tak begitu mudah diidentifikasi. Seseorang biasanya terpanggil untuk menginterpretasikan struktur argumen tanpa bantuan pengidentifikasi ini.
Dalam beberapa argumen, mungkin ada beberapa pernyataan yang masing-masing didukung oleh yang lain. Pernyataan pendukung lainnya ini, boleh jadi merupakan premis argumen, yang dapat dipandang sebagai kesimpulan yang didukung oleh apa yang disebut subpremis. Guna menentukan pernyataan pendukung mana yang bukan merupakan premis melainkan kesimpulan dari argumen utama, cobalah menentukan pernyataan pendukung mana yang juga tampak menjadi jalan-pikirab utama, yang dipertahankan dalam teks tersebut. Hal ini mungkin, tentu saja, dan sangat sering terjadi, lebih dari satu argumen yang disajikan, khususnya dalam pidato dan diskusi informal. Jika engkau menduga ada banyak argumen dalam bagian itu, cobalah memandu pembicaraan sehingga sekaligus membahas satu argumen.

Sebuah keyakinan semestinya menjadi kesimpulan dari sebuah argumen. Kata 'kesimpulan' menunjukkan bahwa itulah opini atau judgment yang dihasilkan dari beberapa proses refleksi rasional pada bukti. Meskipun benar bahwa semua pernyataan kita merupakan opini, pertanyaan pentingnya adalah, ada atau tidakkah pernyataan pendukung terhadap opini kita. Argumen merupakan opini yang didukung. Bila seseorang mengkritik sebuah argumen dengan mengatakan kesimpulannya seperti, 'Ya, itu cuma pendapatnya,' aku mengingatkannya bahwa opini yang diungkapkan sebagai kesimpulan dari suatu argumen, bukanlah 'sekedar opini'; melainkan opini yang ada dukungannya, dan setiap kritik terhadap opini tersebut, hendaknya ditujukan pada kualitas argumen yang mendukungnya.
Ungkapan pendapat pribadi adalah salah satu bentuk pertukaran verbal yang paling umum, dan karena alasan pendapat kita sering tidak diminta, kita tidak terbiasa mempertahankannya dan bahkan terbuai dengan pemikiran bahwa alasan tidak diperlukan. 'Setiap orang berhak atas pendapatnya sendiri,' sering dikatakan. Ini benar, tetapi pertanyaannya di sini bukanlah apakah seseorang memiliki hak untuk menyatakan pendapat; ini adalah pertanyaan pendapat mana yang pantas kita terima. Jika suatu pendapat tidak disertai dengan alasan untuk mendukungnya, tidak mungkin untuk menentukan apakah pendapat tersebut pantas untuk kami terima.
Sebagian besar dari kita, suka bertukar opini dengan orang lain, namun opini kita, jarang berubah kecuali argumen bagi posisi lain disajikan. Dan ada alasan mempercayai bahwa beberapa opini kita perlu diubah, karena beberapa di antaranya saling bertentangan dan karenanya, tak mungkin semuanya benar. Lantaran sebagian pendapat kita, bertentangan pula dengan pendapat orang lain, kita tahu bahwa sebagian dari kita, sekarang menganut pendapat yang keliru; sebab jika ada dua pendapat yang berlawanan atau berbeda tentang suatu hal, setidaknya salah satunya yang keliru. Tapi, yang mana? Pertanyaan itu hanya bisa dijawab dengan mengevaluasi kualitas argumen yang disajikan atas nama masing-masing pandangan.

