Jumat, 24 Februari 2023

Sang Jin dan sang Jenderal

"Dalam ceramah kepada sekelompok perwira Korea, seorang jenderal Amerika, wakil komandan Angkatan Darat Kedelapan di Korea, membutuhkan waktu dua atau tiga menit menceritakan lelucon favoritnya," kata Swara saat tiba, usai menyapa dengan Basmalah dan Salam.
"Penerjemahnya, lalu dengan cepat menerjemahkan lelucon itu, hanya menggunakan tujuh atau delapan kata. Para hadirin langsung tertawa terbahak-bahak. Setelah ceramah, sang Jenderal bertanya kepada sang penerjemah, bagaimana ia bisa menceritakan kembali lelucon yang relatif panjang, dengan begitu cepat.
'Begini, Pak,' jawab sang penerjemah Korea, 'Aku rasa, tak semua orang bakalan paham maksudnya, jadi aku berkata, 'Pak Jenderal barusan menceritakan lelucon. Harap semuanya tertawa.'"

"Dan demikianlah, keesokan harinya," Swara melanjutkan, "Katak datang ke rumah Kodok, menyampaikan cerita berikutnya.
'Konon, dikala kaum lelaki dan perempuan meluncur di udara dengan sayap-sayap logam—dari badan usaha milik negara yang diambang kebangkrutan, dan seluruh perusahaan serupa, bakalan terus dijual; dikala mereka mengendarai besi yang merayap—dari pembiayaan yang tak kuinjung usai, dan dari hutang yang terus membengkak; dikala mereka memakai kaki berselaput dan berjalan di dasar laut—bukan untuk mempelajari bahasa ikan-paus dan senandung lumba-lumba—mencari sesuatu yang takkan henti dieksplorasi; dikala mereka menggali lahan, membabat hutan—membangun kota baru; dikala yang tak bersalah, diupayakan agar terbukti bersalah—vice versa; dikala lapar dan dahaga, tak terpuaskan—apa saja, apapun itu, semuanya dilahap; dikala ada seseorang yang, 'gak nyambung mulu jek,' dan karenanya, bahagia.
Konon pula, ada seorang lelaki menunggang kuda putih. Ia bukanlah 'Lone Ranger', sebab ia tak mengenakan topeng. Bukan pula, ia seorang 'Lucky Luke', yang nembak lebih cepat dari bayangannya, sebab yang nembak lebih cepat dari bayangannya, cuma seorang koruptor—dalam konteks ini, yang nilep duit lebih cepat dari bayangannya, serta bebas dari penjara, lebih cepat dari bayangannya dan bayangan kita semua. Ia menamai kudanya sebagai Jack Frost—personifikasi embun-pejal, es, salju, hujan-es, musim-dingin, dan dingin yang membekukan. Acapkali, Jack Frost dilukiskan sebagai entitas supernatural dalam mitologi Eropa, muncul sebagai pembuat kenakalan yang menyeramkan atau sebagai sosok pahlawan, dan pula, pernah dipersonifikasikan sebagai mayor jenderal Amerika Serikat selama Perang Saudara Amerika. Itukah latarbelakang mengapa ia—lelaki yang sedang kubicarakan—menamakan kudanya Jack Frost? Who knows, walakin ada yang bilang, 'the horse is a mirror of your emotions.'
Dan begitulah, ia mengendarai Jack Frost hingga sampai ke sebuah anak sungai. Ia turun dari kudanya, memegang tali kekangnya, dan menuntun Jack Frost menuju tepian sungai. Tiba-tiba, ia melihat sesuatu yang ngecling tapi bukan gigi, karena berwarna biru gelap. Ia mendekati benda itu, sebuah botol mungil. Ia jongkok dan memungutnya, beberapa bagiannya, berlumuran lumpur anak-sungai.
Ia menahan botol di bawah aliran sungai, memutarnya berputar-putar. Kacanya membiru, dijalin dengan lingkaran putih buram, biru kobalt, sangat terang, berkilau dan indah. Ia memutar dan memutarnya, menggosok bintik-bintik debu yang lekat, dengan ibu jari dan jari-jemarinya, dan tiba-tiba sumbatnya, gerinda kaca yang samar, melesat keluar dari leher botol dan jatuh, berdenting tapi gak pecah, ditepian anak-sungai, di atas batu kerikil. Dan dari botol di tangannya, keluar segerombolan tiupan nafas, warna-warna buram yang bergerak cepat, dengan suara mendengung bernada tinggi dan beraroma kayu-manis, belerang, tentang sesuatu yang mungkin merupakan dupa, tentang sesuatu yang bukan kulit, tapi, apa ya? Awan gelap berkumpul dan berbalik, dan terbang berbentuk keongan atau koma besar, keluar dari botol. Aku melihat sesuatu, pikirnya, dan menemukan jempol kaki yang amat besar, kaki dengan lima jari setinggi tubuhnya.
