Selasa, 07 Februari 2023

Indahnya Ilmu : Perspektif Islam

“Ilmu itu, ibadah qalbu, rahasia hidupnya, dan sumber kekuatannya,” berkata sang Purnama saat ia tiba, usai mengucapkan Basmalah dan menyapa dengan salam. Inilah kemunculan pertamanya, sejak ia tertutup kabut musim hujan.
Lalu ia melanjutkan, “Dalam perspektif Islam, Ilmu memperoleh posisi sentral. Allah berfirman,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا
'Janganlah engkau mengejar [yakni jangan berasumsi atau jangan mengucapkan] sesuatu yang tak engkau ketahui. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan, dan hati-nurani, semuanya bakal diminta pertanggungjawabannya.' [QS. Al-Isra' (17):36]
Mereka yang tak mengetahui, diperintahkan agar bertanya kepada mereka yang mengetahui. Allah berfirman,
وَمَآ اَرْسَلْنَا قَبْلَكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
'Kami tak mengutus sebelum engkau (duhai Muhammad) melainkan beberapa orang lelaki, yang Kami berikan wahyu kepadanya. Maka, bertanyalah kepada ahladz-dzhikri, jika engkau tak mengetahui.' [QS. Al-Anbiya (21):7]
Wahyu merupakan sumber utama Ilmu. Ia mencakup metafisika dan posisi pada banyak hal tentang Ilmu. Seluruh Wahyu itu, Kebenaran [al-Haq], dan Kebenaran itu, Ilmu. Oleh karenanya, seluruh umat Islam, tanpa kecuali, dianjurkan menuntut Ilmu Agama. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
'Menuntut ilmu [agama] itu, wajib atas setiap muslim ....' [HR Ibnu Majah; Shahih menurut Al-Albani]
Setelah mengetahui Kebenaran (al-Haq), manusia juga membutuhkan Petunjuk (Hidayah), dan Wahyu merupakan petunjuk. Allah berfirman,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ
'Bulan Ramadhan itu, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an sebagai panduan bagi Kemanusiaan, dengan bukti-bukti petunjuk yang jelas, serta standar pembeda antara yang haq dan yang bathil ....' [QS. Al-Baqarah (2):185]
Wahyu mencakup, baik Al-Qur'an maupun Sunnah yang otentik. Ummat Islam dipandu Al-Qur'an guna mengikuti kedua Otoritas ini. Allah berfirman,
مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ اَطَاعَ اللّٰهَ
'Siapa yang menaati Rasul (Muhammad), maka sungguh telah menaati Allah ....' [QS. An-Nisa (4):80]
Selain mengetahui dari Wahyu (al-Wahy), penggunaan Indra (Hawas), Intelek (Akal-sehat dan Qalbu; al-aql wal-qalb), pengalaman sejarah (siyahah), dan merenungkan dunia alam dan fisik (kaun) merupakan hal-hal yang teramat penting. Dan bimbingan khusus (hidayatus subul) dikaruniakan kepada mereka yang berjuang (jihad) di jalan Allah; pemahaman dan hikmah (at-tafakuh wal-hikmah) dianugerahkan kepada orang-orang yang diridhai Allah; mimpi kenabian (arruya assadiqah), naluri (firasah), pencerahan intelektual atau spiritual (mukashafah) dan inspirasi (ilham), merupakan pula sarana Ilmu.