Namun, tiada argumen yang dapat dianggap berhasil secara permanen. Selalu ada kemungkinan bahwa bukti baru akan terungkap, yang akan menimbulkan keraguan baru tentang posisi yang dipegang atas dasar yang dianggap baik. Dalam kondisi ini, pemeriksaan lebih lanjut selalu tepat. Kebanggaan memegang posisi yang dipertahankan oleh argumen yang baik di masa lalu, seyogyanya tak menjadi penghalang guna membuka kembali masalah di masa sekarang jika kondisinya memungkinkan. Prinsip-prinsip falibilitas dan pencarian kebenaran pada titik ini, sama pentingnya dengan penyelidikan awal.
Ada perbedaan yang sangat jelas antara argumen dan argumen yang baik. Seseorang yang membuat pernyataan yang didukung oleh setidaknya satu klaim lain telah membuat argumen, tetapi, itu mungkin bukan argumen yang baik. Ada lima kriteria argumen yang baik. Argumen yang baik hendaknya memiliki: struktur yang terbentuk dengan baik, premis yang relevan dengan kebenaran kesimpulan, premis yang dapat diterima oleh orang yang berakal-sehat, premis yang bersama-sama merupakan dasar yang cukup bagi kebenaran kesimpulan, dan premis yang memberikan bantahan yang efektif atas semua kritik yang diantisipasi dari argumen tersebut.

Fallacy merupakan pelanggaran terhadap salah satu kriteria argumen yang baik. Karenanya, Fallacy berasal dari satu atau lebih hal-hal berikut: Cacat struktural dalam argumen; Premis yang tak relevan dengan kesimpulan; Premis yang tak berhasil memenuhi standar penerimaan; Satu set premis yang bersama-sama tak cukup untuk menetapkan kesimpulan argumen; Tak mampu memberikan sanggahan yang efektif terhadap kritik argumen yang diantisipasi.
Argumen apa pun yang tak dapat memenuhi satu atau lebih dari kriteria ini, merupakan Fallacy. Fallacy ialah kekeliruan dalam argumen yang melanggar satu atau lebih dari lima kriteria argumen yang baik, tetapi mungkin melanggar kriteria dalam beberapa cara yang berbeda, yang kesemuanya punya beberapa ciri umum dengan pelanggaran lain dari kriteria yang sama.

Gagasan asli Yunani tentang Fallacy, ditemukan dalam manual praktis Aristoteles tentang seni argumentasi, De sophisticis elenchis [Sanggahan terhadap Sophistis], memandang fallacy—atau sanggahan sophistis—sebagai taktik muslihat argumentasi yang disengaja, yang digunakan untuk mengelabui dan mendapatkan sesuatu yang terbaik dari lawan bicara, dalam dialog tak seimbang. Namun kamudian, gagasan ini tak digunakan lagi dan bersamaan dengan itu, menjadi latarbelakang kerangka logika praktis, sebagai seni dialektika percakapan antara dua pihak yang sama-sama bernalar. Sebagai gantinya, logika silogistik Aristoteles, dan dengannya, gagasan logika deduktif sebagai sistem menguji kesimpulan terhadap validitas, mengambil-alih sebagai sudut pandang dominan dalam logika. Pandangan tentang fallacy yang berkembang menjadi buku teks logika modern mengambil sudut pandang yang dominan ini, memandang fallacy sebagai inferensi yang keliru, semacam kesalahan penalaran yang merupakan inferensi yang salah dari premis terhadap kesimpulan. Sudut pandang ini, mengabstraksikan konsep argumen sebagai pertukaran dalam dialog antara dua pihak.
Menurut teori baru, Fallacy ialah—yang pertama dan terutama—skema argumentasi yang dipergunakan secara keliru. Jenis-jenis argumen yang sesuai dengan tradisi apa yang disebut Fallacy, punya skema argumentasi yang mendasarinya. Apabila argumen dari salah satu jenis ini, dikemukakan dalam format jenis dialog yang sesuai dan didukung secara memadai dalam konteksnya, dengan dukungan premis-premisnya yang khas, argumen tersebut, dapat menjadi argumen yang masuk akal seperti yang digunakan dalam konteks dialognya. Namun, mengatakan argumen seperti itu, masuk-akal, tak secara umum semata mengatakan bahwa ia berstruktur konstanta dan bervariabel tertentu dalam premisnya, dan kesimpulannya serupa dengan yang ditemukan dalam argumen yang valid secara deduktif. Sebaliknya, dikatakan bahwa argumen tersebut, sebuah urutan argumentasi yang berkontribusi pada realisasi tujuan dialog yang tepat terhadap konteks dimana ia diajukan.
Ide Fallacy muncul melalui kemungkinan bahwa skema dan tema argumentasi, dapat digunakan secara keliru, sebagai mekanisme yang diperhitungkan agar mencegah munculnya pertanyaan kritis yang tepat, dengan menghambat dialog dengan cara karakteristik tertentu. Konsep baru tentang Fallacy ini, didasarkan pada skema argumentasi, yang secara inheren bersifat presumtif, yaitu, yang berperan sebagai argumen dimana ilmu, tak cukup memperoleh kesimpulan dengan pasti atau bahkan dengan probabilitas. Masalah-masalah argumentasi pertimbangan argumentasi yang seimbang, diselesaikan berdasarkan beban pembuktian dalam dialog. Namun, secara tradisional, reputasi jenis argumentasi terhadap subjektivitas ini, telah membuat logika arus utama menjadi sangat curiga terhadapnya sebagai jenis penalaran yang berpatutan Namun kecurigaan ini, hendaknya dihadapi, dan diatasi, jika kita ingin punya teori logis yang berguna untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi setiap Fallacy."

