"Suatu hari, seseorang terdakwa pencurian, yang dikawal oleh seorang petugas polisi, secara tak sengaja, berpapasan dengan seorang hakim, sebelum sidang pengadilan dimulai," Swara memulai dengan sebuah cerita, sebelum melanjutkan percakapan tentang para pemikir, usai mengucapkan Basmalah dan Salam.""'Apa tuntutan yang ente hadapi kali ini?' tanya sang Hakim dengan lembut kepada sang tertuduh.'Ane cuman berusaha menyelesaikan lebih awal, belanja Tahun Baru, yang mulia!" jawab sang terdakwa memohon belas-kasihan.'Ya, itu benar,' kata petugas Polisi dengan tenang, 'taapiii ... sebelum toko dibuka, yang mulia.'""Ide ada dimana-mana," lanjut Swara, "dalam penggunaan umum dan dalam filsafat, Ide merupakan hasil pemikiran. Dalam filsafat, ide dapat pula menjadi gambaran representasional mental dari beberapa objek. Kata ide berasal dari bahasa Yunani ἰδέα ide 'bentuk,' 'pola,' dari akar kata ἰδεῖν idein, 'melihat.' Banyak filsuf menganggap ide sebagai kategori ontologis mendasar dari keberadaan. Kemampuan berkreasi dan memahami makna ide, dianggap sebagai fitur penting dan menentukan manusia.Walaupun Ide ada dimana-nama, namun ilmu itu langka. Bahkan orang yang disebut 'berilmu' pun, biasanya berilmu yang kuat, semata dalam beberapa area khusus, yang mewakili sebagian kecil dari seluruh spektrum perhatian manusia. Humoris Will Rogers berkata, 'Semua orang bodoh, pada persoalan yang berbeda saja.'Bagaimana dunia yang bodoh ini, berfungsi rumit, yang membutuhkan ilmu yang amat banyak? Fungsi rumit ini, tak cuma mencakup prestasi ilmiah semisal perjalanan udara dan eksplorasi ruang angkasa, melainkan pula, proses ekonomi rumit yang menghadirkan sepotong roti dan sepotong mentega ke piringmu saat sarapan. Siapapun yang telah mempelajari proses sebenarnya dimana makanan sehari-hari direncanakan, diproduksi, dan didistribusikan, tahu bahwa kerumitannya, mengejutkan akal. Banyak orang yang sangat cerdas dan sangat terlatih, menghabiskan seumur hidup mempelajarinya, dan belajar lebih banyak sepanjang waktu. Di antara mereka yang berspekulasi secara finansial pada komoditas semacam itu, bencana ekonomi merupakan hal biasa, bahkan setelah mereka menghabiskan waktu bertahun-tahun mempelajari pasar. Singkatnya, secara individu, kita cuma tahu sangat sedikit, namun secara sosial, kita menggunakan jangkauan dan kompleksitas pengetahuan yang akan membingungkan komputer.Fisikawan telah menetapkan bahwa massa materi yang paling padat dan berat, yang kita lihat, sebagian besar merupakan ruang kosong. Namun pada tingkat submikroskopis, bintik-bintik materi yang tersebar melalui kekosongan yang luas, memiliki kerapatan dan berat yang luar biasa, dan saling terhubung oleh kekuatan yang sangat kuat, sehingga bersama-sama, menghasilkan semua sifat beton, besi tuang, dan batuan padat. Dengan cara yang hampir sama, setitik Ilmu, tersebar melalui kekosongan ketidaktahuan yang luas, dan semuanya tergantung pada seberapa padat masing-masing bintik Ilmu itu, dan pada seberapa kuat, saling terhubung dan terkoordinasi. Ruang ketidaktahuan yang luas, tak mencegah bintik-bintik ilmu membentuk struktur yang kokoh, meskipun kesalahpahaman yang cukup, dapat menghancurkannya, dengan cara yang sama seperti struktur atom radioaktif dapat hancur (uranium menjadi timah) atau bahkan meledak.Ide atau Gagasan [rancangan yang