Senin, 30 Januari 2023

Bila Burung Camar Berbicara tentang Kekebalan Khusus

"Beberapa hari ini, sang Purnama belum muncul, dan aku mendengarkan Burung Camar bercerita," tukas Swara ketika ia sampai, usai mengucapkan Basmalah dan Salam. Lalu ia berdendang,

Burung camar, tinggi melayang
Bersahutan, di balik awan
Membawa angan-anganku jauh meniti buih
Lalu hilang jauh di lautan *)

"Sebelum menyampaikan tentang cerita sang Camar," imbuh Swara, "coba dengarkan cerita ini, 'Sebuah ruangan, penuh dengan ibu hamil dan pasangannya. Kelas Lamaze berjalan lancar. Sang instruktur sedang mengajarkan kepada para calon Bunda, cara bernapas dengan benar, dan menyampaikan kepada para calon Bapak, bagaimana memberikan dukungan dan dorongan yang dibutuhkan.
'Olahraga itu baik lho buat Bunda,' pesan sang Instruktur.
'Berjalan sangat bermanfaat. Dan, buat bapak-bapak, alangkah baiknya, jika meluangkan waktu, berjalan-jalan bersama pasangan Anda!'
Seorang lelaki, yang berada di tengah kelompoknya, angkat bicara, 'Boleh gak ya, pasangan kita, s'kalian bawain tas-golf, waktu jalan-jalan?'" 
"Sang camar yang tak cemar, berkata," lanjut Swara, 'Filsafat Barat, sesungguhnya bukanlah dimulai oleh Socrates, namun setidaknya, kita belajar tentang mitos seorang pendiri. Socrates itu, lalat-pengganggu. Ia menunjukkan bahwa orang-orang yang dianggap paling bijak di Athena, tak dapat menjawab apa yang nampak seperti pertanyaan sederhana, tentang wilayah keahlian mereka. Seorang abid, tak mampu menjelaskan apa itu Ibadah; orang yang mengaku adil, tak bisa menjelaskan apa itu Keadilan. Socrates menunjukkan betapa banyak orang menerimanya begitu saja, dan betapa sedikit, yang mampu mempertimbangkan asumsi dasarnya. Tentu saja, perilaku seperti ini, berbahaya. Makanya, orang Athena tak suka; mereka mengeksekusi Socrates. Namun, filsafat tak semata 'berbahaya' bagi para filsuf. Filsafat membawa ide-ide tersembunyi kita ke permukaan dan mengungkap kontradiksi yang tak terlihat. Apa yang kita kira jelas, nampak begitu buram kala direnungkan. Pengamatan filosofis, sering menunjukkan bahwa keyakinan inti kita, amburadul. Seringkali kita berbuat kekeliruan yang berbahaya, saat berupaya membereskan kekacauan itu. Saat ini, beberapa negara masih menderita warisan kekeliruan masa-lalu para filsuf.
Akan tetapi, pada saat yang sama, kita tak membuat kemajuan tanpa menantangnya, dan dalam banyak persoalan, mengubah gagasan moral kita. Umumnya, dan semestinya, dalam masyarakat kekinian seperi sekarang ini, orang hidup jauh lebih baik dan jauh lebih adil ketimbang seribu tahun yang lalu. Penting bagi kita melihat, bahwa sekarang, agen pemerintah sebagai pelayan yang ditunjuk oleh rakyat, bukanlah para Juragan pilihan para dewa. Penting bagi kita melihat, bahwa masyarakat, dimana-mana, sebagai bagian dari komunitas moral yang sama ketimbang menganggap, seperti yang dilakukan kebanyakan orang terdahulu, bahwa 'orang barbar' di luar perbatasan kita, juga berada di luar perhatian moral kita. Penting bagi kita mengakui, bahwa pemimpin pemerintahan dan warga sipil, pada dasarnya, setara secara moral; tiada satu set hak pun yang lebih, bagi yang lebih tinggi, dan satu set hak yang berbeda, bagi yang lebih rendah. Tapi sungguh aneh, di negeri antah berantah, ada orang-orang yang tak menyadari hal ini, dan tetap menganut pemikiran orang dulu. Bayangin coba, masyarakat sipil yang mengkritik agen pemerintah, dianggap menghina dan harus di adili. Namun sebaliknya, bila ada agen pemerintah melakukan tindakan berbahaya, dipandang wajar dengan beragam pembenaran.
Acapkali, apa yang tampak seperti bincang-bincang akademis belaka, nongol secara politis. Pada paruh kedua abad ke-20, para filsuf memperdebatkan, selalu salahkah penyiksaan itu, atau diperbolehkankah, atau setidaknya, dapatkah dimaafkan, yang mengekstraksi informasi dari teroris dalam kasus 'bom waktu'. Kemudian Amerika mendeklarasikan 'Perang Melawan Teror', dan mendadak, pembicaraannya, tak lagi bersifat akademis.

