Kamis, 12 Januari 2023

Para Pemikir : Abad Pertengahan

“Untuk saat ini,” berkata Swara tatkala ia datang usai mengucapkan Basmalah dan Salam, “kita memperoleh jawaban mengapa para Pemikir berpikir, yaitu, di salah-satu sisi perspektif, guna mengenali siapa diri kita dan dunia tempat kita berada. Kita telah berbicara sedikit tentang para filsuf besar, yang memberi kita sarana guna memahami diri kita sendiri dan dunia kita, dan memberikan kearifan bagaimana menerapkan pemahaman itu. Karya-tulis paling awal, yang sekarang kita kenal sebagai karya filosofis, mulai berkembang di tempat yang sangat berbeda, namun di putaran waktu yang sama. Di Cina, India, dan Yunani Klasik, sekitar 500-an tahun sebelum Masehi, muncul—secara terpisah—sastra yang berkaitan dengan perenungan, pertanyaan, dan pemahaman-diri.
Ada pemikiran dan kecerdasan jauh sebelum ini, tentu saja, sastra, agama, dan kode-etik. Namun, itu seolah-olah, manusia secara bersamaan mendengar dan mencoba menjawab panggilan guna meninjau kembali dan menginterogasi cetak biru mereka untuk hidup. Tentu Konfusius, Buddha, dan Plato menjawab panggilan itu dengan cara yang berbeda dan dengan penekanan yang berbeda. Tapi begitu kesadaran diri ini telah menyemai dirinya sendiri, perjalanan panjang refleksi filosofis dimulai dengan sungguh-sungguh.

Sekarang, mengikuti fase para kontributor kita, kita akan masuk ke dalam perbincangan para filsuf Abad Pertengahan. Lantaran periode yang berbeda memunculkan pertanyaan ekonomi, sosial, keilmuan, dan politik yang berbeda, maka topik yang menghabiskan energi filosofis paling banyak juga berubah. Dalam periode keagamaan, seperti Abad Pertengahan di Barat, hubungan antara Tuhan dan manusia menempati pemikiran yang tertajam. Tatkala sains mulai menantang otoritas Gereja, sifat penyeliaan ilmiah dan pemahaman yang diberikannya kepada kita tentang lingkungan fisik kita, menjadi prioritas. Dengan kebangkitan dunia komersial, monopoli monarki atas kekuasaan politik menjadi sorotan; dan dengan industrialisasi, hubungan antara modal dan tenaga kerja mulai mendapat perhatian lebih.
Untuk Abad Pertengahan, para kontributor menyertakan nama-nama para pemikir, antara lain Boethius, Ibnu Sīnā, St. Anselmus, Héloïse, Hildegard dari Bingen, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Zhu Xi, Moses Maimonides, Albertus Magnus, Thomas Aquinas, dan William dari Ockham.

Boethius, c.475/480–c.525 M, merupakan salah seorang filsuf besar Romawi terakhir di zaman klasik. Selama berabad-abad, terjemahan, komentar, dan tulisannya memberi para pakar, hubungan yang tak ternilai dengan pembelajaran dunia kuno. Boethius lahir usai kacaunya Kejatuhan Roma. Boethius sangat fasih dalam teks-teks Yunani klasik. Karya-karyanya termasuk terjemahan dan komentar tentang Plato dan Aristoteles, dan upaya filosofis untuk mendamaikan sudut pandang mereka yang berbeda; ia menulis pula buku pegangan tentang quadrivium—empat disiplin matematika (aritmetika, geometri, musik, dan astronomi)—yang membentuk bagian utama dari kurikulum pengajaran.
Sekitar tahun 522 M, iklim politik berubah ketika ketegangan yang meningkat dengan Timur membuat Theodoric the Great, yang diproklamirkan sebagai raja pada tahun 493 M, curiga terhadap para menteri Romawinya. Boethius ditangkap, dipenjara, dan akhirnya dieksekusi. Selama masa kurungannya, ia menulis mahakaryanya, De consolatione philosophiae [Tentang Obat-Hati Filsafat]. Buku itu ditulis dalam format klasik: Boethius bercakap dalam bentuk prosa dan Filsafat menjawab dalam sajak. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan, paling tidak karena obat-hati yang diberikan oleh Filsafat tak sepenuhnya bersifat Kristiani, melainkan lebih dekat ke dalam bentuk panteisme [ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta]. Mungkin Boethius berharap, pendekatan ini akan menarik khalayak luas, atau ia mungkin semata ingin menghindari permusuhan dengan Theodoric. De consolatione terbukti sukses besar, menelurkan ratusan manuskrip dalam sebagian besar bahasa Eropa. Alfred the Great dan Geoffrey Chaucer, hanyalah dua dari banyak penerjemahnya.

