Rabu, 28 Februari 2024

Cerita Daun Mapel: Election Fraud (7)

"Seorang reporter berita sedang meliput sebuah kecelakaan helikopter. Ia lalu mewawancarai salah seorang regu penyelamat.
Reporter: 'Apakah pilotnya selamat?'
Penyelamat: 'Ya, pilotnya selamat.'
Reporter: 'Apa penyebab kecelakaannya?'
Penyelamat: 'Kata pilotnya, doi kedinginan, trus baling-balingnya dimatiin.'"

"Ketika Paul Samuelson membicarakan masalah kelangkaan, itu sebagai aktivitas kemanusiaan. Ketika hak angket ramai dibicarakan, maka beras nampak menjadi suatu kelangkaan," berkata Mapel seraya memperhatikan potret Lionel Robbins dan Thomas Robert Malthus.

“Kemiskinan hampir identik dengan kelaparan, setidaknya itulah yang ada dalam benak kita. Tiada satu peristiwa pun yang berdampak pada masyarakat miskin di dunia yang dapat menarik imajinasi publik dan mendorong kemurahan hati kolektif seperti halnya kelaparan di Etiopia pada awal tahun 1980-an dan menghasilkan konser 'We Are the World' pada bulan Maret 1985 oleh supergrup USA for Africa, karya Michael Jackson dan Lionel Richie.
Sebagaimana didefinisikan dalam the UN’s first Millennium Development Goal (MDG), 'Orang 'miskin' pada dasarnya seseorang yang tak punya cukup makanan.' Pengiriman bantuan pangan dalam skala besar merupakan mimpi buruk logistik. Jika pemerintah tetap memaksakan kebijakan tersebut walau terdapat limbah, itu bukanlah semata karena kelaparan dan kemiskinan diasumsikan berjalan seiring: Ketidakmampuan masyarakat miskin mendapatkan makanan yang layak juga merupakan salah satu akar penyebab jebakan kemiskinan yang paling sering disebutkan. Intuisinya sangat kuat: Masyarakat miskin tak mampu makan cukup; keadaan ini membuat mereka kurang produktif dan membuat mereka tetap miskin.

Abhijit V. Banerjee dan Esther Duflo menceritakan kepada kita sebuah kisah tentang bagaimana jebakan kemiskinan bekerja: 'Pak Solhin, yang tinggal di sebuah desa kecil di Bandung, Indonesia. Orangtuanya, dulunya mempunyai sebidang tanah, namun mereka juga mempunyai tiga belas anak dan harus membangun begitu banyak rumah bagi mereka masing-masing dan keluarganya, sehingga tiada lagi tanah yang tersisa untuk bercocok tanam. Pak Solhin pernah bekerja sebagai buruh tani lepas, yang dibayar hingga 10.000 rupiah per hari ($2 USD PPP) untuk bekerja di ladang. Namun, kenaikan harga pupuk dan bahan bakar belakangan ini, telah memaksa petani berhemat. Menurut Pak Solhin, para petani setempat memutuskan tak memotong gajinya, melainkan berhenti mempekerjakan pekerja. Pak Solhin seringkali nganggur: Dalam dua bulan sebelum kami bertemu dengannya pada tahun 2008, ia belum mendapatkan satu hari pun pekerjaan di bidang pertanian. Kaum muda yang berada dalam keadaan ini, biasanya dapat memperoleh pekerjaan sebagai pekerja konstruksi. Namun, seperti yang dijelaskannya, ia terlalu lemah melakukan sebagian besar pekerjaan fisik, tak berpengalaman melakukan pekerjaan yang lebih terampil, dan pada usia empat puluh, terlalu tua bila ikut magang: tak ada yang mau mempekerjakannya.
Akibatnya, keluarga Pak Solhin—ia dan istrinya, serta ketiga anaknya—terpaksa mengambil langkah drastis agar bertahan hidup. Istrinya berangkat ke Jakarta, sekitar 80 mil jauhnya, dan melalui seorang temannya, ia mendapatkan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga. Namun penghasilannya, tak cukup memberi makan anak-anaknya. Putra tertuanya, seorang murid yang baik, putus sekolah pada usia dua belas tahun dan mulai magang di sebuah lokasi konstruksi. Kedua anaknya yang masih kecil, ditinggal bersama kakek dan neneknya. Pak Solhin sendiri bertahan hidup dengan sekitar 4 kg beras bersubsidi dan dari ikan yang ia tangkap dari tepi danau (ia tak bisa berenang). Saudaranya memberinya makan sesekali. Seminggu sebelum terakhir kali kami berbicara dengannya, ia makan dua kali sehari selama empat hari, dan hanya satu kali makan untuk tiga hari lainnya.
Pak Solhin sepertinya tak punya pilihan, dan ia dengan jelas menghubungkan masalahnya dengan makanan (atau, lebih tepatnya, kekurangan makanan). Ia berpendapat bahwa para petani pemilik tanah memutuskan memecat para pekerjanya ketimbang memotong upah lantara mereka mengira bahwa dengan pesatnya kenaikan harga pangan akhir-akhir ini, pemotongan upah akan membuat para pekerja kelaparan, sehingga membuat mereka tak berguna di lahan. Beginilah Pak Solhin menjelaskan pada dirinya sendiri fakta bahwa ia menganggur. Kendati ia jelas-jelas ingin bekerja, kekurangan makanan membuatnya lemah dan lesu, dan depresi melemahkan keinginannya melakukan sesuatu guna menyelesaikan masalahnya.
Akan tetapi, gagasan mengenai jebakan kemiskinan berbasis nutrisi, yang dijelaskan oleh Pak Solhin kepada kita, sudah sangat kuno. Pernyataan formal pertamanya di bidang ekonomi dimulai pada tahun 1958. Idenya sederhana. Tubuh manusia memerlukan sejumlah kalori semata untuk bertahan hidup. Maka, ketika seseorang sangat miskin, semua makanan yang ia mampu beli hampir tak cukup memenuhi kebutuhan hidupnya dan mungkin mendapatkan penghasilan yang sedikit, yang awalnya digunakan membeli makanan tersebut. Inilah keadaan yang dialami Pak Solhin ketika kami bertemu dengannya: makanan yang didapatnya, hampir tak cukup menjadikannya kuat menangkap ikan dari tepi sungai.
Ketika orang menjadi lebih kaya, mereka bisa membeli lebih banyak makanan. Setelah kebutuhan metabolisme dasar tubuh terpenuhi, seluruh makanan tambahan tersebut digunakan membangun kekuatan, sehingga memungkinkan manusia memproduksi lebih banyak makanan daripada yang mereka butuhkan agar tetap hidup.