tersusun di dalam benak], sebagai bahan mentah darimana ilmu diproduksi, ada dalam jumlah yang melimpah, namun hal ini, alih-alih membuatnya lebih mudah, melainkan menjadikan produksi ilmu, lebih sulit. Banyak ide—mungkin sebagian besar—harus dibuang di suatu tempat, dalam proses menghasilkan ilmu yang shahih. Keshahihan sama pentingnya dengan informasi mentah itu sendiri, dan cara serta kecepatan proses otentikasinya, dapat menjadi sangat penting: serangan mendadak di Pearl Harbor berhasil terlepas dari kenyataan bahwa pengetahuan tentang serangan yang akan datang, telah sampai ke Departemen Perang di Washington beberapa jam sebelum itu terjadi. Meski demikian, pengeboman tersebut mengejutkan Pearl Harbor, lantaran informasi tersebut belum melalui proses otentikasi yang ditetapkan oleh institusi militer. Apapun kelebihan atau kekurangan lembaga-lembaga tersebut, sebagaimana mereka ada pada tanggal 7 Desember 1941, jelas bahwa organisasi militer manapun, hendaknya memiliki proses otentikasi, atau gagasan yang tak diverifikasi, yang masuk ke dalam sistem, yang berpotensi memicu perang. Baru-baru ini, sekawanan angsa Kanada, menyalakan sistem peringatan Amerika, mendeteksi rudal nuklir yang masuk, dan hanya prosedur otentikasi berikutnyalah, yang mencegah serangan nuklir 'pembalasan' yang bisa berakhir pada Perang Dunia III.Beragam Ide, dapat diklasifikasikan berdasarkan hubungannya dengan proses otentikasi. Ada ide yang disiapkan secara sistematis guna otentikasi ('teori'), ide yang tak berasal dari proses sistematis ('visi'), ide yang tak dapat bertahan dari proses otentikasi yang masuk akal ('ilusi'), ide yang membebaskan diri dari proses otentikasi apapun ('mitos'), ide-ide yang telah melewati proses otentikasi ('fakta'), serta ide-ide yang diketahui gagal—atau pasti gagal—proses semacamnya ('pernyataan yang tidak benar'—baik kekeliruan maupun dusta).Sementara berbagai jenis Ide atau Gagasan ini, secara konseptual berbeda, pada kenyataannya, gagasan tertentu dapat berkembang atau bermetamorfosis melalui beberapa keadaan ini. Misalnya, kita mungkin mulai dengan kesan umum tentang bagaimana dan mengapa hal-hal tertentu terjadi seperti itu, tanpa punya bukti nyata atau argumen yang terstruktur secara logis tentang hal itu. Akan tetapi, setelah kita mulai dengan visi seperti itu, kita dapat melanjutkan dengan menentukan secara sistematis, jika visi ini benar, maka konsekuensi empiris tertentu akan dapat diamati dalam kondisi yang tepat. 'Visi' menghasilkan "teori". Kondisi yang tepat dapat dibuat di laboratorium atau diamati dalam sejarah atau dibangun atau ditemukan, dan validitas serta kepastian hasilnya, kurang lebihnya, terbuka bagi kritikan. Poin penting di sini, hanyalah untuk membedakan prosedur otentikasi sistematis seperti itu, dari keputusan berdasarkan konsensus, emosi, atau tradisi.Pada rangkaian pemikiran manusia, di satu sisi merupakan murni-sains; di sisi lain, murni mitos. Yang satu ditopang sepenuhnya oleh prosedur logis yang sistematis, yang lain, oleh verifikasi konsensual oleh orang-orang sezaman, oleh pendahulu mereka yang diwakili melalui tradisi yang berlaku, atau oleh keturunan, bagi mereka yang mengharapkan pembenaran sejarah. Pembedaan krusial merupakan salah satu prosedur, bukan hasil akhir. Sains tak lebih pasti kebenarannya dibanding mitos. Banyak