Ibnu Sīnā, 980–1037 M, seorang filsuf dan dokter yang hidup pada pergantian abad ke-10 selama Zaman Keemasan Islam. Zaman Keemasan Islam secara tradisional mengacu pada periode dari abad ke-8 hingga abad ke-13, dari tahun 762 M—ketika Baghdad didirikan sebagai ibu kota kekhalifahan Abbasiyah—hingga Pengepungan Bagdad pada tahun 1258. Semasa periode inilah, pengayaan budaya dan seni yang amat dahsyat, serta inovasi filosofis. Karya para filsuf dan penerjemah dari Zaman Keemasan Islam, memainkan pula peran kunci dalam membantu mentransmisikan filsafat Yunani ke Barat.
Ibnu Sīnā diakui sebagai salah seorang pemikir Islam terpenting dalam sejarah. Ia acapkali dikenal di Barat sebagai Avicenna (versi Latin dari nama pendeknya), lahir sebagai Abū Alī al-Husain ibnu Abdullāh di sebuah desa dekat Bukhara, di Uzbekistan saat ini. Ia putra seorang gubernur Kekaisaran Samanid—sebuah emirat Sunni, yang pada puncaknya meliputi sebagian besar Afghanistan modern, serta wilayah Iran, Tajikistan, Kyrgyzstan, Pakistan Turkmenistan, dan Kazakhstan. Ibnu Sina masyhur tak semata sebagai salah seorang filsuf terkemuka tradisi Arab, melainkan pula sebagai dokter dan ilmuwan alam. Seorang polymath, kumpulan karyanya yang mengagumkan, berkisar dari astronomi dan fisika hingga geografi, psikologi, musik, dan matematika.
Banyak biografi Ibnu Sīnā, serta otobiografinya—yang ia didiktekan kepada muridnya al-Jūzjanī—mengungkapkan ia sebagai orang dengan banyak bakat, dengan keinginan belajar yang tak terpuaskan. Pada saat berusia 10 tahun, ia telah menghafal Al-Qur'an secara menyeluruh, dan pada usia remajanya, telah memulai studinya di bidang filsafat, kedokteran, dan yurisprudensi.
Pada saat ia disebut-sebut menemukan bahwa filsafat itu membingungkan, studi kedokteran tampaknya mudah baginya. Pada usia 18 tahun, Ibnu Sīnā sangat dihormati karena keahlian medisnya, sehingga ia dipanggil mengobati Nuh bin Mansur, Sultan Bukhara, yang penyakitnya membingungkan para dokternya. Perawatannya yang berhasil terhadap Sultan, memberi akses Ibnu Sina ke istana Samanid yang megah dan perpustakaannya yang ekstra-ordinari kaya. Di sinilah ia membaca terjemahan bahasa Arab filsafat Yunani dan India, serta teks Babilonia; komentar Islam awal dan kritik tekstual; dan mengutak-atik bidang teknik, fisika, logika, psikologi, teknik, dan matematika. Ia berkembang dalam lingkungan ilmiah ini dan menulis karya pertamanya pada usia 21 tahun.
Dari beberapa ratus karya Ibnu Sina, dua di antaranya sangat penting dalam sejarah pemikiran: buku teks medis epik lima jilidnya, yang dikenal sebagai Al-Qanun fi'l-tibb (Kanon Kedokteran), yang diselesaikan sekitar tahun 1025. Al-Qanun, menggabungkan pengalaman luas Ibnu Sina sebagai seorang dokter dan juga pengetahuannya yang luas tentang tradisi medis—khususnya, karya tabib Yunani Galen. Dokter dan filsuf Galen, atau Aelius Galenus (c.130 c.216 M), berpengaruh signifikan terhadap karya Ibnu Sina. Galen lahir di kota Yunani Pergamon dan kemudian pindah ke Roma, dimana ia bekerja sementara waktu sebagai dokter kaisar dan filsuf Marcus Aurelius. Karya medis Galen diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada awal Zaman Keemasan Islam. Seperti Ibnu Sīnā, Galen melihat peran para dokter (yang menyembuhkan tubuh) dan para filsuf (yang menyembuhkan jiwa), terkait erat.
Al-Qanun digunakan secara luas di Eropa hingga abad ke-18 dan merupakan bukti pembelajaran sang penulis, serta kekuatan pengamatannya yang dahsyat: tak hanya itu, teks pertama yang secara jelas menggambarkan gejala antraks, tetapi juga salah satu contoh pertama kedokteran berbasis bukti. Kepedulian terhadap kesehatan ini, merupakan pulainti dari pendekatan filosofis Ibnu Sīnā, sebagaimana diuraikan dalam karya besarnya yang kedua, Kitab al-Syifa' (Kitab Penyembuhan sering disebut sebagai Pengobatan), yang diterbitkan pada tahun 1027. Baginya, filsafat itu, disiplin terapeutik, menyembuhkan ketidaktahuan jiwa dengan cara yang sama seperti obat berusaha menyembuhkan penyakit tubuh. Kitab al-Syifa' menyatukan sumber-sumber filsafat Arab dan Yunani, termasuk Aristoteles, Al-Kindī, dan Al-Fārābī. Diperkirakan bahwa Ibnu Sīnā menulis sebagian besar teks ini dari ingatan, tanpa akses ke buku apapun.
Ibnu Sīnā diyakini telah menulis lebih dari 400 karya selama hidupnya; sekitar 250 selamat, dan dari jumlah tersebut, sekitar 100 merupakan teks filosofis. Diketahui telah dibaca oleh Thomas Aquinas, di antara banyak lainnya. Menurut Ibnu Sīnā, Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu—segala sesuatu berasal dari Tuhan sebagai hasil dari kehendak-Nya sendiri—dan ia merumuskan argumen yang menarik dan berpengaruh untuk mendukung keberadaan Sang Pencipta. Pemikir abad pertengahan, Thomas Aquinas (1225–1274), dipengaruhi oleh 'argumen kontingensi' Ibnu Sīnā tentang keberadaan Tuhan.
Karya-karya penting Ibnu Sīnā tak hanya di dunia Islam, tapi juga dalam penemuan kembali filsafat dan logika Aristoteles dan Yunani di Barat dan dalam pembentukan filsafat Yahudi dan Kristen. Banyak cendekiawan menganggap Ibnu Sīnā sebagai salah seorang filsuf abad pertengahan yang sangat penting—tokoh yang menjulang tinggi dalam pemikiran Islam.
Beberapa biografi tradisional menunjukkan bahwa kematian Ibnu Sīnā disebabkan oleh penyumbatan di usus besar, suatu kondisi yang ditulis oleh sang filsuf dalam Risalahnya tentang Kolik.