Mekanisme biologis sederhana ini, mambangun hubungan berbentuk kurva S antara pendapatan saat ini dan pendapatan di masa depan: Masyarakat sangat miskin memperoleh penghasilan kurang dari yang mereka perlukan agar dapat melakukan pekerjaan penting, namun mereka yang mempunyai cukup makanan dapat melakukan pekerjaan pertanian yang serius. Hal ini menciptakan jebakan kemiskinan: Yang miskin menjadi semakin miskin, yang kaya menjadi semakin kaya dan mendapatkan makanan yang lebih baik, dan menjadi lebih kuat dan bahkan semakin kaya, dan kesenjangan tersebut terus meningkat.
Meskipun penjelasan logis Pak Solhin tentang bagaimana seseorang bisa terjebak dalam kelaparan sangat tepat, imbuh Banerjee dan Duflo, ada sesuatu yang agak meresahkan dalam narasinya. Kami bertemu dengannya bukan di Sudan yang dilanda perang atau di daerah yang dilanda banjir di Bangladesh, namun di sebuah desa di Jawa yang makmur, dimana, jelas terdapat banyak pangan yang tersedia, dan kebutuhan pokok tak membutuhkan biaya banyak. Ia tampak tak cukup makan ketika kami bertemu dengannya, tapi ia makan cukup agar bertahan hidup; mengapa tidak ada pihak yang membayar untuk memberinya nutrisi tambahan yang akan membuatnya produktif sebagai imbalan atas kerja sehari penuh? Secara lebih umum, walau jebakan kemiskinan berbasis kelaparan merupakan sebuah kemungkinan yang logis, seberapa relevankah hal ini dalam praktiknya bagi sebagian besar masyarakat miskin saat ini?