teori ilmiah terbukti keliru dengan metode ilmiah, sedangkan kepercayaan besar yang bertahan lama, yang telah mencapai status mitos, biasanya mengandung beberapa kebenaran penting—jika sebagian—benar.Baik otentikasi sistematis dan persetujuan konsensual, dapat dipecah lebih lanjut. Otentikasi sistematis melibatkan pengujian struktur logis teori guna konsistensi internal dan pengujian hasil teori, agar konsistensi yang eksternal dengan fakta-fakta dunia nyata, dapat diamati.Persetujuan konsensual dapat berarti persetujuan masyarakat umum pada waktu tertentu, atau persetujuan dari beberapa kelompok acuan khusus—kelas sosial, sekte agama, gerakan ideologis, dll—di masa lalu, sekarang, atau masa depan. Ide-ide yang kurang logis, empiris, atau dukungan konsensual umum, masih dapat mempertahankan dirinya, sebagai sesuatu yang masih dapat diterima oleh konsensus. dari mereka yang menganggap dirinya sebagai penjaga khusus dari kebenaran tertentu-yaitu, sebagai kelompok referensi konsensual yang benar-benar penting. Terkadang elitisme yang tersirat dalam posisi seperti itu, dapat diredam dengan menggambarkan gagasan yang dipersoalkan (penyelamatan agama, pemulihan politik, dll.) sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi sebagian besar umat manusia di luar kelompok, sehingga kelompok tersebut, hanyalah pengganti sementara bagi suatu konstituen yang lebih besar, yang pada akhirnya akan menyetujui ide tersebut. Namun, tentu saja, proposisi ini sendiri, masih merupakan ide lain yang tak memiliki verifikasi empiris atau persetujuan konsensual umum.Ada banyak variasi pada dua cara dasar memverifikasi gagasan, dan banyak kombinasi dari variasi ini, yang seringkali digunakan melibatkan kombinasi metode verifikasi sistematik dan konsensual dalam argumen yang sama. Misalnya, sebuah presentasi ilmiah mungkin menghindari—bahkan, harus menghindari—verifikasi tak terbatas dari setiap aspek insidental dari argumennya dengan mengatakan, pada dasarnya, 'semua orang tahu' ini atau itu, dan terus membuktikan hal-hal yang perlu dibuktikan.' Demikian pula, kepercayaan yang pada dasarnya bertumpu pada persetujuan konsensual—kepercayaan agama, misalnya—mungkin pula menggunakan teknik logis dan empiris, seperti 'bukti' ilmiah tentang keberadaan Tuhan, yang umum pada abad ke-18 dan awal abad ke-19, sebelum Darwin. Kombinasi yang kurang lebih terbuka ini, tak menimbulkan masalah khusus. Akan tetapi, suatu masalah muncul ketika satu metode, menyamar sebagai yang lain—misalnya, ketika hasil dari proses yang pada dasarnya bersifat konsensual, memilih tampil sebagai metode ilmiah, seperti dalam banyak masalah yang disebut 'ilmu sosial'.Sebuah gagasan atau pengertian yang disarikan dari suatu peristiwa konkrit, merupakan sebuah konsep. Tak ada konsep yang simpel. Setiap konsep memiliki komponen dan didefinisikan olehnya. Karenanya, ia mempunyai kombinasi. Ia merupakan multiplisitas, kendatipun tak setiap multiplisitas itu, konseptual. Tiada konsep dengan hanya satu komponen. Bahkan konsep pertama, yang dengannya sebuah filsafat 'bermula', punya beberapa komponen, sebab tak jelas bahwa filsafat mesti punya permulaan, dan jika memang menentukannya, ia harus menggabungkannya dengan sudut pandang atau landasa. Tak cuma Descartes, Hegel, dan Feuerbach yang tak memulai dengan konsep yang sama, mereka juga tak