St Anselmus, 1033–1109, seorang filsuf dan teolog Italia berpengaruh, dikenal luas sebagai 'Bapak tradisi Skolastik.' Sebagai uskup agung Canterbury, ia juga seorang pembela gigih hak-hak Gereja.
Anselmus menjadi uskup agung pada masa kritis dalam sejarah Gereja Inggris. Peran dan strukturnya telah diubah secara radikal setelah invasi Norman pada tahun 1066, dan Anselmus harus menghadapi ketidaksenangan para pendeta AngloSaxon yang terusir dan dengan ambisi rezim baru, yang berusaha mengendalikan setiap aspek Gereja. Sepanjang karirnya di Canterbury, sering terjadi perselisihan dengan Kerajaan mengenai masalah yurisdiksi. Perselisihan ini menjadi begitu pahit sehingga Anselmus harus menjalani dua periode pengasingan (1097–1100 dan 1103–1107). Pertengkaran berlanjut lama setelah kematiannya, yang akhirnya mengarah pada pembunuhan calon uskup agung Canterbury, Thomas Becket, pada tahun 1170.
Anselmus menjelaskan bahwa ia menghargai iman lebih tinggi daripada akal, tetapi berusaha menopang iman ini dengan argumen rasional. Teks kuncinya dalam hal ini ialah Soliloquy (1076) dan Proslogion (1077–1078). Pada karya pertamanya, ia mengemukakan teori 'kosmologis' (gagasan bahwa semua benda alam bergantung pada kekuatan eksternal yang lebih besar atas keberadaannya), sedangkan yang kedua, berisi 'argumen ontologis' yang masyhur.