Swara diam sejenak, lalu ia berkata, "Suatu hari, Katak dan Kodok sedang nonton tv. Namun, setiap kali Kodok mengganti channel, ia berseru, 'Itu Bapak Identitas,'; 'Itu Gubernur Firaun'—walaupun mungkin Firaun bakal keberatan lantaran ia disetarakan dengan Gubernur padahal ia seorang raja; 'Itu 'America's Golden Boy'; dan seterusnya. Katak penasaran dan berkata, 'Siapa yang ngomong begitu?' Masih terus menonton dengan riang, Kodok menjawab, 'Mereka yang bilang!'
Dan tatkala tv menunjukkan seseorang yang sangat dipuja-puja Kodok, Katak berseru, "Itu 'China's Rotten Boy!' Seketika wajah Kodok cemberut. Katak berkata, 'Kodok, jangan merajuk, ane kan cuman ngomong seperti yang ente ngomongin.' Kodok berkata, 'Ente tega ngomong seperti itu, siapa sih yang bilang begitu?' Katak menjawab, 'Mereka yang bilang!' Masih merajuk, Kodok mantuk-mantuk.
'Kodok dengarkan!' kata Katak, lalu Kodok menoleh padanya. 'Pernah gak ente terlibat dalam sebuah argumen dimana lawan bicara ente berusaha mempresentasikan posisinya melalui serangkaian pernyataan yang tak berhubungan dengan topik yang sebenarnya? Atau mungkin mereka mencoba menakut-nakuti ente agar setuju dengan pendirian mereka tentang masalah tersebut, ketimbang menggunakan argumen yang logis?'

'Ane kagak ngarti, coba jelasin!' kata Kodok. Katak berkata, 'Ini yang namanya Rhetorical Fallacy, dan akan terasa sangat mengecewakan sebab berakar pada penalaran yang keliru dan seringkali dengan niat mengelabui.
Kata 'fallacy' berasal dari kata Latin 'fallere,' yang bermakna 'mengelabui.' Kata tersebut bergeser pada akhir abad ke-15 dengan bahasa Inggris Pertengahan menjadi 'fallacia,' yang bermakna 'pengelabuan dan tipu-muslihat.'
Rhetological Fallacies [Kekeliruan Retoris] merupakan kekeliruan dan manipulasi Pemikiran Retoris dan Logis. Ada ratusan jenis kekeliruan retoris. Meskipun tak selalu ada yang lebih sering digunakan dibanding yang lain, banyak kekeliruan retoris merupakan Logical Fallacies [Kekeliruan Logis]. Logika adalah cara yang efektif guna membuat seseorang sepakat dengan ente tentang sesuatu, sehingga orang sering menyalahgunakan logika dalam argumen mereka.