Ia mengikuti wujud itu, dari bawah ke atas, mulai dari kaki, lutut, paha, perut, dada, dan kepala. Berdiri di sana, seorang lelaki yang melipat tangannya, di atas dadanya. Barang sesaat, ia berpikir, ia sedang bermimpi. Sebab, kata Dr. Carl Gustav Jung, 'Manusia juga menghasilkan simbol-simbol secara tak sadar dan spontan, berupa mimpi. Manusia mampu melihat, mendengar, menyentuh, dan mengecap; namun seberapa jauh ia melihat, seberapa baik ia mendengar, apa yang dikatakan oleh sentuhannya, dan apa yang dirasakannya, bergantung pada jumlah dan kualitas inderanya. Semua ini, membatasi persepsinya tentang dunia di sekitarnya. Dengan menggunakan instrumen ilmiah, ia dapat mengimbangi sebagian kekurangan indranya. Misalnya, ia dapat memperluas jangkauan penglihatannya dengan teropong atau pendengarannya dengan amplifikasi listrik. Tetapi alat yang paling rumit tak mampu melakukan lebih dari sekadar membawa benda-benda yang jauh atau kecil ke dalam jangkauan matanya, atau membuat suara-suara samar menjadi lebih terdengar. Entah instrumen apa yang ia gunakan, pada titik tertentu, ia mencapai tepi kepastian yang tak dapat dilewati oleh pengetahuan sadar.
Selain itu, dalam pandangan Dr. Jung, ada aspek-aspek tak sadar dari persepsi kita, tentang realitas. Yang pertama ialah, kenyataan bahwa walau ketika indera kita bereaksi terhadap fenomena, penglihatan, dan suara yang nyata, indera-indera itu, entah bagaimana, diterjemahkan dari alam realitas ke alam cita. Di dalam pikiran, semua itu, menjadi peristiwa psikis, yang sifat utamanya tak dapat diketahui (lantaran psike tak dapat mengetahui substansi psikisnya sendiri). Jadi, setiap pengalaman mengandung faktor-faktor yang tak diketahui dalam jumlah yang tak terbatas, belum lagi, fakta setiap objek konkret, selalu tak diketahui dalam hal-hal tertentu, sebab kita tak dapat mengetahui sifat akhir dari materi itu sendiri.
Lalu ada peristiwa-peristiwa tertentu yang tak kita catat secara sadar; semuanya tetap, bisa dikatakan, di bawah ambang kesadaran. Semua itu, telah terjadi, namun telah diserap secara subliminal, tanpa sepengetahuan kita. Kita dapat menyadari kejadian seperti itu, hanya dalam sekejap intuisi atau melalui proses pemikiran mendalam, yang mengarah pada kesadaran selanjutnya, bahwa itu pasti terjadi; dan meskipun kita mungkin awalnya mengabaikan kepentingan emosional dan vitalnya, hal itu kemudian muncul dari alam bawah sadar sebagai semacam renungan.
Apa yang kita sebut 'psike' sama sekali tak identik dengan kesadaran kita dan isinya. Siapapun yang menyangkal keberadaan ketidaksadaran, dalam pandangan Dr. Jung, sebenarnya menganggap pengetahuan kita tentang psike saat ini, adalah mutlak. Dan keyakinan ini, jelas sama kelirunya dengan anggapan bahwa kita tahu semua, apa yang diketahui tentang seluruh alam-raya. Psike kita, bagian dari kodrat, dan teka-tekinya, tak terbatas. Jadi kita tak dapat mendefinisikan psike atau kodrat. Kita semata dapat menyatakan, apa yang kita yakini tentangnya, dan menjelaskan, sebaik mungkin, bagaimana fungsinya. Karenanya, terlepas dari bukti yang dikumpulkan oleh penelitian medis, ada dasar logika yang kuat menolak pernyataan seperti 'Tak ada yang dikata ketidaksadaran'. Mereka yang mengatakan hal-hal seperti itu, hanya mengungkapkan 'misoneisme' kuno—takut akan hal baru dan yang tak diketahui.'