Al-Qur'an menempatkan Intelek pada tingkat tertinggi dalam pemahaman dan sebagai sarana Ilmu. Intelek merupakan perpaduan antara akal yang sehat dan qalbu yang bersih. Al-Qur'an terkadang menggunakan penalaran akal dan terkadang qalbu, untuk memahami. Nampak bahwa ada keterhubungan antara qalbu dan nalar, dan fungsi keduanya, dapat disebut sebagai Intelek. Al-Quran mendorong manusia agar bernalar, Allah berfirman,
وَهُوَ الَّذِيْ يُحْيٖ وَيُمِيْتُ وَلَهُ اخْتِلَافُ الَّيْلِ وَالنَّهَارِۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
'Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan. Bagi-Nyalah (kekuasaan mengatur) pergantian malam dan siang. Maka, tak maukah kamu bernalar?' [QS. Al-Mu'minun (23):80]
Al-Qur'an mendorong kita agar menggunakan kemampuan menganalisis, mengevaluasi, dan mensintesis apa yang kita baca guna secara kritis mengembangkan tanggapan yang efektif dan sesuai. Nabi Ibrahim, alaihissalam, membujuk kaumnya agar menggunakan kemampuan berpikir kritis mereka guna menemukan kekeliruan dalam menyembah patung-batu. Ia menggunakan daya-pikir kritisnya untuk membantu kaumnya dalam mengidentifikasi berhala mereka. Kaumnya mengakui kekeliruan mereka, dan Nabi Ibrahim berkata, 'Mengapa engkau menyembah sesuatu selain Allah yang tak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tak (pula) mendatangkan mudarat kepadamu?' Nabi Ibrahim membujuk kaumnya agar menggunakan pola-pikir kritis mereka guna menemukan kezaliman terhadap diri mereka sendiri, dan kemudian ia berkata,
اُفٍّ لَّكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗاَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
'Celakalah engkau dan apa yang engkau sembah selain Allah! Maka, tak maukah engkau menggunakan nalar?' [QS. Al-Anbiya (21):67]
Merenungkan dialog-dialog Nabi Ibrahim, kita hendaknya belajar menggunakan daya-pikir kritis kita dan fokus pada pokok persoalan.
Contoh lain, dialog antara Firaun yang tiran dengan seorang mukmin dari keluarga Firaun yang menyembunyikan keimanannya, menggambarkan kekuatan debat kritis, meskipun kekuatan Firaun sangat menindas. Sang mukmin mengajukan pertanyaan kritis dan berkata, 'Akankah engkau membunuh seseorang lantaran ia berkata, ‘Rabb-ku adalah Allah.’ Padahal, sungguh ia telah datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti yang nyata dari Rabb-mu. Jika ia seorang pendusta, ia yang akan menanggung (dosa) dustanya itu, dan jika ia seorang yang benar, niscaya sebagian (bencana) yang diancamkan kepadamu, akan menimpamu. Sesungguhnya, Allah tak memberi petunjuk kepada orang yang melampaui batas lagi pendusta.' [QS. Ghafir (40):28]
Sang mukmin fokus pada persoalan percaya kepada Allah atau menerima Firaun sebagai tuhan. Semua orang bijak, bisa belajar dari dialog antara sang mukmin dan Fir'aun. Namun, engkau mungkin berpikir bahwa dialog antara sang mukmin dan Firaun, ribuan tahun yang lalu, tak sesuai dengan waktu dan tempat kita; dan dalam tanggapan spontan, engkau pikir engkau benar. Namun, jika engkau membandingkan perilaku manusia Firaun dengan praktik tiran saat ini, engkau bakalan menemukan kesamaan yang mengejutkan dan perilaku yang hampir identik. Hanya saja, Firaun menggunakan pedang untuk membunuh orang yang tak bersalah, sementara sekarang, para agresor menggunakan kekuatannya, baik berupa rudal atau peluru lain untuk membunuh karakter atau bahkan memenjarakan ratusan orang yang tak bersalah, dan mereka akan berbuat kejahatan, terlepas dari metode atau keyakinan politiknya. Daya-pikir kritis dan Angkara-murka, berada pada kutub yang berseberangan.

