Sabtu, 18 Februari 2023

Kodrat Manusia & Hubungan Interpersonal : Perspektif Islam (1)

"Saat Keadilan ditegakkan, kita semua akan menemukan ketenteraman," berkata Swara usai menyapa dengan Basmalah dan Salam. "Sebaliknya, dikala kita menyaksikan ketidakadilan, kita merasakan ada sesuatu yang menyebabkan kita, khawatir, gentar, atau teror, bahkan curiga. Itu lumrah, sebab, itulah Kodrat Manusia (Human Nature)."

"Manusia modern selalu mencari dirinya," lanjut Swara, "lantaran ia terasing dari sumber nutrisinya—dari Allah, dari ciptaan, dan dari sunnah—dari sumber yang membuatnya sadar akan sifat spiritual bawaannya, Fitrahnya.
Di dalam sifat spiritualnya, terletak intuisi moral universal yang mendalam bahwa manusia itu, makhluk Allah yang seyogyanya dihormati. Berpulang ke jiwa atau dirinya, atau sifat spiritualnya, akan memerlukannya, kembali ke sumber nutrisinya. Ia kemudian bakal menemukan kembali asal-mula intuisi moralnya, yang merupakan fitrah atau sifat spiritual bawaannya. Dengan melakukannya, ia bakalan mengenal Penciptanya, sebab 'barangsiapa yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya.'
Kekasih kita (ﷺ) bersabda,
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ، هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ
“Setiap bayi yang baru lahir, dalam keadaan fitrah. Lalu orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi, ibarat hewan yang lahir utuh. Adakah engkau melihat di antara mereka, yang cacat (saat lahir)? '[Shahih al-Bukhari]
Dalam hadits lain, Rasulullah (ﷺ) bersabda,
لَيْسَ مِنْ مَوْلُودٍ يُولَدُ إِلاَّ عَلَى هَذِهِ الْفِطْرَةِ حَتَّى يُعَبِّرَ عَنْهُ لِسَانُهُ
'Tiada anak yang dilahirkan kecuali dengan fitrah ini, sampai lidahnya, mengekspresikannya.' [Shahih Muslim]
Dari segi bahasa, kata fitrah berasal dari bahasa Arab, fa-ta-ra, kata benda verbalnya, fatrun. Akar maknanya, ia mencabik, membelah, memisahkan, mengoyak atau meretakkannya.
Bentuk keduanya, fattara (hu) (kata benda verbal taftir), menunjukkan pengulangan, banyak dan frekuensi dari asal tindakan yang bermakna, apa yang kita lihat, ia menjepit-jepit, membelah-belah, memisah-misahkan, mengoyak-ngoyak atau merengkahkannya.
Fitrah—menurut Yasien Mohamed—bermakna yang sama dengan tatfun, secara bahasa bermakna fitrah yang dibawa sejak lahir. Istilah fitrah, secara harfiah bermakna, ciptaan; yang menyebabkan sesuatu ada untuk pertama kalinya; dan konstitusi [sifat bawaan] alami yang dengannya, seorang anak diciptakan dalam rahim ibunya.
Dalam konteks hadits, menurut Abu Haitsam, Fitrah bermakna dilahirkan, baik dalam keadaan makmur maupun tidak [dalam kaitannya dengan jiwa]: ‘Dan jika orang tuanya orang Yahudi, mereka menjadikannya seorang Yahudi, sehubungan dengan situasi duniawinya; [yaitu. sehubungan dengan warisan, dll] dan jika orang Nasrani, mereka menjadikannya seorang Nasrani, sehubungan dengan keadaannya; dan jika orang Majusi, mereka menjadikannya orang Majusi, sehubungan dengan situasi itu; keadaannya sama dengan keadaan orangtuanya sampai lidahnya, (dapat) berbicara untuknya; tetapi jika ia meninggal sebelum mencapai usia saat kedewasaan mulai terlihat dengan sendirinya, ia meninggal dalam keadaan yang sesuai dengan pembawaan alamiah sebelumnya, yang dengannya, ia diciptakan dalam rahim ibunya.’

Lantas, apa implikasinya? Bahwa orangtua, berpengaruh besar terhadap cara seseorang memandang dirinya dan dunia. Selain itu, sahabat dan lingkungan sosialnya, juga amat berpengaruh, Rasulullah (ﷺ) bersabda,
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
'Seseorang bergantung pada agama sahabatnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian, melihat kepada siapa ia berteman.' [Sunan at-Tirmidzi; Shahih menurut An-Nawawi]
Manusia dibedakan dari ciptaan lainnya, lantaran ia telah dianugerahi dengan 'aql (akal;intelek) dan iradah (kehendak-bebas; free-will). Akal memungkinkannya, membedakan yang benar dari yang salah dan kehendak memungkinkannya, memilih antara yang benar dan yang salah. Ia dapat menggunakan kemampuan ini, guna melengkapi fitrahnya dan demi keridhaan Allah, atau, demi kemungkaran dan tak diridhai Allah. Pilihan ada padanya.
