Kamis, 02 Februari 2023

Para Pemikir : Modern Awal

"Seorang filsuf terkemuka, yang teramat disanjung oleh sopirnya, yang mendengarkan dengan terpesona, manakala sang boss memberikan kuliah dan menjawab pertanyaan sulit tentang sifat benda dan makna kehidupan,"  Swara melanjutkan bincang tentang para pemikir, saat ia telah tiba, usai membaca Basmalah dan menyapa dengan Salam.
"Lalu, pada suatu hari," lanjut Swara, "sang sopir berbisik pada sang filsuf dan bertanya, bersediakah ia berganti peran dengannya, satuuu malam aja. Sang filsuf setuju, dan, untuk sementara, sang sopir membawakan dirinya dengan sangat baik dalam sebuah pertemuan di sebuah perguruan tinggi ternama.
Namun, tatkala saatnya tiba sesi tanya-jawab, seseorang di pojok ruangan, bertanya padanya, 'Kompatibelkah meta-naratif epistemologis yang sepertinya, Anda dukung, dengan penjelasan teleologis tentang alam semesta?'
'Itu pertanyaan yang teramat mudah,' jawabnya. 'Sangat mudah, bahkan sopirku pun, bisa menjawabnya. So, I want to test my driver, to explain it for you,' katanya dalam Bahasa Inggris seraya memberi isyarat pada 'sang sopir,' untuk menjelaskan.'"

"Barangkali, kita pernah mendengar ada pepatah yang berbunyi, 'Jangan pelajari kiat berdagang, pelajarilah perdagangannya', namun, beberapa 'kiat,' sangat penting bagi para pemikir. Konsepsi kehidupan dan dunia yang kita sebut 'filosofis' itu, produk dari dua faktor: yang satu, warisan dari konsepsi religius dan etika; dan yang satunya lagi, jenis penelitian yang, boleh dikata, 'ilmiah', dimana penggunaan kata ini, dalam pengertian yang luas.
Filsafat—menurut Bertrand Russel—merupakan perantara antara Teologi dan Sains. Ibarat Teologi, ia terdiri dari spekulasi tentang hal-hal yang sejauh ini, tak dapat dipastikan oleh Ilmu-pasti; namun laksana Sains, ia lebih menarik bagi akal manusia dibanding Otoritas (dalam konteks ini, bermakna penyambung antara masa-lalu dan masa-kini, guna memberi saran, mengarahkan atau mengambil keputusan), baik itu tradisi maupun wahyu. Seluruh Ilmu-pasti itu, milik Sains; seluruh dogma tentang apa yang melampaui ilmu-pasti itu, milik Teologi. Akan tetapi, antara Teologi dan Sains, terdapat Lahan Tak Bertuan, yang dapat diserang dari kedua sisi; Lahan Tak Bertuan inilah Filsafat.
Filsafat berusaha memahami hal-hal mendasar dengan mengajukan pertanyaan dan menawarkan jawaban. Di bagian paling dasar Sains, misalnya, ada pertanyaan seperti, 'Apa tujuan sains?'; 'Apa itu metode ilmiah dan mengapa sangat sukses?'; 'Apa itu hukum ilmiah?'; 'Apa itu waktu?'; dan seterusnya. Para ilmuwan, umumnya, tiada henti mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan 'mendasar' seperti ini, lantaran mereka sangat sibuk mengerjakan sains itu sendiri. Mereka bisa bergaul dengan menerima, secara implisit atau eksplisit, pandangan tertentu tanpa mempertanyakannya. Memikirkan pertanyaan-pertanyaan di dasar segala sesuatu dan mengembangkan catatan sistematis tentang dasar-dasar sains, diserahkan kepada para Filsuf Sains.

Kata filosofi bermakna 'cinta kearifan.' Sesungguhnya, cinta akan kearifanlah, yang memandu para filsuf mengeksplorasi pertanyaan mendasar tentang siapa kita dan mengapa kita berada di sini. Di permukaan, ilmu filsafat itu, ilmu sosial. Namun, jauh lebih dari itu. Filosofi menyentuh setiap persoalan, yang mungkin engkau pikirkan. Ia bukan sekedar sekelompok orang Yunani kuno, yang saling bertanya berulangkali (walau ada bagian yang sama juga). Filsafat punya terapan yang sangat nyata; dari pertanyaan etis, yang diajukan dalam kebijakan pemerintah, hingga bentuk logika yang diperlukan dalam pemrograman komputer, semuanya berakar pada filosofi.
Dengan berfilosofi, kita dapat menjelajahi konsep-konsep seperti makna kehidupan, ilmu, moralitas, realitas, keberadaan Tuhan, kesadaran, politik, agama, ekonomi, seni, linguistik; filosofi itu, tak terbatas!
Dalam makna yang sangat luas, ada enam tema besar yang disinggung ilmu filsafat: Metafisika: Studi tentang alam semesta dan realitas; Logika: Cara membuat argumen yang valid; Epistemologi: Studi tentang ilmu dan bagaimana kita memperoleh ilmu; Estetika: Studi tentang seni dan keindahan;
Politik: Studi tentang hak-hak politik, pemerintahan, dan peran warga negara; Etika: Studi tentang moralitas dan bagaimana seseorang hendaknya, menjalani hidupnya.
Berpikir rasional melibatkan penerapan alat filosofis yang tepat, pada waktu yang tepat, baik itu Pisau Cukur-nya Ockham, Garpu-nya Hume, atau perangkat lain dari kotak alat-pemikir. Kontribusi yang terlanggeng dari para filsuf besar ialah sarana berpikir, metode, dan pendekatan yang mereka kaji atau temukan, yang seringkali, hidup lebih lama ketimbang teori dan sistem yang mereka bangun atau yang mereka bongkar dengan peralatan mereka.

Menurut Bertrand Russell, Filsafat—atau sebenarnya, Filsafat Barat—yang berbeda dari Teologi, dimulai di Yunani pada abad VI SM. Usai melewati jalurnya di zaman kuno, ia kembali ditenggelamkan oleh teologi saat Kekristenan bangkit dan Roma jatuh. Periode besar keduanya, dari abad kesebelas hingga keempat belas, didominasi oleh Gereja Katolik, di luar beberapa pemberontak besar, seperti Kaisar Frederick II (1195–1250). Filsafat modern dimulai oleh René Descartes, yang kepastian dasarnya merupakan keberadaan dirinya dan pemikirannya, darimana dunia luar hendaknya disimpulkan.
Tapi, sebelum kita, secara ringkas, menggali para Filsuf Modern Awal—menurut para kontributor kita, masih ingat kan?— perkenankan aku menyampaikan padamu bahwa—menurut Ben-Ami Scharfstein—ada tiga tradisi filosofis besar, India, Cina, dan Eropa. Tradisi filosofis adalah mata-rantai orang-orang yang menghubungkan pemikiran mereka, dengan pendahulu mereka, dan dengan cara ini, membentuk transmisi berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari guru ke murid, lalu ke muridnya murid. Atau sebetulnya, oleh karena seluruh tradisi terdiri dari banyak subtradisi, yang merupakan tradisi yang satu dan sama lantaran seluruh subtradisinya berbagi sumber yang umum, dan cara berpikir yang sama, serta berkembang melalui saling-reaksi. Sebuah tradisi, pada dasarnya bersifat kumulatif, dan berkembang dalam artian bahwa ia mendefinisikan dirinya sendiri dengan detail dan kepadatan yang semakin meningkat. Tradisi— menurut Scharfstein—sebagai filosofis, sejauh anggotanya mengartikulasikannya dalam bentuk prinsip, jika hanya prinsip interpretasi dan kesimpulan, yang secara wajar diambil darinya; dan—seperti yang didefinisikan oleh Scharfstein—sebagai filosofis sejauh para penganutnya membela dan mendebat melalui argumen yang masuk akal, bahkan mereka yang menyangkal alasan dan memahami serta menjelaskan bagaimana mereka berusaha menjadikannya masuk akal. Seperti yang diperlihatkan sejarah, berulangkali, tiada filsafat yang murni rasional, rasionalitas murni menjadi cita-cita yang tak masuk akal dan mustahil. Masalah agama, kesetiaan komunal, penghormatan kepada guru, dan kebiasaan budaya, belum lagi psikologi individu, selalu membatasi rasionalitas, sehingga subtradisi filosofis atau mazhab, bersifat rasional karena kecenderungan, bukan secara absolut.