Para komunikator yang baik, pastilah tahu bagaimana menghindari Logical Fallacies [Kekeliruan Logis]. Kekeliruan logis melemahkan argumen dengan memperlakukan asumsi yang keliru sebagai fakta, namun lantaran banyak pembicara dan penulis tak meluangkan waktu untuk mempertimbangkan dasar argumen mereka, kekeliruan logis cukup umum terjadi dalam politik, bisnis, dan bahkan dalam komunikasi antarpribadi.
Agar memahami Logical Fallacies, ada baiknya ente menilik enam kategori utama jenis Fallacy: attacks [serangan], content manipulation [manipulasi muatan], faulty deduction [deduksi yang keliru], garbled cause and effect [sebab-akibat yang kacau-balau], emotional appeals [daya-tarik emosional] dan mental appeals [daya-tarik mental]. Meskipun ada lusinan fallacy yang berbeda, kebanyakan termasuk dalam keenam kelompok ini.

Attacks meliputi:
  • Ad hominem [argumen atau reaksi, diarahkan terhadap seseorang ketimbang posisi yang mereka pertahankan]: membypass argumen dengan melancarkan serangan yang tak relevan pada seseorang dan bukan pernyataan mereka. Sayangnya, jenis argumen ini bisa jadi efektif, namun dengan menunjukkan serangan itu, akan merusak keefektifannya.
  • Burden of Proof: Aku tak perlu membuktikan pernyataanku—entelah yang harus membuktikan bahwa pernyataanku keliru.
  • Circumstance Ad Hominem: menyatakan suatu gugatan tak kredibel hanya lantaran anjuran kepentingan dalam gugatannya.
  • Genetic Fallacy: Menyerang penyebab atau asal pengakuan, bukan substansinya.
  • Guilt by Association: Mendiskreditkan ide atau pernyataan dengan mengasosiasikannya dengan orang atau kelompok yang tak diinginkan.
  • Straw Man: Membuat karikatur yang terdistorsi atau disederhanakan dari argumen lawanmu, dan kemudian membantahnya.
Manipulating Content meliputi:
  • Ad Hoc Rescue: Mencoba menyelamatkan keyakinan yang dihargai dengan berulang kali merevisi argumen guna menjelaskan masalah.
  • Begging the Question: Kesimpulan yang berasal dari pernyataan berdasarkan kesimpulan. Mirip dengan Circular Logic [logika melingkar], hanya dengan satu langkah saja.
  • Biased Generalising: Generalisasi dari sampel yang tak representatif agar meningkatkan kekuatan argumenmu.
  • Confirmation Bias: Bukti memilih ceri yang mendukung idemu seraya mengabaikan bukti yang bertentangan.
  • False Dilemma: Menyajikan dua opsi yang berlawanan sebagai satu-satunya dua opsi sembari menyembunyikan alternatifnya.
  • Lie: Suatu fakta yang tak dapat disangkal secara langsung sebagai fakta.
  • Misleading Vividness: Menggambarkan suatu kejadian dengan detail yang jelas, meskipun jarang terjadi, guna meyakinkan seseorang bahwa itu merupakan masalah.
  • Red Herring: Memperkenalkan materi yang tak relevan dengan argumen guna mengalihkan perhatian dan mengarah pada kesimpulan yang berbeda.
  • Slippery Slope: mengasumsikan langkah pertama yang relatif kecil, pasti akan menyebabkan rangkaian peristiwa (negatif) yang terkait.
  • Suppressed Evidence: Dengan sengaja tak berhasil menggunakan informasi yang signifikan dan relevan, yang diperhitungkan terhadap kesimpulan seseorang.
  • Unfalsifiability: Menawarkan pernyataan yang tak dapat dibuktikan salah, sebab tak ada cara untuk memeriksa, apakah itu salah atau tidak.
Faulty Deduction meliputi,
  • Anecdotal Evidence: Bukti basi yang diperoleh dengan pencarian atau pengujian sistematis mendukung beberapa cerita tangan pertama.
  • Composition: Mengasumsikan bahwa karakteristik atau keyakinan dari beberapa atau semua kelompok, berlaku bagi seluruh kelompok.
  • Division: Berasumsi bahwa karakteristik atau keyakinan suatu kelompok secara otomatis berlaku untuk setiap anggota individu.
  • Design Fallacy: Mengasumsikan bahwa lantaran sesuatu dirancang dengan baik atau divisualisasikan dengan indah, itu lebih benar.
  • Gambler’s Fallacy: Mengasumsikan hasil masa depan dari sejarah.
  • Hasty Generalisation: Menarik kesimpulan umum dari sampel kecil.
  • Jumping to Conclusion: Menarik kesimpulan cepat tanpa cukup mempertimbangkan bukti yang relevan (dan tersedia dengan mudah).
