Senin, 06 Februari 2023

Para Pemikir : Mana yang Duluan?

"Graha c'ritain ini padaku," kata Swara di saat kemunculannya, usai, seperti biasa, menyapa dengan Basmalah dan Salam.
"'Seorang salesman, bosan dengan pekerjaannya," lanjut Swara, "meninggalkan pekerjaannya itu, dan menjadi polisi—aku agak ragu, yang dimaksud Graha itu, 'polisi' atau 'politisi'.
Beberapa bulan kemudian, seorang teman bertanya tentang suka atau tidakkah ia dengan karier barunya.
'Yaaa...,' tanggapnya, 'bayarannya sih... 'mayan, dan jam kerjanya, bisa cukup panjang lho ... tapi, yang gua suka tentang pekerjaan ini ... pelanggannya, s'laluuu aja salah.'"

"Mana yang duluan," Swara melantas, "ayam atawa telor?" ia bertanya sebagaimana kita bertanya kepada teman-teman kita, saat leyeh-leyeh sambil menyampaikan sebuah anekdot sebagai antidot. "Asalnya, gak jellas. Dalam sejarah primata, siapa Homo sapiens pertama? Dan di kala seorang bayi mulai ngomel, yang manakah ucapannya, yang dianggap sebagai kalimat pertamanya? Dari asal Yunani-nya, filsafat secara harfiah, bermakna 'cinta kearifan.' Namun, kendatipun saat seseorang berbicara secara tata-bahasa, sebelum ada yang namanya tata-bahasa, kearifan sudah punya pecinta, jauh sebelum ada, apa yang dikata, Filsafat. Awalnya, ada berbagai pengelompokan tentatif yang mengarah ke hal-hal ini, tapi, pada masa Plato dan Aristoteles-lah, disiplin ilmu ini, mengayun penuh.
Seiring berkembangnya Ide, filsafat datang membahas tiga tema besar: karya alam, karya umat manusia, dan upaya membangun interaksi produktif secara fisik dan kognitif, antara keduanya.
Tugas disiplin ilmu ini, dengan demikian, menjawab 'pertanyaan besar' tentang manusia, dunia, dan pengetahuan kita tentangnya. Masalah penampakan dan realitas, tahu dan tak-tahu, dan percabangan gagasan besar seperti Tuhan dan alam, kebenaran dan keindahan, normalitas dan keadilan, kini menjadi agenda perembukan, dengan fokus pada isu-isu seperti:
  • Makna : Bagaimana mekanisme penegasan dan wacana, berdaya-guna.
  • Kebenaran : Bagaimana kebenaran pernyataan kita, dibuktikan.
  • Ilmu : Bagaimana kita mengamankan informasi tentang masa-lalu, masa-kini, dan masa-depan.
  • Nilai : Apa tujuan, keinginan, dan kepositifan yang ada, menilai kebersesuaian pilihan.
  • Tindakan : Apa yang dapat kita lakukan dalam mengimplementasikan keputusan kita.
  • Etika [mohon tak rancu antara Etika (ajaran tentang moral, yang telah tertata) dan Etiket (tatakrama, bagian dari Adab)] : Apa yang hendaknya kita lakukan dan bagaimana seyogyanya kita berperilaku, secara individu dan kolektif, dalam hubungannya dengan diri-kita sendiri dan orang lain.
Sepanjang sejarah filsafat, para filsuf menggunakan cerita-cerita kecil yang membantu menyampaikan poin-poin besar. Anekdot semacam ini, selalu mengeluarkan undangan ganda: Di satu sisi, memberi kita peluang agar belajar lebih banyak tentang pemikiran dan karya para pemikir, yang bertindak atau bereaksi terhadap anekdot semacam itu. Dan di sisi lain, mengundang kita agar berpikir sendiri tentang isu-isu yang dipertaruhkan. Filsafat merupakan bidang dimana jawaban atas setiap pertanyaan menyediakan bahan pertanyaan lebih lanjut, dan dimana prospek dan pentingnya pertanyaan lebih lanjut tersebut, bergantung pada asalnya. Dengan demikian, bidang inilah yang membutuhkan perhatian pada konteks sejarah. [Dalam perspektif Islam, salah satu sarana memperoleh Ilmu ialah dengan memperhatikan riwayat sejarah, akan kita percakapkan secara singkat, dalam sesi tersendiri, biidznillah].