Meskipun ternama oleh perselingkuhannya dengan Peter Abelard, Héloïse, c.1101–1164, seorang pemikir Prancis yang berpengaruh. Surat-suratnya yang terkenal mengungkapkan seorang pakar dan filsuf yang baik, serta pelopor pemikiran feminis.
Héloïse merupakan keponakan dan asuhan Fulbert, seorang kanon di Notre-Dame di Paris. Sedikit yang diketahui tentang orang tuanya, ada yang berspekulasi bahwa ibunya mungkin seorang biarawati. Sang gadis dididik di sebuah biara di Argenteuil, di luar Paris, dimana ia menunjukkan harapan besar dalam studinya tentang bahasa Latin, Yunani, dan Ibrani, mendorong Fulbert mengundangnya ke rumahnya dan mempekerjakan Peter Abelard (1079–1142) sebagai tutornya.
Abelard sudah bereputasi yang cukup besar di perguran-perguruan Paris sebagai pengajar yang brilian, meskipun kontroversial. Saat menetap seatap dengan Fulbert, ia mulai berselingkuh dengan murid cemerlangnya (yang mungkin berusia 15 tahun). Rahasia mereka terungkap saat Héloïse hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki bernama Astrolabe.
Meskipun Abelard dan Héloïse termasuk di antara para intelektual dan pemikir agama paling terkemuka di Prancis abad ke-12, mereka dikenang sebagai tipikal pecinta tragis, yang berupaya mendamaikan emosi mereka dengan tugas monastik, terekam dengan sangat menyentuh dalam surat-surat mereka. Penggambaran ini berasal dari abad ke-13, ketika Jean de Meun memasukkannya ke dalam bagian Romance of the Rose miliknya. Sejak saat itu, kisah pasangan tersebut, telah menginspirasi puisi, drama, novel, dan film. Semua ini berkisar dari ayat epistle sayu dari Alexander Pope, Eloisa to Abelard (1717) hingga buku terlaris fiksi Jean-Jacques Rousseau Julie, ou la nouvelle Héloïse (1761), dan dari biopik Stealing Heaven (1988) hingga rangkaian orang-orang dalam film Being John Malkovich (1999).

Hildegard dari Bingen, 1098–1179, merupakan salah seorang wanita Jerman paling luar biasa di zamannya. Dijuluki 'Sibil dari Rhine,' ia seorang visioner, mistikus, komposer, dan penulis tentang beragam topik mulai dari kosmologi hingga kedokteran.
Sebagai anak kesepuluh dalam keluarganya, ia dipersembahkan oleh orang tuanya. tuan tanah kaya-raya, kepada Gereja—kebiasaan lumrah di zaman itu. Pada tahun 1106, ia di asuh oleh seorang wanita bangsawan, Jutta dari Spanheim, yang dipercayakan karena pendidikan agamanya. Saat kematian Jutta pada tahun 1136, Hildegard menggantikannya sebagai kepala biara dan segera mulai merekam daya-lihatnya, dibantu oleh sekretarisnya, seorang biarawan bernama Volmar. Tiga manuskrip teologis yang hebat, dihasilkan: Scivias (Ketahui Jalannya, 1141–1151); Liber Vitae Meritorum (Kitab Manfaat Kehidupan, 1158–1163); dan Liber Divinorum Operum (Kitab Karya Ilahi, 1163–1174). Scivias-lah yang paling masyhur dari ketiganya, sebagian oleh manuskrip aslinya berisi ilustrasi yang menarik perhatian, mungkin oleh Hildegard sendiri.
Luasnya karya Hildegard sangat mengesankan. Ia seorang komposer perintis yang melihat musik sebagai 'suara suci yang melaluinya seluruh ciptaan bergema.'
Karier Hildegard bertepatan dengan periode konflik sengit antara Jerman dan kepausan. Isu yang paling memecah-belah ialah pentahbisan awam—praktik tokoh-tokoh sekuler yang mengendalikan penunjukan gerejawi besar. Paus Gregorius VII bentrok dengan raja, Henry IV, atas pelecehan ini pada akhir abad ke-11, dan perselisihan tersebut berlangsung selama beberapa dekade. Pada akhirnya, hal tersebut mendorong penguasa Jerman, Frederick Barbarossa (1122–1190), menginvasi Italia dan mendukung suksesi antipop (paus tidak resmi) selama masa jabatan Paus Alexander III (1159–1181). Hildegard menaruh minat aktif dalam masalah ini, menulis sejumlah surat kepada Barbarossa.