Salah satu dalil mengapa jebakan kemiskinan tidak ada, adalah karena kebanyakan orang, punya cukup makanan. Setidaknya dalam hal ketersediaan pangan, saat ini kita hidup di dunia yang mampu memberi makan setiap orang yang hidup di planet ini. Kelaparan memang terjadi di dunia saat ini, namun hal ini hanya disebabkan oleh cara kita membagi makanan. Mungkin mereka benar-benar tak terlalu lapar, meski mengonsumsi lebih sedikit kalori. Bila hal ini terjadi, barangkali karena perbaikan air dan sanitasi, mereka mengeluarkan lebih sedikit kalori saat terkena diare dan penyakit lainnya. Atau mungkin rasa lapar mereka berkurang karena berkurangnya pekerjaan fisik yang berat—dengan tersedianya air minum di desa, kaum perempuan tak perlu membawa beban berat dari jarak jauh; perbaikan transportasi telah mengurangi kebutuhan berjalan kaki; bahkan di desa termiskin sekalipun, tepung kini digiling oleh penggilingan desa dengan menggunakan penggilingan bermotor, dan bukannya digiling oleh tangan-tangan kaum perempuan. Jadi bukan berarti kekurangan pangan tak bisa menjadi masalah atau tidak menjadi masalah dari waktu ke waktu, namun dunia yang kita tinggali saat ini sebagian besar terlalu kaya untuk menjadi bagian besar dari kisah krisis pangan.'

Argumen ini mempertanyakan program 'makan siang gratis' yang diagendakan oleh pasangan calon yang diendors oleh petahana dalam pemilihan presiden 2024 di Indonesia. Selain jebakan kemiskinan dan masalah ketersediaan lapangan kerja, dalam penelitian Banerjee dan Duflo di Indonesia, ditemukan bahwa kesehatan tentunya berpotensi menjadi sumber sejumlah jebakan berbeda. Misalnya, pekerja yang tinggal di lingkungan yang tiak sehat mungkin melewatkan banyak hari kerja; anak-anak sering sakit dan tak dapat berprestasi di sekolah; ibu yang melahirkan mungkin punya bayi yang sakit-sakitan. Masing-masing saluran ini, berpotensi menjadi mekanisme mengubah kemalangan saat ini menjadi kemiskinan di masa depan. Program makan siang gratis bukanlah solusi, atau jangan-jangan hanya untuk membujuk rakyat, 'makan saja, dan biarkan kami mengambilalih apa yang kami idam-idamkan.'

Dari akses terhadap lahan, melalui metode pertanian, pengolahan pangan, dan akhirnya, distribusi pangan, bayangkan dirimu dapat menentukan bagaimana keseluruhan sistem pangan dirancang. Bukankah itu dahsyat? Dan itulah yang dimaksud dengan kedaulatan pangan—yakni kemampuan fokus komunitasmu, masyarakat di wilayahmu atau di negaramu, memutuskan bagaimana sistem pangan bekerja. Jika perlu, beberapa permasalahan bahkan dapat diputuskan di tingkat internasional, namun tingkat lokallah yang teramat penting. Karena sebagian besar dari kita tinggal di negara demokratis, bagaimana mungkin kita tak berperan langsung dalam pengambilan keputusan terkait pangan? Hal ini karena di sebagian besar negara yang proses demokrasinya tak terlalu demokratis. Ada pemilu setiap 4 atau 5 tahun, kita nyoblos, and that's it. Demokrasi berakhir sementara, kita bisa pulang dan politisi akan mengurus sisanya.

Namun kedaulatan pangan lebih dari sekedar pengambilan keputusan, kata Marcin Gerwin. Konsep kedaulatan pangan pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 oleh organisasi petani internasional, La Via Campesina. Menurut La Via Campesina, 'Kedaulatan pangan adalah hak masyarakat atas pangan sehat dan sesuai budaya yang dihasilkan melalui metode berkelanjutan dan hak mereka untuk menentukan sistem pangan dan pertanian mereka sendiri. Pengembangan model produksinya berkelanjutan, berskala kecil, yang memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Penempatan aspirasinya, kebutuhan dan penghidupan mereka yang memproduksi, mendistribusikan dan mengkonsumsi pangan sebagai inti dari sistem pangan dan kebijakan daripada tuntutan pasar dan perusahaan. Kedaulatan pangan mengutamakan produksi dan konsumsi pangan lokal. Ia memberi sebuah negara hak melindungi produsen lokalnya dari impor murah dan mengendalikan produksi. Ia memastikan bahwa hak menggunakan dan mengelola tanah, wilayah, air, benih, ternak dan keanekaragaman hayati, berada di tangan mereka yang memproduksi pangan dan bukan sektor korporasi.'
Apa yang dicanangkan La Via Campesina merupakan visi pertanian dan ekonomi yang lebih luas, yang mencakup keadilan sosial, demokrasi nyata, dan kepedulian terhadap lingkungan.

