Jumat, 06 Januari 2023

Mengapa para Pemikir Berpikir?

"Graha bilang begini padaku, 'Ketika aku mencermati patung perunggu karya Auguste Rodin, sesosok lelaki bogel, berukuran heroik yang duduk di atas batu, Le Penseur, membuatku kepo, mengapa para Pemikir, berpikir?'" Swara memulai sesi bincang-bincang saat ia datang, setelah mengucapkan Basmalah dan menyapa dengan Salam, di kala sang Purnama masih tersamar oleh kabut musim hujan.

"Swara melanjutkan, 'Graha lalu berkata, ' Patung tersebut bogel, sebab Rodin menginginkan sosok heroik dalam tradisi Michelangelo, agar mewakili kecerdasan sekaligus syair, itulah sebabnya Le Penseur awalnya bernama Le Poète, dan merupakan bagian dari sekelompok besar orang dengan fungsi-fungsinya, dimulai pada tahun 1880, mengitari pintu yang disebut Gerbang Neraka. Rodin mendasarkan ini pada puisi awal abad ke-14, The Divine Comedy, oleh Dante Alighieri, yang menulis, '... dari mereka yang telah menolak nilai-nilai spiritual dengan mengalah pada nafsu-hewani atau kekejaman, atau dengan memutarbalikkan intelek manusiawi mereka menjadi kecurangan atau kedengkian terhadap sesama manusia.'
Bener juga sih apa kata Dante, k'leru dikit aja dalam proses berpikir, kita bisa tergelincir ke Neraka.
Kita semua tahu bahwa kita memikirkan apa yang kita pikirkan ketika kita memikirkannya, karena otak ingin bertahan hidup, tetapi manusia juga cukup unik agar menghasilkan pikiran dan menaruh keyakinan mereka sendiri tentang pikiran itu. Kita juga perlu berpikir positif, agar qalbu kita tetap menyala. Ibnu Qayyim berkata, 'Jika qalbu dicabut dari ilmu, ia akan mati, namun seseorang boleh jadi, tak merasakan matinya qalbu.' Dalam perspektif Islam, para ulama memberi nasihat bahwa dalam berolah-pikir, seyogyanya seorang Muslim atau Muslimah tetap menjaga kejernihan-akal dan kebersihan qalbu, dan pula, agar Akidah Islam senantiasa terpelihara dalam dirinya.
Maka, aku berusaha mencari beberapa perspektif tentang para Pemikir, yang ketika kita membicarakan tentang mereka, berkaitan erat dengan para Filsuf. Secara anekdot, telah lama ada pengakuan bahwa cinta orangtua bagi anaknya, mengubah orangtua secara mendalam. Namun kita tak perlu semata mengandalkan bukti anekdot tentang efek transformatif menjadi orangtua. Para ilmuwan telah mampu melacak efek tersebut dalam fisiologi otak.

Beberapa kontributor, Tonny Allan, R.G. Grant, Diana Loxley, Kirsty Seymour-Ure, Marcus Weeks, Iain Zaczek, Will Buckingham, Simon Blackburn, mempresentasikan studi tentang para Filsuf, yang diterbitkan pada tahun 2019. Mereka mengelompokkan para Filsuf menjadi 6 fase: Kuno, Abad Pertengahan, Modern Awal, Modern, Abad ke-20, dan Sekarang. Pada fase Kuno, di antaranya Laozi, Konfusius, Siddharth Gautam, Diotima dari Mantinea, Socrates, Diogenes dari Sinope, Plato, Aristoteles, Mencius, Zhuangzi, Epicurus, Marcus Aurelius, Nagarjuna, Agustinus dari Hippo, dan Hypatia. Sekarang mari kita bincangkan sedikit tentang mereka menurut para kontributor tersebut.

Laozi secara tradisional disebut sebagai penulis Daodejing, atau Tao Te Ching atau Tao Teh King, yang berarti 'Kitab tentang Jalan dan dari Kebajikan,' dan pendiri sistem filsafat yang kemudian dikenal sebagai Taoisme. Menurut legenda, orang bijak Laozi [Guru Tua] itu, seorang yang sezaman tapi lebih tua dari Konfusius dan hidup pada abad ke-6 sM. Sejarawan Sima Qian mengklaim bahwa Laozi bekerja sebagai penjaga arsip di istana Zhou, dimana ia pernah ditemui oleh Konfusius, yang berkonsultasi dengannya tentang li [upacara dan ritual].
Menjelang akhir hidupnya, disebutkan bahwa Laozi, sangat suntuk menghadapi korupsi dan intrik politik istana dan pergi ke perbatasan Barat, menunggang kerbau. Di pintu gerbang, ia dihentikan oleh seorang penjaga, yang membujuknya agar menuliskan kata-kata bijaknya. Laozi manut—hasilnya, kitab Daodejing-nya tersebut. Sang bijak kawakan itu, lalu menunggangi kerbaunya dan berkendara ke arah Barat, tak pernah terlihat lagi.