punya konsep permulaan yang sama. Setiap konsep, setidaknya, rangkap dua atau rangkap tiga, dan seterusnya. Pula, tiada konsep yang memiliki setiap komponen, sebab akan menjadi kekacauan yang murni dan sederhana. Bahkan yang disebut universal sebagai konsep pamungkas, harus lepas dari kekacauan, dengan membatasi alam semesta yang menjelaskannya (kontemplasi, refleksi, komunikasi). Setiap konsep memiliki kontur tak teratur, yang ditentukan oleh jumlah komponennya, itulah sebabnya, dari Plato hingga Bergson, kita menemukan gagasan tentang konsep sebagai masalah artikulasi, pemotongan, dan pemotongan silang.Konsep itu, keseluruhan, sebab menjumlahkan komponen-komponennya, namun merupakan keseluruhan yang terpisah-pisah. Hanya dengan kondisi ini, ia dapat lepas dari kekacauan mental yang terus-menerus mengancamnya, mengintainya, mencoba menyerapnya kembali.Semua konsep terhubung dengan masalah, yang tanpanya, mereka takkan bermakna, dan yang dengan sendirinya, hanya dapat diisolasi atau dipahami ketika solusinya muncul. Di sini, kita berurusan dengan masalah tentang pluralitas subjek, hubungannya, dan presentasi timbal-baliknya. Tentu saja, semuanya berubah jika kita berpikir bahwa kita menemukan masalah lain.Jelas, setiap konsep punya sejarahnya. Di sisi lain, sebuah konsep, juga berwujud, yang melibatkan hubungannya dengan konsep-konsep yang terletak pada bidang yang sama. Di sini, konsep-konsep terhubung satu sama lain, mendukung satu sama lain, mengoordinasikan konturnya, mengartikulasikan masalahnya masing-masing, dan berfilosofi yang sama, walau punya sejarah yang berbeda. Faktanya, memiliki jumlah komponen yang terbatas, setiap konsep akan bercabang ke konsep lain, yang tersusun berbeda tetapi merupakan wilayah lain dari bidang yang sama, menjawab masalah yang dapat saling dihubungkan, dan berpartisipasi dalam kreasi bersama. Sebuah konsep, tak hanya membutuhkan masalah, yang melaluinya ia menyusun kembali atau menggantikan konsep-konsep sebelumnya, melainkan sebuah persimpangan masalah dimana ia digabungkan dengan konsep-konsep lain yang hidup berdampingan.Ada sifat konsep atau konsepnya konsep. Pertama, setiap konsep berhubungan kembali dengan konsep-konsep lain, tak hanya dalam sejarahnya, melainkan pula dalam keberadaannya atau hubungan-hubungannya saat ini. Setiap konsep punya komponen yang, pada giliranny,a dapat dipahami sebagai konsep. Oleh karenanya, konsep meluas hingga tak terbatas dan, diciptakan, tak pernah tercipta dari ketiadaan. Kedua, apa yang khas dari konsep ini, bahwa ia menjadikan komponen-komponen tak dapat dipisahkan di dalam dirinya sendiri. Komponen, atau apa yang mendefinisikan konsistensi konsep, endokonsistensinya, berbeda, heterogen, namun tak dapat dipisahkan. Intinya, bahwa setiap sebagian, masing-masing tumpang-tindih, punya zona lingkungan, atau ambang ketidakterbedaan, dengan yang lain. Ketiga, setiap konsep, karenanya, akan dianggap sebagai titik kebetulan, kondensasi, atau akumulasi komponennya sendiri.Konsep itu, inkorporeal, meskipun ia menjelma atau diwujudkan dalam tubuh. Namun, pada kenyataannya, ia tak tercampur dengan keadaan dimana ia dijalankan. Ia tak punya koordinat spatiotemporal, hanya koordinat intensif. Ia tak punya energi, hanya intensitas; ia anenergetik (energi bukanlah intensitas melainkan cara yang belakangan digunakan