Reformasi manajemen dalam dua dekade terakhir berasumsi bahwa kinerja akan meningkat ketika (1) manajer punya tujuan yang jelas dan hasilnya ditakar berdasarkan tujuan tersebut, (2) manajer punya fleksibilitas dalam penggunaan sumber daya, (3) keputusan pemerintah berfokus pada keluaran dan hasil dibandingkan daripada masukan dan prosedur, dan (4) manajer bertanggungjawab atas penggunaan sumber daya dan mengejawantahkan hasilnya.
Dalam hal pemilu, keempat tujuan tersebut dapat dicapai, namun hanya jika petugas pemilu telah memikirkan manajemen kinerja sejak awal. Dalam pemilu, petugas pemungutan suara hanya akan mampu melakukan tugasnya dengan baik jika prosedur dan prosesnya memungkinkan. Pemilu mempunyai tujuan yang jelas, kelompok pelanggan yang jelas, dan banyak peluang untuk pengumpulan dan perbaikan data. Dengan memiliki serangkaian data, di seluruh spektrum proses dan kegiatan terkait pemilu, petugas pemilu dapat berkomunikasi secara efektif tentang apa yang mereka lakukan, sumber daya apa yang mereka perlukan untuk menyelesaikan pekerjaan, dan bagaimana kebijakan dapat ditingkatkan agar aktivitas dan prosesnya berjalan dengan lebih baik.

Kepresidenan merupakan simbol utama persatuan nasional kita. Pemilihan presiden (bersama alternatenya, wakil presiden) merupakan salah satu aksi politik yang kita lakukan bersama sebagai sebuah bangsa: nyoblos pada pemilu presiden tentunya merupakan pilihan politik yang amat penting bagi masyarakat. Sebuah pertanyaan penting yang perlu kita ajukan: Apakah pemilu telah diselenggarakan dengan integritas tinggi, bebas dari kecurangan?

Landasan standar internasional adalah artikel 21(3) the Universal Declaration of Human Rights (1948). Menetapkan: 'Kehendak rakyat haruslah menjadi dasar wewenang pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang berkala dan jujur, yang dilakukan melalui hak pilih yang universal dan setara, serta dilaksanakan melalui pemungutan suara rahasia atau melalui prosedur bebas memilih yang setara.
Kesepakatan mengenai prinsip-prinsip yang mengatur penyelenggaraan pemilu selanjutnya dijabarkan dalam artikel 25 the UN International Covenant for Civil and Political Rights (ICCPR tahun 1966), yaitu perlunya: Pemilu yang rutin dan berkala; Hak pilih universal, yang mencakup seluruh sektor masyarakat; Hak pilih yang setara, dalam gagasan satu orang, satu suara; Hak mencalonkan diri dalam jabatan publik dan ikut serta dalam pemilu; Hak seluruh pemilih yang memenuhi syarat memilih; Penggunaan proses pemungutan suara secara rahasia; Pemilu yang benar; dan bahwa Pemilu harus mencerminkan kebebasan berekspresi atas keinginan masyarakat.

Menurut Pippa Norris, boleh jadi, pemilu gagal mencapai tujuannya. Berbagai jenis undang-undang dan ketidakmampuannya, melemahkan pemilu. Dalam beberapa perlagaan, lawan didiskualifikasi. Batas-batas distrik telah dikecoh. Kampanye memberikan peluang yang tak seimbang bagi partai tertentu. Media independen diberangus. Masyarakat kurang mendapat informasi mengenai pilihan. Pemungutan suara terganggu oleh pertumpahan darah. Kotak suara sudah penuh. Penghitungan suara kacau. Partai oposisi mundur. Para pesaing menolak menerima pilihan rakyat. Protes mengganggu pemungutan suara. Pejabat menyalahgunakan sumber daya negara. Daftar pemilih sudah kadaluwarsa. Kandidat bagi-bagi amplop tebal. Suara dibeli. Gelombang udara berpihak pada petahana. Kampanye dibanjiri dengan uang tunai yang tersembunyi. Aturan keuangan politik lemah. Pejabat daerah yang tak kompeten kehabisan surat suara. Petahana kebal terhadap penantang yang efektif. Demonstrasi memicu kerusuhan. Kandidat perempuan menghadapi diskriminasi. Etnis minoritas teraniaya. Mesin pemungutan suara macet. Antrian memanjang. Segel kotak suara rusak. Seorang warga boleh nyoblos berkali-kali. Undang-undang menekan hak pilih. Tempat pemungutan suara tak dapat diakses. Perangkat lunak mogok. Tinta 'pengaman' mudah dihapus. Pengadilan menyelesaikan keluhan secara tak berimbang. Setiap masalah ini dapat menimbulkan perselisihan dalam pemilu yang ditandai dengan tuntutan pengadilan yang panjang, boikot oposisi, protes publik, atau, yang paling buruk, bila para aparat mengancam dengan pengerahan kekerasan, maka akan sangat mungkin rakyat akan menanggapinya dengan kekerasan yang lebih membagongkan. Dalam beberapa kasus, kegagalan memang disengaja; di tempat lain, muncul secara kebetulan, kendati syulit menentukan, which is which, yang mana yang bener.

