"Dua sahabat sedang berbincang tentang keakraban," kata Swara saat tiba, usai mengucapkan Basmalah dan Salam.'Gue rasa, doi bukan wanita yang bener-bener ansos,' berkata salah seorang.'Kagak,' tanggap yang lain. 'doi cuman ngeremehin manusia.'"Swara lalu meneruskan, "Manusia menggunakan kata-kata yang terucap atau tertulis, untuk mengungkapkan makna dari apa yang hendak disampaikannya. Bahasanya penuh dengan simbol, akan tetapi, ia sering pula menggunakan tanda atau gambar yang tak sepenuhnya deskriptif. Ada yang—menurut Carl Jung—sekedar singkatan atau rangkaian inisial, seperti UN, UNICEF, atau UNESCO, yang lain, merek dagang yang telah dikenal, nama obat paten, tanda-pengenal, emblem atau lencana.Kendati singkatan atau rangkaian inisial itu, tak bermakna bagi mereka sendiri, semuanya telah memperoleh makna yang dapat dikenali melalui penggunaan umum atau maksud yang disengaja. Yang demikian itu, bukanlah simbol. Semuanya merupakan tanda, dan tak lebih dari menyatakan objek yang melekat padanya.Apa yang kita sebut simbol, menurut Jung, merupakan istilah, nama, atau bahkan gambar, yang mungkin akrab dalam kehidupan sehari-hari, namun berkonotasi khusus, selain makna konvensional dan jelas. Ia menyiratkan sesuatu yang tak jelas, tak diketahui, atau tersembunyi dari kita. Banyak monumen pulau Kreta, misalnya, ditandai dengan desain kapak ganda. Objeknya, kita kenali, namun kita tak memahami, implikasi simbolisnya.Sebuah kata atau gambar, menurut Jung, merupakan simbol bila menyiratkan sesuatu yang lebih dari makna yang jelas dan langsung. Ia beraspek 'tidak sadar' yang lebih luas, yang tak pernah didefinisikan atau dijelaskan sepenuhnya. Pula, tiada yang bisa berharap, mendefinisikan atau menjelaskannya. Saat otak menjelajahi simbol, ia dituntun menuju ide-ide yang berada di luar jangkauan nalar.Lantaran ada banyak hal di luar jangkauan pemahaman manusia, kita terus-menerus menggunakan istilah simbolis guna mewakili konsep yang tak dapat kita jelaskan atau pahami sepenuhnya. Inilah salah satu latarbelakang mengapa, di hampir semua agama, menggunakan bahasa atau gambar simbolik. Sedangkan di dalam prosa, sesuatu yang indah, atau diharapkan ada keindahan didalamnya, dipersonifikasikan ke dalam bentuk feminin. Keadilan, misalnya, sebenarnya sesuatu yang indah, maka dipersonifikasikan sebagai Lady Justice, yang asalnya dari Dewi Yustisia, dalam mitologi Romawi, atau Themis, dewi keadilan Yunani. Kwan Im, sebagai perlambang kasih-sayang, dipersonifikasikan dalam bentuk feminin. Orang-orang Arab terdahulu, yang sangat menyukai syair-syair di dalam pergaulan mereka, merujuk kata benda 'as-syams' (matahari) sebagai femina. Bukankah Sunset dan Sunrise itu, indah? Bumi, dalam bahasa Sansekerta, dipersonifikasikan sebagai Prithvi (Ibu Pertiwi), seorang dewi. Dan kita semua tahu, segala keindahan yang ada di Bumi. Namun memang, terkadang, penggunaan simbol, dapat berakibat menyesatkan.""Dan suatu hari," kata Swara, "Katak mengunjungi rumah sahabatnya, Kodok. Kodok sedang melepas stiker di bagian belakang mobilnya. Dan ketika melihat Katak datang, ia bergegas menutupnya. Katak menyapa, 'Sedang apa Kodok?''Gak ngapa-ngapain!' jawab Kodok, 'cuman ngelepasin stiker ini dari mobil ane.''Coba ane liat!' dan tanpa dapat dicegah, Katak membuka covernya, dan stiker yang telah disobek itu, terbaca sebagian, 'MADE IN CH''Ini apa Kodok?' tanya Katak. 'Bukan apa-apa!' jawab Kodok. 