Manusia bertanggunjawab atas tindakannya dan bertanggungjawab kepada Allah atas setiap berat-atom benar dan salah yang diperbuatnya. Rasa tanggungjawab inilah, yang menuntun manusia bertindak sesuai kehendak Allah. Keadaan ini, memberdayakannya agar berjuang melawan perbuatan buruk dari nafsu-rendahnya, serta pengaruh negatif dari lingkungan sosial. Hadits yang disebutkan di awal tadi, berfokus menjelaskan bahwa keadaan sosial setelah kelahiran anaklah, yang menyebabkan individu menyimpang dari fitrahnya. Oleh karenanya, jika seseorang mengikuti jalan yang menyimpang, itu bukanlah kesalahan bawaan dalam sifatnya, melainkan oleh munculnya nafsu-rendah setelah lahir, dan efek negatif dalam lingkungan sosial.
Karena terdapat bayi yang lahir dengan cacat fisik, maka cacat yang dimaksud dalam hadits tersebut, tak ditujukan dalam makna fisik; artinya, semua bayi, dilahirkan suci secara ruhani, dalam keadaan Fitrah. Rujukan tentang hewan yang lahir utuh dalam hadits tersebut, hendaknya dipandang sebagai analogi, guna menggambarkan keutuhan spiritual paralel sang bayi, saat lahir.
Jadi, hadits tersebut menunjukkan bahwa pengaruh lingkungan (yaitu orang tua dan sosialitas lainnya) menyebabkan manusia berubah dan terasing dari Fitrahnya. Namun, Allah berfirman,
لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ
'... Tiada perubahan pada ciptaan Allah ..." [QS. Ar-Rum (30):30]
Ayat ini menunjukkan bahwa fitrah itu, anugerah universal yang tak berubah dari keadaan jasmaniah manusia.

Fitrah merupakan konsepsi Islam tentang Kodrat Manusia (Human Nature). Fitrah berkaitan dengan realitas bawaan manusia, melainkan pula bermakna sesuatu terhadap keyakinan, nilai dan sikapnya terhadap kehidupan, pandangan dunianya dan interaksinya dengan lingkungannya. Fitrah tak dapat dipandang secara terpisah dari pikiran, perilaku, dan bawaan-jasmaniah manusia di dunia fenomenal.
Jika demikian, lalu, bagaimana kaitan hakiki antara fitrah dengan aspek-aspek metafisik, epistemologis, etis, psikologis, dan legal dari keberadaan manusia?

Sekarang, mari kita cermati implikasi Metafisik-nya. Titik tolak yang ideal memahami fitrah ialah, prinsip metafisika yang mendasari konsep tersebut. Manusia adalah 'makhluk sentral' di dunia lantaran ia telah dimuliakan dengan kekhalifahan Allah di muka-bumi [khilafatullah]. Agar ia memenuhi syarat bagi posisi ini, maka ia diajari 'nama-nama' segala sesuatu, yang berarti pula bahwa ia diberi kekuasaan dan kewenangan atasnya. Seluruh makhluk mencerminkan beberapa aspek Ketuhanan, namun manusia, dalam sifat penuhnya sebagai 'manifestasi dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya', merupakan satu-satunya makhluk yang dapat mencerminkan seluruh nama dan sifat-sifat Ilahi. Sentralitas wujud dan keberadaan manusia adalah fakta yang diberikan, realitas yang tak dapat diubah, yang harus diterima manusia. Namun, haknya menguasai bumi sebagai khalifah, dibenarkan sebatas jika ia tetap berserah-diri secara sempurna kepada Allah, Penguasa alam Yang mutlak. Selain fungsi khalifah, manusia diberi kualitas sebagai 'abd, hamba, tunduk sepenuhnya kepada Allah.
Manusia selalu membutuhkan Wahyu Ilahi dan rahmat Allah. Manusia boleh saja tak mengindahkan Wahyu Ilahi yang mengingatkannya akan sifat primordialnya. Walau ia mungkin menyimpang dari perintah-perintah sifat-alamiahnya, yang merupakan manifestasi dari nama-nama dan sifat-sifat, namun ia tak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari dirinya sendiri, dan sifat esensialnya harus memanifestasikan dirinya di lingkaran itu. Apapun yang manusia coba lakukan dalam hidup, baik itu terlepas dari tuntutan fitrahnya maupun sesuai dengan fitrahnya, ia tak dapat lepas dari sifat spiritual keberadaannya.