Proses berpikir-ktitis seperti para filsuf, kerap berurusan dengan pertanyaan dan poin yang berbahaya, ketika secara kritis, memeriksa asumsi kita yang paling mendasar, dan menimbang-nimbang, bertahankah keyakinan itu terhadap pengamatan yang cermat. Melakukannya, dijamin, nyaris dipastikan, ada yang baper. Nah, disinilah letaknya.

Jason Brennan menulis, bahwa di dunia nyata, hampir setiap hari, orang-orang yang memegang kendali kekuasaan dalam masyarakat demokratis—termasuk presiden, birokrat, hakim, petugas polisi, agen rahasia, dan bahkan pemilih demokratis—menggunakan kekuasaan mereka, dengan jalan yang sangat tak adil dan cara-cara yang tak bertanggung jawab. Maka, satu pertanyaan mendesak terhadap filsafat politik ialah, apa yang boleh dilakukan oleh warga negara biasa dalam menghadapi ketidakadilan.
Dalam bukunya yang ternama, Exit, Voice, and Loyalty, ekonom politik, Albert Hirschman, menganalisis tiga cara utama pelanggan perusahaan atau anggota organisasi, kemungkinan bereaksi terhadap perilaku buruk pihak perusahaan atau organisasi. Mereka mungkin 'exit', maksudnya pelanggan bakalan berhenti membeli produk mereka atau anggota organisasi (seperti karyawan) bisa jadi, pergi. Mereka barangkali menggunakan 'voice', yang bermakna bahwa mereka bakal mengadu kepada orang-orang di dalam organisasi itu sendiri, seperti orang-orang yang memegang kekuasaan atas organisasi tersebut, atau masyarakat luas. Terakhir, mereka mungkin masih loyal—yaitu, mereka berkecenderungan, bertahan dengan perusahaan atau organisasi, kendati punya kekurangan. Hirschman tak mengatakan bahwa loyalitas selalu menjadi alternatif voice atau exit. Sebaliknya, perilaku loyal dapat menambah voice atau ancaman exit pelanggan.

Banyak filsuf dan orang awam, k'lihatannya percaya bahwa kala kita bereaksi terhadap penindasan dan ketidakadilan politik, pilihan kita terbatas pada voice, exit, atau loyal. Ada yang berpendapat bahwa kita wajib berpartisipasi dalam politik, memprotes, terlibat dalam kampanye politik, dan mendorong perubahan sosial melalui jalur politik. Yang lain memikirkan bahwa tindakan seperti itu, pujian belaka. Sebagian besar berpendapat bahwa kita punya pilihan untuk diam atau beremigrasi ke negara lain. Secara umum, mereka cenderung berasumsi atau menyimpulkan bahwa ketika pemerintah mengeluarkan perintah yang tak adil, berperilaku tak adil, atau mengesahkan undang-undang yang tak adil, kita cuma bisa mematuhi, mengeluh, atau berhenti. Biasanya, kita hendaknya mematuhi hukum itu, atau jika kita melanggar hukum sebagai protes, kita harus siap menanggung akibatnya, termasuk menerima hukuman. Mereka biasanya cenderung setuju bahwa kita tak boleh melawan agen pemerintah, terutama agen rezim demokratis.