Konfusius, 551 SM–479 SM, bisa dibilang guru paling berpengaruh dalam sejarah Tiongkok. Seorang humanis, ia peduli dengan bagaimana menjalani kehidupan yang bajik dan bagaimana membangun masyarakat yang dibangun di atas kebajikan itu. Nama Konfusius dikenal di Barat merupakan versi Latin dari dialek Chinese, Kong Fuzi, atau Guru Kong. Ia lahir di negara bagian Lu di Timur Laut Tiongkok, di provinsi Shandong saat ini, dan hidup pada masa yang dikenal sebagai periode Musim Semi dan Musim Gugur dalam sejarah Tiongkok. Periode ini, yang dinamai menurut buku sejarah kuno, disebut Chunqiu, atau Sejarah Musim Semi dan Musim Gugur, terbentang dari 770 SM hingga 481 SM. Di masa itulah pergolakan dan ketidakpastian politik, dimana sejumlah negeri kecil bersaing guna memperoleh kedaulatan. Konfusius menyesali perpecahan ini, dan filosofinya terus-menerus melihat ke belakang ke dinasti Zhou sebelumnya (c.1046–771 SM) sebagai masa persatuan dan stabilitas dan berusaha memulihkan masa lalu ini untuk memulihkan apa yang dilihatnya sebagai kebajikan masa lalu.

Siddharth Gautam, c.480–c.400 SM, yang kemudian dikenal sebagai sang Buddha atau 'yang terbangun', seorang filsuf India yang lahir pada abad ke-5 SM. Ajarannya berfokus pada mengatasi ketidakpuasan dalam kehidupan sehari-hari.
Keilmuan kontemporer menunjukkan bahwa Siddharth Gautam, lahir pada abad ke-5 SM dan meninggal pada usia 80 tahun. Keseharian hidupnya, masih rada-rada kontroversi, namun ada sedikit perbedaan pendapat mengenai fakta bahwa ia merupakan anggota marga Syakya, yang tinggal di lokasi yang sekarang menjadi perbatasan antara India dan Nepal, dan ia dibesarkan dalam keluarga yang kaya dan tenteram.
Saat itu, India merupakan pusat kegiatan filosofis dan religius. Lagipula, wilayah ini mengalami urbanisasi, dengan peningkatan pesat dalam perdagangan dan wisata, serta munculnya negeri-negeri besar dan sangat kuat. Setelah kematian Siddharth, puncaknya adalah kebangkitan Kekaisaran Maurya. Periode yang dimulai pada abad ke-7 SM menunjukkan pula pertumbuhan yang mencolok dalam kelompok-kelompok praktisi agama dan sramana [orang yang bekerja, banting-tulang, atau berjerih-payah (untuk tujuan yang lebih tinggi atau religius)], atau filsuf pengembara.
Sulit menguraikan sejarah dan legenda, tetapi secara umum disepakati bahwa Siddharth meninggalkan rumah dan keluarganya demi menjadi seorang sramana, dan bahwa ia magang pada sejumlah guru. Akhirnya, ia mengalami bodhi, atau 'kebangkitan', yang ia gambarkan sebagai pembebasan dari penderitaan atau ketidakpuasan terhadap hidup. Mengikuti pengalaman ini, ia menghabiskan sisa hidupnya mengajar. Setelah kematiannya, ia meninggalkan ribuan pengikut.