Al-Qur'an mendorong manusia agar belajar dari sejarah dan salah satu tanda yang terlihat dari sejarah masa-lalu itu, tanda-tanda yang ditinggalkan oleh mereka yang dapat dipandang, bahkan sekarang ini, sebagai struktur dan peninggalan arkeologi. Tanda-tanda tersebut, menjadi tonggak utama bagi orang yang merenung, berpikir mendalam tentang sejarah manusia. Meskipun banyak kisah bangsa-bangsa masa-lalu dan peristiwa sejarah disebutkan dalam Al-Qur'an, namun Al-Qur'an tetap menganjurkan agar kita memperhatikan tanda-tanda fisik peradaban masa lalu guna pemahaman dan pembelajaran. Allah berfirman,
قُلْ سِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِيْنَ
'Katakanlah (Duhai Muhammad), 'Berjalanlah di bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan al-mujrimin (para pendosa).' [QS. An-Naml (27):69]
Allah juga berfirman,
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌۙ فَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ
'Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunan (kehendak dan hukum Allah yang berlaku dalam kehidupan manusia). Oleh karena itu, berjalanlah di (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan al-mukadzdzibin (para pengingkar terhadap para rasul).' [QS. Ali Imran (3):137]
Al-Qur'an mendorong manusia agar memperhatikan tanda-tanda alam dan fisik guna memahami. Sebagian besar pemahaman dari tanda-tanda ini, merupakan ilmu yang lebih tinggi tentang metafisika dan tauhid. Allah berfirman,
وَفِى الْاَرْضِ اٰيٰتٌ لِّلْمُوْقِنِيْنَۙ
وَفِيْٓ اَنْفُسِكُمْ ۗ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَ
وَفِى السَّمَاۤءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوْعَدُوْنَ
فَوَرَبِّ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ اِنَّهٗ لَحَقٌّ مِّثْلَ مَآ اَنَّكُمْ تَنْطِقُوْنَ
'Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin. (Begitu juga ada tanda-tanda kebesaran-Nya) pada dirimu sendiri. Maka, tidakkah kamu memperhatikan? Di langit terdapat pula (hujan yang menjadi sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu. Maka, demi Rabb langit dan bumi, sesungguhnya (apa yang dijanjikan kepadamu itu) pasti akan nyata seperti (halnya) kamu berucap.' [QS. Adz-Dzariyat (51):20-23]
Allah berfirman,
اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۚ فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ
'Tidakkah mereka berjalan di bumi sehingga hati mereka dapat memahami atau telinga mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang berada dalam dada.' [QS. Al-Hajj (22):46]
Al-Qur'an menyatakan bahwa orang-orang yang berjuang di jalan Allah, akan beroleh petunjuk. Allah berfirman,
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ
'Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami [beragam cara dan sarana agar mencapai ridha Allah]. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama al-Muhsinin (orang-orang yang berbuat kebajikan).' [QS. Al-Ankabut (29):69]
Intelek yang lebih tinggi (al-tafakuh), yang dapat berasal dari karunia Allah dan ketekunan, serta kearifan atau kebijaksanaan (al-hikmah), juga merupakan sarana Ilmu, sebab mengacu pada kemampuan berpikir yang berada pada tingkat kritisitas dan kreativitas yang lebih mapan. Ilmu yang benar, yang terbentuk dalam kerangka pandangan dunia yang benar, merupakan prasyarat dari hikmah yang benar. Kata 'Hikmah' berasal dari kata kerja 'hakama', yang bermakna 'mengendalikan, mendominasi, mengatur dan mengarahkan.' Berasal dari akar kata yang sama, kata 'hukumah' (pemerintahan), 'hukm' (administrasi, wewenang dan kontrol), 'hakam' (hakim) serta 'hakim' (komandan dan pemimpin). Rasulullah (ﷺ) bersabda,
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
'Orang bijak itu, orang yang menganggap dirinya bertanggung jawab dan berbuat baik guna mempersiapkan apa yang akan datang setelah kematian. Orang yang bodoh itu, orang yang menuruti hawa-nafsunya dan menuntut kesenangan mereka dari Allah.' [Jami` at-Tirmidzi; Hasan menurut At-Tirmidzi]
Oleh sebab itu, orang bijak, sangat mahir dan berilmu, sehingga ia selalu memutuskan dan bertindak atas sesuatu, sedemikian rupa sehingga ia tampak seolah-olah memegang kendali penuh dan mengatur segala situasi dan keadaan, yang mungkin dialaminya. Sebaliknya, Hikmah bukanlah untuk menghasilkan dan mengartikulasikan ide dan teori yang terlalu abstrak dan muluk-muluk, tanpa menerjemahkannya ke dalam ranah realitas dan pengalaman yang gamblang. Hikmah bernalar dan berbicara tentang hal-hal yang tak seorang pun—termasuk pemikir dan pembicara itu sendiri—tak mampu sepenuhnya memahami, apalagi mengambil manfaat darinya.