dan ditiadakan dalam keadaan yang luas). Konsep berbicara tentang peristiwa, bukan esensi atau peristiwa murni, hecceity (individualitas, spesifitas), entitas: peristiwa dari yang lain atau wajah (ketika, pada gilirannya, wajah diambil sebagai konsep). Ia ibarat burung sebagai peristiwa. Konsep ditentukan oleh ketakterpisahan sejumlah komponen heterogen yang dilalui oleh titik survei absolut dengan kecepatan tak terbatas. Konsep adalah 'permukaan atau volume absolut', bentuk-bentuk yang objek satu-satunya adalah ketakterpisahan dari variasi yang berbeda. 'Survei' merupakan keadaan konsep atau ketidakterbatasannya yang spesifik, meskipun ketidakterbatasannya mungkin lebih besar atau lebih kecil, sesuai dengan jumlah komponen, ambang batas, dan jembatan. Dalam pengertian ini, konsep merupakan tindakan pemikiran, pemikiran yang beroperasi dengan kecepatan tak terbatas (walaupun lebih besar atau lebih kecil).Oleh sebab itu, konsep bersifat absolut dan relatif: ia relatif terhadap komponennya sendiri, terhadap konsep lain, terhadap bidang dimana ia didefinisikan, dan terhadap masalah yang seharusnya diselesaikan; namun ia mutlak melalui kondensasi yang dilakukannya, tempat yang ditempatinya di bidang, dan kondisi yang diberikannya pada masalah tersebut. Secara keseluruhan, ia mutlak, tetapi sejauh ia bersifat terpisah-pisah, ia bersifat relatif. Ia tak terbatas melalui survei atau kecepatannya tetapi terbatas melalui pergerakannya yang menelusuri kontur komponennya. Filsuf selalu menyusun kembali dan bahkan mengubah konsepnya: terkadang pengembangan titik detail yang menghasilkan kondensasi baru, yang menambah atau menarik komponen, mencukupi. Para filsuf terkadang menunjukkan kelupaan yang hampir membuat mereka sakit. Menurut Jaspers, Nietzsche, 'memperbaiki idenya sendiri guna membuat yang baru, tanpa mengakuinya secara eksplisit; ketika kesehatannya memburuk, ia lupa akan kesimpulan yang telah ia dapatkan sebelumnya.' Atau, seperti yang dikatakan Leibniz, 'Kukira, aku telah sampai di pelabuhan; tapi... sepertinya, aku terlempar kembali ke laut lepas.' Yang tetap mutlak, bagaimanapun, ialah cara dimana konsep yang dibuat, ditempatkan dalam dirinya sendiri dan dengan yang lain. Relativitas dan kemutlakan konsep itu, seperti pedagogi dan ontologinya, penciptaannya dan penempatan dirinya, idealitasnya dan realitasnya—konsep itu nyata tanpa menjadi aktual, ideal tanpa perlu jadi abstrak.Konsep ditentukan oleh konsistensinya, endokonsistensi dan eksokonsistensinya, namun tak bereferensi: ia merujuk pada diri sendiri; ia menempatkan dirinya dan objeknya, pada saat yang sama ia diciptakan. Konstruktivisme menyatukan yang relatif dan yang absolut.Akhirnya, konsep itu, tak diskursif, dan filosofi bukanlah formasi diskursif, tak bersama-sama menghubungkan proposisi. Bila keliru membedakan antara konsep dan proposisi, menghasilkan suatu keyakinan akan keberadaan konsep-konsep ilmiah dan pandangan tentang proposisi sebagai 'intensi' yang asli (apa yang diekspresikan oleh kalimat). Akibatnya, konsep filosofis biasanya muncul hanya sebagai proposisi yang tak masuk akal. Kekeliruan ini, menguasai logika dan menjelaskan gagasan filsafatnya, yang kekanak-kanakan. Konsep diukur dengan tata bahasa 'filosofis' yang menggantikannya dengan proposisi yang diambil dari kalimat dimana konsep tersebut