Lalu, mengapa cuman ada tiga aliran filsafat, India, Cina, dan Eropa? Trus, yang lain, gimana dong, seperti Yahudi, Islam, Jepang, dan Tibet? Antara 'ya' dan 'tidak,' seperti yang dikatakan para filsuf, itulah semua dan bukan tradisi yang terpisah. Masalahnya lebih rumit daripada yang terlihat pada awalnya. Pertama-tama,  mungkin kita berpendapat bahwa bahkan orang India, Cina, dan Eropa, takkan pernah sampai pada sudut pandang yang menyatu guna membenarkan pengklasifikasiannya sebagai tradisi yang berbeda. Di ketiganya, ada benang merah yang nyata, dan ada pula yang tak tampak. Bila sekedar menyebutkan yang nampak jelas, di India, orang India yang menganggap diri mereka ortodoks, mencoba mendelegitimasi, yaitu, membaca dari tradisi mereka, filosofi yang mereka klasifikasikan sebagai bukan ortodoks; di Tiongkok, penganut Tao mencemooh tradisi yang dipuja Konfusianisme, dan selama sejarah Tiongkok selanjutnya, penganut Konfusianisme ortodoks melihat agama Buddha, sangat asing bagi tradisi Tiongkok; dan di Eropa, tak sulit membedakan filosofi tradisi nasional yang berbeda, yang merupakan tradisi Prancis, Inggris, Jerman, Italia, atau yang lainnya.
Filsafat, ternyata, menurut Scharfstein, semata punya tiga asal-usul teritorial, tiga bahasa awal, tiga masa lalu sejarah, dan tiga jaringan referensi-diri. Dan yang terbaik, mempelajari sekaligus Tiga Tradisi tersebut, ketimbang secara terpisah atau berturut-turut.

Jadi, mari kita gali! Para kontributor kita menyebutkan beberapa nama Filsuf Modern Awal, yaitu Desiderius Erasmus, Niccolò Machiavelli, Michel de Montaigne, Francis Bacon, Thomas Hobbes, René Descartes, Blaise Pascal, Baruch Spinoza, John Locke, Gottfried Leibniz, Sor Juana Inés de la Cruz, George Berkeley dan Voltaire.

Desiderius Erasmus, c.1466/69–1536, merupakan seorang cendekiawan humanis Belanda yang penting dan suara moderasi selama pertikaian sengit Reformasi. Dalam karyanya yang kondang, Stultitiae Laus or Moriae Encomium [Pujian Kebodohan], ia menyindir penyakit di zamannya. Desiderius Erasmus merupakan anak tak sah dari seorang pendeta dan putri seorang tabib. Yatim-piatu di usia dini, ia dan saudara lelakinya, bersekolah di Deventer, yang menjadi tempat lahirnya humanisme Belanda. Erasmus ditekan oleh walinya agar memasuki biara Augustinian di Steyn, dan ditahbiskan pada tahun 1492. Ia tak punya panggilan kehidupan monastik, namun hal tersebut, memungkinkannya, paling tidak, melanjutkan studinya tentang sastra klasik kuno.
Selama di Steyn, Erasmus terlibat secara emosional dengan sesama biarawan, Servatius. Ia menulis pula risalah pertamanya, yang baru diterbitkan bertahun-tahun kemudian.
Pada tahun 1493, peluang agar terlepas dari biara, muncul ketika uskup Cambrai mengambil Erasmus untuk mengabdi. Perjalanan yang ditunggu-tunggu ke Italia, tak terwujud, namun uskup mengizinkannya, menyelesaikan studinya di Paris, di Collège de Montaigu. Namun, ini juga mengecewakan, lantaran tempat tersebut, masih didominasi oleh bentuk pembelajaran Skolastik yang menekankan tradisi dan dogma, yang dibenci Erasmus.
Terjemahan Latin Perjanjian Baru Erasmus, digunakan sebagai versi standar teks tersebut hingga abad ke-19, dan beberapa karyanya yang lain, juga meraih kesuksesan: Adagia (1500), kumpulan peribahasa Yunani dan Latin, menjadi buku terlaris, sedangkan karyanya Colloquies (1519) diterbitkan dalam puluhan edisi. Yang paling ternama ialah In Praise of Folly, yang ditulis Erasmus guna menghibur Thomas More, saat ia tiba di Inggris pada tahun 1509.
Sir Thomas More, pengacara, negarawan, dan humanis kondang (1478–1535) merupakan sahabat terdekat Erasmus di Inggris. Erasmus mendedikasikan Moriae Encomium kepadanya, dan tajuk buku tersebut merupakan plesetan dari namanya. (Bentuk Latinnya adalah Moriae Encomium, yang dapat pula diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai 'In Praise of More.') Keduanya mengagumi satire Lucian, dan More sendiri menulis karya satire kondang, Utopia (1516). Namun, tak seperti Erasmus, More terlibat secara berbahaya dalam politik. Ia pernah menjabat sebagai kanselir raja Henry VIII, tetapi penolakannya mengakui Undang-Undang Supremasi—undang-undang yang membuat raja menjadi kepala Gereja Inggris—membuatnya dihukum karena pengkhianatan dan dipenggal pada Mei 1535.
Erasmus menghasilkan versi pertama karyanya dalam seminggu, tetapi memperluas teksnya secara signifikan sebelum menerbitkannya 2 tahun kemudian. Dalam buku yang dimodelkan pada satire oleh penulis klasik abad ke-2 Lucian, Erasmus menyindir berbagai target kontemporer melalui personifikasi Kebodohan. Ia merupakan dewi penemuannya, putri Kekayaan dan Pemuda, dirawat oleh ketidaktahuan dan Kemabukan bidadari. Beberapa humornya ringan, bercanda tentang penjudi dan suami yang isterinya tak setia, akan tetapi, Erasmus juga melontarkan kritik yang lebih serius tentang biarawan dan teolog Skolastik.
Erasmus menulis pada saat yang berbahaya, kala perpecahan Reformasi yang ternyata semakin akut, sehingga gagasan menggunakan Kebodohan sebagai juru bicara kritiknya, dipandang bijak dan menginspirasi. Pandangan Erasmus sendiri, mungkin lebih mirip dengan pandangan para reformator Protestan—ia lebih menyukai hubungan pribadi dengan Tuhan melalui Kitab Suci dibanding melalui praktik ritual Gereja yang terorganisir—tetapi ia cukup berhati-hati, mencela pandangan Martin Luther yang lebih ekstrem dalam bentuk cetak. 

Niccolò Machiavelli, 1469–1527, seorang negarawan, filsuf, sejarawan, dan dramawan Italia, tetapi ternama oleh ketangkasannya sebagai ahli teori politik yang buas, diepitomekan oleh mahakaryanya, Il Principe [Sang Pangeran], yang masih mempertahankan kehebohan kekuatannya.
Machiavelli lahir di Florence, putra seorang pengacara. Keluarganya tampak punya keturunan bangsawan, tapi mereka miskin. Hampir tak ada yang diketahui tentang tahun-tahun awalnya, dan hidupnya baru berfokus tajam pada tahun 1498, ketika ia menjadi juru tulis di kanselir kedua Republik Florentine. Saat itu, kota Florence sedang mengalami krisis. Kekuasaan Medici berakhir usai invasi Prancis pada tahun 1494, dan rezim bergolak pengkhotbah Girolamo Savonarola hampir berakhir. Stabilitas kembali pulih dengan terpilihnya Piero Soderini sebagai penguasa pada tahun 1502.
Dengan Soderini berkuasa di Florence, Machiavelli memperoleh status dan, kendati ia tak pernah mencapai peringkat teratas diplomat, ia berperan dalam beberapa misi penting. Ia diutus mengunjungi Cesare Borgia, sepertinya guna menyelidiki, apakah Borgia berencana melawan Florence, dan pada 1503, ia dikirim ke Roma guna mengukur kemampuan Paus baru, Julius II.
Pada tahun 1512, perubahan politik menyebabkan berakhirnya Republik dan kembalinya Medici. Machiavelli diberhentikan dari tugasnya, disiksa, dan dipenjara sebentar. Setelah dibebaskan, ia diasingkan ke San Casciano, tepat di luar Florence, dimana dengan cepat ia menjadi bosan, kehilangan kegembiraan kehidupan politik. Guna mengisi waktunya, ia mulai menulis. Ia menulis drama komik — yang sangat populer selama masa hidupnya—dan sejarah. Ia juga menulis tiga buku-teks yang lebih berhubungan dengan kehidupan kerjanya—Il Prince, Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio [Wacana tentang deka pertama Tito Livio], dan Dell'arte della guerra [Seni Perang].
Il Prince— karya tersohor Machiavelli— tak diterbitkan selama masa hidupnya, edisi pertama muncul pada tahun 1532. Buku itu berbentuk risalah yang menasihati seorang pangeran imajiner tentang cara terbaik memerintah. Tiada yang baru tentang teks-teks semacam ini (mereka berasal dari zaman kuno), namun alih-alih katalog kebajikan pangeran yang biasa, Machiavelli mengkhotbahkan moralitas politik yang sepenuhnya didasarkan pada kemanfaatan daripada etika konvensional. Pangerannya tak boleh 'menyingkir dari kesalahan yang diperlukan demi melindungi negara.' Terkadang, keburukan lebih baik ketimbang kemurahan-hati, kekejaman lebih efektif daripada belas-kasihan, dan melanggar iman lebih bermanfaat daripada kejujuran. Penekanan Machiavelli pada realpolitik, yang membuatnya dicemooh di beberapa kalangan, namun sejak itu, ia disanjung sebagai bapak filsafat politik modern.