Mempertimbangkan pertanyaan tentang pembantaian atau pembunuhan defensif, Andrew Altman dan Christopher Wellman berkata, 'Pastinya, seseorang diperbolehkan membunuh [Joseph] Stalin pada tahun 1930-an.' Namun jika demikian, tak bolehkah pula melakukan tindakan serupa terhadap pejabat pemerintah jika itu satu-satunya jalan menghentikan mereka dari merugikan orang yang tak bersalah? Jika engkau dapat membunuh Adolf Hitler guna menghentikannya menyerang Polandia, diperbolehkankah engkau melakukan hal yang sama kepada seorang presiden guna menghentikannya menyerang Filipina, atau memerintahkan pembantaian genosida dan pemindahan paksa suatu kelompok etnis? Andai engkau boleh membunuh agen Gestapo demi menghentikannya membunuh orang yang tak bersalah, bolehkah engkau melakukan hal yang sama, kepada petugas polisi yang menggunakan kekerasan berlebihan?
Filsuf dan orang awam sering berasumsi atau tak membantah. Mereka berasumsi atau berpendapat bahwa dalam demokrasi liberal, yang diperbolehkan cuma perlawanan tanpa kekerasan terhadap ketidakadilan negara. Mereka berasumsi bahwa, kita hendaknya tunduk pada agen pemerintah yang demokratis, kendatipun agen ini bertindak dengan cara yang sangat tak adil, berbahaya, dan merusak. Pandangan seperti ini, membingungkan. Pandangan yang berlaku bahwa manakala berkenaan dengan agen pemerintah, kekerasan defensif, penipuan, perusakan, dan akal-akalan yang diatur oleh prinsip-prinsip moral yang berbeda dari yang mengatur kekerasan defensif dan akal-akalan dalam konteks lain. Hal ini mengandaikan bahwa diperbolehkannya berbohong, menipu, menyabotase, atau membunuh seorang penyerang demi membela diri atau membela orang lain, bahwa penyerangnya mengenakan seragam, memegang jabatan, atau ditunjuk oleh seseorang yang pada gilirannya, dipilih oleh tetanggaku. Menurut pandangan yang berlaku, tetanggaku dapat menghilangkan hakku guna membela-diri atau membela orang lain, dengan memberikan jabatan kepada seseorang. Ini sangat membingungkan, lantaran hampir semua orang, saat ini mengakui bahwa hukum dan keadilan, bukanlah hal yang sama; hukum bisa saja, sangat tak adil.Alih-alih tiga opsi tersebut, exit, voice, atau loyalty, boleh jadi, akan memunculkan opsi keempat: 'resistance' (perlawanan). Istilah 'Perlawanan', bisa mencakup berbagai perilaku. Termasuk perilaku pasif semisal ketidakpatuhan—yaitu, melanggar hukum secara strategis atau mengabaikan perintah negara kapan pun engkau dengan begitu saja, bisa lolos darinya. Pula, mencakup bentuk perlawanan yang lebih aktif, seperti memblokir mobil polisi, merusak atau menghancurkan properti pemerintah, menipu dan berbohong kepada agen pemerintah, atau memerangi agen pemerintah. Bentuk-bentuk perlawanan seperti itu, sering dibenarkan, bahkan sebagai tanggapan terhadap ketidakadilan di dalam negara-negara demokratis modern, yang sebagian besar memiliki pemerintahan yang relatif adil secara keseluruhan.

Pandangan standar, yang ketara diterima oleh hampir semua orang dari setiap ideologi, bahwa agen pemerintah, dikelilingi oleh semacam medan-magnet berkekuatan moral magis. Mereka menikmati status khusus atau istimewa, tatkala mereka melakukan tindakan yang tak adil. Pandangan standar menyatakan bahwa agen pemerintah, punya izin khusus melakukan tindakan yang tak adil—tindakan yang kita anggap jahat dan tak diperbolehkan jika agen non-pemerintah melakukannya—dan bahwa agen ini, menikmati hak khusus agar tak dihentikan saat mereka berbuat ketidakadilan. Agen pemerintah, entah bagaimana, mungkin melakukan tindakan yang tak adil, dan kita hanya berdiri menatap dan membiarkan mereka.
Mungkin kata 'membiarkan' rada-rada sengak. Kebanyakan orang percaya, kita mungkin mengeluh ketika agen pemerintah bertindak buruk. Kita mungkin menuntut agar agen pemerintah lainnya menghukum koleganya atas perilaku buruk tersebut. Beberapa filsuf melangkah lebih jauh: mereka berpikir bahwa ketika pemerintah bertindak buruk, secara moral, kita berkewajiban memprotes, menulis surat kepada editor surat kabar dan senator, dan memilih kandidat yang lebih baik. Tapi, menurut mereka, kita sendiri, tak semestinya menghentikan ketidakadilan. Namun, kita tak berpikir seperti itu tentang ketidakadilan pribadi. Jika penyerang berupaya menyakitimu, tiada yang akan mengatakan bahwa engkau tak berhak melawan. Engkau tak semestinya pasrah bongkokan, lalu berharap polisi, nantinya bakal menangkap sang penyerang dan membawa mereka ke pengadilan.
Beberapa filsuf politik dan orang awam akan mencemooh. Mereka mengklaim bahwa mereka punya versi pandangan 'agen pemerintah yang ajaib' yang jauh lebih terbatas dan masuk-akal. Mereka menyangkal bahwa semua pemerintah, agen pemerintah, atau aktor politik, punya izin khusus melakukan tindakan yang tak adil. Mereka menyangkal bahwa kita selayaknya mundur dan membiarkan aktor pemerintah bertindak tak adil. Sebaliknya, mereka berkata, 'Dalam pandangan sederhana kami, hanya pemerintah, agen, dan aktor demokratis yang dikelilingi oleh medan kekuatan moral magis, yang menghilangkan kewajiban moral normal mereka, dan pada saat yang sama, menuntut kita semua membiarkan mereka bertindak tak adil. Tentu saja, pemerintah non-demokratis dan agen-agennya, tak menikmati keistimewaan seperti itu.
Maka, banyak orang menganut apa yang disebut tesis Special Immunity (Kekebalan Khusus). Tesis Kekebalan Khusus, berpendapat bahwa ada beban khusus bila membenarkan, atau mengganggu, berusaha menghentikan, atau melawan agen pemerintah yang, bertindak ex officio, berbuat ketidakadilan. Agen pemerintah—atau setidaknya agen pemerintah demokratis—menikmati kekebalan khusus agar tak ditipu, dibohongi, disabotase, diserang, atau dibunuh guna membela diri atau membela orang lain. Properti pemerintah menikmati kekebalan khusus terhadap kerusakan, sabotase, atau kehancuran. Serangkaian kondisi dimana diperbolehkan, membela diri atau membela orang lain, menipu, berbohong, menyabotase, atau menggunakan kekerasan terhadap agen pemerintah (bertindak ex officio), atau menghancurkan properti pemerintah, jauh lebih ketat. serta dibatasi secara ketat dari serangkaian kondisi, dimana diperbolehkan menipu, berbohong, menyabotase, menyerang, atau membunuh warga sipil, atau menghancurkan properti pribadi.