Integritas pemilu mengacu pada kontes yang menghormati standar internasional dan norma-norma global yang mengatur penyelenggaraan pemilu yang tepat. Kurangnya integritas mempunyai banyak konsekuensi serius, yang dapat melemahkan legitimasi otoritas terpilih, mengikis kepuasan terhadap demokrasi, mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan parlemen, dan melemahkan partisipasi pemilih. Protes dengan kekerasan dapat mengganggu stabilitas negara, terutama di rezim hibrida yang tak berkekuatan koersif seperti otokrasi absolut dan legitimasi demokrasi yang sudah matang. Di negara-negara berkembang seperti Kenya dan Thailand, sengketa prosedur telah menimbulkan ketidakstabilan dan melemahkan kepercayaan investor. Pemilu multipartai yang kompetitif merupakan landasan bagi akuntabilitas demokrasi, menghubungkan warga negara dan negara, memberdayakan para pemilih 'mengusir para bajingan' jika mereka tak puas dengan para pemimpin yang tak populer. Namun, jika pemilu yang kontroversial benar-benar diatur, atau bahkan gagal, mekanisme ini takkan cukup untuk menyingkirkan para penguasa yang korup, mudah disuap, atau tak kompeten, sehingga mendorong warga negara yang kritis untuk menggunakan barikade dibanding melalui pemungutan suara. Rantai vertikal akuntabilitas pemilu yang menghubungkan warga negara dan pihak berwenang menjadi terkorosi atau terputus. Pemilu saja tak cukup menjamin terwujudnya pemerintahan yang demokratis, karena saluran-saluran akuntabilitas publik horizontal lainnya masih lemah, namun tetap menjadi fondasinya.
Pelanggaran yang paling gawat biasanya terjadi di negara-negara 'otokrasi elektoral'–sebuah rezim yang berpenampilan kompetisi multipartai namun dengan pembatasan yang ketat dan terus-menerus terhadap lembaga-lembaga hak asasi manusia dan demokrasi, dimana kekuasaan berada di tangan partai berkuasa secara tak proporsional. Semakin banyak penelitian yang berupaya menjelaskan mengapa para pemimpin otoriter mengambil risiko ketidakpastian dalam menyelenggarakan pemilu multipartai dan bagaimana pemilu ini berfungsi untuk melegitimasi partai yang berkuasa, menangkis kritik internasional, dan melemahkan perbedaan pendapat dari pihak oposisi. Akan menjadi sebuah kesalahan besar jika kita berasumsi bahwa masalah integritas pemilu hanya terjadi pada negara-negara autokrasi pemilu saja, karena beberapa jenis penyimpangan, termasuk protes, paling sering terjadi di banyak rezim hibrida.

Di Indonesia, DPR diperkuat dalam sistem ketatanegaraan setelah adanya perubahan pada Undang-Undang Dasar 1945. Amandemen UUD 1945 menyatakan bahwa fungsi pengawasan DPR dilakukan melalui pengawasan atas pelaksanaan kebijakan, yaitu pelaksanaan undang-undang dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Secara kelembagaan, DPR memiliki tiga hak utama dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan, yaitu hak meminta keterangan kepada eksekutif (hak interpelasi), hak mengadakan penyelidikan (hak angket), dan hak menyatakan pendapat terhadap kebijakan eksekutif.
Ketiga fungsi pengawasan ini—hak interpelasi, hak angket dan menyatakan pendapat—berbeda dengan 'Impeachment' atau 'Pemakzulan'. Menurut Charles L. Black, Jr., sebenarnya, 'impeachment' bermakna 'gugatan' atau 'tuduhan'. Di Amerika, the House of Representatives, berdasarkan Konstitusi, mempunyai 'satu-satunya Kekuasaan Pemakzulan'—yaitu, kekuasaan mengajukan tuntutan atas tindakan satu atau lebih pelanggaran yang dapat dimakzulkan. Tuduhan ini secara konvensional disebut 'Pasal Pemakzulan'. The House 'memakzulkan' cukup dengan suara mayoritas dari mereka yang hadir. Senat 'mengadili' semua pemakzulan—ia menentukan, berdasarkan bukti-bukti yang diajukan, apakah dakwaan dalam setiap Pasal Pemakzulan benar, dan apakah, jika dakwaan itu benar, tindakan yang terbukti merupakan pelanggaran yang dapat dimakzulkan. Temuan afirmatif seperti ini disebut 'conviction' atas Pasal Pemakzulan yang telah dipilih. Diperlukan dua pertiga mayoritas senator yang hadir untuk menetapkan hukumannya.
Prosedur dua tahap ini dipinjam dari model Inggris (pemakzulan oleh House of Commons dan persidangan serta penghukuman oleh House of Lords). Hal ini jelas pula analog dengan dua tahap dalam hukum pidana tradisional Inggris dan Amerika—'indictment' (atau dakwaan) oleh the grand jury, dan 'trial' (persidangan') oleh juri lain.