Michel de Montaigne, 1533–1592, dimasa intoleransi dan perselisihan agama, membawa semangat penyelidikan skeptis dan mempertanyakan diri ke eksplorasi ilmu, dan pencarian makna pada hal-hal kecil dalam hidupnya sendiri.
Michel de Montaigne tumbuh selama periode perpecahan sektarian yang intens. Pada saat ia mencapai usia dewasa, Reformasi sedang berlangsung dan Eropa Utara terpecah antara faksi Katolik dan Protestan yang memperebutkan kekuasaan. Di zaman antagonisme yang mematikan, ia menjadi suara akal-sehat dan kesabaran. Sebagai seorang penulis, ia memelopori bentuk esai, sebuah genre yang terbukti populer di seluruh Eropa dan sekitarnya sebagai media mengekspresikan ide-ide kompleks.
Ia terlahir sebagai Michel Eyquem de Montaigne dari keluarga kaya dan terhubung dengan baik di wilayah Bordeaux di Prancis Barat Daya. (Cabang keluarga lain nantinya akan bertanggung jawab mengembangkan anggur Chateau d'Yquem yang terkemuka.) Namun, Michel memilih semata dikenal sebagai Michel de Montaigne, nama perkebunan keluarga 30 mil (50 km) di sebelah timur kota, yang ayahnya pernah menjabat sebagai walikota. Ibunya, keturunan Yahudi Sephardic yang beremigrasi dari Spanyol dan masuk Katolik Roma.
Daerah Montaigne Prancis, terpecah berdasarkan garis agama antara Huguenot Protestan dan mereka yang setia kepada Gereja Katolik. Montaigne sendiri, menetap di kubu Katolik, namun tetap menjaga hubungan baik dengan Protestan dan pemimpinnya, Henry dari Navarre. Ketika faksi-faksi yang bertikai bentrok di tepi lahan miliknya, ia berusaha bertindak sebagai mediator, berurusan langsung dengan Navarre dan dengan Catherine de Medici, ibu dari raja Katolik Henry III. Pada suatu kesempatan, ia melakukan misi rahasia kepada raja di Paris, membawa pesan dari Henry dari Navarre. Utusan itu tak menghasilkan apa-apa, tetapi Montaigne membayar harga untuk usahanya ketika ia dipenjara sebentar di Bastille oleh ekstremis Katolik karena takut akan kontaknya dengan pemimpin Protestan.
Montaigne menerima pendidikan yang mengagumkan. Selama satu atau dua tahun pertama hidupnya, ia dikirim tinggal bersama keluarga petani setempat agar menghubungkannya dengan rakyat jelata. Ketika ia akhirnya kembali ke rumah, ia diasuh oleh seorang tutor yang membesarkannya di lingkungan yang sepenuhnya berbahasa Latin; ia berusia 6 tahun sebelum ia belajar berbicara bahasa Prancis. Dalam hal lain, ayahnya memperlakukannya dengan baik, memberi perintah agar ia dibangunkan setiap pagi dengan suara kecapi. Masa kecil Montaigne yang eksentrik, tak diragukan lagi mempengaruhi gagasannya sendiri tentang pendidikan. Ia sangat menentang gagasan belajar hafalan, sebaliknya, percaya bahwa ilmu hendaknya diperoleh melalui dialog antara guru dan murid. Ia berpikir bahwa belajar seyogyanya menjadi kenikmatan, bukan rasa sakit, dan tak perlu diperoleh dari buku saja. Di atas segalanya, hendaknya disesuaikan dengan kepribadian anak, sebab 'tak ada orang yang, jika ia mendengarkan dirinya sendiri, tak menemukan polanya sendiri, pola yang berkuasa, yang berjuang melawan pendidikan.'
Pada usia 23 tahun, Montaigne telah memenuhi syarat menjabat sebagai hakim, dan menempatkan dirinya di Bordeaux hampir sepanjang karir hukumnya. Pekerjaannya, berdimensi politik yang terkadang membawanya ke istana kerajaan di Paris, namun tak mampu menangkap imajinasinya atau memenuhi ambisinya.
Pada tahun 1571, pada usia 38 tahun, ia mengambil keputusan penting, pensiun ke lahan miliknya guna melanjutkan studi dan menulis. Ia dituntun melakukannya, sebagian oleh kematian ayahnya, 2 tahun sebelumnya, yang membuatnya menjadi tuan tanah, tetapi juga oleh meninggalnya sahabat tersayangnya, penyair Etienne de La Boétie, yang telah bekerja dengannya di parlement (dewan yudisial) Bordeaux. Kala itu, Montaigne telah menerbitkan karya pertamanya—terjemahan dari buku tebal teologis Spanyol yang dipercayakan oleh ayahnya, kepadanya.
Selama 9 tahun berikutnya, Montaigne mengerjakan Essais-nya, dalam proses menciptakan bentuk sastra yang sama sekali baru—Essais. Dalam artian ia menggunakan kata tersebut, sebuah esai merupakan sebuah eksplorasi batin—upaya mencermati pemikirannya sendiri tentang topik tertentu. Esai pertamanya pendek dan penuh kiasan dan kutipan; ia secara khusus tertarik pada para filsuf Stoa, terutama Seneca, serta penulis biografi Plutarch. Namun tak lama kemudian, ia terbukti bersemangat menantang pendapat yang diterima, paling tidak, pendapatnya sendiri. Hasilnya, pendekatan yang sangat individual: skeptis, ingin tahu, manusiawi, dan sangat modern bagi pembaca kala itu. Keraguan dirinya diekspresikan secara mencolok dalam moto pribadinya: Que Sçay-je? (Apa yang kuketahui?)
Prinsip panduan Montaigne merupakan perintah 'Kenali dirimu', dan ia menggunakan format esai untuk menggambar potret intim dari cara kerja pikirannya sendiri. Dengan melakukannya, ia memberi para pembacanya, apa yang oleh beberapa komentator dianggap sebagai konsep diri yang sama sekali baru.
Alih-alih menyajikan versi terkonsolidasi dari diri, Montaigne memilih penekanan pada ketidakkonsistenannya, menyatakan bahwa 'Kita semua tambal-sulam, dan komposisinya begitu tak berbentuk dan beragam sehingga setiap bit, setiap momen, memainkan permainannya sendiri.' Baginya, sebagai ganti satu identitas tunggal yang tak dapat diubah, ada persona cair yang dapat dengan cepat ditangkap dalam bentuk prosa melalui analisis diri yang ketat, tetapi tak pernah dijabarkan secara permanen.
Edisi pertama Essais, diterbitkan pada tahun 1580. Bukunya, diterima dengan baik, dan Montaigne datang ke Paris menyerahkan salinannya kepada France's Henry III. Ia kemudian berangkat bersama keluarganya, dalam perjalanan satu tahun melalui Jerman, Swiss, dan Austria ke Italia, sebagian untuk mencari obat bagi penyakitnya. Ia dipanggil pulang secara tak terduga, 15 bulan kemudian oleh berita bahwa ia telah terpilih sebagai walikota Bordeaux. Ia kembali ke Prancis untuk menjalani dua periode jabatan masing-masing 2 tahun di pos beker beracun bagi seorang lelaki yang menghargai kemerdekaan dan ketenangannya. Situasi politik yang memburuk, menjadikan tugasnya semakin sulit: sebelum periode jabatan keduanya berakhir, ia harus menghadapi ancaman kudeta oleh faksi Katolik ekstrim di kota tersebut.
Tahun-tahun terakhir kehidupan Montaigne, terusik oleh perang saudara baru di Prancis, disertai wabah penyakit. Ia terus merevisi dan memperluas Essais, mengeluarkan edisi yang dipertebal pada tahun 1588. Sementara itu, kesehatannya semakin memburuk. Serangan batu ginjal lainnya menyebabkan infeksi tenggorokan sebagai efek samping yang secara bertahap mencekiknya. Ia meninggal di chateau-nya—dikelilingi oleh keluarga, teman, dan pelayan—pada bulan September 1592 pada usia 59 tahun.
Reputasi Montaigne terus berkembang usai kematiannya. Di Inggris, Francis Bacon's Essays, yang diterbitkan pada tahun 1597, ditulis dengan gaya Montaigne; pada tahun 1603, sarjana Inggris John Florio menerbitkan terjemahan dari Montaigne's Essais yang mengesankan kenalan Florio, penulis drama Inggris, William Shakespeare.
Di abad-abad berikutnya, penulis yang beragam seperti Ralph Waldo Emerson dan Friedrich Nietzsche, menyatakan kekagumannya atas karya Montaigne. Kenyataannya, beberapa pemikir, telah terilhami begitu banyak afeksi pribadi, tema umum kekaguman mereka diungkapkan dengan baik oleh Emerson, 'Sepertinya, aku sendiri yang menulis buku itu, di kehidupan sebelumnya, begitu tulus ia berbicara ke dalam benak dan pengalamanku.'