Ibn Rusyd, 1126–1198, juga dilatinkan menjadi Averroës, merupakan seorang filsuf dari Córdoba yang menggabungkan pemikiran Yunani dan Islam, memperdebatkan keselarasan antara akal dan agama. Ia berperan penting dalam memperkenalkan kembali Aristoteles ke dalam filsafat Eropa.
Ibnu Tufail (c.1109–1185), seorang filsuf, penulis, dan polymath yang memperkenalkan Ibnu Rusyd kepada khalifah Almohad. Ia mengabdi pada khalifah dan mengusulkan agar Ibnu Rusyd menjadi penggantinya. Karyanya yang paling ternama ialah novel filosofis Ḥayy bin Yaqẓān [حي بن يقظان, Hidup - Putra Kesadaran], dikenal pula sebagai 'Philosophus Autodidactus' dalam bahasa Latin, sebuah roman filosofis dan novel alegoris yang terinspirasi oleh Avicennisme dan Sufisme. Bercerita tentang seorang anak lelaki yang dibesarkan sendirian di pulau khatulistiwa oleh seekor antelop. Melalui studinya yang cermat tentang alam, sang bocah lelaki menjadi seorang filsuf. Ia akhirnya diselamatkan dari pulau itu, dan terus mengajari orang lain pengetahuan filosofinya yang mendalam.
Sejak tahun 1169, Ibnu Rusyd mulai menghasilkan serangkaian analisis pemikiran Aristoteles. Kejelasan analisisnya membuatnya sangat berpengaruh dalam sejarah filsafat. Diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan dibaca oleh Thomas Aquinas, yang sangat terkesan sehingga ia menyebut Ibnu Rusyd semata sebagai 'komentator' (walaupun ia tak sepakat dengannya dalam banyak hal).
Ibnu Rusyd diangkat ke jabatan yang lebih tinggi lagi pada tahun 1182, kala ia ditunjuk sebagai dokter pengadilan dan hakim kepala di kampung halamannya di Córdoba—sebuah posisi yang menempatkannya di jantung istana Almohad. Namun, ketika khalifah kedua meninggal pada tahun 1184 dan digantikan oleh putranya, Ibnu Rusyd secara bertahap mulai kehilangan posisinya. Pada tahun 1195, atas desakan tokoh-tokoh konservatif di istana, ia diasingkan di desa Lucena, dan seluruh bukunya dibakar. Ia diangkat kembali di pengadilan 2 tahun kemudian, tapi meninggal di Marrakesh pada tahun 1198.
Ibnu Rusyd menulis secara luas tentang kedokteran, hukum, dan teologi, tetapi beberapa teksnya yang paling orisinal ialah yang ditulis untuk membela filsafat. Salah satu teks tersebut adalah tanggapan terhadap kritik teolog Al-Ghazali (c.1058–1111) terhadap filsafat, تهافت الفلاسفة Tahāfut al-Falāsifa, Kerancuan para Filsuf. Al-Ghazali memperdebatkan iman di atas akal dan berusaha secara sistematis membantah karya Ibnu Sīnā. Menanggapi langsung, Ibnu Rusyd balik menulis تهافت التهافت Tahāfut al-Tahāfut, Kerancuan dari Kerancuan, dengan alasan tak semata bahwa agama dan filsafat saling melengkapi, melainkan bahwa kebenaran filsafat dan kitab suci, hendaknya selaras.

Filsuf dan teolog Islam Sunni, Abu Hamid Al-Ghazālī, dilatinkan sebagai Algazelus atau Algazel, seorang polymath Persia, lahir di Tus di Khorasan, yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Seljuk. Setelah belajar di bawah teolog Al-Juwaini (1028–1085) di Nishapur, pada 1085, ia dipanggil ke pengadilan Seljuk, wazir Nizam al-Mulk di Isfahan. Diakui sebagai cendekiawan terkemuka pada zamannya, ia diangkat menjadi kepala madrasah Nizamiyya yang bergengsi di Baghdad pada tahun 1091. Namun, pada tahun 1095, Al-Ghazālī meninggalkan semua posisi resmi tersebut mengejar kehidupan zuhud. Setelah perjalanan panjang ke Damaskus, Yerusalem, dan Mekah, ia menetap mengasingkan diri di Tus, hanya kembali ke pengajaran umum di akhir hidupnya. Umat Islam menganggap Al-Ghazālī sebagai seorang mujaddid—pembaharu iman, dianugerahi gelar kehormatan Ḥujjatul Islam. Ia mendebat unsur-unsur filsafat Arab berdasarkan Aristoteles, menegaskan bahwa semua hubungan sebab dan akibat itu, akibat dari kehendak Tuhan. Karya-karyanya yang belakangan membawa tradisi sufi dari asketisisme ke dalam arus utama keyakinan Sunni. Karya utamanya ialah Ihya ’Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu Agama); Tahafut al-Falasifa (Inkoherensi Para Filsuf); Mishkat al-Anwar (Relung Cahaya), Maqasid al falasifa (Tujuan para Filsuf), dan masih banyak lagi.