Menurut Lili Romli, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif, selain memiliki fungsi dalam pembentukan undang-undang (fungsi legislasi) dan penganggaran (fungsi budgeting), juga punya fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan DPR merupakan alat kontrol terhadap lembaga eksekutif atau pemerintah. Melalui fungsi ini, mekanisme checks and balances, saling kontrol dan saling imbang, antara DPR dan eksekutif dapat ditegakkan dan terwujud dengan baik.
Keberadaan fungsi pengawasan DPR terhadap eksekutif merupakan sesuatu yang vital karena untuk memastikan dan mewujudkan agar kekuasaan dan kebijakan eksekutif tidak disalahgunakan dan/atau diselewengkan, sesuai dengan konstitusi dan undang-undang. Karenanya, keberadaaan fungsi pengawasan DPR merupakan upaya mencegah agar tak terjadi pemusatan atau penyalahgunaan kekuasaan eksekutif.

Sebagai alat kontrol, setiap anggota DPR berhak mengajukan pertanyaan kepada pemerintah mengenai suatu masalah. Pertanyaan biasanya diajukan secara lisan atau tertulis dalam rapat umum atau rapat kerja dengan pemerintah yang diwakili oleh menteri. Dalam rapat-rapat tersebut, menteri akan memberikan jawaban secara lisan atau tertulis.
Terkait dengan hak interpelasi, pihak eksekutif wajib memberi penjelasan dalam sidang pleno, kemudian dibahas oleh anggota-anggota dan diakhiri dengan pemungutan suara mengenai apakah keterangan pemerintah memuaskan atau tidak. jika hasil pemungutan suara bersifat negatif, hal ini merupakan tanda peringatan bagi pemerintah bahwa kebijakannya diragukan.
Dalam penggunaan hak angket, dibentuk suatu panitia angket yang melaporkan hasil penyelidikannya kepada anggota DPR lain, yang selanjutnya merumuskan pendapatnya mengenai masalah ini dengan harapan agar diperhatikan oleh pemerintah. Adapun hak menyatakan pendapat adalah hak untuk menyatakan gagasan atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di Tanah Air atau dunia internasional. Hak ini juga digunakan sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket atau dugaan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum, baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau presiden dan/atau wakil presiden tak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Maka, tiada persoalan yang lebih penting secara politik mengenai pertimbangan kita, apakah dalam keadaan tertentu, hasil dari aksi nyoblos kita, harus dibatalkan, dengan konsekuensi terburuk bahwa presiden terpilih diberhentikan dari jabatannya dengan cara yang memfadihatkan. Setiap orang tentulah akan mengernyitkan kening bila menghadapi tindakan yang teramat drastis ini. Para perumus Konstitusi kita telah dengan sangat jelas membayangkan perlunya langkah tak menyenangkan ini. Akan tetapi, langkah ini memang perlu diambil, guna mencegah matinya demokrasi. Wallahu a'lam."

Karena 'winter had not yet come', musim panas masih berlangsung, daun mapel berubah warna saat ia berdendang,