Francis Bacon, 1561–1626, seorang negarawan, pengacara, dan tokoh sastra Inggris yang kontroversial. Di atas segalanya, ia disanjung sebagai bapak empirisme yang metodologinya menjadi dasar penelitian ilmiah modern. Bacon lahir di London pada tahun 1561 dan dibesarkan di lingkungan istana Elizabeth I. Kesehatan yang buruk mengganggu hidupnya, dan ia dididik secara pribadi di rumah sampai usia 12 tahun, ketika ia dikirim ke Trinity College, Cambridge. Ia belajar hukum sebentar di Gray's Inn, tetapi menghentikan studinya guna melakukan perjalanan melalui Prancis dan Italia dengan duta besar Inggris di Paris. Sekembalinya ke Inggris, ia memenuhi syarat sebagai barrister [seorang pengacara yang berhak berpraktek sebagai advokat, khususnya di pengadilan yang lebih tinggi] pada tahun 1582.
Bacon adalah anggota parlemen dari tahun 1584, namun baru setelah aksesi James I pada tahun 1603— tahun di mana Bacon dianugerahi gelar kebangsawanan—karirnya melonjak: ia menjadi solicitor-general [jaksa agung muda]; penjaga segel kerajaan; dan, pada 1618, jadi lord chancellor [pejabat tertinggi dalam Tahta Inggris, bertanggungjawab atas fungsi efisiensi dan independensi pengadilan, dan sebelumnya memimpin House of Lords, Divisi Kanselir, atau Pengadilan Banding]. Ia boros dan sering berhutang, terlepas dari statusnya. Dianggap sebagai politisi yang sangat ambisius dan licik, yang memohon bantuan raja agar memajukan dirinya sendiri, Bacon mengundang musuh. Pada tahun 1621, ia diangkat menjadi viscount St. Albans, tetapi pada tahun yang sama, ia dihukum karena menerima suap, dipenjara sebentar, dan didenda dalam jumlah yang cukup banyak. Setelah skandal ini, Bacon membenamkan dirinya dalam sains. Beranjak dari keasyikan Renaisans dengan menghidupkan kembali pencapaian orang-orang terdahulu, ia merupakan filsuf pertama yang mengembangkan metode pendalaman empiris pasca-Aristoteles—dan karena inilah, ia dikenang.
Karya Bacon yang paling kondang ialah The Advancement of Learning (1605), yang membahas keadaan pengetahuan ilmiah pada saat itu, hambatan untuk maju, dan gagasannya agar merevitalisasi pendidikan menengah dan lanjutan; dan teks seminalnya, Novum Organum (1620). Di sinilah ia mengemukakan idenya tentang metode ilmiah berdasarkan penalaran induktif. Sesuai dengan semangat zaman modern, Bacon ingin memperoleh bentuk ilmu baru yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, dan menemukan teknologi baru, yang disubsidi oleh negara, dengan menggunakan metode ilmiah yang didasarkan pada observasi dan eksperimen, tak semata dalam deduksi logis. Ia mengerjakan ulang ide-ide ini dalam bentuk fiksi, dalam novel utopisnya The New Atlantis.
Dari mitos kuno orisinal zaman keemasan dan mitos penciptaan religius seperti Taman Eden, melalui teks seminal Thomas More, Utopia (1516), hingga saat ini, setiap budaya telah menawarkan versi imajiner dari masyarakat ideal. Utopia-nya Bacon, muncul dalam novelnya yang belum selesai The New Atlantis (1624). Dunia yang didasarkan pada peningkatan ilmiah progresif yang ditetapkan di pulau mitos Bensalem, di lembaga penelitian yang di sponsori negara, Rumah Salomon. Karya tersebut merupakan ekspresi yang jelas dari gagasan filosofis Bacon dalam bentuk fiksi.
Kehidupan Bacon dikelilingi oleh kontroversi dan rumor: ada yang menyatakan bahwa ia berselingkuh dengan Marguerite de Valois, saudara perempuan raja Prancis, sementara yang lain mengatakan, ia homoseksual. Ada spekulasi bahwa Bacon adalah anak haram Elizabeth I dan bahkan ia penulis sebenarnya dari beberapa drama Shakespeare. Kematian Bacon tak kalah anehnya. Ia meninggal karena bronkitis, setelah memasukkan ayam dengan salju dalam percobaan menguji pengawetan tubuh. Ada yang berpendapat bahwa ia memalsukan kematiannya sendiri, sebuah cerita yang tak pernah terbukti. Namun, tak terbantahkan bahwa banyak raksasa filsafat, termasuk Thomas Hobbes, John Locke, dan David Hume, dipengaruhi oleh Bacon. Ia tetap menjadi tokoh kunci dalam metodologi ilmiah, salah seorang pemikir pertama yang mengintegrasikan penalaran ilmiah dan filosofis, dan pendiri sains modern.