Kaum perempuan nyaris tak punya hak hukum atau politik di zaman Yunani Kuno. Kendati berstatus rendah dalam masyarakat, ada wanita yang diterima dan dihormati oleh teman pria sepantarannya. Pythagoras, misalnya, memperlakukan kaum wanita (termasuk filsuf Theano) setara dengan lelaki di perguruannya, dan Plato diketahui punya dua murid perempuan, Lasthenia dari Mantinea dan Axiothea dari Philesia (yang berpakaian seperti lelaki saat menghadiri Akademi) guna menghindari anggapan sebagai hetaira [salah satu kelas pelacur independen profesional Yunani kuno yang, selain mengembangkan kecantikan fisik, mengembangkan pikiran dan bakat mereka ke tingkat yang jauh melebihi apa yang diperbolehkan oleh rata-rata wanita Attic]).
Salah seorang dari sedikit filsuf wanita yang mendapatkan pengakuan di era Yunani klasik, Diotima dari Mantinea, disanjung karena menginspirasi Socrates dan mendasari Plato bagi konsepnya tentang 'cinta Platonis'.
Plato melukiskan Socrates berbicara dengan penuh semangat tentang ide-ide Diotima. Socrates menyampaikan pelajarannya tentang cinta melalui dialognya dengan Diotima. Argumen utamanya adalah bahwa energi ketertarikan erotis (dipersonifikasikan oleh dewa Eros) dapat digunakan dalam latihan spiritual dan filosofis yang pada akhirnya, mengarah pada kontemplasi tentang Tuhan.
Sedikit yang diketahui tentang kehidupan Diotima, yang semata berasal dari deskripsi Socrates saat berdikusi dengannya, seperti yang dikisahkan Plato dalam Simposium. Walau beberapa pakar meragukan keberadaan Diotima sebagai tokoh sejarah yang sebenarnya, hampir semua karakter dalam dialog Plato, mewakili orang-orang ternama di Athena kontemporer, dan sangat tak mungkin bahwa Diotima merupakan pengecualian.
Penulis lainnya, yang belakangan ada, juga menyebut Diotima sebagai karakter sejarah daripada karakter fiksi. Bisa jadi, Socrates bertemu Diotima sekitar tahun 450–440 SM, saat ia berusia 20-an. I mencitrakan Diotima sebagai pendeta wanita Mantinea, sebuah kota di Arcadia, yang masyur karena kearifan dan kekuatan prediksinya. Namun, Socrates lebih terpesona oleh kecerdasan Diotima ketimbang kemampuan tilikannya. Seperti kebanyakan filsuf Yunani pada masa itu, ia tertarik, terutama pada sifat ilmiah dunia di sekitarnya, namun percakapannya dengan Diotima, mengajaknya agar ia mengalihkan perhatiannya dari dunia luar ke masalah manusia—khususnya, pada konsep cinta dan keindahan.
Pertemuan dengan Diotima punya dampak yang mengubah hidup Socrates, karena itu menentukan jalan filosofis yang harus diambilnya, yang pada gilirannya, menjadi agenda bagi para pemikir Yunani berikutnya.

Plato menggambarkan Socrates, c.469–399 SM, sebagai 'lalat-pengganggu' Athena, seorang pengganggu yang terus-menerus menantang kebiasaan negara-kota. Dicemooh karena ajarannya, ia dijatuhi hukuman mati karena ketidaksopanan dan merusak kaum-muda kota.
Socrates lahir di Alopece, pinggiran Athena, sekitar 469 SM. Selama hidupnya, Socrates melihat Kekaisaran Athena dikalahkan oleh Sparta dalam Perang Peloponnesia dan mengalami kekejaman dan penindasan oleh para oligarki yang mengikutinya.
Ayah Socrates, Sophroniscus, seorang tukang batu, dan ibunya, Phaenarete, seorang bidan. Terlepas dari status mereka yang rendah-hati, mereka memastikan bahwa putra mereka menerima pendidikan yang baik, yang mencakup studi puisi, musik, dan atletik. Sophroniscus juga mengajarinya perdagangan keluarga, tetapi Socrates lebih tertarik berbicara dengan orang-orang di agora tempat pertemuan utama—di Athena.
Tatkala ia tumbuh dewasa, Socrates menjadi tokoh masyhur di kota itu, dan pada usia 18 tahun, ia mengambil tugas sebagai warga negara laki-laki, termasuk menjadi anggota majelis pemerintahan yang demokratis dan menyediakan dirinya untuk dinas militer. Di seputar waktu ini, diyakini bahwa Socrates mencari bimbingan filsafat dari para guru, termasuk Parmenides, Anaxagoras, dan pendeta wanita Diotima.
Melalui tukar-pikirannya di agora, Socrates mengembangkan reputasinya sebagai seorang filsuf dan secara bertahap, beroleh pengikut, yang sebagian besar terdiri dari pemuda dari masyarakat kelas atas Athena. Namun di luar para pengikutnya, ia kurang dihormati sebagai warga negara dan bahkan dianggap konyol oleh banyak orang.
Budaya Athena menghargai keindahan—terutama keindahan fisik lelaki—dan Socrates tak memenuhi kriteria klasik. Ia pendek dan dodok, dengan hidung pesek, mata jegil, dan perut buncit, dan sama sekali tak tertarik pada pakaian atau perawatan diri. Hal ini menyebabkan citranya oleh penulis drama Aristophanes, sebagai karakter lucu dengan kepala di awan—sosok yang langsung dikenali oleh penonton teater.