Zhu Xi, 1130–1200, salah seorang filsuf Konfusianisme Tiongkok terpenting; ada yang menempatkannya di posisi kedua setelah Konfusius. Zhu Xi mengembangkan sistem filsafat yang sangat berpengaruh, yang dikenal di Barat sebagai Neo-Konfusianisme dan meletakkan dasar bagi sistem pendidikan tradisional Tiongkok yang tetap ada hingga tahun 1905.
Empat Buku dan Lima Klasik merupakan teks kanonik awal utama Konfusianisme. Semuanya mencakup berbagai topik, termasuk filsafat, sastra, ekonomi, politik, seni, sains, dan teknologi. Empat Buku mencakup percakapan Konfusius yang telah diedit dan kumpulan pemikiran filsuf Mencius. Tak seperti beberapa pendahulunya, Zhu Xi mengambil Empat Buku sebagai landasan terpenting pembelajaran Konfusianisme. Lima Klasik adalah Ode, Sejarah Musim Semi dan Musim Gugur, Dokumen, Ritus, dan Klasik Perubahan. Awalnya, semuanya membentuk bagian dari kurikulum guna ujian masuk ke birokrasi kekaisaran Cina.

Moses Maimonides, 1135–1204, yang bermakna 'putra Maimon, lahir dalam keluarga ilmiah Yahudi di Córdoba, Spanyol, yang saat itu berada di bawah kekuasaan umat Islam. Maimonides menyusun dan menerbitkan karya besar pertamanya di Mesir, Mishneh Torah (kumpulan tradisi lisan Yahudi).

Albertus Magnus, c.1200–1280, dikenal sebagai doctor universalis ('dokter universal') oleh keluasan ilmunya, Albertus berusaha mendamaikan gagasan Aristoteles dengan doktrin Kristen dan meninggalkan jejaknya sebagai guru Thomas Aquinas muda. Pada tahun-tahun setelah kematiannya, nama Albertus dikaitkan dengan alkimia, disiplin ilmu yang berusaha (namun tak berhasil) mengubah logam dasar menjadi emas. Pada kenyataannya, hanya ada sedikit bukti bahwa Albertus pernah tertarik pada subjek tersebut, yang pada saat itu dianggap sebagai pengejaran ilmiah yang valid. Albertus adalah satu-satunya pemikir yang dijuluki magnus, 'yang hebat,' dalam masa hidupnya sendiri—kemungkinan besar para pendukung alkimia menggunakan prestise namanya untuk menghubungkannya dengan karya pseudonim tentang subjek tersebut, mengklaim sebagai penulisnya.

Thomas Aquinas, 1225–1274, merupakan pemikir Italia paling berpengaruh pada Abad Pertengahan. Ia berhasil mendamaikan filosofi Aristoteles dengan pelajaran Kitab Suci, menjadi juru bicara utama iman Katolik. Pada usia 14 tahun yang mengesankan, Aquinas memasuki dunia sekuler yang sangat berbeda dengannya. Universitas, yang didirikan oleh Frederick II pada tahun 1224 untuk melatih staf administrasinya, merupakan lembaga pertama dari jenisnya yang tak berhubungan dengan Gereja. Faktanya, suasana universitas tersebut beranti-kepausan yang nyata dan berkarakter eksotis dari istana Frederick di Palermo, yang merupakan tempat percampuran pengaruh Latin, Yahudi, dan Islam.
Sebagian besar karya Aquinas berasal dari studinya tentang Aristoteles. Beberapa karya yang terakhir telah lama tersedia — pada abad ke-6, misalnya, Boethius menerjemahkan karya-karyanya tentang logika—tetapi luasnya filosofi Aristoteles yang luar biasa menjadi jauh lebih jelas pada abad ke-13. Aquinas menghasilkan komentar penting atas karyanya tentang etika (Etika Nicomachean) dan metafisika, dan ia sangat dipengaruhi oleh risalah Aristoteles tentang jiwa (De Anima).