Manusia dilahirkan dengan kecenderungan bawaan, beriman dan menyembah Allah. Motif sentral dan primer dimanifestasikan secara bawah sadar. Kewajiban manusialah agar menyadari kekuatan pendorong utama ini, yang mempengaruhi perilakunya. Bahkan jika manusia secara lahiriah cenderung menyembah berhala, atau seseorang, atau sistem politik, ia masih didorong oleh dorongan batin agar mengenal Allah. Satu-satunya perbedaannya, bahwa sementara orang beriman tahu bahwa ia terdorong agar mengenal Allah, orang kafir tidak. Dalam pemahaman inilah, sifat sentral manusia memanifestasikan dirinya dalam lingkaran itu.
Karakter primordial dari kodrat manusia ditegaskan dengan mengacu pada perjanjian antara manusia dalam keadaan pra-eksistensialnya dengan Allah. Allah berfirman,
وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛ
'Dan (ingatlah) tatkala Rabb-mu mengeluarkan dari tulang punggung anak-cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), 'Alastu birabbikum?' Mereka menjawab, 'Balaa, syahidnaa.' ....' [QS. Al-A'raf (7):172]
Dalam penegasan ini, terletak rahasia takdir manusia, sebab manusia, di atas segala ciptaan, menerima beban amanat,
اِنَّا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْاِنْسَانُۗ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ
'Sesungguhnya, Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; namun semuanya, enggan memikul amanat itu, dan mereka khawatir (takkan dapat melaksanakannya). Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) zhaluuman jahuulan [sangat zalim lagi sangat bodoh (berharap pahalanya, namun melupakan sanksinya, lantaran ia tak mampu menjaga komitmennya)].' [QS. Al-Ahzab (33):72]
Penerimaan amanah ini, justru merupakan penerimaan kekhalifahan Allah di muka bumi. Keyakinan ini, menyiratkan pula penerimaan kebebasan, dan tanggungjawab kepada Allah dan ciptaan-Nya. Hak-hak dan tanggungjawab manusia, terdefinisikan dengan gamblang dalam Islam. Hal ini karena Islam bermakna patuh kepada Allah. Penting bagi manusia agar hidup dalam ketertundukan pada-Nya, sebab pada akhirnya, akan menyelamatkannya dari segala penyimpangan dan kelainan spiritual, dan mengembalikannya pada keadaan sediakala, keadaan fitrahnya atau keadaan berserah diri kepada Yang Mahaesa, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka, dalam makna prinsip metafisik Tauhid, kembalinya manusia ke alam fitrahnya, dapat digenapkan dengan menerima dan menegaskan Syahadat. [Dan sesungguhnya, manusia telah menegaskannya, jauh sebelumnya dengan, 'Balaa, syahidnaa.']
Inti dari kecenderungan manusia mengakui dan menyembah Dia Yang Mahaesa, ialah ruh, yang ditiupkan Allah ke dalam manusia, membuatnya memenuhi syarat bagi status kemuliaan, khalifah, atau wakil Allah di muka bumi. Peran ini, Allah amanatkan kepada manusia, oleh potensi keunggulannya atas ciptaan lainnya. Ruh yang ditiupkan Allah ke dalam manusialah, yang memungkinkannya menikmati kedekatan yang lebih besar dengan Allah dibanding ciptaan lainnya. Hanya manusialah yang mampu mengilhami dirinya sendiri dengan sifat-sifat Allah, kendati dalam makna yang terbatas. Jiwa (ruh) merupakan inti dari sifat manusia. Realitas fitrah, mengimplikasikan realitas jiwa yang condong pada pengakuan dan ketertundukan kepada Allah, Al-Ahad. Realisasi fitrah bermakna penyatuan kembali diri (nafs) dengan jiwa manusia (ruh). Tanggungjawab manusialah, menyadari hakikat esensi-spiritualnya, sebab dalam kesadaran ini, terletak ilmu tentang Allah, seperti yang dianjurkan oleh kata-bijak,
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
[man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbahu]
'Ia yang mengenal dirinya, mengenal Rabb-nya'.
[Al-Allamah Al-Fairuz Abadi mengatakan bahwa ini bukan hadits nabawi, meskipun kebanyakan orang, menganggapnya hadits dari Rasulullah (ﷺ). Imam As-Suyuthi berpendapat bahwa hadits ini tidak shahih. Syaikh Al-Albani berpandapat bahwa hadits ini tidak ada asalnya. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadits ini, Maudhu. Az-Zarkasyi berkata, 'Ibnu As-Sam’ani menyebutkan bahwa hadits ini, ucapan dari Yahya bin Mu’adz Ar-Razi'. Abu Zakariya Yahya ibn Mu'adz ar-Razi (830–871 M), seorang Muslim Sufi yang mengajar di Asia Tengah. Salah satu dari orang pertama mengajarkan tasawuf di masjid, ia meninggalkan sejumlah buku dan kata-bijak. Ia murid Ibnu Karram dan dikenal oleh ketekunannya dalam beribadah dan ketelitiannya yang mengagumkan dalam masalah agama.]