Socrates sering dikontraskan dengan semua filsuf Yunani yang mendahului pengaruhnya, yang secara kolektif dikenal sebagai pra-Socrates. Para filsuf ini, tertarik menemukan, terutama pada prinsip-prinsip yang mendasari dunia alam—sifat metafisik alam-semesta.
Socrates memilih memusatkan perhatiannya pada penyeliaan keprihatinan yang sangat manusiawi tentang keadilan, kebajikan, keindahan, dan sebagainya. Namun, itu sebuah penyederhanaan yang berlebihan untuk menyatakan bahwa para filsuf pra-Socrates tak tertarik sama sekali pada filsafat moral dan politik.
Setelah Athena dikalahkan oleh Sparta dalam Perang Peloponnesia, demokrasinya diganti—untuk jangka waktu sekitar 8 bulan—oleh pemerintahan Tiga Puluh Tiran, sekelompok oligarki kejam yang menjalankan Athena sebagai negara boneka Spartan. Selama pemerintahan mereka, banyak penduduk asli Athena melarikan diri dari kota, meskipun Socrates tetap tinggal di sana—diketahui bahwa ia mengagumi beberapa aspek pemerintahan Sparta, dan sejumlah Tiran pernah menjadi muridnya. Selain itu, sahabat baiknya Alcibiades dikaitkan dengan Spartan dan bahkan untuk sementara, membelot ke pihak mereka.
Manakala demokrasi dibangun kembali di Athena, amnesti diumumkan guna mencegah pembalasan terhadap mereka yang bersimpati pada Sparta. Namun, pengadilan dibujuk agar mengadili Socrates atas tuduhan non-politis, dan tak kalah gawatnya, ia didakwa tak menghormati dewa-dewa kota dan pidana terhadap kerusakan kaum muda. Karenanya, Socrates dijatuhi hukuman mati, namun tetap diberi kesempatan agar lolos dari hukuman. Namun, sebagai orang yang percaya pada proses hukum, dan pada prinsipnya tak mau melepaskan penyeliaan filosofisnya, ia menjadi kondang sebab memilih menerima putusan dari sesama warganya dan menjalani eksekusi dengan menenggak ramuan beracun yang mengandung tanaman beripuh Hemlock.