  • Middle Ground: Berasumsi karena dua argumen yang berlawanan bermanfaat, jawabannya pasti ada di antara keduanya.
  • Perfectionist Fallacy: Mengasumsikan bahwa satu-satunya pilihan di atas meja merupakan keberhasilan yang sempurna, lalu menolak apapun yang tak akan bekerja dengan sempurna.
  • Relativist Fallacy: Menolak pernyataan lantaran yakin bahwa kebenaran itu relatif terhadap seseorang atau kelompok.
  • Sweeping Generalisation: Menerapkan aturan umum terlalu luas.
  • Undistributed Middle: Mengasumsikan bahwa oleh karena dua hal yang bersesuaian, yang membuatnya menjadi hal yang sama.
  • Spotlight: Mengasumsikan pengamatan dari ukuran sampel kecil berlaku bagi seluruh kelompok.
Garbled cause and effect meliputi,
  • Affirming the Consequent: Mengasumsikan hanya ada satu penjelasan terhadap pengamatan yang ente lakukan.
  • Circular Logic: Kesimpulan berasal dari premis berdasarkan kesimpulan.
  • Cum Hoc Ergo Propter Hoc: Menyatakan dua kejadian yang terjadi bersamaan pasti ada hubungan sebab-akibat [Korelasi = sebab]
  • Denying the Antecedent: Tak hanya ada satu penjelasan untuk suatu hasil, Maka, jika salah menganggap sebab berdasarkan akibat.
  • Ignoring a Common Cause: Mengklaim satu peristiwa pasti menyebabkan yang lain ketika peristiwa ketiga (yang tak dicari) mungkin menjadi penyebabnya.
  • Post Hoc Ergo Propter Hoc: Mengklaim bahwa karena satu peristiwa mengikuti yang lain, juga disebabkan olehnya.
  • Two Wrongs make a Right: Berasumsi bahwa jika satu kesalahan diperbuat, kesalahan lain akan membatalkannya.
Appeal to the Emotions meliputi,
  • Appeal to Consequences of a Belief: Memperdebatkan suatu keyakinan adalah salah lantaran ia menyiratkan sesuatu yang ente lebih suka tak percayai.
  • Appeal to Fear: Argumen dibuat dengan meningkatkan ketakutan dan prasangka terhadap pihak lawan.
  • Appeal to Flattery: Menggunakan pujian yang tak relevan guna menyelipkan pernyataan tak berdasar, yang diterima bersama dengan pujian.
  • Appeal to Nature: Menjadikan pernyataanmu tampak lebih benar dengan menggambar perbandingan dengan alam yang 'baik'.
  • Appeal to Pity: Upaya menimbulkan rasa kasihan kepada lawan yang bergoyang.
  • Appealto Ridicule: Menyajikan argumen lawan dengan cara yang membuatnya tampak tak masuk akal.
  • Appeal to Spite: Menolak pernyataan dengan mengajukan bias pribadi terhadap penggugat.
  • Appeal to Wishful Thinking: Mengajukan pernyataan itu benar atau salah, cuma karena ente sangat mengharapkannya.
Appeal to the Mind atau Mental meliputi,
  • Appeal to Popular Belief: Mengklaim sesuatu itu benar karena mayoritas orang mempercayainya.
  • Appeal to Probability: Berasumsi bahwa lantaran sesuatu bisa terjadi, pastilah bakalan terjadi.
  • Appeal to Anonymous Authority: Menggunakan bukti dari 'pakar' atau 'penelitian' yang tak disebutkan namanya atau kelompok umum (seperti 'ilmuwan') guna mengklaim sesuatu itu benar.
  • Appeal to Authority: Mengklaim sesuatu itu benar karena 'pakar' yang tak memenuhi syarat atau tak dapat dipercaya mengatakannya.
  • Appeal to Common Practice: Mengklaim sesuatu itu benar karena diterapkan secara umum.
  • Appeal to Ignorance: Suatu pernyataan itu benar hanya karena belum terbukti salah (atau salah lantaran belum terbukti benar).
  • Appeal to Incredulity: Oleh karena pernyataannya terdengar tak dapat dipercaya, itu pasti tidak benar.
  • Appeal to Money: Menganggap bahwa jika seseorang kaya atau sesuatu yang mahal, maka itu mempengaruhi kebenaran pernyataan.
  • Appeal to Novelty: Anggapan bahwa sesuatu itu lebih baik, lantaran baru atau lebih baru.'
'Katak berhenti sebentar, lalu berkata, 'Jadi, Rhetorical fallacies itu, argumen yang mengelabui, yang pada dasarnya pemikiran yang menyesatkan. Orang menggunakan Rhetorical fallacies manakala fakta dan bukti, tak mendukung sudut pandang mereka.
Ngomong-ngomong, bagi para pemerhati ilmu Ekonomi, Profesor Samuelson dalam karyanya 'Economics,' mengatakan, 'Ekonom pemula juga harus waspada terhadap kesalahan umum dalam penalaran ekonomi. Sebab hubungan ekonomi seringkali kompleks, melibatkan banyak variabel yang berbeda, mudah dibingungkan oleh alasan pasti di balik peristiwa atau dampak kebijakan terhadap ekonomi. Berikut ini, beberapa kekeliruan umum yang ditemui dalam penalaran ekonomi,