Mimpi yang baik dan benar, merupakan pula, sumber ilmu; sebab bisa menjadi kabar gembira dari Allah. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
الرُّؤْيَا الْحَسَنَةُ مِنَ الرَّجُلِ الصَّالِحِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ
'Mimpi yang baik (yang menjadi kenyataan) dari orang yang shalih, merupakan salah satu dari empat puluh enam bagian kenabian.' [Shahih Al-Bukhari]
Mimpi dipandang sebagai rangkaian imajinasi yang mungkin menimpa seseorang selama tidurnya, dan mimpi ini, berbeda urutan dan logikanya dari kehidupan nyata. Mimpi juga dianggap sebagai sarana mewujudkan dan memenuhi keinginan jiwa saat ini, serta motifnya. Dalam perspektif Islam, ada tiga jenis mimpi, seperti yang disabdakan Rasulullah (ﷺ),
الرُّؤْيَا ثَلاَثٌ فَرُؤْيَا حَقٌّ وَرُؤْيَا يُحَدِّثُ بِهَا الرَّجُلُ نَفْسَهُ وَرُؤْيَا تَحْزِينٌ مِنَ الشَّيْطَانِ فَمَنْ رَأَى مَا يَكْرَهُ فَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ
'Mimpi itu ada tiga jenis: Mimpi yang sebenarnya, mimpi tentang sesuatu yang telah terjadi pada manusia itu sendiri, dan mimpi dimana setan menakut-nakuti seseorang. Maka, barangsiapa yang melihat apa yang tak disukainya, maka ia hendaknya bangun dan melakukan shalat.' [Jami` at-Tirmidzi; Shahih]
Lebih lanjut, Rasulullah (ﷺ) bersabda,
لرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ مِنْ اللَّهِ وَالْحُلْمُ مِنْ الشَّيْطَانِ فَمَنْ رَأَى شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَنْفِثْ عَنْ شِمَالِهِ ثَلَاثًا وَلْيَتَعَوَّذْ مِنْ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهَا لَا تَضُرُّهُ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَرَاءَى بِي
Mimpi yang baik itu, dari Allah, dan mimpi buruk (hulum) itu, dari setan. Barang yang melihat sesuatu yang tak disukainya, hendaklah ia meniup ke sisi kirinya tiga kali dan berlindung dari setan. Sungguh, itu takkan menyakitinya dan Setan tak dapat muncul dalam wujudku.' [Muttafaqun alaihi]
Pula, orang beriman, diberi wawasan khusus tentang berbagai hal (firasah atau naluri). Rasulullah (ﷺ) bersabda,
اتَّقُوا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُورِ اللَّهِ
Waspadalah terhadap naluri orang beriman. Sesungguhnya, ia melihat dengan cahaya Allah.' [Jami` at-Tirmidzi; Shahih menurut Al-Haitzami]
Pencerahan intelektual atau spiritual, atau visi, merupakan cara khusus lain bagi Ilmu, Imam al-Gazali telah mencatatnya sebagai ilmul mukasyifiah, sebab menganggapnya sebagai Ilmu terbaik. Bisa juga disebut sebagai ilmu kekinian. Contoh-contoh dari Al-Qur'an dapat diambil dari kisah Nabi Musa, alaihissalam, dan Al-Khidir. Al-Qur'an mengisahkan, 'Lalu, mereka berdua bertemu dengan seorang dari hamba-hamba Kami [yakni Al-Khidr] yang telah Kami anugerahi rahmat kepadanya dari sisi Kami. Kami telah mengajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami. Musa berkata kepadanya, 'Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) dari apa yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?'