Bermimpi atau tidak, ia tak mau mencubit kulitnya, tak ada salahnya menyapa, sosok yang bisa ia tebak sebagai sang Jin. 'Aku rasa, engkau tak bisa berbicara Bahasa.' katanya, 'Pranciskah? Jermankah? Spanyolkah? Portugiskah? Latinkah?' ia agak ragu. Sang jin memandangnya, 'Aku belajar lebih cepat!' Sang jin sekarang, seketika, hanya satu setengah kali lebih besar dari dirinya. 'Aku berhutang padamu,' kata sang jin, 'atas pembebasan ini. Kekuatanku pulih kembali, tapi masih memerlukan, karenanya, mengabulkan tiga keinginanmu. Mungkin ada yang engkau kehendaki.’ Bahasa sang Jin, sekarang lebih fasih, dibanding sewaktu berbicara dengan sang ilmuwan.
'Ada batasannya,' tanya sang lelaki, 'atas apa yang aku inginkan?' dan ia pun teringat dongeng Aladin dan lampu ajaibnya.
'Ada hukum praeternatural tempat kita bekerja, kita semua, yang tak dapat dilanggar,' kata sang jin. 'Engkau tak boleh berharap, misalnya, semua keinginanmu, dikabulkan selamanya. Tsalatsah, tellu, ya tigo, angka keramat. Engkau tak diperkenankan meminta hidup yang kekal, sebab sifatmu, duhai manusia, fana, sedang sifatku, abadi.'
'Dan andaikan aku tak punya keinginan, apa yang akan terjadi padamu?' tanya sang lelaki. 'Maka, aku tak sepenuhnya bebas, aku bahkan harus kembali ke botol burung bulbul ciloko itu,' jawab sang jin, berharap sang penunggang kuda putih, menyatakan keinginannya. 'Tapi, kenapa engkau tak punya keinginan? Bisakah engkau lukiskan, misalnya, dalam sebuah cerita?'
Nah sekarang, sang penunggang kuda, tak punya cerita. Ia seorang jenderal, yang menunggang kuda, tanpa perlu pengawalan, dan yang ia tahu, hanyalah taktik perang. Tapi bercerita? Yap, ia cukup pandai sih. Lalu ia memikirkan beberapa taktik, dan tiba-tiba, sesuatu muncul, tanpa ragu, ia mulai bercerita,