Tingkat perkembangan spiritual tertinggi disebut dalam Al-Qur'an sebagai an-nafsul mutma'innah, 'jiwa yang tenang', tatkala seluruh diri manusia, selaras dengan fitrahnya dan ketika prinsip tauhid diwujudkan dalam penyerahan total kepada-Nya.

Dan bagaimana dengan implikasi epistemologis Fitrah? Berdasarkan Ilmu, oleh karena kecenderungan bawaan manusia itu, menyembah Allah dan mematuhi perintah-Nya, maka cara hidup Islami, amat sesuai dengan sifatnya dan sangat penting bagi kedamaian dan kebahagiaan batinnya.
Pedoman cara hidup Islam, dikomunikasikan dalam bentuk akhirnya, dalam wahyu Al-Qur'an. Allah takkan dikenal manusia sebagai Tuhan jika Dia tak menganugerahkan manusia dengan kemampuan, yang dengannya ia dapat memahami Wahyu Ilahi, atau, organ persepsi spiritual, yang dengannya ia dapat mengenali Penciptanya. Selain wahyu sebagai sumber ilmu dan petunjuk yang obyektif, Allah telah mengaruniai manusia, organ pengenalan, yang dikenal sebagai hati (qalb), yang merupakan letak intelek ('aql). Organ ini, memungkinkan manusia, memahami sumber ilmu tertinggi, yaitu Wahyu Ilahi, dan melihat pada tingkat persepsi manusia yang tertinggi. Manusia mampu memahami dari persepsi indrawi terendah, hingga persepsi spiritual tertinggi. Tingkat Ilmu paling bawah dalam hirarki Ilmu ialah tingkat indrawi. Bahkan para filsuf Yunani pun, sepakat bahwa indra merupakan media yang meragukan beroleh ilmu. Tingkat Ilmu yang lebih tinggi diperoleh melalui nalar, namun nalar itu sendiri, bergantung pada ingatan berdasarkan kesan indrawi; dan keterbatasan nalar ini, ditegaskan oleh sifat perspektivistik pemikiran filosofis sepanjang zaman.
Ada tiga derajat persepsi manusia: tingkat pertama ialah persepsi indrawi. Proses perseptualnya adalah penglihatan, pendengaran, dan penciuman, dll; dengan media mata, telinga dan indra lainnya. Tingkat kedua ialah persepsi rasional. Proses perseptualnya adalah kognisi, penalaran, dan wawasan, dll; dengan media 'aql (otak dan akal). Tingkat ketiga ialah persepsi spiritual. Proses perseptualnya adalah naluri (firasah), intelek, dan ilham, dll; dengan media 'aql dan qalb. Aql mampu berpersepsi spiritual dan intelektual, dan bahwa pikiran terhubung dengan persepsi intelektual yang bersifat diskursif [disimpulkan secara logis]. Pikiran mampu bernalar, yang merupakan proyeksi 'aql pada bidang mental. Dibedakan antara nalar, yang merupakan ekspresi dari otak, dan pemikiran, yang merupakan ekspresi dari 'aql.
Tujuan dari masing-masing tingkat persepsi ini, terkait dengan tingkatan ilmu dan realitas tertentu. Melalui indera, kita beroleh ilmu tentang lingkungan fisik, misalnya, ilmu tentang biosfer. Melalui pikiran, kita beroleh ilmu analitis dan sintetik, ilmu yang diperoleh semata melalui penalaran, yang mencakup ilmu tentang fenomena metafisik dan abstrak, misalnya, konsep keadilan, atau konsep tentang Ketuhanan. Pengetahuan intelek melibatkan pengalaman realitas spiritual, misalnya, kemuliaan-diri, atau mencapai kehadirat Allah. Seluruh tingkat ilmu ini, 'benar' dan 'nyata'. Kebenaran-kepalsuan merupakan skala dimana seluruh persepsi dari segala kemampuan kita, dapat menemukan tempatnya. Sementara epistemologi Islam mengakui segala tingkat persepsi dan realitas ini sebagai ilmu yang legal, ia selanjutnya mengakui hierarki ilmu, tingkat terendahnya adalah tingkat persepsi indrawi, dan tingkat tertingginya adalah persepsi spiritual.