Nicholas Rescher menulis, 'Tepatlah kiranya memulai setiap survei pertemuan filosofis dengan alegori alkitabiah Menara Babel:
Juga kata mereka: "Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi. Lalu turunlah TUHAN untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu, dan Ia berfirman: "Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apapun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing. Demikianlah mereka diserakkan TUHAN dari situ ke seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu. Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi. [Kitab Kejadian 11:4-9 (Alkitab Sabda)]
Inilah tempat yang baik guna memulainya, sebab mengedepankan salah satu fakta filsafat yang paling mencolok—realitas ketidaksepakatan dan tiadanya konsensus. Mengapa hal ini, mesti terjadi? Mungkinkah alasannya terletak pada ketidaksepahaman bersama, dengan filsuf yang berbeda semata saling berbicara melewati satu dengan yang lain? Inilah pandangan filsuf dan sejarawan Inggris R. G. Collingwood. Seperti yang ia pandang, para filsuf yang berbeda dengan posisi filosofis yang sumbang menempati dunia pemikiran yang terpisah dan terputus. Penganut teori-teori yang saling bertentangan secara harfiah, 'berbicara dengan bahasa yang berbeda,' sehingga ketika yang satu membuat pernyataan dan yang lain menyangkal, sebenarnya bukan hal yang sama yang dipermasalahkan. Seperti yang ditulis Collingwood,
Jika ada masalah permanen P, kita dapat bertanya 'Apa yang dipikirkan Kant, atau Leibniz, atau Berkeley, tentang P?' dan jika pertanyaan itu dapat dijawab, kita kemudian dapat melanjutkan dengan bertanya 'benarkah Kant, atau Leibniz, atau Berkeley, dalam apa yang ia pikirkan tentang P?' Tapi apa yang dianggap sebagai masalah permanen P sebenarnya adalah sejumlah masalah sementara, P1, P2, P3, ... yang kekhasan individualnya, dikaburkan oleh miopia historis dari orang yang menyatukannya di bawah nama P.
Terhadap pandangan ini, ketidaksepakatan filosofis terletak pada ketidaksepahaman: para pemikir dari tempat dan waktu yang berbeda, hanya mendiskusikan hal-hal yang berbeda—bahwa munculnya ketidaksepakatan tentang hal yang sama, merupakan ilusi yang terletak di mata yang melihatnya.
Namun, proposisi Collingwood, tak sesuai dengan kenyataan. Para filsuf memang membahas masalah yang sama: masalah kewajiban moral yang menjadi perhatian Kant, merupakan masalah yang sama, yang masih kita geluti saat ini; masalah kehendak bebas yang menjadi perhatian Spinoza, sama dengan yang mengganggu William James. Memang, isu yang dibahas Collingwood—masalah perselisihan filosofis—tepatnya merupakan persoalan yang sama, yang dibahas oleh Immanuel Kant, jauh sebelum ia, mencela situasi ini sebagai 'skandal filsafat.'