  • The post hoc fallacy ['Post hoc' merupakan singkatan dari post hoc, ergo propter hoc. Diterjemahkan dari bahasa Latin, ungkapan lengkapnya bermakna 'sesudah ini, maka tentu karena ini]' Kekeliruan pertama melibatkan inferensi kausalitas. The post hoc fallacy terjadi di kala kita berasumsi bahwa, karena satu peristiwa terjadi sebelum peristiwa lain, peristiwa pertama menyebabkan peristiwa kedua. Contoh sindrom ini terjadi pada Depresi Hebat tahun 1930-an di Amerika Serikat. Beberapa orang telah mengamati bahwa periode ekspansi bisnis didahului atau disertai dengan kenaikan harga. Dari sini, mereka menyimpulkan bahwa pengobatan yang tepat bagi depresi ialah dengan menaikkan upah dan harga. Gagasan ini menyebabkan sejumlah undang-undang dan peraturan untuk menopang upah dan harga dengan cara yang tak efisien. Apakah langkah-langkah ini mendorong pemulihan ekonomi? Hampir pasti tidak. Memang, mereka mungkin memperlambat pemulihan, yang tak terjadi sampai pengeluaran total mulai meningkat lantaran pemerintah meningkatkan pengeluaran militer guna persiapan Perang Dunia II.
  • Failure to hold other things constant. Jebakan kedua ialah kandas menjaga hal-hal lain tetap konstan saat memikirkan suatu masalah. Misalnya, kita mungkin ingin mengetahui apakah menaikkan tarif pajak akan menaikkan atau menurunkan pendapatan pajak. Beberapa orang mengajukan argumen menggoda bahwa kita dapat memakan kue fiskal kita dan memilikinya pula. Mereka berpendapat bahwa pemotongan tarif pajak pada saat yang sama, akan meningkatkan pendapatan pemerintah dan menurunkan defisit anggaran. Mereka menunjuk pada pemotongan pajak Kennedy-Johnson pada tahun 1964, yang menurunkan tarif pajak secara tajam dan diikuti dengan peningkatan pendapatan pemerintah pada tahun 1965. Oleh karena itu, menurut mereka, tarif pajak yang lebih rendah menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Mengapa penalaran ini bersifat Fallacy? Argumen tersebut mengasumsikan bahwa hal-hal lain adalah konstan—khususnya, mengabaikan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dari tahun 1964 hingga 1965. Karena pendapatan masyarakat tumbuh selama periode tersebut, total pendapatan pajak tumbuh meskipun tarif pajak lebih rendah. Kajian ekonometrika yang cermat menunjukkan bahwa total pendapatan pajak akan lebih tinggi lagi pada tahun 1965 jika tarif pajak dipertahankan pada tingkat yang sama seperti pada tahun 1964. Oleh karena itu, analisis ini kandas dalam hal to hold other things constant dalam membuat perhitungan. Ingat-ingatlah agar menjaga other things constant saat engkau menganalisis dampak variabel pada sistem ekonomi.
  • The fallacy of composition. Terkadang kita berasumsi bahwa apa yang berlaku bagi sebagian sistem, juga berlaku bagi keseluruhan. Akan tetapi, dalam ilmu ekonomi, kita sering menemukan bahwa keseluruhan berbeda dengan penjumlahan setiap bagian. Tatkala engkau berasumsi bahwa apa yang benar bagi sebagian, benar pula bagi keseluruhan, engkau melakukan The fallacy of composition [kekeliruan komposisi]. Berikut beberapa pernyataan benar yang mungkin akan mengejutkanmu jika engkau mengabaikan kekeliruan komposisi: (1) Jika seorang petani memiliki hasil panen yang melimpah, ia punya pendapatan yang lebih tinggi; jika semua petani menghasilkan rekor panen, pendapatan pertanian akan turun. (2) Jika satu orang menerima lebih banyak uang, orang itu bakalan menjadi lebih baik; jika setiap orang menerima lebih banyak uang, masyarakat cenderung menjadi lebih buruk. (3) Jika tarif pajak yang tinggi dikenakan pada produk seperti sepatu atau baja, produsen di industri tersebut, kemungkinan besar akan memperoleh untung; jika tarif tinggi dikenakan pada semua produk, kesejahteraan ekonomi negara kemungkinan akan lebih buruk.
Contoh-contoh ini tak mengandung intrik atau sihir. Sebaliknya, semuanya hasil dari sistem individu yang berinteraksi. Seringkali perilaku kelompok agregasi [keseluruhan] terlihat sangat berbeda dengan perilaku individu.'