Pembedaan yang jelas hendaknya dibuat antara nalar dan intelek. Nalar terbatas pada fungsi analisis dan logika. Hal ini akan mengarah pada terwujudnya ajaran Islam tauhid jika berfungsi secara normal. Peran wahyu adalah untuk menghilangkan hambatan yang menghalangi akal agar berfungsi secara sehat. Nalar hanyalah refleksi dari akal. Ia seyogyanya tunduk pada intelek. Nalar, dalam ketaatannya kepada 'aql dan wahyu, akan berfungsi sebagai instrumen positif guna menuntun manusia dalam perjalanannya, dari keberagaman menuju kebersatuan.
Manusia mampu menggunakan wahyu objektif guna membawa intelek subjektif agar berdaya-guna. Intelek dapat dioperasionalisasikan melalui penggunaan nalar yang sehat, yang tunduk pada intelek dan wahyu. Dengan cara ini, nalar terkadang dapat menghasilkan 'pemikiran'. Kita sebut 'terkadang', sebab manusia tak selalu dapat menghasilkan pemikiran. Dan pemikiran ini, bukanlah hasil dari upaya manusia saja; semuanya bergantung pada rahmat dan kasih-sayang Ilahi. Pemikiran merupakan 'pengetahuan hati' ketimbang penalaran diskursif. Individu mampu melihat dengan mata-hati (ainal-qalb). Ia punya ilmu, dengan kepastian tentang realitas spiritual. Hal ini bukan berarti bahwa individu pada tahap ini, telah mencapai integrasi penuh antara nafs yang lebih rendah dan yang lebih tinggi, sebab niat baik mendahului gerakan menuju akal ini. Diri [nafs] manusia, kehendaknya, dan nalarnya, hendaknya sesuai dengan Wahyu Ilahi agar intelek dapat berfungsi penuh atau mencapai potensi penuhnya.

Penyembahan manusia kepada Penciptanya, tak sebatas pada iman dan shalat kepada Allah saja, tapi mencakup pula, perilaku etis—kita membicarakan tentang implikasi etis dari fitrah. Allah memerintahkan dan melarang dalam hal-hal yang berkaitan dengan makanan dan minuman, hubungan perkawinan, keadilan sosial, dll. Sifat sejati manusia itu, salah satu dari kebajikan intrinsik, sehingga ia diharapkan menyesuaikan diri dengan hukum Ilahi yang akan menuntunnya ke arah perilaku yang baik. Hal ini pada gilirannya akan memperkuat kodratnya dan membuatnya lebih condong pada nilai-nilai yang dituntut kodratnya. Islam dirancang : mengembangkan keadaan mental dengan manusia yang akan menjadikan qalbunya menyukai nilai-nilai kebenaran, kejujuran, rasa-persaudaraan, dll., dan sifat-sifat yang berlawanan, ketidakjujuran, kemunafikan, dll. dibenci olehnya. Ketika, dalam Al-Qur'an, Allah berfirman, yang ditujukan kepada para sahabat Nabi (ﷺ), Dia, Subhanahu wa Ta'ala, berfirman,
وَلٰكِنَّ اللّٰهَ حَبَّبَ اِلَيْكُمُ الْاِيْمَانَ وَزَيَّنَهٗ فِيْ قُلُوْبِكُمْ وَكَرَّهَ اِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الرّٰشِدُوْنَۙ
'... Akan tetapi, Allah menjadikanmu cinta kepada keimanan dan menjadikan (iman) itu indah dalam qalbumu, serta menjadikanmu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan kebenaran.' [QS. Al-Hujurat (49):7]
Kesempurnaan moral merupakan karakteristik dari kodrat manusia. Kita dapat dengan mudah mengenali orang yang baik secara moral dan berusaha keras menirunya atau mencapai standar moral yang tinggi bagi diri kita sendiri. Alasan pengenalan yang mudah dan upaya menuju keunggulan moral inilah, fitrah. Socrates benar dalam pendangan bahwa semua manusia punya kapasitas mengenali kesempurnaan moral. Kita acapkali mengenali hal-hal yang pada akhirnya berharga dikala kita berhubungan dengannya, meskipun kita tak selalu mengenalinya, dan sering menganggap sesuatu itu berharga padahal tidak.