'Ane cuma pingin nge-rebrand mobil ane." Lalu ia mengambil stiker lain, dan buru-buru memasangnya. Katak memperhatikan, dan beberapa saat kemudian, ia berkata, 'Ente masangnya buru-buru Kodok, lihat tuuh...!'Kodok memyimak stiker yang dipasangnya, dan tertulis, 'MADE IN CHINDONESIA.''Ah sudahlah!' kata Kodok, tengsin, 'ente tahu gak sih, kenapa ane gak suka masak?''Taaauk,' sahut Katak.'Soalnya, butuh waktu lebih lama ketimbang memakannya,' kata Kodok.'Itu problem ente, Kodok,' jawab Katak, 'di jaman now, semua suka masak. Meski ngeliat prosesnya doang, masih tetap terasa nikmat kok.'Beberapa saat kemudian, mereka duduk di beranda. Katak berkata, 'Kodok, mau nggak. dengerin cerita ane?''Mau dong,' jawab Kodok. Maka, Katak pun mulai bercerita,'Di sebuah negara yang para founding-parentsnya, sepakat menganut sistem pemerintahan demokratis, Kepala Negaranya, amat-sangat sibuk. Tapi sungguh mengherankan, walaupun tampak sibuk, seluruh pekerjaannya berantakan. Rupanya, ia sibuk meng-endorse, produk-produk yang gak laku. Rakyatnya gak keurus. Akibatnya, bila hendak berbicara soal Kemakmuran, menurut seorang penyanyi Balada, tak perlu dibicarakan, 'sebab Kemakmuran hanya untuk anjing si Tuan Polan.' Rakyat gak punya pilihan, kecuali mencari jalannya masing-masing, merawat dirinya sendiri. Banyak orang, dari ilmuwan hingga jenderal, semuanya nganggur. Seluruh kesempatan-kerja, telah terisi oleh orang-orang dari negeri konoha. Dalam bidang politik, pilihannya hanya dua, menjadi buzzer pemerintah atau oposisi—pintu-pintu penjara selalu sangat terbuka menyambut mereka, yang disebut belakangan.Ane mengamati, bahwa ada tiga orang, atau lebih tepatnya, tiga macam orang, seorang ilmuwan, seorang jenderal dan seorang ahli statistik, masih bingung dengan kedua pilihan itu. Mereka cenderung menjelajahi negeri, untuk menemukan sesuatu yang lebih bermakna.Ane ceritain dulu tentang sang ilmuwan. Dengan Harley klasiknya, doi terus melaju, sampai mencapai sebuah kota. Doi memarkir motornya di sebuah toko kecil. Doi masuk, dan melihat dinding sempit yang seluruhnya tergantung pot, wajan, lampu, botol, benda-benda kulit, alat-alat tua yang maksud dan tujuannya tak dapat ditebak, belati berukir dan pisau berburu, wayang kulit, botol parfum, pengeriting rambut. Doi mencari-cari di rak dan menemukan sebuah botol, botol yang sangat berdebu di antara tumpukan barang baru, atau mungkin barang lama, yang tampaknya belum disortir. Sebuah botol kecil, berleher tinggi, yang pas di telapak tangannya, dan bersumbatkan kaca, berbentuk kubah mini. Keseluruhannya berwarna gelap, dengan pola garis-garis putih melingkar teratur mengelilinginya.‘Apa ini?’ doi bertanya kepada pemilik toko, seorang perempuan tua. Sang pemilik toko mengambil botol kecil itu darinya, dan menghela debunya dengan jari. 'Aku bukan ahli kaca,' katanya. 'Boleh jadi, çesm-i bülbül. Atau bisa juga, kaca Venesia yang cukup baru. 'çesm-i bülbül' berarti mata burung bulbul. Ada bengkel kaca Turki yang masyhur di Incirköy sekitar tahun 1845, menurutku—pembuat kaca Turki yang kondang ini, dengan pola spiral garis-garis biru dan putih buram, atau terkadang merah, kurasa begitu. Aku tak tahu mengapa disebut mata burung bulbul. Mungkin burung bulbul yang bermata transparan dan buram. Di pedesaan Turki, mereka terobsesi dengan burung bulbul. Puisi mereka penuh dengan burung bulbul. Sebelum polusi, sebelum televisi, semua orang keluar dan berjalan di sepanjang Bosphorus