Filsafat kemudian, menurut Rescher, jadi medan pertempuran antara benturan evaluasi dan keyakinan yang berbeda. Dan ada banyak alasan melihat konflik-konfliknya sebagai ketidaksepakatan nyata, yang berasal dari prioritas dan nilai yang berbeda. Berkali-kali muncul bahwa perselisihan tersebut, bukanlah ilusi palsu yang disebabkan oleh ketidaksepahaman linguistik, melainkan perbedaan prioritas dan bobot dalam penilaian dan interpretasi pertimbangan pembuktian. Tatkala Machiavelli menolak pentingnya moralitas dalam urusan internasional dan Kant bersikeras akan hal itu, mereka tak mendiskusikan isu-isu yang berbeda dalam istilah yang tak dapat dimampatkan secara timbal-balik. Para cendekiawan abad pertengahan, dengan tepat menganggap perdebatan sebagai prosedur alami berfilsafat, justru karena posisi filosofis secara inheren, dapat diperdebatkan. Hampir selalu, pertanyaan-pertanyaan filosofis mengakui adanya kontradiksi, namun tak sepenuhnya tanggapan alternatif yang tak masuk akal.
Filsafat sangat mirip dengan rekayasa mekanik—meskipun tekniknya menggunakan konsep ketimbang dengan material. Pesawat, kini jauh lebih rumit dibanding satu abad yang lalu. Begitu pula dengan mobil. Sama halnya dengan filsafat. Sebab, dalam filsafat, seperti halnya dalam rekayasa, setiap 'perbaikan' dirancang untuk mengurangi beberapa masalah ,atau yang lainnya, lebih lanjut memunculkan masalah yang berbeda. Dan di kedua bidang ini, terungkap bahwa kesempurnaan, tak dapat dicapai. Kita hendaknya melakukan yang terbaik, yang kita bisa, dengan bahan yang kita miliki. Tak satu pun dari penyelesaian masalah kita, terbebas dari masalah, dan dengan kerumitan, muncul ketidaksepakatan.'"

"Rescher lalu menyampaikan cerita lain kepada kita," imbuh Swara, "Dalam sejarah kapal Theseus, sejarawan Yunani dan moralis Plutarch (ca. 48–125 M) mengajukan teka-teki, yang seketika memecah para filsuf jadi mazhab-mazhab yang saling-bersaing:
Kapal tempat Theseus dan pemuda Athena kembali dari Kreta, yang mempunyai tiga puluh dayung, diawetkan oleh orang Athena, bahkan hingga zaman Demetrius Phalereus, sebab mereka mengganti papan-papan yang telah tua, saat kapalnya mulai lapuk, meletakkan kayu-kayu yang baru dan lebih kuat, sebagai penggantinya, sedemikian rupa sehingga kapal yang dibangun, kembali seperti sediakala dan tegak berdiri sebagai contoh di antara para filsuf, bagi pertanyaan logis tentang identitas benda; satu pihak berpendapat bahwa 'itu kapal yang sama,' dan pihak lain, berpendapat bahwa 'itu bukan kapal yang sama.'
Banyak persoalan yang sama, yang dimunculkan oleh contoh Thomas Hobbes tentang kaus-kaki Sir John Cutler, yang seiring berjalannya waktu, benar-benar aus, sedikit demi sedikit, dengan setiap lubangnya, dibenahi dengan jarum penjerumat dan seutas benang, sampai akhirnya, tak ada lagi bahan aslinya yang muncul. Masihkah hasil akhirnya, sepasang kaus-kaki yang sama?
Jadi, sehubungan dengan benda-benda fisik seperti perahu dan kaus-kaki, apa sebenarnya yang menentukan kesamaan atau identitas transtemporal? Apakah kesinambungan material, dengan struktur yang memainkan peran sekunder (atau bahkan tak ada), ataukah kesinambungan struktural, dengan material yang memainkan peran sekunder (atau bahkan tak ada)? Apakah proses atau produk yang terpenting? Dan apakah seluruh masalah itu, bersifat alami atau sekadar konvensi?
Dan bagaimana dengan benda-benda non-materi? Manakala engkau memainkan sebuah lagu di piano dan kemudian biola, masihkah itu, 'lagu yang sama'? Dan jika engkau menerjemahkan epik Homer, dari bahasa Yunani ke bahasa Inggris, masihkah itu, karya yang sama? Puzzle semacam ini, cenderung membagi orang menjadi mazhab yang berbeda. Tapi apa artinya ini bagi kegigihan filosofis?
Para teoretisi dari orientasi 'positivistik' akan mengatakan bahwa, masalah ini, tak ada gunanya, lantaran pertanyaan-pertanyaan semacam itu, sama sekali tak punya jawaban yang dapat dipertahankan. Lawan 'doktrinalistik' mereka, akan membantah bahwa, hanya ada satu jawaban yang benar: aturan mayoritas—selama sebagian besar bahan aslinya tetap ada, perahu atau stocking itu sama, tetapi setelah itu menjadi berbeda. Dan 'kontekstualis' akan mengatakan bahwa, itu semua tergantung pada konteks tujuan dalam kasus Theseus, selama kelompok pelaut yang sama, turut serta dalam pelayaran bersama dalam kapal yang perlahan-lahan mengalami perubahan itu—yaitu, selama peran kapal dalam ceritanya menunjukkan kesinambungan seperti itu, tetaplah perahu yang sama.
Jadi, apa yang ada di sini, merupakan debat filosofis yang khas, dimana 'mazhab pemikiran' yang berbeda, muncul untuk menganjurkan resolusi yang berbeda dan sumbang. Penjelasan terhadap perbedaan pendapat filosofis yang begitu tajam, tak perlu jauh dicari. Lagipula, tugas bidang ilmu ini, ialah turut serta dalam pertanyaan mendasar dan luas mengenai hubungan diri kita dengan sesama kita dan dengan dunia yang kita bagi bersama. Mengatasi masalah ini, mau tak mau, melibatkan masalah dasar pandangan dan orientasi. Karena jika engkau berfungsi dalam konteks pembuktian seorang sejarawan, tiada keraguan bahwa engkau pastilah akan melihat kapal itu sama; sedangkan bagi permasalahan asuransi maritim, boleh jadi, tak dihitung seperti itu. Maka, kemungkinan besar ketika kita tak sepakat tentang 'X yang sama'—orang, atau puisi, atau kapal yang sama, apa yang sebenarnya dipermasalahkan mungkin bukan ide universal tunggal, melainkan berbagai hal berbeda, yang dibedakan oleh pertimbangan yang punya tujuan tertentu."