Plato, c.428–c.348 SM, menghadiri persidangan Socrates dan kemudian menulis 'Apology.' Dampak Plato pada perkembangan filsafat Barat hampir tak tertandingi. Ia memaparkan gagasannya dalam bentuk sekitar 30 dialog, yang menghadirkan dan membedakan berbagai sudut pandang filosofis. Bersama dengan mentornya, Socrates, dan muridnya Aristoteles, Plato umumnya dianggap mewakili puncak filsafat Yunani.
Di masa hidupnya, Athena merupakan ibukota budaya dan intelektual Mediterania Timur, namun pula pusat pergolakan politik yang parah. Plato lahir tak lama setelah dimulainya Perang Peloponnesia (431–404 SM), yang menyaksikan konflik antara Athena dan Sparta mengancam demokrasi Athena.
Keluarga Plato merupakan salah satu keluarga yang terkaya di Athena dan membanggakan keturunan negarawan dan bangsawan terkenal. Ayahnya, Ariston, mengaku sebagai keturunan raja Athena dan Messenia, dan ibunya, Perictione, berasal dari keluarga Solon, arsitek konstitusi demokratis pertama Athena.
Sebagai salah seorang dari empat bersaudara, Plato menerima pendidikan tipikal seorang bangsawan Athena, mengikuti pelajaran tata bahasa, matematika, musik, dan atletik dengan tutor terbaik yang dapat ditawarkan Athena. Ia merupakan siswa yang bersemangat dan hebat, serta disebut sangat mahir dalam gulat. Yap betul, Plato seorang pegulat.
Menurut beberapa sumber, guru gulatnyalah yang menjulukinya 'Platon' (dari kata Yunani 'platýs' yang bermakna 'lebar') karena fisiknya; khabar lain mengatakan bahwa ia mendapatkan aliasnya dikarenakan fitur wajahnya atau bahkan keluasan pengetahuan dan keterampilannya. Apapun asalnya, nama Platon (diubah menjadi Plato) melekat begitu kuat sehingga kita sekarang tak dapat memastikan nama aslinya—diduga, nama aslinya Aristocles, yang bermakna 'reputasi terbaik.' Menurut Diogenes Laërtius, ia dinamai menurut nama kakeknya, seperti yang umum dalam masyarakat Athena.
Saat tumbuh dewasa, ia menaruh minat pada filsafat dan tentunya, menemukan ide-ide dari filsuf besar pra-Socrates, Pythagoras, Parmenides, dan terutama Heraclitus, yang telah mengajar tutornya, Cratylus.
Mungkin terinspirasi oleh pengalaman komunitas Pythagoras dan mengajar Dion di Syracuse, Plato mulai mendirikan sekolah di Athena. Ia telah mewarisi sebidang tanah di luar tembok kota di Grove of Hecademus (atau Academus), di sebelah gimnasium, yang menurutnya ideal untuk pertemuan informal siswa. Sekolahnya, yang kemudian dikenal sebagai Akademi, dijalankan seperti klub swasta. Keanggotaan terbuka bagi semua orang (termasuk wanita) yang berkualifikasi sesuai dalam disiplin ilmu matematika dan filsafat. Tempat tersebut bukanlah sekolah dalam makna tempat pengajaran, bukan pula mempromosikan doktrin tertentu; melainkan institusi guna pertukaran ide, dengan Plato dan anggota senior, yang memandu debat.
Plato mempresentasikan idenya dalam bentuk dialog, dimana Socrates biasanya memimpin diskusi. Pertanyaan yang relevan adalah seberapa banyak Plato melaporkan ide-ide Socrates, dan seberapa banyak karakter Socrates menjadi corong bagi pemikirannya sendiri. Secara umum diterima dalam Apology dan karya awal lainnya, Plato mencatat pandangan Socrates; ia kemudian mulai menguraikannya dalam serangkaian tulisan transisi, sementara karya-karya selanjutnya menampilkan ide-ide orisinal.
Kehidupan menetap Plato di Akademi terputus pada 367 SM, ketika Dionysius I digantikan oleh putranya, Dionysius II. Dion meminta Plato agar kembali ke Syracuse guna mengajari penguasa muda itu; Plato setuju, namun ditempatkan di bawah tahanan rumah di Sisilia. Dengan sedikit bujukan, Dionysius membebaskan Plato, yang kembali ke Athena. Beberapa tahun kemudian, dikala telah menua, Plato diundang kembali ke Syracuse; tak lama setelah kedatangannya, ia ditangkap lagi, tapi berhasil melarikan diri. Dion sangat marah dan melancarkan serangan ke Sisilia, mengambil kendali sampai ia dibunuh. Tak mengherankan, Plato kecewa dengan politik; ia mengabdikan tahun-tahun terakhir hidupnya bagi Akademi dan tulisannya, termasuk dialog yang lebih reflektif dari 'periode akhir', dimana karakter Socrates sering direduksi menjadi peran kecil atau dihilangkan sama sekali.
Ada berbagai catatan tentang kematian Plato—misalnya, dengan seorang gadis memainkan seruling untuknya di ranjang kematiannya—akan tetapi, yang dapat dipercaya hanyalah bahwa ia meninggal di Athena, berusia sekitar 80 tahun.