William dari Ockham, 1285–1347, berusaha memangkas abstraksi pemikiran abad pertengahan dengan memusatkan perhatian pada entitas individu daripada pada generalisasi. Alat filosofis yang ia gunakan untuk melakukannya adalah logika. Saat ini, hanya sedikit orang yang berbicara tentang William of Ockham tanpa mengacu pada pisau cukur Ockham (atau Occam)—meskipun gagasan yang terkandung dalam frasa itu, sudah tua ketika ia mengambilnya dan dapat ditelusuri kembali ke Aristoteles. Prinsipnya, yang sering diringkas sebagai 'Entitas tak boleh dikalikan tanpa keharusan' (frasa yang sebenarnya tak pernah digunakan Ockham), merujuk pada desakannya memangkas kompleksitas teka-teki dari para filsuf Skolastik sebelumnya. Saat ini, kata ini paling sering digunakan guna memaknai, 'All things being equal, the simplest solution is the best.'

Masih banyak nama yang bisa disebut, antara lain,

Wasubandhu, abad ke-4 hingga ke-5, lahir di Gandhara, sekarang di Pakistan, biksu dan cendekiawan Buddha. Wasubandhu hidup selama Kekaisaran Maurya.

Kūkai, 774–835 M, ia pendiri Buddhisme Shingon (Firman Sejati), di Jepang.

Adi Shankara, 788–820 M, tokoh penting India dalam perkembangan pemikiran Hindu.

Al-Kindi, c.801–873 M, dikenal sebagai 'Bapak Filsafat Arab', lahir dari keluarga Arab terkemuka di Kufah, di tempat yang sekarang disebut Irak. Sebagai seorang pemuda, ia pindah ke Bagdad, yang saat itu merupakan ibu kota kekhalifahan Islam Abbasiyah. Bekerja di Bait Hikmah—sebuah perpustakaan dan pusat intelektual yang didirikan oleh para khalifah—ia mengawasi penerjemahan ribuan manuskrip Yunani kuno ke dalam bahasa Arab, termasuk karya filsafat, sains, kedokteran, matematika, geografi, dan astronomi. Karya-tulis Al-Kindi yang luas berusaha mendamaikan pembelajaran Yunani yang diwarisi dari dunia pra-Islam dengan teologi Islam, menggabungkan ide-ide yang diambil dari Aristoteles, Plotinus, dan Neo-Platonis lainnya ke dalam filsafat Islam. Pengaruhnya mencapai puncaknya di bawah Khalifah Al-Mu'tasim (memerintah 833 842 M), namun menurun di bawah penerus al-Mu'tasim, yang menegaskan kembali ortodoksi Islam yang tak toleran. Menetap di Bagdad hingga akhir hayatnya, menurut beberapa catatan, al-Kindi wafat dalam kesendirian dan kemiskinan.

Al-Farabi, c.872–c.950 M, seorang pemikir terkemuka Zaman Keemasan Islam. Baik tempat kelahirannya maupun etnisnya, tak pasti, namun ia mungkin berasal dari Asia Tengah. Karya-tulis Al-Farabi mencakup berbagai topik, mulai dari filsafat dan logika hingga musik dan sains, mengadaptasi pemikiran Yunani Kuno ke dalam konteks Islam. Karya-karyanya yang paling ternama adalah ārā ahl al-madīna al-fāḍila, Kota Kebajikan. Dipengaruhi oleh Republik-nya Platon, kontras dengan masyarakat ideal, dimana orang berkolaborasi secara harmonis guna mencapai kebahagiaan, dengan konsekuensi dari berbagai bentuk pemerintahan yang salah. Tulisan-tulisan Al-Farabi memberikan pengaruh besar pada filsuf Muslim selanjutnya, termasuk Avicenna dan Averroës. Ia menjalani sebagian besar hidupnya di Bagdad, tapi meninggalkan kota itu sekitar tahun 943 M untuk menghindari gangguan politik yang menyertai penurunan kekhalifahan Abbasiyah. Ia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di Mesir dan di Suriah, dimana meninggal pada tahun 950 atau 951M.

Murasaki Shikibu, c.970–c.1014 ce, dikagumi sebagai penulis Genji Monogatari (Hikayat Genji), terkadang dipandang sebagai novel pertama di dunia.

Cheng Hao, 1032–1085, mengajarkan bahwa li, 'prinsip', menanamkan alam semesta dan menyatukan segala sesuatu. Sifat manusia pada dasarnya baik, tetapi hanya introspeksi yang dapat mengungkap Jalan yang benar. Merek Neo-Konfusianismenya bakalan menjadi doktrin resmi negara Tiongkok.
Rāmānuja, c.1077–c.1157, filsuf Hindu. Meskipun bahasa asli Rāmānuja adalah bahasa Tamil, ia menulis dalam bahasa Sanskerta saat mengungkapkan filosofinya melalui komentarnya terhadap teks suci.