"Punyakah perbedaan pendapat ini, tujuan yang konstruktif?" tanya Swara ketika akan mengakhiri perbincangan, "Secara pembuktian, punya, dan seharusnya punya. Sebab ia menyajikan pada setiap peserta dalam kontroversi insentif, memperluas dan memperdalam ilmu kita, dalam mencari dalil yang meyakinkan. Mengatasi ketidaksepakatan yang berdalil, jelas merupakan dorongan guna menyelidiki dan mencegah terlalu mudah menyerah pada kecenderungan awal kita, mengidentifikasi pilihan kita, dengan kebenaran hal-hal yang tak dapat disangkal.

Dan sebagai penutup, simak cerita berikut dan cobalah cermati lebih dekat, keterhubungannya dengan pembahasan kita, 'Dua orang pemancing yang khusyuk, berada di tengah danau. Selama dua jam, tak ada satupun dari mereka, yang bergerak. Lalu, salah seorang merasa gelisah.
'Fren,' kata temannya, 'itu kedua kalinya loe gerakin kaki dalam dua puluh lima menit ini. Emangnya, loe datang dimari, mau mancing, atau dansa?'"

"Wallahu a'lam."

Sebelum gemanya hilang, Swara bersenandung,

I have lived for love
[Aku telah hidup demi cinta]
But now that's not enough
[Namun kini, itu tidaklah cukup]
For the world I love is dying
[Lantaran jagat yang kusayangi, sedang sekarat]

And time is not a friend
[Dan waktu bukanlah kawan]
As friends we're out of time
[Sebagai kawan, kita kehabisan waktu]
And it's slowly passing by
[Dan ia perlahan berlalu]
Right before our eyes *)
[Tepat di depan mata kita]
Kutipan & Rujukan:
- Nicholas Rescher, A Journey through Philosophy in 101 Anecdotes, University of Pittsburgh Press
- Steven Johnson, Where Good Ideas Come From, Riverhead Books
*) "Saltwater" written by Julian Lennon, Mark Spiro & Leslie Spiro
[Session 8]
[Session 6]