dan di semua taman, mendengarkan burung bulbul pertama tahun itu. Sangat indah. Seperti Jepang dan bunga Sakuranya. Semua orang, berjalan dengan tenang dalam cuaca musim semi, mendengarkannya.’'Aku harus memiliki ini,' kata sang ilmuwan. Maka, botol mata burung bulbul, dibungkus dengan kain kirmizi. Doi berjalan keluar toko dan pergi dengan Harley-nya, mencari motel.Di motel, doi mandi, lalu menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Namun, beberapa saat kemudian, doi teringat botol burung bulbul. Doi mengeluarkannya dari bungkusan—sangat berdebu, hampir bertatahkan tanah liat—dan membawanya ke kamar mandi, membuka keran wastafel, menghangatkan air, hangat-hangat kuku, dan memegang botol itu di bawah kucuran air keran, memutarnya, berputar-putar. Kacanya membiru, dijalin dengan lingkaran putih buram, biru kobalt, sangat terang, berkilau dan indah. Doi memutar dan memutarnya, menggosok bintik-bintik debu yang lekat dengan ibu jari dan jari-jemarinya, dan tiba-tiba menimbulkan semacam lompatan hangat di tangannya, seperti kodok, seperti jantung yang masih berdetak di tangan seorang ahli bedah. Tapi sumbatnya, gerinda kaca yang samar, tiba-tiba melesat keluar dari leher botol dan jatuh, berdenting tapi gak pecah, masuk ke dalam baskom wastafel. Dan dari botol di tangannya, keluar segerombolan tiupan nafas, warna-warna buram yang bergerak cepat, dengan suara mendengung bernada tinggi dan beraroma kayu-manis, belerang, tentang sesuatu yang mungkin merupakan dupa, tentang sesuatu yang bukan kulit, tapi, apa gerangan? Awan gelap berkumpul dan berbalik, dan terbang berbentuk keongan atau koma besar, keluar dari kamar mandi. Aku melihat sesuatu, pikirnya, mengikutinya, dan ternyata doi gak bisa mengikuti, lantaran pintu kamar mandi terhalang oleh apa yang perlahan-lahan berbentuk jempol kaki yang, guedhe banget, kaki dengan lima jari setinggi tubuhnya.
Kutipan & Rujukan:Jempol kaki itu, mulai berubah wujud. Sekarang ukurannya sebesar kursi berlengan besar. Doi keluar dan melihat Jin, yang sekarang menempati setengah kamarnya yang luas, meringkuk bagaikan ular, dengan kepala dan bahunya yang lebar, menjulang ke langit-langit, lengannya terentang di antara dua dinding, dan kaki serta tubuhnya melingkar di atas tempat tidurnya dan ia mengikutinya ke kamar. Sang Jin sepertinya mengenakan tunik sutra hijau, tak terlalu bersih, dan tak cukup panjang, karena doi bisa melihat tumpukan rumit dari bagian pribadinya di tengah tempat tidurnya yang kemerahan. Di belakangnya, ada hamparan besar bulu-bulu berwarna-warni yang berkilauan, bulu merak, bulu burung nuri, bulu Cendrawasih, yang tampak merupakan bagian dari jubah yang mungkin bagian dari tubuhnya, tapi bukan sayap yang bertunas lazim sepanjang tulang belikat atau tulang belakangnya. Wajahnya rentang, lonjong, dan sama sekali tak berambut. Kelopak-matanya, lintang, hijau membelalak, di atas mata hijau-laut berbintik-bintik perunggu. Bertulang pipi lebar dan berhidung bengkok yang angkuh, serta mulutnya dempak dan terpahat bagaikan Firaun Mesir.'Aku rasa, ente gak bisa ngomong Bahasa.' katanya, 'Pranciskah? Jermankah? Spanyolkah? Portugiskah? Latinkah?' ia agak ragu. Sang jin memandangnya, 'Ana belajar lebih cepat!' Sang jin sekarang meringkuk di tempat tidurnya, hanya satu setengah kali lebih besar dari dirinya. 