Aristoteles, 384–322 SM, mempresentasikan gaya filsafat yang sangat kontras dengan gaya mentornya, Plato, dan menetapkan pendekatan empiris yang telah mempengaruhi para filsuf dan ilmuwan hingga saat ini.
Semasa hidup Aristoteles, sejarah Yunani didominasi oleh perluasan kekaisaran yang luar biasa di bawah penguasa Makedonia, Alexander Agung (356–323 SM). Pada saat ia berkuasa di usia 20 tahun, ayah Alexander Philip II telah memperluas pengaruh Makedonia di sebagian besar Yunani, dan Alexander dengan cepat menyelesaikan proses tersebut. Di tempat negara-kota Yunani yang berperang, sekarang ada negara Helenistik yang bersatu, darimana ia memperluas kerajaannya melintasi Persia ke India dan ke Afrika Utara. Pada saat ia berusia tiga puluhan, Alexander memerintah kerajaan paling kuat di dunia. Di puncak kesuksesannya, ia terserang demam dan meninggal di Babilonia, dalam usia 32 tahun.
Berbeda dengan dua filsuf besar Athena lainnya, Socrates dan Plato, Aristoteles tak lahir di Athena itu sendiri, tapi merupakan penduduk asli Makedonia di barat laut Yunani. Ayahnya, Nicomachus, adalah tabib Raja Amyntas dari Makedonia, dan Aristoteles lahir di Stagira di semenanjung Halkidiki, tak jauh dari istana kerajaan. Kemungkinan besar, ia menghabiskan beberapa waktu di istana bersama ayahnya dan dikenal oleh keluarga kerajaan; hubungan ini, dengan para penguasa Makedonia, sebagian besar terjadi di kemudian hari ibu dan ayah Aristoteles meninggal ketika ia masih remaja, dan pendidikan anak lelaki itu, kemudian diawasi oleh walinya, Proxenus dari Atarneus, seorang teman keluarga yang menikah dengan kakak perempuan Aristoteles. Proxenus menyadari bahwa pemuda itu, seorang pakar yang luar biasa, dan manakala ia mencapai usia sekitar 17 tahun, mengirimnya ke Athena guna melanjutkan studinya di Akademi Plato, yang pada saat itu telah memantapkan dirinya sebagai sekolah terkemuka di Yunani untuk matematika dan filsafat Aristoteles. berkembang pesat dalam suasana beasiswa Akademi dan membuktikan dirinya sebagai murid Plato yang paling cemerlang. Plato mendorong perdebatan dan pemikiran orisinal, dan Aristoteles secara bertahap menemukan bahwa ia tak selalu setuju dengan teori-teori mentornya. Kendatipun terlepas dari perbedaan pendapat mereka, keduanya pasti menjalin hubungan kerja yang baik dan mungkin persahabatan yang erat—karena Aristoteles tetap di Akademi sampai Plato meninggal, sekitar 20 tahun setelah Aristoteles pertama kali tiba.
Philip dari Makedonia sangat ingin memperbaiki hubungan dengan Aristoteles, dan pada tahun 343 SM, mengundangnya ke istananya menjadi kepala akademi kerajaan, yang murid-muridnya termasuk putranya Alexander, serta anak-anak dari keluarga kerajaan lainnya. Filsuf itu akhirnya dibujuk, tetapi hanya setelah Philip setuju membangun kembali kota Stagira sepenuhnya. Philip telah meruntuhkan Stagira segera setelah naik takhta.
Aristoteles tetap di Makedonia selama 8 tahun berikutnya dan, selama sekitar 2 tahun itu, mengajar pangeran muda, yang kemudian dikenal di seluruh dunia sebagai Alexander Agung.
Saat Alexander meninggal mendadak pada tahun 323 SM, jauh dari merasa lebih aman, Aristoteles mendapati dirinya semakin terancam. Pemerintah Athena yang proMakedonia digulingkan, dan perasaan anti-Makedonia yang tersebar luas, tumbuh.
Telah diketahui umum bahwa Aristoteles adalah seorang Makedonia dan bahwa ia punya hubungan dengan keluarga kerajaan Makedonia (dan khususnya dengan Alexander), menjadikannya target penganiayaan. Sebuah kasus terhadapnya dengan tuduhan tak sopan yang dibuat-buat, sedang disiapkan, namun sebelum ia dapat dituntut, ia melarikan diri ke lahan milik ibunya di Chalcis, di pulau Euboea pada tahun 322 SM. Tembakan perpisahannya yang dilaporkan—dimana ia merujuk perlakuan Athena terhadap Socrates—bahwa ia takkan memberi kesempatan dosa untuk yang kedua kalinya kepada Athena terhadap filsafat. Pada tahun yang sama, ia meninggal oleh sakit perut, berwasiat agr dimakamkan di samping istrinya.
Sebagai ilmuwan sejati pertama dalam sejarah, dan yang pertama mengajar siswa secara sistematis, statusnya sebagai filsuf dan guru, tiada bandingannya.

Diogenes of Sinope terkenal di Athena karena tantangannya yang sering keterlaluan terhadap konvensi dan karena secara mencolok menjalani kehidupan yang keras dan keluruhuran-budi yang dianjurkan dalam filosofi Sinisnya. Diogenes, 412/404 SM–323 SM, adalah lambang aliran pemikiran filosofis yang kemudian dikenal sebagai Sinisme; sebenarnya, julukannya, Kynikos, memberikan namanya. Prinsip dasarnya—bahwa kebajikan dan kebahagiaan dapat dicapai dengan menjalani kehidupan pertapaan yang selaras dengan alam—ditetapkan oleh Antisthenes, tetapi interpretasi prinsip Diogenes yang tanpa kompromi menandai awal dari gerakan filosofis. Banyak filsuf lain tertarik pada Sinisme, termasuk murid Diogenes, Crates of Thebes, yang muridnya Zeno dari Citium mengembangkan filosofi Stoa. Tidak diketahui apakah Diogenes melakukan salah satu idenya untuk menulis, karena tiada teks yang ditemukan olehnya. Namun, yang bertahan adalah reputasinya, bersama dengan kumpulan anekdot tentang kehidupan dan pekerjaannya, yang diceritakan oleh penulis biografi selanjutnya, seperti Diogenes Laertius dan Stobaeus.
Diogenes termasuk di antara para pemikir yang kemudian dikenal sebagai 'Cynics'—dari bahasa Yunani kynikos, yang bermakna 'seperti kunyuk'—yang menolak konvensi dan etiket sosial demi menjalani kehidupan yang lebih sederhana dan alami.