Dahulu kala, ketika para manusia menyembah Jupiter, raja para dewa, yang tinggal di Olympus—dituturkan oleh Charles Perrault—hiduplah seorang penebang kayu miskin, Harry, yang hidupnya sangat prihatin. Sungguh, ia harus bekerja dengan imbalan yang sangat kecil, dan kendati ia masih muda dan menikah dengan bahagia, ada saat-saat ketika ia berkeinginan, lebih baik mati dan dikuburkan.
Suatu hari, saat ia sedang bekerja, sekali lagi, ia meratapi nasibnya. 'Ada para manusia,' katanya, 'yang hanya cukup dengan mengungkapkan apa yang mereka inginkan, dan mereka segera mendapatkannya, setiap keinginannya, terpenuhi. Tapi, tiada guna bagiku, menginginkan apapun, lantaran para dewa, tuli terhadap doaku.'
Saat ia mengucapkannya, ada sambaran geledek, yang berdentum sangat kuat, dan Jupiter muncul di hadapannya, memegang petirnya yang dahsyat. Sang lelaki malang, diliputi rasa takut dan menghempaskan dirinya ke tanah.
'Sesembahanku,' katanya, 'jangan dengarkan apa yang kukatakan; tak usah perhatikan keinginanku, tapi tolong, geledeknya jangan dinyalain lagi, ngagetin tauk!'
'Jangan takut,' jawab Jupiter, 'Aku telah mendengar keluhanmu, dan datang ke sini, hendak menunjukkan betapa besar kesalahan yang telah engkau lakukan terhadapku. Dengar! Akulah penguasa berdaulat di jagad ini, berjanji mengabulkan tiga keinginan pertamamu, apa saja. Pikirkan baik-baik tentang hal-hal apa yang bakal memberimu kebahagiaan dan kemakmuran, dan karena kebahagiaanmu dipertaruhkan, luangkan waktumu memikirkannya.'
Sesudah ngomong begitu—entah ngapusi apa enggak—Jupiter pamit dan naik ke Olympus. Adapun sang penebang kayu, ia dengan riang-gembira, mengikat ikatan kayunya dan, meletakkannya ke atas pundaknya, pulang ke rumahnya. Beban batinnya sangat ringan, sehingga beban dipundaknya, terasa ringan pula, serta beban pikirannya sirna kala ia melangkah. Banyak keinginan muncul dalam benaknya, namun ia bertekad, meminta pendapat istrinya, seorang wanita muda yang berakal-sehat.
Ia segera mencapai pondoknya dimana ia meletakkan kayu-bakarnya dan berkata kepada istrinya, 'Ini aku, Fanny. Nyalakan api dan atur meja, tak perlu berhemat-hemat. Kita kaya, Fanny, kaya untuk selamanya. Kita hanya perlu menginginkan apapun yang kita hasratkan.'
Ia mengisahkan tentang apa yang terjadi pada hari itu. Fanny, yang berpikir cepat dan aktif, seketika memikirkan banyak cara agar menambah harta mereka, namun ia sepakat dengan keputusan suaminya, agar bertindak dengan hati-hati dan seksama.
'Sayang sekali,' katanya, 'merusak peluang kita karena ketidaksabaran. Kita harus tidur dulu, dan tak berharap apa-apa sampai besok.
'Bagus sekali,' jawab Harry. 'Sementara itu, ambilkan sebotol anggur terbaik kita, dan kita akan minum untuk keberuntungan kita.'
Fanny membawa botol dari toko, di belakang tumpukan kayu, dan Harry berusaha membuat tubuhnya nyaman, bersandar di kursinya dengan jari kaki ke arah api dan gelas-minum di tangannya.
'Betapa permata yang sungguh berkilau!' katanya, 'dan betapa api yang bagus untuk memanggang! Aku berkeinginan, kita punya black pudding [semacam sosis yang terbuat dari lemak sapi atau lemak babi] untuk dipanggang.'
Ia baru saja mengucapkan kata-kata itu, ketika istrinya melihat, dengan sangat heran, black pudding panjang, keluar dari sudut perapian, berputar dan menggeliat ke arahnya. Ia berteriak ketakutan, dan sekali lagi, dengan cemas, saat ia sadar bahwa kejadian aneh ini, disebabkan oleh keinginan yang amat gegabah dan dungu, diucapkan oleh suaminya.
'Aaapaa!' serunya kepada suaminya, 'Di kala engkau boleh meminta sebuah kerajaan, emas, mutiara, rubi, pakaian mewah dan harta yang tak terhitung banyaknya, inikah saatnya memikirkan black pudding?!'
'Tidak,' jawab sang suami, 'itu tak sengaja terpikirkan, dan kekeliruan yang konyol, tapi sekarang, aku akan berhati-hati, dan lain kali, bakalan melakukannya dengan lebih baik.'

'Apa maksudnya?' tanya sang jin.
'Be careful what you wish for,' jawab sang jenderal sambil mencari sesuatu dan memungutnya, setelah menemukannya.
Sang Jenderal berdiri dan berkata, ''Bagaimana jika seluruh keinginanku, engkau kabulkan, jin?
'Maka aku akan bebas sebebas-bebasnya,' jawab sang jin.
'Lalu bagaimana dengan diriku?'
'Engkau telah mempunyai apa yang engkau inginkan, tapi ingat, tak ada yang abadi dalam hidup manusia,' jawab sang jin.
Sang jenderal memegang tutup botol dan berkata, 'Tahu gak jin, akulah orang yang percaya pada 'something being 'free' are not actually free.' Maafkan aku!' Seketika sang jin kaget, 'Jangan, tidaak!' dan sang jin tersedot ke dalam botol. Dengan sigap, sang jenderal menutup botolnya, dan melemparkannya ke dalam anak-sungai, lalu ia berkata pada kudanya, 'Ayo Jack, kita akan menemukan sesuatu yang lebih bermakna.'

Saat ia menunggangi kudanya, sang lelaki bersenandung—ditujukan buat sang jin—diikuti dengan anggukan Jack Frost,

Bila yang tertulis untukku adalah yang terbaik untukmu
'Kan kujadikan kau kenangan yang terindah dalam hidupku
Namun takkan mudah bagiku, meninggalkan jejak hidupmu
Yang t'lah terukir abadi, sebagai kenangan yang terindah *)

'Akan ane ceritain lagi, kelanjutannya, mbesok!' kata Katak kepada Kodok."

Swara menyimpulkan dengan, "Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Carl Gustav Jung, Man and his Symbols, Anchor Press
- Harry Clarke [illustrator], Classic Fairy Tales of Charles Perrault, Gill & Macmillan
*) "Kenangan Terindah" karya Irfan Aulia