Sing, "Hello world, it feels so good to be home"
[Nyanyikan, "Halo dunia, rasanya seneng banget pulang ke rumah"]
Lost in the dark, but I'll never be alone
[Tersasar dalam gelap, namun ku takkan pernah sendirian]
Sing, "Hello world, it feels so good to be home"
[Nyanyikan, "Halo dunia, rasanya seneng banget pulang ke rumah"]
Hello, hello, hello world
[Halo, halo, halo dunia]
I open my eyes and said hello to the world *)
[Kubuka mataku dan menyapa halo pada dunia]
Kutipan & Rujukan:
- Abhijit V. Banerjee & Esther Duflo, Poor Economics: A Radical Rethinking of the Way to Fight Global Poverty, 2011, Public Affairs
- Marcin Gerwin (ed.), Introduction to Food Sovereignty: Food and Democracy, 2011, Alliance of Associations Polish Green Network
- Philip Bobbit & Charles L. Black, Impeachment: A Handbook New Edition, 2018, Yale University Press
- R. Michael Alvarez, Lonna Rae Atkeson & Thad E. Hall, Evaluating Elections: A Handbook of Methods and Standards, 2013, Cambridge University Press
- Pippa Norris, Why Elections Fail, 2015, Cambridge University Press
- Wawan Ichwanuddin & Syamsuddin Harris (Eds.), Pengawasan DPR Era Reformasi: Realitas Penggunaan Hak Interpelasi, Angket dan Menyatakan Pendapat, 2014, LIPI
*) "Hello World" karya Mats Lie Skare, Alan Walker, Oyvind Sauvik, Anders Froen, Gunnar Greve, Fredrik Borch Olsen, Jim Bergsted, Marcus Arnbekk, Sander Meland, Rosanna Ener & Torine Bjaland

Senin, 26 Februari 2024

Cerita Daun Mapel: Election Fraud (6)

"Sepasang suami istri sedang berwisata ke Bali. Saat menikmati suasana romantis Pantai Kuta, mereka mengenang masa pertama kali bertemu.
Istri: 'Mas, apa mas cinta sama aku cuma karena ramandaku mewariskan banyak uang untukku?'
Suami: 'Sama sekali enggak beib. Aku akan selalu mencintaimu tanpa peduli, siapa yang mewariskan uangnya untukmu.'"

“Seseorang dapat menuturkan kisah peradaban manusia sebagai lakon tentang bagaimana kita belajar saling percaya,” lanjut Mapel seraya menelaah pahatan-batu gajah di Candi Borobudur. Gajah punya ingatan seumur hidup, yang memungkinkannya mengenali gajah lain, bahkan manusia. Pahatan gajah di candi tersebut, mengungkap bahwa gajah menggunakan ingatan tandasnya tentang pengalaman masa lalu, semisal kelaparan, guna membantu bertahan dari kesulitan di masa depan. Ukiran tersebut membuka mata kita agar menghormati dan mengingat jalinan-hubungan, gajahlah perlambang yang sempurna bagi kesetiaan dan kepercayaan.

"Kita awalnya belajar berbagi hasil berburu dan makanan di antara kelompok. Dengan kerjasama, kita bisa membangun piramida. Namun kerjasama berarti mengandalkan orang lain, dan keadaan ini menimbulkan peluang saling sirik—sebagian anggota kelompok mengambil keuntungan dari anggota lain. Kita perlu menemukan cara membangun kepercayaan. Seiring berjalannya waktu, kita mengembangkan pemerintahan dan peraturan guna membantu mengatasi dilema kerjasama ini, namun aturan tersebut, agar dapat berfungsi, memerlukan pula kepercayaan.
Setiap permainan punya aturan, begitu pula setiap masyarakat. Institusi yang mengatur kita adalah keyakinan dan norma, aturan tak kasat mata, yang membatasi cara kita bertindak. Kita mengikuti institusi tersebut disebabkan oleh ekspektasi kita terhadap apa yang akan terjadi, jika kita mengikutinya, dan apa yang akan terjadi pada kita, jika kita tak mengikutinya. Harapan-harapan tersebut, memunculkan norma-norma perilaku dan aturan-aturan. Norma atau aturan tersebut merupakan bagian besar dari apa yang kita sebut budaya, kata Benjamin Ho.
Institusi merupakan pusat dari kepercayaan, karena sebagian besar institusi manusia mengandalkan kepercayaan agar berfungsi. Masyarakat mengembangkan institusi guna memecahkan masalah yang mereka hadapi, mulai dari masalah tindakan kolektif hingga alokasi sumber daya yang langka. Lebih khusus lagi, institusi modern seperti pasar, pengadilan, dan negara demokrasi, semuanya bergantung pada kepercayaan di berbagai tingkatan.
Argumen kedua mengapa institusi penting dalam kepercayaan ialah kenyataan bahwa banyak institusi manusia yang dirancang untuk memfasilitasi kepercayaan. Kisah peradaban manusia itu, tentang membangun hal-hal yang semakin besar dengan belajar bekerjasama dalam skala yang semakin besar.
Kepercayaan merupakan keyakinan akan dapat dipercayanya orang yang berinteraksi dengan kita. Keyakinan kita didasarkan pada informasi yang kita terima, dan banyak institusi manusia yang berupaya menyebarkan dan mengatur arus informasi. Dapat dipercaya merupakan sifat karakter seseorang yang bertindak dengan cara yang membenarkan amanah yang diberikan padanya. Kepercayaan dapat bervariasi bagi orang yang berbeda dalam situasi yang berbeda, dan meskipun hal tersebut mencerminkan pedoman moral internal, nilai-nilai internal tersebut sering kali berasal dari pengaruh institusi luar.