Ia menjawab, 'Sesungguhnya engkau takkan sanggup bersabar bersamaku. Bagaimana engkau akan sanggup bersabar atas sesuatu yang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentangnya?' [QS. Al-Kahf (18):65-68]

Inspirasi atau Ilham, merupakan sumber Ilmu lainnya. Inspirasi terhubung dengan qalbu. Dan qalbu seseorang, berada dalam kendali Allah. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ
'Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, Allah jadikan ia beramal.'
Lalu para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dijadikan ia beramal, duhai Rasulullah?' Rasulullah (ﷺ) bersabda,
يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ الْمَوْتِ
'Dibukakan untuknya amalan shalih sebelum meninggalnya.' [Jami` at-Tirmidhi; Sahih]
Ibnu Rajab, rahimahullah, berkata bahwa dalam Kitab-Nya, Allah terkadang menyebutkan ilmu dengan cara yang terpuji; merujuk pada ilmu yang bermanfaat, dan di lain waktu, dengan cara yang tercela; mengacu pada ilmu yang tak bermanfaat. Adapun kategori pertama, ilmu yang bermanfaat, contohnya terletak pada firman-firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ
' ... Katakanlah, 'Samakah orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tak mengetahui? ...' [QS. Az-Zumar (39):9] 
نَّ فِيْ ذٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّاُولِى الْاَبْصَارِ
' ... Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan (mata-hati) . ...' [QS. Ali 'Imran (3):13] 
وَقُلْ رَّبِّ زِدْنِيْ عِلْمًا
' ... dan ucapkanlah, 'Duhai Rabb-ku, tambahkanlah ilmu kepadaku.' [QS. Taha (20):114] 
اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ
' ... Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah yang berilmu ... ' [QS. Fatir (35):28]
Terletak pula pada apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala ceritakan tentang kisah Adam, alaihissalam. Dia mengajarinya nama-nama segala sesuatu dan kemudian menghadirkannya kepada para malaikat, yang berkata,
سُبْحٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۗاِنَّكَ اَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ
' ... Mahasuci Engkau. Tiada pengetahuan bagi kami, selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.' [QS. Al-Baqatah (2):32]
Penyebutan lebih lanjut dapat dilihat dalam apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala, ceritakan tentang kisah Nabi Musa, alaihissalam, yang bertanya kepada Khidr,
هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلٰٓى اَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
' ... Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan padaku (ilmu yang benar) dari apa yang telah diajarkan kepadamu agar menjadi) petunjuk?' [QS. Al-Kahf (18):66]
Hal ini tak lain adalah ilmu yang bermanfaat.