'Ana berhutang pada anta,' kata sang jin, 'atas pembebasan ini. Kekuatanku pulih kembali, tapi masih memerlukan, karenanya, mengabulkan tiga keinginan anta. Mungkin ada yang anta kehendaki.’'Ada batasannya,' tanya sang ilmuwan, 'atas apa yang ana inginkan?' dan ia pun teringat cerita Aladin dan lampu ajaibnya.'Ada hukum praeternatural tempat kita bekerja, kita semua, yang tak dapat dilanggar,' kata sang jin. 'Anta tak boleh berharap, misalnya, semua keinginan anta, dikabulkan selamanya. Tsalatsah, tellu, ya tigo, angka keramat. Anta tak diperbolehkan meminta hidup yang kekal, sebab sifat anta itu, fana, sedang sifat ana, abadi.''Dan andaikan ana tak punya keinginan, apa yang akan terjadi pada anta?' tanya sang ilmuwan. 'Maka, ana tak sepenuhnya bebas, ana bahkan harus kembali ke botol burung bulbul ciloko itu,' jawab sang jin, berharap sang ilmuwan menyatakan keinginannya. 'Tapi, kenapa anta gak punya keinginan? Bisakah anta melukiskannya, misalnya, dalam sebuah cerita?'Nah sekarang, sang ilmuwan tak punya cerita. Bukankah ia seorang ilmuwan? Yang ia tahu, yang pasti-pasti aja, bukan yang mboten-mboten. Bercerita? Ia tak begitu pandai. Lalu ia berpikir dan berpikir, dan tiba-tiba, sesuatu muncul, tanpa ragu, ia memulai sebuah cerita,'Alkisah, ada seorang pelaut muda yang tak punya apa-apa selain keberanian, dan matanya yang cerah —dan sangat berbinar—serta kekuatan yang diberikan para batara kepadanya, dan itu mencukupi.Ia bukan pasangan yang pantas bagi gadis manapun di desanya, karena sering gugup dan miskin pula, tapi, para gadis muda, senang melihatnya lewat, Percaya gak percaya, mereka paling suka melihatnya berdansa, dengan kakinya yang sangat panjang dan cekatan, serta mulutnya yang tertawa lebar.Dan yang terpenting, seorang gadis suka melihatnya, putri seorang tukang giling, cantik dan anggun, serta merasa bangga, dengan tiga pita beludru terjahit di roknya, yang sama sekali takkan membiarkan sang pelaut muda melihat bahwa sang gadis suka memperhatikannya, namun melirik dengan mata sayu, saat sang pelaut tak memperhatikan. Dan begitu pula banyak yang lain. Selalu begitu. Ada yang cuma melirik, dan ada yang mungkin bersiul dengan pandangan kagum sampai iblis menerkam mereka, karena begitulah para sukma dibuat, bengkok atau lurus, tiada yang dapat dilakukan terhadapnya.Sang pemuda, datang dan pergi, sebab perjalanan panjang itulah yang membuatnya tertarik, ia pergi bersama paus-paus melewati ujung dunia dan turun ke tempat laut mendidih, dan ikan-ikan besar bergerak di bawahnya, bagaikan pulau-pulau tenggelam dan putri duyung bernyanyi dengan cermin dan sisik hijau, serta rambutnya yang bergelombang, demikianlah bila dongeng dapat dipercaya. Ia terlebih dahulu, naik ke atas tiang, lalu menombak dengan lembingnya, akan tetapi, ia tak bisa menghasilkan uang, sebab cuan, hanyalah milik para majikan, maka, kerjanya cuma datang, lalu pergi.Dan ketika datang, ia duduk dan menceritakan apa yang dilihatnya, dan mereka semua mendengarkan. Dan putri tukang giling datang, ceria dan bangga dan semenggah, dan sang pelaut melihatnya mendengarkan di tepian, dan berkata ia akan membawakannya pita sutra dari Timur, jika ia mau. Dan sang gadis tak berkata apa-apa, suka atau tidak, ya atau tidak, tapi sang pelaut merasa bahwa sang gadis bakalan menyukainya.Lalu ia pergi lagi, dan membawa pita dari putri seorang pedagang sutra di sebuah negeri dimana para wanitanya berkulit keemasan dengan rambut laksana sutra hitam, namun mereka suka melihat seorang lelaki berdansa dengan kaki yang panjang dan cekatan, serta