Kodok manggut-manggut, 'Segala jenis Fallacy ini, dapat dengan cepat melemahkan argumen yang kuat. Agar berkomunikasi dengan jelas, ane harus ingat supaya menghindari Fallacy ini dan tahu bagaimana menempatkannya dalam perspektif berbeda.'
Katak menoleh ke tv dan berseru, 'Lihat Kodok, artis favorit ente akan menyanyikan lagu favorit ente, yuk ikutin doi nyanyiin lagunya!'
Setelah itu, Katak dan Kodok berkaraoke,

Jika ada yang bilang kulupa kau
Jangan kau dengar
Jika ada yang bilang ku tak setia
Jangan kau dengar

Banyak cinta yang datang mendekat
Ku menolak
Semua itu kar'na kucinta kau

Jika ada yang bilang ku tak baik
Jangan kau dengar
Jika ada yang bilang kuberubah
Jangan kau dengar

Banyak cinta yang datang mendekat
Ku menolak
Semua itu kar'na kucinta kau *)

Sebelum menghilang, Swara berkata, "Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Walton, Douglas N., A Pragmatic Theory of Fallacy Studies in Rhetoric and Communication, University of Alabama Press
- David McCandless, Knowledge is Beautiful, William Collins
- Paul A. Samuelson and Willian D. Nuedhause, Economics 19e, McGraw-Hill
*) "Karena Kucinta Kau" karya Parlin Burman, Nurdiansyah Syafaruddin & Cynthia Dewi Bayu Wardhani