muncul. Kita terus-menerus terjebak di antara proposisi alternatif dan tak melihat bahwa konsep tersebut, telah masuk ke tengah yang dikecualikan. Konsep sama sekali bukan proposisi; ia bukan proposisional, dan proposisi tak pernah merupakan suatu kehebatan. Proposisi ditentukan oleh referensinya, yang tak menyangkut peristiwa, melainkan hubungan dengan keadaan atau badan, serta dengan kondisi keterhubungan ini. Jauh dari sebuah intensi, kondisi ini sepenuhnya bersifat ekstensional. Menyiratkan operasi dimana absis atau linierisasi berturut-turut terbentuk, yang memaksa koordinat intensif menjadi koordinat spatiotemporal dan energetik, dimana set yang ditentukan dibuat agar saling bersesuaian. Konsep merupakan pusat getaran, masing-masing dalam dirinya sendiri dan setiap orang berhubungan dengan yang lainnya. Itulah mengapa, semuanya beresonansi ketimbang menyatu atau saling-berhubungan."Jadi, mana yang lebih dulu, konsep atau ide?" tanya Swara, lalu ia berkata, “Ide sebenarnya merupakan bagian dari, atau awal dari, proses penciptaan sebuah konsep yang utuh. Konsep bermakna pemahaman yang diambil dari fakta atau logika tertentu. Jika engkau mendekorasi ulang kamar-tidurmu, engkau perlu memulainya dengan konsep, seperti 'taman bunga' atau 'ruang luar'. Konsep merupakan ide umum tentang sesuatu atau sekelompok perihal, yang berasal dari contoh atau kejadian tertentu. Secara lebih umum, konsep merupakan sesuatu yang kita pilih guna didefinisikan dengan cara yang tepat; namun ia tak sama dengan fakta, yang merupakan sesuatu yang terbukti benar. Konsep dapat didasarkan pada fenomena nyata dan merupakan gagasan umum tentang sesuatu yang bermakna. Contoh konsep termasuk ukuran demografi umum: Pendapatan, Usia, Tingkat Pendidikan, Jumlah Saudara, dan sebagainya."“Dan sebagai penutup, simaklah cerita-cerita pendek ini,'Seorang lelaki masuk ke kantor psikiater dan duduk di lantai, menjelaskan masalahnya. 'Dokter, aku punya masalah ini,' kata sang lelaki. 'Aku terus berhalusinasi bahwa aku seekor anjing. Ini gila. Aku gak tahu, harus berbuat apa!''Penyakit kompleks anjing biasa,' kata sang dokter meyakinkan. 'Santai aja. Kemarilah dan berbaringlah di sofa.''Oh, aku gak bisa, Dokter,' kata sang lelaki dengan gugup. 'Aku gak diperbolehkan naik ke atas perabotan.'Seorang dokter sedang memeriksa seorang pasien anak.Dokter: Luka di tengkorakmu, agak lumayan juga. Apa yang terjadi?Anak: Adik perempuanku, memukulku dengan beberapa irisan tomat.Dokter: Itu luar biasa. Aku tak melihat ada bekas potongan tomat.Anak: Ya, soalnya ... tomatnya ada di dalam kaleng.'"Saatnya pergi, Swara lalu melantunkan,And I see your true colors[Dan kulihat warna-warna aslimu]Shining through[Berkilauan]I see your true colors[Kulihat warna-warna aslimu]And that's why I love you[Dan itulah mengapa aku menyayangimu]So don't be afraid[Maka janganlah takut]To let them show, your true colors[Mempertontonkannya, warna-warna aslimu]True colors are beautiful[Warna-warna asli itu indah]Like a rainbow *)[Bagai bianglala]"Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Thomas Sowell, Knowledge and Decisions, Basic Books- Gilles Deleuze & Felix Guattari, What Is Philosophy?, translated by Hugh Tomlinson and Graham Burchell, Columbia University Press New York
*) "True Colors" karya Billy Steinberg & Tom Kelly
[Sesi 7]
[Sesi 5]