Mencius, atau Mengzi, c. 371–c.289 SM, adalah salah satu filsuf Konfusius terkemuka. Ia sangat ternama oleh penekanannya pada kebaikan bawaan dan peran lingkungan dalam pembentukan karakter.

Zhuangzi, c.370bce-c.290 bce, atau 'Guru Zhuang' adalah penulis sejumlah perumpamaan dan dialog Taois. Bersama dengan karya-karya lain para pengikutnya, yang dikenal secara kolektif sebagai Zhuangzi, mereka menjadi teks klasik filsafat Tiongkok.

Materialisme liberal Epicurus telah disalahpahami secara luas sebagai merek pencarian kesenangan yang memanjakan diri sendiri. Hal ini sangat bertentangan dengan filosofi yang ia anjurkan di perguruannya yang dikenal sebagai 'Taman'. Bagi Epicurus, c.341bce–270 sM, tujuan hidup adalah hidup bahagia. Tapi bukannya mengejar kesenangan fisik, ia menganjurkan moderasi dan ketenangan; kesenangan sejati, menurutnya, adalah kebebasan dari rasa sakit dan ketakutan, dan khususnya ketakutan akan kematian.
Seperti Democritus, ia percaya bahwa tiada apa pun di kosmos kecuali atom dan ruang kosong, sehingga menyangkal keberadaan jiwa yang tak berwujud dan abadi; dari sini, ia menyimpulkan bahwa 'Saat kita ada, kematian tak datang, dan saat kematian datang, kita tak ada'—jadi kematian bukanlah apa-apa, dan tiada yang perlu ditakuti.

Ketika Marcus Aurelius, 121–180 M, menjadi kaisar Romawi pada tahun 161 M, ia dikenal karena keilmuannya dalam filsafat Stoa, dijuluki 'Sang Filsuf', dan disanjung sebagai pemenuhan cita-cita Plato tentang seorang raja-filsuf.

Nagarjuna, c.150–c.250 M, adalah salah seorang filsuf paling penting dan berpengaruh dalam tradisi Buddhis. Ia pendiri aliran Madhyamaka atau 'Jalan Tengah', yang berkembang dari komentar atas karya-karyanya. Nagarjuna menganggap serius nasihat sang Buddha guna menemukan 'jalan tengah' di antara yang ekstrem—sebuah gagasan yang, selama bertahun-tahun, memiliki banyak interpretasi.

Agustinus dari Hippo, 354–430 M, seorang filsuf dan teolog Kristen yang sangat berpengaruh pada masanya, Agustinus tetap menjadi tokoh inspirasional sepanjang Abad Pertengahan, ketika dua ordo religius dinamai menurut namanya. Dalam karya otobiografinya, Confessions, Agustinus menyanjung Ambrosius—yang kemudian menjadi uskup Milan—sebagai inspirasi utama bagi pertobatannya. Seperti Agustinus, Ambrosius berasal dari latarbelakang sekuler. Ayahnya, seorang prefek praetorian Gaul dan, untuk waktu yang singkat, ia sendiri menjabat sebagai konsul Milan. Ia diangkat menjadi uskup pada tahun 374 M dan menjadi ternama oleh kampanyenya melawan penyimpangan Arian dan kualitas khotbahnya. Inilah yang memengaruhi Agustinus. Mengutip ayat-ayat dari Mazmur, Agustinus menulis tentang Ambrosius, 'Ia adalah lidah emas yang tak pernah lelah membagikan kekayaan jagung-mu, kegembiraan minyakmu, dan minuman anggurmu yang memabukkan.'