Thomas Hobbes, 1588–1679, tenar oleh filosofi politik Leviathan. Seorang materialis pesimis Inggris, yang percaya bahwa hanya pemerintahan otoriterlah, yang dapat menyelamatkan manusia dari konsekuensi mengerikan dari sifat mereka sendiri. Thomas Hobbes lahir pada tahun 1588, tahun Elizabethan Inggris diancam invasi oleh Armada Spanyol. Ia kemudian menulis bahwa ibunya 'sangat ketakutan, sedemikian rupa, sehingga ia melahirkan anak kembar, aku, dan pada saat yang sama, ketakutan.' Apakah itu ditentukan atau tidak pada saat kelahirannya, Hobbes pasti tumbuh dengan ketakutan yang kuat akan perang dan kerinduan akan stabilitas. Keluarganya sendiri, memberikan contoh kerusakan yang disebabkan oleh kekacauan. Ayahnya, seorang pendeta kecil yang mengabdi di sebuah paroki desa dekat Malmesbury, Wiltshire. Pada 1603, senior Hobbes, dinyatakan bersalah atas pelecehan verbal dan penyerangan fisik terhadap sesama pendeta dan menghilang dari Malmesbury dan dari kehidupan Hobbes. Hobbes lalu berada di bawah perlindungan seorang paman, yang membiayai pendidikannya. Hobbes menunjukkan kecerdasan dewasa sebelum waktunya. Didikan yang bermutu oleh seorang cendekiawan di Malmesbury, ia menghasilkan terjemahan drama Yunani Euripedes Medea ke dalam bahasa Latin pada usia 14 tahun. Tak lama kemudian, ia diterima di universitas di Magdalen Hall, Oxford. Ia tak terkesan oleh universitas tersebut, mengembangkan keengganan yang kuat terhadap Aristoteles, yang karya-karyanya dianggap di Oxford sebagai satu-satunya sumber otoritas dalam filsafat dan ilmu alam. Menurut penulis biografi pertamanya, John Aubrey, Hobbes 'bahkan di masa mudanya ... bersahaja dalam hal anggur dan wanita.' Ia tak sehaluan dengan siswa lain, yang kemudian ia gambarkan sebagai 'jangak oleh kebiasaan mabuk, brandalan, suka main-main, dan kejahatan lainnya.'
Mungkin reputasinya akan moral yang baik, yang membuat Hobbes mendapatkan terobosan yang mengubah hidupnya. Pada 1608, saat berusia 20 tahun, ia ditunjuk sebagai tutor William Cavendish yang berusia 18 tahun. Keluarga Cavendish adalah bangsawan kaya, berpangkat seorang duke di Devonshire dan Newcastle dan punya rumah pedesaan yang bagus di Hardwick Hall dan Chatsworth. Mereka menjadi pelindungnya selama sisa hidupnya. Melalui pergaulan ini, ia dikenalkan dengan orang-orang terpelajar, termasuk Francis Bacon. Hobbes juga bepergian, tinggal lama di Eropa bersama muridnya, William, dan kemudian, dengan keturunan Cavendish lainnya, yang membutuhkan seorang tutor.
Pada tahun 1630-an, Hobbes mengembangkan pandangan filosofis umumnya, yang sebagian besar dipengaruhi oleh ilmu fisika dan matematika. Terinspirasi oleh karya ahli matematika Yunani kuno Euclid tentang geometri, ia mengadopsi metode berdasarkan deduksi dari beberapa aksioma awal. Ia juga dibimbing oleh para pemikir Eropa kontemporer yang turut dalam apa yang kemudian disebut Revolusi Ilmiah. Astronom dan matematikawan Prancis, Pierre Gassendi, menjadi kenalan dekat, dan Hobbes bertemu pula dengan fisikawan Italia, Galileo Galilei.
Berpengaruh besar pada Hobbes, fisikawan Italia Galileo Galilei, lahir di Pisa, Italia, pada tahun 1564. Saat mengajar di universitas Pisa dan Padua, ia meneliti fenomena seperti gravitasi, kecepatan, dan relativitas, menggunakan metode eksperimen. Beralih ke astronomi, ia mengembangkan teleskop guna mengidentifikasi bulan-bulan Jupiter. Menolak pandangan bahwa Bumi itu, pusat alam semesta, membawanya ke dalam konflik dengan Gereja Katolik. Dicela oleh Inkuisisi, pada tahun 1633, ia dipaksa menarik kembali pandangannya di depan umum. Galileo meninggal pada tahun 1642.  Di bawah pengaruh Galileo-lah, Hobbes yakin bahwa tiada apa pun di alam semesta selain materi fisik yang bergerak. 'Setiap bagian dari alam semesta adalah jasad,' tulisnya, 'dan yang bukan jasad,  bukanlah bagian dari alam semesta.'
Ia menolak konsep 'substansi inkorporeal' apapun seperti pikiran atau jiwa, sebagai kontradiksi yang absurd. Pikiran adalah gerakan di otak. Materialisme radikal ini, bakal membawa Hobbes ke dalam konflik, tak hanya dengan otoritas agama, melainkan pula dengan René Descartes, orang sezamannya yang hebat, yang ditemuinya di Paris pada tahun 1640-an. Descartes menulis, sebagai tanggapan terhadap Hobbes, menyatakan bahwa memaksakan pikiran yang bisa menjadi materi bergerak, sama konyolnya dengan mengatakan bumi itu, langit.
Filsafat politik Hobbes tumbuh sebagai tanggapan atas peristiwa-peristiwa yang bergejolak pada masanya. Raja-raja Stuart, penguasa Inggris dari tahun 1603, menghadapi tentangan dari parlemen, yang berusaha membatasi kekuasaan raja. Pada tahun 1628, ketika parlemen mengeluarkan Petisi Hak sebagai protes terhadap dugaan penyalahgunaan otoritas kerajaan, Hobbes menerbitkan terjemahan karya sejarawan Yunani kuno, Thucydides, yang dimaksudkannya sebagai kritik terhadap demokrasi. Pada saat risalah Hobbes, The Elements of Law, muncul pada Mei 1640, konfrontasi antara Charles I dan parlemen telah menjadi akut. Di puncak kekuatan intelektualnya, ia menghasilkan pernyataan filosofinya yang paling lengkap di Leviathan (1651). Leviathan menghubungkan pandangan materialis Hobbes tentang manusia dengan visi masyarakat dan pemerintahan.
Pemulihan monarki di bawah Charles II pada tahun 1661 mempensiunkan Hobbes, namun bukan keamanan yang ia dambakan. Terlepas dari perlindungan kerajaan, ia diancam oleh parlemen dengan tuntutan karena menegakkan ateisme, sebuah tuduhan yang ia bantah. Ia lolos dari tindakan hukum, tetapi tak lagi dapat menerbitkan karya yang berpotensi kontroversial seperti Behemoth, studinya tentang asal-usul Perang Saudara Inggris. Di tahun-tahun terakhirnya, ia kembali dengan kecintaannya pada karya klasik Yunani, menerjemahkan Iliad dan Odyssey ke dalam bahasa Inggris. Hobbes meninggal pada tahun 1679, dalam usia 91 tahun. Kata-kata terakhirnya adalah, 'Aku akan melakukan lompatan besar dalam kegelapan.'