Kebajikan, atau pengetahuan tentang hak, dapat dianggap bawaan dan diperoleh. Itu bukan bawaan dalam makna bahwa itulah kesadaran yang dimiliki seorang anak pada saat lahir, melainkan dalam makna bahwa itulah kualitas jiwa yang dibawa sejak lahir. Diri manusia berkembang dan tumbuh sebagai hasil dari pembelajaran yang terjadi di lingkungan sekitar, tetapi kecenderungan bawaan manusia berbuat baik, dapat diarahkan pada tujuan yang keliru. Ia bahkan mungkin berbuat salah dengan mengambil kebajikan apa yang sebenarnya tak bajik. Manusia mungkin terlahir baik, tapi ia juga diciptakan tak sempurna dan lemah. Ia membutuhkan Tuntunan Ilahi, bukan untuk menjadi sempurna, tmelainkan untuk hidup selaras dengan sifatnya dan menjadi bahagia. Wahyu membimbing manusia ke jalur bersyukur. Kodrat manusia menuntut agar ia beriman kepada Allah, dan bahwa ia bersyukur kepada-Nya dan mencintai-Nya.

Implikasi psikologis atau psikis dari fitrah, berkaitan dengan nafs (psike; ego; diri). Karena emosi dan keinginan merupakan bagian integral dari nafs manusia, implikasi psikologis secara langsung berkaitan dengan dimensi emosionalnya. Baik dimensi emosional maupun psikologis manusia, berkecenderungan positif maupun negatif. Jika emosi manusia dikendalikan dan diarahkan ke tujuan spiritual yang lebih tinggi, maka sifat psikisnya didisiplinkan. Kendati bawaan biologis manusia sama sekali berbeda dari bawaan psikologisnya, bawaan biologis tetap berfungsi sebagai instrumen penggerak jiwa. Diri hendaknya dilatih sehingga dapat diintegrasikan dengan ruh. Tingkat nafs yang lebih rendah, seyogyanya diubah menjadi keadaan positif yang lebih tinggi secara spiritual, sehingga individu dapat dibebaskan dari belenggu nafs yang lebih rendah, sebab cenderung menuju pemenuhan kebutuhan biologis dan emosional individu dan jauh dari pengabdian kepada Allah.

Sedangkan implikasi legal fitrah, bahwa seluruh umat manusia, mengetahui pesan tauhid universal dalam fitrah mereka, menjadikan mereka bertanggungjawab mengakui Allah dan Keesaan-Nya. Namun, ketaatan pada Syari'ah, hanya diperlukan bagi mereka yang telah menerima risalah Islam. Hukum Islam [Syariah] dibedakan dari hukum manusia kontemporer berdasarkan asal-usul Keilahiannya. Fondasi dan sumber utama Syari'ah ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam parameter tetap yang ditentukan oleh prinsip-prinsip sumber-sumber ini, ketentuan dibuat guna perubahan, diversifikasi dan pengembangan Syari'ah dalam ruang dan waktu, dalam kaitannya dengan prinsip Ijtihad yang dinamis. Ijtihad terdiri dari sumber sekunder hukum Islam, yaitu. qiyas (penalaran analogis) dan ijma' (konsensus). Orang-orang yang karena pengetahuannya, kompetensinya, dan ketaqwaannya, memenuhi syarat berijtihad, dikenal sebagai Mujtahidin. Empat Imam Islam Sunni yang mengkodifikasi hukum Islam, merupakan contoh dari orang-orang tersebut.
Dienul-Islam merupakan Dienul-Fitrah, cara hidup yang diabsahkan oleh Tuhan, yang sepenuhnya sesuai dengan sifat bawaan fisik dan spiritual manusia. Dienul-Islam merupakan Jalan yang disempurnakan bagi manusia oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala; dan Syari'ah, hukum Islam, juga sesuai dengan fitrah. Hukum Ilahi ialah kerangka dimana manusia dapat menjalankan dan mengatur free-will-nya sesuai Kehendak Ilahi dan selaras dengan fitrahnya. Manusia tak bertanggungjawab atas hukum yang berpusat pada manusia yang sewenang-wenang, baik yang tak terkodifikasi maupun terkodifikasi, yang dengan mudah dikaitkan dengan Tuhan, melainkan lebih pada seperangkat hukum dari Allah bagi manusia dan demi kepentingan manusia, yang sepenuhnya terstruktur, absolut dan tak dapat diubah [dan inilah yang membedakannya dengan dogma].