Hypatia, c.355/370–415/416 ce, adalah astronom dan matematikawan terkemuka pada zamannya. Ia juga seorang filsuf dan guru Neoplatonis yang dikenal karena filantropi, karisma, dan kecintaannya pada belajar. Dalam arti tertentu, ada dua Hypatia: satu wanita sejati, yang lain sosok glamor yang legendanya telah berkembang selama berabad-abad. Hypatia kedua cantik, bajik, dan perawan seumur hidup; ia seorang pemikir besar terakhir dari zaman kuno, penyembah berhala terakhir; dan kematiannya yang kejam menyerupai kesyahidan seorang suci. Terlepas dari banyak spekulasi, tak jelas apakah Hypatia menulis sesuatu tentang filsafat. Namun, ia mestilah diakui sebagai guru Neoplatonis yang sangat berbakat.

Terdapat beberapa nama lagi, antara lain Thales dari Miletus, Mahavira, Kannada, Heraclitus, Parmenides, Zeno of Elea, Mozi, Democritus, Yang Zhu, Sun Tzu, Gongsun Long, Xun Kuang, Han Fei, Wang Chong, Plotinus dan Pythagoras.
Pythagoras, seorang ahli matematika dan mistikus, lahir di pulau Samos di Laut Aegea Timur. Pythagoras mengajarkan doktrin reinkarnasi dan transmigrasi jiwa (dalam bahasa Yunani, metempsikosis) dan percaya bahwa angka (rasio numerik dan aksioma matematika) merupakan konstituen dasar alam semesta. Menurutnya, Bumi itu, sebuah bola yang dikelilingi oleh benda-benda langit yang bergerak dalam ruang yang lebih luas, yang berhubungan secara numerik, seperti nada-nada musik yang harmonis.
Pythagoras, c.570–c.495 SM, dibanggakan dengan penemuan deduksi matematika, dimana kebenaran baru dikembangkan dari prinsip-prinsip yang terbukti dengan sendirinya. Ia mungkin tewas dalam serangan kekerasan terhadap komunitasnya oleh orang-orang Croton.

Ada banyak pengejaran akademik yang kita pakai guna mencermati diri kita sendiri dan dunia kita. Ilmu-ilmu seperti biologi, kimia, dan fisika melakukannya; demikian pula humaniora seperti klasik atau sejarah, linguistik atau arkeologi. Filsafat bolehlah disebut melakukannya, namun dengan cara yang berbeda. Fokusnya bukan pada sifat material atau fisik kita, atau pada perang atau politik atau artefak kita, melainkan pada cara kita berpikir tentang diri kita sendiri dan dunia kita, dan implikasi dari cara berpikir ini bagi kehidupan kita sehari-hari.
Kesadaran manusia memaksa kita berpikir dan bernalar, menggunakan strategi trial and error, menarik kesimpulan dan membuat prediksi, dan menyaring kebenaran dari kepalsuan. Proses-proses ini, memberi tahu kita, siapa kita dan di mana kita berada di alam semesta, maka kita perlu memahami cara kerjanya, ruang lingkupnya, dan batasannya. Kita juga perlu mengatur diri kita sendiri, cara hidup di dunia seperti yang kita pahami. Kita memilih dan bertindak, mengevaluasi opsi, dan mempertimbangkan tujuan dan prioritas kita. Beberapa filsuf lebih berkonsentrasi pada pertama, rangkaian masalah—teoretis. Yang lain, para filsuf moral dan politik, lebih banyak memikirkan soal-soal yang kedua—masalah-masalah praktis kehidupan.'"

Swara terdiam sejenak, lalu ia berkata, "Aku rasa, untuk sesi kali ini, cukuplah bincang kita tentang para filsuf kuno. Sesi berikutnya, akan kusampaikan padamu apa yang Graha katakan padaku tentang para filsuf di era Abad Pertengahan."
Swara berpamitan seraya bersenandung,

We climb the highest mountain
[Kita mendaki gunung tertinggi]
we'll make the desert bloom
[kita bakal membuat gurun bermekaran]
we're so ingenious
[saking cerdiknya kita]
we can walk on the moon
[kita bisa berjalan di bulan]
But when I hear of how
[Namun tatkala kudengar betapa]
the forests have died
[hutan-rimba telah mati]
saltwater wells in my eyes *)
[air-asin bertelaga di mataku]

"Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- DK London, Philosophers - Their Lives and Works, Cobaltid
- Guy P. Harrison, Think - Why You Should Question Everything, Prometheus Book
- Dr. Carol S. Dweck, Mindset - Changing the Way You Think to Fulfil Your Potential, Robinson
*) "Saltwater" written by Julian Lennon, Mark Spiro & Leslie Spiro