René Descartes, 1596–1650, 'bapak filsafat modern', adalah ahli matematika dan ilmuwan Prancis yang inovatif. Ia mendirikan tradisi rasionalis, percaya bahwa penggunaan akal adalah kunci pengetahuan dunia. Descartes, menurut pengakuannya sendiri, anak yang agak sakit-sakitan. Ia kemudian menulis bahwa ia mewarisi dari ibunya 'batuk kering dan kulit pucat, yang tetap bersamaku sampai aku berusia lebih dari 20 tahun,' menyebabkan dokter yang pesimis, memprediksi kematian dini. Dalam tradisi keluarganya, ia ditakdirkan berkarir sebagai pengacara dan, akhirnya, masuk ke parlemen seperti ayahnya. Pada usia 11 tahun, ia dikirim ke perguruan tinggi La Flèche yang baru didirikan, sebuah perguruan bergengsi yang dilindungi oleh raja Prancis Henri IV dan dijalankan oleh para Yesuit. Di sana, selama 8 tahun, ia mengenyam pendidikan yang ketat dalam filsafat Aristoteles, Latin, Yunani, dan sedikit matematika. Setelah satu tahun lebih, lanjut di Universitas Poitiers, ia memenuhi syarat memulai karir di bidang hukum. Namun, ia sangat tak puas dengan pendidikannya. 'Aku menemukan diriku diliputi oleh keraguan dan kekeliruan,' tulisnya kemudian, 'Sepertinya, aku tak memperoleh apa-apa dari belajar, selain secara bertahap menjadi lebih sadar akan ketidaktahuanku.' Kecewa dengan buku, ia memutuskan bepergian dan mengumpulkan pengalaman, belajar dari pengamatan 'apa yang bisa ditemukan dalam diriku atau kitab besar dunia.'
Bagi seorang pemuda berstatus Descartes, alternatif yang jelas terhadap karir di bidang hukum ialah pekerjaan sebagai perwira militer. Selama perjalanan yang berlangsung selama 10 tahun, ia bertugas di ketentaraan Provinsi Bersatu [Republik Belanda, sebuah republik federal di Eropa yang berdiri sejak tahun 1581 hingga 1795, pendahulu Kerajaan Belanda] dan Bayern. Ia sepertinya hanya melihat sedikit aksi, meskipun ia mungkin hadir di barisan Bavaria pada pertempuran Gunung Putih dekat Praha pada tahun 1620. Setelah kembali ke Prancis pada tahun 1627, Descartes berpartisipasi dalam pengepungan La Rochelle, sebuah episode konflik sipil yang buruk di Prancis antara otoritas Katolik dan Huguenot Protestan. Ia tak pernah menganggap serius karir militernya, dan pada usia 23 tahun, ia memulai proyek intelektual yang akan menghabiskan sisa hidupnya.
Dalam dinas militer di Bavaria pada November 1619, Descartes mengalami semacam inspirasi. Tidur di ruang kompor pada malam yang dingin membekukan, ia mengalami serangkaian mimpi yang, menurutnya, menunjukkan jalan yang harus ia ikuti dalam hidup. Ia terbangun dengan keyakinan bahwa ia harus mencari dasar yang kuat untuk kebenaran melalui refleksi batin, membangun logika 'argumen yang jelas dan pasti.' Sepanjang tahun 1620-an, Descartes merintis jalan menuju apa yang disebutnya 'ilmu yang benar-benar baru' dimana semua pertanyaan akan dipecahkan dengan 'metode umum.' Melalui persahabatan dengan cendekiawan Belanda Isaac Beeckman, ia diperkenalkan dengan matematika canggih. Sambil mengembangkan ide orisinal tentang geometri yang merupakan salah satu karyanya yang paling penting, ia berusaha merumuskan cara menerapkan bentuk pemikiran ketat yang sama, yang ditemukan dalam matematika ke semua bidang filsafat dan sains.
Descartes adalah ahli matematika yang hampir sama berpengaruhnya dengan seorang filsuf. Ia seorang inovator dalam penerapan aljabar pada geometri dan dalam penggunaan koordinat—menentukan posisi suatu titik melalui hubungannya dengan dua garis tetap. Koordinat Cartesian, demikian sebutannya, masih menjadi alat penting bagi para astronom, insinyur, fisikawan, dan perancang grafik komputer saat ini. Descartes pertama kali menerbitkan idenya tentang geometri sebagai tambahan untuk Discourse on Method pada tahun 1637.
Sejak 1629, Descartes bermukim di Provinsi Bersatu, sebab Belanda-lah satu-satunya tempat di daratan Eropa, dimana kebebasan berpikir dihormati secara luas. Warisan memungkinkannya hidup tanpa masalah materi, dan mengabdikan dirinya pada tulisannya. Berkeliling secara alami, ia tinggal di berbagai kota berbeda di seluruh negeri dan tak pernah menikah. Namun, ia memiliki seorang putri, Francine, dari seorang pelayan Belanda, Helena Jans van der Strom, pada tahun 1635. Tercatat bahwa ketika anak tersebut meninggal lantaran demam berdarah pada usia 5 tahun, Descartes menangis. Ia kemudian memberi Helena mahar agar ia bisa menikah dengan putra seorang pemilik penginapan.
Sepanjang tahun 1630-an, Descartes berusaha tak mengurangi deskripsi lengkap tentang alam semesta dan tempat manusia di dalamnya. Le Monde [Dunia], diselesaikan pada tahun 1633, membahas topik-topik seperti sifat panas, cahaya, dan materi; pandangan heliosentris Copernicus tentang tata surya; dan pengoperasian indra. Beberapa ilmunya salah arah—menyangkal keberadaan ruang hampa mengharuskan Descartes menemukan 'vortisitas' untuk menjelaskan pergerakan planet dan komet, sebuah teori yang akan berlaku di Prancis, lama setelah ilmuwan Inggris, Isaac Newton, memberi penjelasan yang benar.
Namun, Le Monde menawarkan visi mekanistik yang mengesankan tentang dunia alami yang murni terdiri dari materi yang bergerak. Sekitar waktu yang sama, Descartes menulis L'Homme (Manusia), yang memasukkan manusia ke dalam skema ini. Terutama sebuah studi dalam fisiologi, ia menggambarkan tubuh manusia dan hewan berfungsi sebagai automata canggih—mesin yang analog dengan jam atau pabrik—dengan kausalitas fisik menciptakan ilusi tindakan yang dikendalikan sendiri secara sukarela. Tetapi manusia, Descartes berpendapat, juga memiliki 'jiwa rasional' dari sifat nonfisik yang berbeda, 'bergabung dan bersatu' dengan tubuh.
Tak satu pun dari risalah Descartes yang diterbitkan. Meskipun ia menampilkannya sebagai 'fabel' tentang dunia hipotetis dan manusia hipotetis, hal ini tak dapat menyamarkan perbedaan radikal mereka dari doktrin agama yang mapan. Penganiayaan terhadap ilmuwan Italia Galileo Galilei oleh Inkuisisi pada tahun 1633, menunjukkan bahwa ide-ide revolusioner semacam itu, tak dapat diterima oleh Gereja Katolik. Kaum Protestan sama-sama memusuhi tanda-tanda ateisme apapun—walaupun Descartes selalu berhati-hati untuk memberi Tuhan tempat yang diperlukan di alam semestanya. Akhirnya, ia dengan hati-hati memilih menerbitkan tiga bagian Le Monde yang kurang kontroversial, tentang geometri, optik, dan meteorologi, dengan kata pengantar penjelasan, Discours de la méthode (Wacana tentang Metode).
Bersama dengan Meditationes de prima philosophia (Meditasi Filsafat Pertama)—diterbitkan 4 tahun kemudian, dan yang mengelaborasi argumen yang sama—Discours de la méthode (Wacana tentang Metode) terbukti menjadi kontribusi Descartes yang paling tahan lama terhadap filsafat. Menggunakan metode yang nantinya dikenal sebagai Cartesian Doubt ('Cartesian' merupakan kata sifat dari Descartes), da menerapkan skeptisisme sistematis pada keyakinannya guna mencari kepastian—sesuatu yang tak  bisaia ragukan dan itu pasti benar. Penerbitan Discours dan Meditationes menjadikan Descartes sebagai pemikir terkemuka. Dua kali, pada tahun 1647 dan 1648, ia keluar dari kesendiriannya mengunjungi Paris—dan di sinilah ia bertemu dengan matematikawan dan teolog Prancis, Blaise Pascal, satu diantara banyak yang lainnya.
Pada tahun 1649, Descartes menerbitkan risalahnya Les passions de l'âme (Gairah Jiwa), didedikasikan bagi Elizabeth dari Bohemia (1618–1680), cucu James I dari Inggris. Dididik dalam sains, teologi, dan matematika, pada usia 24 tahun, Elizabeth memulai korespondensi dengan Descartes dimana ia menantang teori dualisme pikiran-tubuh, mempertanyakan bagaimana 'substansi berpikir' dapat bertindak pada materi untuk menjadikan tubuh bergerak. Surat-surat mereka, yang menunjukkan kehangatan persahabatan yang erat, berlanjut sampai kematian Descartes pada tahun 1650. Di kemudian hari, Elizabeth menjadi kepala biara di sebuah biara Lutheran di Herford di Jerman.
Sementara itu, tulisannya telah menarik perhatian Ratu Christina dari Swedia (1626–1689) yang ambisius secara budaya, salah seorang wanita paling luar biasa di usianya. Berhasil naik takhta Swedia pada usia 6 tahun, ia mengembangkan minat budaya dan intelektual yang luas. Mengundang Descartes ke Stockholm adalah bagian dari proyek menjadikan istananya 'Athena dari utara'. Pada 1654, setelah masuk Katolik, ia turun tahta dan pindah ke Roma.
Descartes meninggal karena demam pada Februari 1650, meninggal pada usia 54 tahun. Kata-kata terakhirnya tercatat, 'Jiwaku, engkau telah lama ditawan. Inilah saatnya bagimu, meninggalkan penjara dan melepaskan beban tubuh ini.'