Peter Abelard, 1079–1142, filsuf dan teolog Prancis. Pada tahun 1122, ia dipaksa membakar Theologia Summi Boni (Sejarah Kebaikan Tertinggi), dan pada tahun 1141, dikucilkan karena dianggap sesat. Sebagai seorang filsuf skolastik, Abelard percaya bahwa logika itu, satu-satunya jalan menuju kebenaran selain wahyu ilahi. Surat-surat antara ia dan Héloïse, merupakan sastra klasik.

Dōgen, c.1200–1253, pendiri aliran Soto dari Buddhisme Zen, Jepang.

Duns Scotus, atau John Scotus, c.1266–1308, merupakan seorang filsuf dan teolog Skotlandia terkemuka di era skolastik.

Christine de Pizan, 1364–c.1430, merayakan karya-tulisnya tentang status wanita. Tulisan-tulisannya termasuk risalah tentang perang dan karya tentang pemerintahan dan politik, tetapi subjek utamanya adalah pembelaan wanita terhadap pencela pria mereka. Terutama di Le Livre de la cité des dames (Kitab Kota Wanita), ia berpendapat bahwa wanita setara dengan pria dalam kebajikan, mengutip contoh wanita hebat dari sejarah dan mitos. Dengan Prancis yang dilanda perang, Christine mencari perlindungan di sebuah biara di tahun-tahun terakhirnya. Karya terakhirnya adalah sebuah puisi yang menyanjung Joan of Arc.

Nicolas dari Cusa, 1401–1464, seorang pemikir gerejawi dan inovatif terkemuka Jerman.

Marsilio Ficino, 1433–1499, seorang humanis Renaisans Italia.

Kita dapat menarik kesimpulan bahwa seorang pemikir 'hebat' itu, seseorang yang ide-idenya berpeluang paling tinggi membantu kehidupan kita sekarang ini. Biasanya, pemikir hebat dimasukkan dalam karya ensiklopedis atas dasar reputasi: daftar dibuat menanyakan nama apa yang paling berpengaruh, dan ide apa yang paling diingat membentuk dunia intelektual. Engkau juga dapat mengarahkan wawasanmu pada tujuan yang berbeda: engkau ingin mengetahui ide-ide apa yang menawarkan bantuan untuk beberapa masalah utama di zamanmu sendiri.
Kuncinya, pemahaman. Manakala engkau memahami sesuatu, engkau dapat memahami strukturnya: ketersambungannya, keterhubungannya, signifikansinya relatif terhadap apapun. Bagaimana keselerasannya. Engkau melihat-merasakan-berintuisi bahwa ia berpatutan. Engkau mengetahuinya. Ya kan?
Tatkala sesuatu dikontekstualisasikan, kita bisa tiba-tiba mendapatkannya. Rasanya 'bermakna' bagi kita lantaran sesuai dengan jaringan dari apa yang telah kita ketahui dan pahami, serta dapat menghubungkannya. Pengetahuan kita. Semakin engkau memahami informasi dalam pengaruh ini, semakin terhubung dan semakin terkontekstualisasi, lalu ia kian berubah dan tumbuh jadi ilmu. Begitu engkau sampai di sana, engkau bakal mulai mengarungi Samudra Ilmu yang luas nan indah. Ya, Ilmu itu indah.'"

"Sudah waktunya pergi," kata Swara, "Sekarang, bahanaku semakin perlahan. Sesi berikutnya, kita akan bincang tentang Para Filsuf Modern Awal, Insya Allah." Swara menghilang sambil bersenandung,

We light the deepest ocean
[Kita menerangi samudera terdalam]
Send photographs of Mars
[Kirimkan fotograf planet Mars]
We're so enchanted by
[Kita amat terpesona oleh]
how clever we are
[betapa pandainya kita]
Why should one baby
[Haruskah bayi seseorang]
feel so hungry she cries?
[merasa teramat laparnya, ia menangis?]
Saltwater wells in my eyes *)
[Air-asin bertelaga di mataku]

"Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- DK London, Philosophers - Their Lives and Works, Cobaltid
- Alain the Botton, Great Thinkers, the School of Life Press
*) "Saltwater" written by Julian Lennon, Mark Spiro & Leslie Spiro
[Sesi 3]
[Sesi 1]