Sebagai lawan atau penolakan Tesis Kekebalan Khusus ini, Brennan menawarkan the Moral Parity Thesis (Tesis Paritas Moral). Tesis paritas moral berpendapat bahwa membenarkan pembelaan diri atau pembelaan orang lain terhadap agen pemerintah setara dengan membenarkan pembelaan diri atau pembelaan orang lain terhadap warga sipil. Bahwa pejabat pemerintah (termasuk pejabat pemerintahan demokratis, bertindak ex officio) tak menikmati status moral khusus yang melindungi mereka dari tindakan defensif. Ketika pejabat pemerintah melakukan ketidakadilan dalam bentuk apapun, secara moral diperbolehkan bagi kita, sebagai individu non-pemerintah, memperlakukan mereka dengan cara yang sama seperti kita memperlakukan individu yang melakukan ketidakadilan yang sama. Apapun yang mungkin kita lakukan terhadap individu pribadi, kita dapat melakukannya terhadap pejabat pemerintah. Kita dapat menanggapi ketidakadilan pemerintah, namun kita dapat menanggapi ketidakadilan pribadi. Agen pemerintah tak punya rasa hormat moral yang lebih besar ketika mereka bertindak tak adil ketimbang hak individu di dalam masyarakat.
Tesis paritas moral berpendapat bahwa agen, properti, dan agen pemerintah yang demokratis adalah target yang sah dari penipuan defensif, sabotase, atau kekerasan seperti halnya warga sipil. Prinsip yang menjelaskan bagaimana kita dapat menggunakan kekerasan defensif dan dalih terhadap warga sipil, dan prinsip yang menjelaskan bagaimana kita dapat menggunakan kekerasan defensif dan dalih terhadap agen pemerintah, meupakan satu-kesatuan dan setara. Agen pemerintah (termasuk warga negara ketika mereka memilih) yang melakukan ketidakadilan, setara dengan warga sipil yang melakukan ketidakadilan yang sama.'"

"Mungkin," Swara hendak mengakhiri perbincangan, "kita akan mengernyitkan kening saat mendengar usulan Brennan, tapi demikianlah kenyataannya. Bila Moral Hazard bagi para agen pemerintah yang berlaku tak adil, tak lagi didengarkan, satu-satunya cara, yaitu dengan mengatakan tidak pada the Special Immunity, dan mengeksekusi the Moral Parity.

Dan terakhir, dengarkan ini, 'Liat, cweepet banget tuh pesawat!' kata salah seekor Elang kepada kolega Elang lainnya, saat sebuah pesawat jet-tempur meluncur di atas kepala mereka.
'Hmmh!' yang lain melengos. 'Ente juga bisa terbang secepat itu, asalkan ekor ente, terbakar!'
Wallahu a'lam."

Sebelum bahananya memudar, Swara pun berdendang,

Tiba-tiba 'ku tertegun, lubuk hatiku tersentuh
Perahu kecil terayun, nelayan tua di sana
Tiga malam, bulan t'lah menghilang
Langit sepi walau tak bermega

Tiba-tiba kusadari, lagu burung camar tadi
Cuma kisah sedih, nada duka hati yang terluka
Tiada teman, berbagi derita
Bahkan untuk berbagi cerita

Burung camar, tinggi melayang
Bersahutan, di balik awan
Kini membawa anganku yang tadi melayang
Jatuh dia, dekat di kakiku *)
Kutipan & Rujukan:
- Jason Brennan, When Else False - The Ethics of Resistance to State Injustice, Princeton University Press
- Mark Osiel, The Right To Do Wrong - Morality and the Limits of Law, Harvard University Press
- Albert O. Hirschman, Exit, Voice, and Loyalty - Responses to Decline in Firms, Organizations, and States, Harvard University Press
*) "Burung Camar" karya Ridwan Armansjah Abdulrachman