mulutnya yang tertawa lebar. Dan ia menyampaikan kepada putri pedagang sutra, bahwa ia akan datang lagi dan memulangkan pita itu, semuanya terbungkus kertas wangi, dan pada pesta dansa desa berikutnya, sang pelaut menyerahkannya kepada putri tukang giling dan berkata, 'Ini pitamu.'Dan jantung putri tukang giling berdegup kencang, tetapi ia dapat menguasainya, dan bertanya dengan kalem, berapa harga yang harus ia bayar dengan pita itu. Pita yang indah, pita sutra berwarna bianglala, seperti yang belum pernah terlihat sebelumnya.Sang pelaut sangat marah atas penghinaan terhadap pemberiannya itu, dan berkata bahwa ia harus membayar biaya kepada siapa yang memilikinya. Dan sang gadis berkata, 'Apah?' Sang pelaut berkata, 'Malam tanpa tidur sampai aku datang lagi.' Sang gadis berkata, 'Harganya terlalu tinggi.' Sang pelaut berkata, 'Harga telah ditetapkan. Engkau harus bayar.'Lalu sang gadis membayarnya, dan seorang lelaki yang telah merobek harkat-kemanusiannya, mengambil apa yang bisa diambilnya, dan ia benar-benar mengambilnya, sebab sang gadis telah melihatnya berdansa, dan sang gadis telah terputar dan terpelintir otaknya, melihat martabat dan dansa sang pelaut. Segala sesuatu, ada harganya, namun tidak pada tingkat harkat kemanusiaan.''Wait!' kata sang jin, 'ana tak meminta bayaran atas semua keinginan yang, jika anta mau, akan kukabulkan. It's free!'Sang ilmuwan hanya diam, ia lalu berkemas-kemas dan check-out dari motel, kemudian memacu Harley-nya ke arah sebuah anak sungai. Sang jin masih terus mengikuti dan terus bertanya tentang keinginannya.Di tepi sungai, sang ilmuwan menghentikan Harleynya dan berkata, 'Bagaimana jika seluruh keinginanku, anta kabulkan, jin?'Maka ana akan bebas sebebas-bebasnya,' jawab sang jin.'Lalu bagaimana dengan diriku?''Anta telah memiliki apa yang anta inginkan, tapi ingat, tak ada yang kekal dalam hidup manusia,' jawab sang jin.Sang ilmuwan mengeluarkan botol mata bulbul dari kantong jaketnya, membuka sumbatnya sambil berkata, 'Tahu gak jin, ana seorang yang tak percaya pada penawaran kaos gratis Buy One Get One Free. Well, they are free, but they aren't free. Maafkan ana!' Seketika sang jin terkejut, 'Tidak, jangan!' dan sang jin pun terhisap ke dalam botol. Seketika, sang ilmuwan menutup botolnya. Sembari melemparkannya ke sungai, ia berkata, 'Adios jin! Ana takkan menukarkan keinginan ana, dengan janji-janji anta,' lalu memacu Harleynya, mencari sesuatu yang lebih bermakna.''Kodok berkomentar, 'Iya sih, ente mungkin punya kehidupan yang baik, tetapi ente mencapainya dengan melewati hari-hari yang buruk. Segala sesuatu yang ente miliki atau capai, ada biaya yang telah ente bayarkan, atau sedang bayarkan, atau akan bayarkan. Nothing is free.'Kemudian Katak berkata, 'Besok, ane bakal ceritain tentang sang Jenderal.'""It's time to go," kata Swara, lalu ia memudar seraya bersenandung,Time stands still[Waktu berhenti]Beauty in all she is[Dengan segala keindahannya]I will be brave[Aku bakalan tabah]I will not let anything take away[Takkan kubiarkan apapun membawa pergi]What's standing in front of me[Apa yang tegak dihadapanku]Every breath, every hour has come to this[Tiap helaan, tiap jam, telah sampai ke hal ini]One step closer *)[Selangkah lebih dekat]
"Wallahu a'lam."
- Carl Gustav Jung, Man and his Symbols, Anchor Press
- A.S. Byatt, The Djinn in the Nightingale's Eye, Vintage
*) "A Thousand Years" karya Christina Perri & David Hodges