Tiga istilah embriologi bagi perkembangan awal manusia (dalam kandungan) disajikan dalam Al-Qur'an dan didukung oleh Hadits; yakni 'Nutfah,' mengacu pada gamet—sel sperma atau telur, terutama yang matang dan sudah berfungsi dalam pembiakan secara seksual (laki-laki dan perempuan) dan zigot, namun zigot berasal dari istilah khusus, nutfah amsyaj, dalam konteks keunikan genetik [QS. Al-Insaan (76):1-2]; 'Alaqah' merujuk pada zigot dan tahap perkembangan selanjutnya yang diperlukan untuk implantasi, dan 'Mudghah', mengacu pada tahap somite. Dalam hal pertanggungjawaban manusia, ada empat tahap: tiada pertanggungjawaban, tiada pertanggungjawaban hukum, hanya pertanggungjawaban kepada orang tua dan orang yang lebih tua, dan pertanggungjawaban penuh secara hukum. Kapasitas hukum sebanding dengan kapasitas mental individu serta kapasitasnya terhadap kehendak bebas. Hukum Islam dan tingkat tanggungjawab yang diperlukan bagi kepatuhan individu terhadap hukum itu, terkait langsung dengan tahap tertentu pertumbuhan individu. Akuntabilitas manusia diatur fase-fase ini, dengan syarat seseorang sehat jasmani-rohani dan sepenuhnya sadar akan tindakannya.
Mari kita bagi kehidupan manusia menjadi dua fase besar. Fase pertama disebut dalam terminologi Islam sebagai ahliyatul wujub (seseorang yang tak mempunyai tanggung jawab, hanya hak) dan fase kedua sebagai ahliyatul ada’ (seseorang yang bertanggungjawab melaksanakan kewajibannya). Setiap fase dibagi lagi menjadi dua subtahap. Hukum Islam mengatur keempat tahap ini dengan seperangkat hukum yang ditetapkan dengan sangat teliti.
Tahap pertama dimulai ketika ruh memasuki janin yang sedang berkembang dan berakhir saat melahirkan. Pada tahap ini, sebelum lahir, organisme ini berstatus manusia. Janin dalam kandungan ibu disebut sebagai naqis (tidak lengkap), tetapi saat lahir menjadi kamil (lengkap). Pada tahap ini, saat baru lahir, manusia tak bertanggung jawab atas apapun. Namun, masyarakat bertanggung jawab atas kesejahteraannya. Misalnya, organisme prenatal secara hukum berhak mewarisi, tapi tak berlaku bila sang anak meninggal; orangtua atau walinya, bertanggung jawab membagikan kepada anak yang belum lahir, bagian yang sah dari warisannya. Selain itu, sang ibu bertanggungjawab besar terhadap anaknya, dalam hal ia tak diperbolehkan mengkonsumsi apapun yang akan membahayakan sang janin, semisal obat-obatan yang bersifat merusak.
Tahap kedua dimulai saat lahir dan berlangsung hingga usia sekitar tujuh tahun, yang oleh sebagian besar ahli fikih dianggap sebagai usia yang mampu membedakan sesuatu (sinn at-tamyiz). Dari awal tahap pertama sampai akhir tahap kedua, sang anak dianggap tak bertanggung jawab secara hukum kepada makhluk apapun meskipun ia tunduk pada bimbingan orangtua dan bertanggungjawab kepada mereka sebagai orangtua. Berakhirnya tahap kedua, menandai pula berakhirnya tahap pertama, ahliyatul-wujub, pada usia tujuh tahun. Sampai usia ini, ia dikategorikan sebagai kamil, lengkap, tetapi belum bertanggungjawab atas perbuatannya dan juga tak diharapkan menyesuaikan diri dengan Syari'ah.
Praktik formal syari'ah dimulai pada usia tamyiz. Tahap ketiga, kira-kira dari usia tujuh hingga lima belas tahun, dimulai ketika individu mencapai usia tamyiz. Dari usia tujuh sampai sepuluh tahun orangtua dianjurkan menggunakan persuasi (paksaan-verbal), tetapi antara usia sepuluh sampai lima belas tahun, teguran-fisik dianjurkan. Orang tua diharapkan agar mendorong anak-anak mereka, melaksanakan shalat sejak usia tujuh tahun, menurut Sunnah, dan 'memukul mereka' [yang tak melukai, tak membuat kulit luka, atau tak membuat tulang atau gigi jadi patah. Pukul di bagian punggung atau pundak dan semacamnya saja. Hindari memukul wajah karena diharamkan memukul wajah. Pukulan hendaknya tak lebih dari sepuluh kali, tujuannya semata guna mendidik dan jangan perlihatkan pemberian hukuman kecuali jika diperlukan menjelaskan hal tersebut karena banyaknya penentangan anak-anak atau banyak yang melalaikan shalat, atau semacamnya] jika mereka tak melakukannya setelah usia sepuluh tahun.
Dari usia tujuh tahun hingga menjelang usia dewasa, sang anak diharap menegakkan shalat dan akan dibalas oleh Allah atas perbuatan baiknya, tetapi takkan dihukum di kehidupan selanjutnya jika ia tak menjalankan syari'at. Pada tahap ini, sang anak hanya bertanggungjawab sebagian, yaitu bertanggung jawab menuruti perintah orang tuanya. Tanggungjawab orangtualah agar mendorong sang anak melaksanakan shalat, namun ia tak bertanggungjawab kepada Allah jika ia tak mematuhi kewajiban ini.