Terlebih lagi, kita telah diberitahu tentang orang-orang yang menerima ilmu, namun ilmunya tak berguna. Ilmu ini, dengan sendirinya, bermanfaat, tetapi orang yang diberikan, tak diuntungkan olehnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
مَثَلُ الَّذِيْنَ حُمِّلُوا التَّوْرٰىةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوْهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ اَسْفَارًاۗ
'Perumpamaan orang-orang yang dibebani tugas mengamalkan Taurat, kemudian tak mengamalkannya, ibarat keledai yang membawa kitab-kitab (tebal tanpa memahami kandungannya). ... ' [QS. Al-Jumu'ah (62):5] 
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ الَّذِيْٓ اٰتَيْنٰهُ اٰيٰتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَاَتْبَعَهُ الشَّيْطٰنُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِيْنَ
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنٰهُ بِهَا وَلٰكِنَّهٗٓ اَخْلَدَ اِلَى الْاَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوٰىهُۚ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ الْكَلْبِۚ اِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ اَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْۗ ذٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَاۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
'Bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka (tentang) berita orang yang telah Kami anugerahkan ayat-ayat Kami kepadanya. Kemudian, ia melepaskan diri dari (ayat-ayat) itu, lalu setan mengikutinya (dan terus menggodanya) sehingga ia termasuk orang yang sesat. Seandainya Kami menghendaki, niscaya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi ia cenderung pada dunia dan mengikuti hawa nafsunya. Maka, perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, ia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, ia menjulurkan lidahnya (juga). Demikian itu adalah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka, ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir.' [QS. Al-A'raf (7):175-176]

فَخَلَفَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَّرِثُوا الْكِتٰبَ يَأْخُذُوْنَ عَرَضَ هٰذَا الْاَدْنٰى وَيَقُوْلُوْنَ سَيُغْفَرُ لَنَاۚ وَاِنْ يَّأْتِهِمْ عَرَضٌ مِّثْلُهٗ يَأْخُذُوْهُۗ
'Kemudian, setelah mereka, datanglah generasi (yang lebih buruk) yang mewarisi kitab suci (Taurat). Mereka mengambil harta benda (duniawi) yang rendah ini (sebagai ganti dari kebenaran). Lalu, mereka berkata, 'Akan dimaafkan bagi kami.' Jika nanti harta benda (duniawi) datang kepada mereka sebanyak itu, niscaya mereka akan mengambilnya (juga) ...' [QS. Al-A'Raf (7):169]
Allah juga berfirman,
وَاَضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلْمٍ
'... dan Allah telah membiarkannya sesat karena ilmu ...' [QS. Al-Jathiyah (45):23]
Salah satu penjelasan dari ayat ini ialah bahwa Allah membiarkannya sesat kendati berilmu. Islam mengajarkan manusia sebanyak apa yang seharusnya dan boleh ia ketahui, sama seperti apa yang tak boleh dan tak seharusnya ia ketahui. Mengetahui apa yang tak boleh dan tak seharusnya diketahui, merupakan aspek fundamental dari ilmu ['kenali takaranmu'].
Dalam epistemologi Islam, sumber dan sarana ilmu, beraneka-ragam, termasuk wahyu, sedangkan epistemologi Barat, yang dominan ialah, perpaduan antara empirisme dan rasionalisme. Dalam perspektif Islam, wahyu merupakan sumber utama dan sarana ilmu. Wahyu menyentuh banyak bidang ilmu dan menyediakan fondasinya. Beberapa dari fondasi ini, sangat penting lantaran menjadi landasan bagi banyak disiplin ilmu. Misalnya, mengenai asal usul manusia, wahyu memberikan pengertian tentang asal usul manusia, misinya di muka bumi dan tujuannya, serta makna keberadaannya. Ada hal-hal yang bersifat pra-sejarah, tetapi Al-Qur'an memberikan versi ketuhanan yang unik tentang hal-hal tersebut, semisal hilangnya peradaban lama dan komunitas manusia. Berlawanan dengan materialisme, Al-Qur'an berbicara tentang dunia dan makhluk ghaib. Dari beberapa contoh ini, jelaslah bahwa dasar-dasar ilmu dalam Islam, berbeda karena konsepsinya yang khusus tentang realitas.