Blaise Pascal, 1623–1662, seorang lelaki dengan bakat luar biasa di bidang matematika hingga penemuan praktis. Namun, fokus utama hidupnya, ialah pencarian spiritualnya, yang ia gambarkan dengan gaya prosa yang unik. Setelah berpikiran religius, Pascal mengalami pengalaman supernatural yang intens, yang berlangsung sekitar 2 jam pada malam tanggal 23 November 1654. Kejadian itu mengubah hidupnya, mengarahkan pikirannya ke hal-hal spiritual. Pascal menuliskan wahyu tersebut pada secarik kertas. Dimulai dengan 'Api. Tuhannya Ibrahim, Tuhannya Ishak, Tuhannya Yakub, bukan milik para filsuf dan cendekiawan. Kepastian, kepastian, sepenuh hati, kegembiraan, kedamaian …,' kisah tersebut menunjukkan pencerahan yang sangat pribadi. Selama sisa hidupnya, Pascal tetap menyimpan carik kertas itu, terjahit ke dalam lapisan mantelnya, dimana akhirnya ditemukan setelah kematiannya.
Blaise Pascal lahir di ClermontFerrand, Prancis tengah, pada tahun 1623. Seorang anak ajaib, Blaise menerbitkan karya tentang geometri proyektif pada usia 17 tahun, tetapi ia juga punya keterampilan praktis, terbukti dalam perkembangan Pascaline-nya. Perangkat ini sekarang dianggap sebagai kalkulator digital pertama di dunia.  Mesin tersebut dirancang pada tahun 1642 untuk menghitung penjumlahan dan pengurangan. Perangkat tersebut memenangkan ketenaran Pascal dalam hidupnya, namun tak dapat diproduksi secara massal.

Baruch Spinoza, 1632–1677, dikutuk pada zamannya sebagai sesat dan pemikir bebas, telah dilihat sebagai pejuang integritas intelektual, melawan segala bentuk dogmatisme dan mencari landasan rasional yang kokoh bagi agama dan etika. Baruch Spinoza—yang kemudian melatinkan nama depannya dalam bahasa Ibrani menjadi Benedictus—lahir di Amsterdam dari keluarga Yahudi yang kaya. Sejak masa mudanya, Spinoza menunjukkan keingintahuan intelektual yang kuat, yang diekspresikan dalam berbagai bentuk. Ia sangat fasih dalam monoteisme Ibrani, tetapi sama-sama terbenam dalam filosofi baru René Descartes dan Thomas Hobbes—yang sezaman dengannya, meskipun dari generasi sebelumnya.
Karya Spinoza yang paling bertahan lama adalah di bidang etika, dimana ia meneliti bagaimana individu dapat menyesuaikan hidup mereka dengan totalitas keberadaan. Ia menetapkan posisinya di bagian pertama Ethica-nya (atau, secara lengkap, Ethica Ordine Geometrico Demonstrata (Etika, Ditunjukkan dalam Tatanan Geometris)). Spinoza berpendapat bahwa penerimaan pandangan monisnya—bahwa semua adalah Satu dan bahwa Satu adalah apa yang kita kenal sebagai Tuhan—berimplikasi moral. Dua bagian terakhir dari Ethica berjudul 'Perbudakan Manusia, atau Kekuatan Emosi' (Somerset Maugham kemudian meminjam frasa pertama sebagai judul novel terkenal) dan 'Kekuatan Pemahaman, atau Kemanusiaan. Kebebasan.' Di bagian teks ini, ia berargumen bahwa kebebasan terletak pada perluasan pemahaman intelektual, yang membawa kita lebih dekat kepada Tuhan.

John Locke, 1632–1704, karya-karyanya membentuk dasar liberalisme politik dan empirisme filosofis dan memengaruhi segalanya mulai dari Konstitusi Amerika hingga pemikiran Berkeley dan Hume. Lahir di Wrington, Somerset, Inggris, John Locke tumbuh di masa yang penuh gejolak. Perang Saudara Inggris pecah ketika ia berusia 10 tahun, dan pada tahun 1649, raja, Charles I, dipenggal dan Inggris menjadi republik di bawah Oliver Cromwell. Dari 1675 hingga 1679, saat tinggal di Prancis, Locke mengerjakan apa yang kemudian menjadi salah satu karyanya yang paling kondang, An Essay Concerning Human Understanding, dimana ia mengemukakan gagasannya tentang pikiran dan ilmu. Menolak posisi rasionalis seperti Descartes, ia berpendapat bahwa manusia tak dilahirkan dengan ilmu bawaan, tetapi pemahaman itu, diperoleh melalui pengalaman langsung—pandangan yang dikenal sebagai empirisme.
Sekembalinya dari Prancis, Locke menyusun karya politik utamanya, Two Treatises of Government (1689). Di dalamnya, ia menentang monarki absolut dan mengemukakan pula gagasannya tentang kontrak sosial, kehendak mayoritas, kesetaraan manusia, dan tugas serta batasan pemerintahan yang sah. Pada saat ini, suksesi kerajaan Inggris sedang dalam kekacauan, dengan Whig (faksi politik utama) menolak gagasan raja Katolik. Kecurigaan terhadap konspirasi menyebabkan penangkapan dan eksekusi, dan pada tahun 1681, Shaftesbury, seorang pemimpin Whig, melarikan diri ke Belanda; masuk-akal, Locke mengikuti pada tahun 1683. Selama 5 tahun pengasingan, ia terus mengerjakan An Essay Concerning Human Understanding dan menulis Letter Concerning Toleration, yang berisi pemikirannya tentang pentingnya toleransi beragama. Locke kembali ke Inggris pada tahun 1689, setahun setelah Revolusi Agung yang menggulingkan Katolik James II dan menempatkan William of Orange, yang Protestan, di atas takhta. Di tahun-tahun terakhirnya, Locke tinggal di rumah Lady Masham, di Essex, dimana ia menjamu berbagai teman, termasuk Isaac Newton, dan terus menulis tentang politik, filsafat, ekonomi, agama, dan pendidikan.

Gottfried Leibniz 1646–1716, disebut sebagai 'Aristoteles dunia modern.' Sebagai seorang pemikir, ia berusaha menjembatani kesenjangan antara dunia Skolastik yang berpusat pada Tuhan dan rasionalisme Revolusi Ilmiah. Prekositas Leibniz dan latar belakang akademisnya, merujuk ke masa depan sebagai pemikir dan guru, tetapi ia menolak karier semacam itu, dengan alasan bahwa 'pikiranku diarahkan ke arah yang sama sekali berbeda.'
Leibniz dapat melakukan perjalanan misi diplomatik: di Paris, ia segera berkenalan dengan para filsuf Antoine Arnauld dan Nicolas Malebranche dan ahli matematika Christiaan Huygens, dan pada misi selanjutnya ke London, ia bertemu dengan para ilmuwan dan pendukung eksperimen Robert Hooke dan Robert Boyle.
Leibniz merupakan salah seorang inovator besar, dengan penemuan kalkulus secara independen dari Isaac Newton, yang berusaha memecahkan masalah tersebut pada waktu yang sama. Meskipun Newton mungkin punya prioritas dalam merumuskan beberapa ide kunci, Leibniz-lah orang pertama yang menerbitkan pokok bahasan tersebut, dan beberapa notasinya digunakan hingga sekarang. Ia juga dihargai dengan penemuan logika matematika.

Sor Juana Inés de la Cruz, 1651–1695, cendekiawan, penyair, penulis drama, dan biarawati Meksiko, Sor (Suster) Juana mengabdikan hidupnya bagi studi filosofis dan ilmiah serta produksi aliran karya sastra. Dalam beberapa tahun terakhir, ia telah diadopsi sebagai ikon feminis. Lahir Juana de Asbaje y Ramírez di San Miguel Nepantla, sebuah dusun di tenggara Mexico City, Juana adalah anak ajaib. Ia belajar membaca pada usia 3 tahun, dan pada usia 8 tahun, ia telah menulis sebuah puisi untuk menghormati Sakramen Kudus. Pada tahun 1660, ia pindah, tinggal bersama kakeknya di Mexico City, dimana dia disebut-sebut telah belajar bahasa Latin cuman dalam 20 kali kajian.
Sor Juana mengumpulkan sebuah perpustakaan yang konon berisi 4.000 volume dan menulis puisi liris dan drama yang menjadi dasar reputasinya. Pemikirannya tentang gender dan hubungan antar jenis kelamin telah terbukti menarik minat feminis modern. Dalam hal ini, salah satu teksnya yang paling dikagumi ialah Respuesta a Sor Filotea (Jawaban untuk Suster Filotea), yang ditulis sebagai tanggapan terhadap uskup Puebla, yang telah memilih nama samaran perempuan itu, untuk mengkritik pengejaran sekuler Sor Juana. Sebagai tanggapan, ia berpendapat bahwa tak ada apapun dalam Kitab Suci yang melarang pendidikan perempuan dan bahwa pembelajaran hanya dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang teks-teks suci. Namun demikian, otoritas Gereja mengambil pandangan kritis terhadap aktivitasnya, dan uskup agung Meksiko — penentang drama dan rumah bermain—menuduhnya tak patuh. Mungkin sebagai akibat dari tekanan ini, Sor Juana memutuskan agar melepaskan semua kepentingan duniawinya, menandatangani dokumen penebusan dosa dengan darahnya sendiri dan menjual semua buku dan instrumen ilmiahnya, memberikan uangnya kepada orang miskin. Ia meninggal pada tahun 1695 dalam wabah sampar, ia tertular saat melayani para suster yang terinfeksi di biara.