Manusia mencapai tanggungjawab penuh pada tahap keempat, yang dimulai dengan usia kematangan seksual (bulugh) dan berlangsung hingga ajal. Pada tahap ini, manusia bertanggung jawab menjalankan semua hukum syariat. Kematangan seksual ditentukan oleh tanda-tanda fisik semisal ejakulasi, tumbuhnya janggut, rambut kemaluan dan rambut di bawah ketiak, dan pecahnya suara, pada laki-laki; dan masa haid, pembengkakan payudara, tumbuhnya rambut kemaluan dan rambut di bawah ketiak, pada wanita. Jika tak ada tanda-tanda fisik kematangan seksual yang terlihat, maka usia lima belas tahun lunar [berdasarkan fase bulan] dianggap sebagai usia maksimum untuk kedewasaan (bulugh), menurut sebagian ulama, dan delapan belas, menurut sebagian lainnya.
Usai mencapai bulugh, orang dewasa muda, dirinya sendiri, menjadi sepenuhnya bertanggung jawab untuk mematuhi perintah Ilahi, yang mana, ia akan beroleh pahala, dan bila melanggar hukum, ia dapat hukuman dari Allah.
Meskipun wajib bagi seorang anak Muslim menyesuaikan diri dengan Syari'ah di usia bulugh, bukan berarti bahwa ia dianggap dewasa secara intelektual. Pembatasan tertentu atas tindakan orang-orang yang meskipun dewasa secara seksual, namun belum matang secara intelektual, terdapat di dalam Syari'ah. Oleh karena kematangan intelektual, sangat penting dalam hal administrasi, semisal urusan keuangan, maka Syari'ah membatasi kebebasan intelektual bagi orang yang belum dewasa.
Pentingnya pembedaan antara kematangan seksual dan intelektual ini, dapat diilustrasikan melalui sebuah contoh mengenai masalah pewarisan. Seorang lelaki kaya meninggal, mewariskan seluruh kekayaannya kepada putranya, yang berusia tujuh tahun. Sang anak menjadi dewasa secara seksual pada usia dua belas tahun, yang membuatnya bertanggung jawab secara spiritual, menyesuaikan diri dengan Syari'ah. Namun, ia tak bertanggung jawab secara finansial, sebab ia belum mencapai kematangan intelektual yang cukup guna mengatur urusannya sendiri. Usia bulugh belum tentu setara dengan usia kematangan intelektual.
Karena kemampuan mental intelek ('aql) merupakan kriteria dasar taklif [pembebanan kewajiban pada seseorang], Syari'ah memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kewarasan dan kemampuan individu. Ada enam halangan alami yang membebaskan seseorang dari tanggungjawab penuh dalam Syari'ah: kegilaan, keterbelakangan mental, ketidaksadaran, penyakit, usia tua dan kematian. Hambatan ini berada di luar kendali individu, akan tetapi, ada hambatan lain yang diprakarsai oleh manusia itu sendiri dan membuatnya melanggar Syari'ah. Jika seseorang mabuk, misalnya, karena meminum minuman keras sehingga tak mampu melaksanakan shalat lima waktu, maka ia berdosa sebab dengan sengaja melanggar hukum, yang tak ada pengecualiannya.
Jadi, dalam perspektif Islam, agama tak dipandang dari 'reward and punishment'-nya, melainkan melalui prosesnya, sebuah proses esensial dalam aktualisasi Fitrah. Demikian pula, seluruh cabang Syari'ah, membantu menuntun dan mengarahkan 'aql dan iradah orang beriman, menuju pemenuhan tujuan utamanya dalam hidup—aktualisasi Fitrahnya."

Lalu Swara berkata, “Sesi selanjutnya, kita akan percakapkan tentang hubungan interpersonal dalam perspektif Islam, tapi sepanjang sesi ini, kita cukup serius berbincang tentang Fitrah, mari kita tutup dengan sebuah guyonan, 'Seorang lelaki sedang menonton pertandingan sepak bola tatkala istrinya pulang dari mall, membawa buanyaak banget tas jinjingan.
'Papa kira, Mama ke mall buat ngeliat-liat doang,' katanya.
'Iyyaa,' jawab istrinya, 'Mama beli gorden buat jendela dapur, tapi, tahu gak Pa, Mama dapetin barang-barang gandengannya lho: pembuka kaleng, cofee maker, blender, teko, celemek, serbet, penggorengan, sendok masak, sendok sup, .…' Dan sampai acara pertandingan sepakbola usai, sang istri, belum juga selesai menyebutkannya, satu per satu."
[Bagian 2]