Di sisi lain, semua hal ini belum memungkinkan di verifikasi atau dipalsukan oleh sains modern. Beberapa hal ini, berada di luar domain metode empiris dan rasional. Mengenai hal-hal yang dirahasiakan wahyu dan berada di bawah domain untuk dipahami oleh setiap manusia dengan kapasitas intelektual yang sesuai, Islam memberikan segala kebebasan kepada manusia agar menjelajah ke dalam ilmu dan mengerahkan upaya kreativitas dan inovasi demi kemaslahatan. Tujuan kebaikan ini disebut 'al-ilman nafiah' (ilmu yang bermanfaat). Hal ini sangat dihargai dalam Islam. Umat Islam dianjurkan berdoa dengan doa,
رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
'Duhai Rabb-ku, tambahkan ilmuku,' [QS. Taha (20):114]
Dan pula,
اللَّهُمَّ انْفَعْنِي بِمَا عَلَّمْتَنِي وَعَلِّمْنِي مَا يَنْفَعُنِي وَزِدْنِي عِلْمًا
'Ya Allah, beri manfaat padaku dengan apa yang telah Engkau ajarkan kepadaku, ajari aku apa yang bermanfaat bagiku, dan tambahkan ilmuku.' [Sunan al-Tirmidzi; Hasan]
Oleh karena itu, setiap kemajuan, kreativitas, dan inovasi dalam keilmuan, hendaknya bermanfaat dan tak merugikan. Dan seorang mukmin, agar terus berusaha dalam menambah ilmu dan pemahamannya. Dalam perspektif Islam, kreativitas dan inovasi yang bermanfaat dan berguna dalam segala bidang keilmuan, berpahala dan pantas, baik di dunia maupun di akhirat, dan selama orang mendapat manfaat dari ilmu tersebut, pahala akan mengalir kepada orang yang menaburkan ilmu tersebut. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
'Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal, (yaitu) sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau doa anak yang shalih.' [Shahih Muslim]"
Sang Purnama hendak mengakhiri perbincangan, ia menyimpulkan dengan, “Epistemologi Islam, bukanlah epistemologi ekstrimis, melainkan sintetik dan komplementer. Islam sangat mementingkan indra dan akal guna mengenali, dan pada saat yang sama, menempatkan wahyu pada kepentingan yang lebih tinggi. Seluruh sarana ini, merupakan karunia Allah, namun semuanya punya tujuan dan sasarannya sendiri. Kemampuan nalar yang diberikan sebagai anugerah, diberikan kepada seluruh umat manusia, sehingga akal manusia, dapat mencapai hikmah, berkreasi, dan berinovasi.
Terkadang, ketika engkau membaca Al-Qur'an, engkau tak dapat menemukan sesuatu yang engkau cari atau sesuatu yang tak masuk akal, lalu engkau menyimpulkan bahwa, 'Beberapa ayat Al-Qur'an, pasti sudah usang karena tak sesuai lagi! ' Tapi tunggu dulu, mungkin engkau lupa sesuatu, yang disebut Paradigma. Paradigma ialah cara berpikir dan cara memandang suatu masalah dan/atau suatu kenyataan, yang didasarkan pada metode intelektual yang handal. Penting memandang sesuatu melalui paradigma yang disebut Paradigma Al-Qur'an, yaitu cara pandang atau cara berpikir tentang suatu masalah, berdasarkan Al-Qur'an. Jadi, jika engkau mengarungi samudera ilmu bersama Al-Qur'an, engkau hendaklah sering menggeser paradigmamu. Ubah Paradigmamu, ubah hidupmu, dan disanalah letak indahnya ilmu. Wallahu a'lam.”

Tiba-tiba, kabut tebal mulai menghalangi cahayanya, dan sebelum ia tertutupi, sang Purnama melantunkan,

أسمو وأجتاز السماء جلالا
[Asmu wa ‘ajtazus-sama’a jalala]
Aku bangkit dan menembus langit dalam kemuliaan
فأزيد أسراب الغيوم جمالا
[Fa’azidu ‘asrabal ghuyumi jamala]
Jadikan sekumpulan awan lebih indah
وألون الدنيا بأجمل بسمة
[Wa ‘ulawwinu duniya bi’ajmali basmatin]
Dan warnai dunia dengan senyum terindah
وأكون للخير العميم مثالا *)
[Wa ‘akunu lilkhayril ’amimi mitsala]
Dan kukan jadi teladan bagi segala yang baik
Kutipan & Rujukan:
- Ibn Rajab al-Hanbali, The Excellence of Knowledge, Translated from the original Arabic by Abu Rumaysah, Daar Us-Sunnah
- Mohammad Manzoor Malik, Islamic Approach to Critical Thinking, ResearchGate
*) "Asmu" dibawakan oleh Muhammad al-Muqit