George Berkeley, 1685–1753, seorang pendeta dan filsuf Irlandia. Ia mengusulkan konsep idealisme subyektif, mempertahankan bahwa hanya dalam tindakan persepsi, objek material ada. Ia lahir di Kilkenny, Irlandia, pada tahun 1685, dan dibesarkan di halaman Kastil Dysart, tempat rumah keluarga berada. Ia diangkat menjadi dekan Derry pada tahun 1724 dan kemudian menjadi uskup Cloyne di County Cork, 10 tahun kemudian. Sebagian besar karya filosofis paling orisinal Berkeley diselesaikan di Dublin pada saat ia berusia 28 tahun. An Essay towards a New Theory of Vision (Sebuah Esai menuju Teori Visi Baru), teks penting pertamanya, diterbitkan pada 1709,  saat ia baru berusia 24 tahun.
Pada 1728, ia melakukan perjalanan ke AS dengan istrinya yang baru dinikahi dan membeli sebuah perkebunan di Rhode Island. Pada 1731, jelas bahwa dana dari pemerintah Inggris takkan diberikan, dan Berkeley kembali ke London. Penerima manfaat utama dari kunjungannya ialah Universitas Yale, yang didirikan 30 tahun sebelumnya, dimana ia meninggalkan perpustakaan dan rumahnya. Berkeley kemudian menghabiskan 3 tahun lagi di London sebelum menerima pengangkatan ke Cloyne. Ia tinggal di sana selama 18 tahun berikutnya, pindah bersama keluarganya ke Oxford hanya pada tahun 1752 untuk mengawasi matrikulasi putranya George ke universitas. Ia meninggal di Oxford pada tahun berikutnya, dan dimakamkan di Katedral Gereja Kristus di kota itu.

François-Marie Arouet, 1694–1778, dikenal dengan nama penanya, Voltaire, seorang tokoh kunci di era Pencerahan rasionalis, merupakan salah seorang pendiri tradisi liberal modern, yang berkomitmen pada kebebasan berpikir dan berekspresi serta kritis terhadap otoritas agama dan negara. Ia dilahirkan dalam elit Paris pada tahun 1694 dan dididik oleh Jesuit di Collège Louis-le-Grand yang bergengsi. Alih-alih mengikuti ayahnya ke profesi hukum, ia memilih menjadi penulis.
Diterbitkan pada tahun 1734, Surat-surat Voltaire tentang Inggris menyatakan kekagumannya terhadap pembangkang agama, teori ilmu berbasis bukti Locke, dan sains yang dibebaskan dari batasan dogma agama. Dikecam lantaran anti-Katoliknya, buku itu dilarang dan dibakar di Paris. Voltaire lolos dari hukuman dengan tinggal di provinsi Prancis bersama majikannya, Marquise du Châtelet, yang membantunya memproduksi  Éléments de la philosophie de Newton (Elemen Filosofi Newton) (1738), sebuah karya yang banyak menyebarkan pandangan Newton tentang alam semesta di Prancis.
Emilie du Châtelet (1706–1749) merupakan seorang matematikawan, ilmuwan, dan filsuf Prancis. Ia menerjemahkan Principia Newton ke dalam bahasa Prancis, termasuk sebuah komentar yang berisi ide-ide inovatifnya sendiri. Risalahnya Foundations of Physics (1740) merupakan kontribusi penting bagi filsafat sains. Nyonya Voltaire selama 15 tahun, ia sebenarnya rekan penulis Éléments de la philosophie de Newton. Pada tahun 1748 ia memilih kekasih yang lebih muda, dan pada tahun berikutnya, ia meninggal saat melahirkan.
Dictionnaire Philosophique karya Voltaire, diterbitkan pada tahun 1764, membawa gagasan toleransi, kebebasan berbicara, dan deisme ke publik yang lebih luas. Di tahun-tahun terakhirnya, Voltaire menetap di Ferney di Prancis Tenggara, dengan keponakan mudanya Madame Denis sebagai kekasihnya. Pada saat kematiannya pada tahun 1778, ketenarannya sebagai penulis fiksi, dramawan, dan juru kampanye melawan ketidakadilan, sangat besar. Dengan mengikis rasa hormat terhadap otoritas Gereja dan Negara di antara orang Prancis terpelajar, pemikiran dan tulisannya berkontribusi pada pergolakan Revolusi Prancis pada tahun 1789.

Masih banyak nama, yang bisa disebutkan, antara lain: Filsuf Neo-Konghucu Wang Yanming; Filsuf dan teolog Katolik Spanyol Francisco de Vitoria; Giordano Bruno, seorang mistikus yang pendapat sesatnya berujung pada eksekusinya; Francisco Suárez, seorang filsuf dalam tradisi skolastik Thomas Aquinas; Filsuf dan teolog Muslim Sadr ad-Din Muhammad Shirazi, dikenal sebagai Mulla Sadrā; Hugo Grotius, dikenal sebagai 'Bapak Hukum Internasional; Filsuf dan ilmuwan Prancis Pierre Gassendi, astronom pertama yang mengamati transit Merkurius melintasi Matahari; Wang Fuzhi, filsuf besar terakhir dari dinasti Ming Cina; Margaret Cavendish, seorang otodidak, mendapat manfaat dari lingkungan aristokrat terpelajar yang menawarkan banyak akses ke buku; Anne Conway, terkadang disebut sebagai 'feminis Inggris pertama'; Nicolas Malebranche, seorang filsuf Katolik; Mary Astell, terkenal karena advokasi kesempatan pendidikan yang setara bagi perempuan dan sering dipuji sebagai salah satu filsuf feminis Inggris pertama; Giambattista Vico, seorang pemikir kunci tentang landasan filosofis sejarah dan humaniora; Hakuin Ekaku, guru Buddha Zen Jepang; Filsuf politik pencerahan Charles-Louis de Secondat, baron de Montesquieu; dan filsuf Materialis Prancis, Julien Offray de La Mettrie."

“Sebagaimana periode yang berbeda memunculkan pertanyaan-pertanyaan ekonomi, sosial, ilmiah, dan politik yang berbeda,” Swara menambahkan, “demikian pula, topik yang paling banyak menghabiskan energi filosofis, juga berubah. Dalam periode keagamaan, seperti Abad Pertengahan di Barat, hubungan antara Tuhan dan manusia menempati pikiran paling tajam. Tatkala sains mulai menantang otoritas Gereja, sifat penyelidikan ilmiah dan pemahaman yang diberikannya kepada kita, tentang lingkungan fisik kita, menjadi prioritas."

"Dan sebagai penutup, dengarkan cerita ini, 'Beberapa satpam menggaruk-garuk kepala setelah perampokan bank.
'Tapi bagaimana mereka bisa lolos?' seorang dari mereka, kepo. 'Kita kan udah jagain semua pintu keluar.'
Yang lain nyeletuk, 'Menurut gue ... mereka pasti keluar dari pintu masuk.'"

Sebelum kumandangnya buyar, Swara melantunkan,

We are a rock revolving
[Kita sebuah batu yang berkitar]
Around a golden sun
[Mengedari Matahari keemasan]
We are a billion children
[Kita satu milliar anak-anak]
Rolled into one
[Bergulung jadi satu]
So, when I hear about
[Maka, ketika kudengar tentang]
The hole in the sky
[Lubang di langit]
Saltwater wells in my eyes *)
[Air-asin bertelaga di mataku]

"Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- DK London, Philosophers - Their Lives and Works, Cobaltid
- Bertrand Russell, History of Western Philosophy, Routledge
- Ben-Ami Scharfstein, A Comparative History of World Philosophy : From the Upanishads to Kant, State University of New York Press
*) "Saltwater" written by Julian Lennon, Mark Spiro & Leslie Spiro