Ada dua pengertian dimana kepercayaan telah lama dikaitkan dengan pemerintahan, kata Russel Hardin. Salah satu tradisi dinyatakan dengan baik dalam bahasa Yunani kuno 'Anonymous Iamblichi': 'Keluaran pertama dari keabsahan adalah kepercayaan, yang sangat bermanfaat bagi semua orang dan merupakan salah satu kekayaan terbesar. Hasil dari kepercayaan adalah bahwa harta mempunyai kemanfaatan yang sama, sehingga harta yang sedikit saja sudah cukup sejak diedarkan, padahal tanpa harta yang banyak pun tidaklah cukup. Intinya, hukum memungkinkan orang agar percaya dan, dengan demikian, melakukan pertukaran demi keuntungan besar mereka.
Pemerintah hadir dalam berbagai bentuk dan memainkan banyak peran. Gagasan alternatif tentang tujuan pemerintahan, setidaknya berasal dari Thomas Hobbes, pemerintah sebagai pemusat kekuasaan. Dalam perekonomian modern, pemerintah membuat peraturan, memungut pajak, dan menyediakan layanan sosial. Hal yang sangat penting agar pemerintah dapat berfungsi dalam kapasitas ini ialah pemerintah harus mampu membuat peraturan dan berharap bahwa peraturan tersebut akan dipatuhi. Seringkali, kita tak terlalu memikirkan alasan kita mengikuti aturan. Pandangan tradisional menegnai institusi adalah bahwa kita mengikuti aturan karena jika tidak, akan ada konsekuensinya. Jika kita tak membayar pajak, akan ada denda. Jika kita tak membayar denda, harta benda kita akan disita. Jika kita tak menyerahkan harta kita, kita akan dipenjara. Jika kita menolak hukuman penjara, kita menghadapi risiko kekerasan.
Hobbes berpendapat bahwa warga negara menerima sistem ini karena tatanan yang dibangun oleh pemerintah lebih baik daripada dunia buruk yang akan ada tanpa pemerintah. Masyarakat menindaklanjuti transaksi, menyumbang pajak, dan menghindari kekerasan lantaran adanya ancaman hukuman yang tersirat; mereka tahan menerima ancaman, sebab itu lebih baik daripada hidup dalam masyarakat tanpa pengawasan. Menurut Ho, inilah pandangan kaku terhadap pemerintah yang berdasar pada aturan ketat, dan tak mengakui peran kepercayaan dan hubungan antarmanusia.
Menurut Hardin, kepercayaan terhadap pemerintah bukanlah suatu pertimbangan utama dalam bekerjanya masyarakat modern, namun kepercayaan di antara mereka sendiri bahwa pemerintahan yang baik akan memungkinkan warga negaranya untuk memiliki hal tersebut sangatlah penting dalam kehidupan mereka. Klaim bahwa seseorang mempercayai pemerintah tak bisa disamakan dengan klaim bahwa seseorang mempercayai orang lain. Kebaikan dan pentingnya kepercayaan antarpribadi tidak secara jelas tercermin dalam gagasan yang tak analog mengenai kepercayaan terhadap pemerintah.

Adam Smith mencatat bahwa bahkan dalam perekonomian pasar bebas yang individualistis, sihirnya datang dari cara pasar mengkoordinasikan pembagian kerja: sebuah pabrik pembuat pin, yang masing-masing mengkhususkan diri pada satu bagian produksi, dapat memproduksi lebih banyak pin daripada jumlah yang sama pembuat pin tradisional yang bekerja sendiri. Aturan-aturan tersebut diformalkan oleh pemerintah, yang memperluas cakupannya ke seluruh aspek kehidupan kita sehari-hari. Pemerintah, khususnya pemerintahan demokratis, bergantung pada supremasi hukum, dan berfungsinya supremasi hukum juga bergantung pada kepercayaan. Setiap perkembangan kelembagaan memungkinkan lingkar kepercayaan kita tumbuh, namun masing-masing, juga membuat siapa dan bagaimana kita mempercayai menjadi lebih impersonal—sebuah karakteristik dari ekonomi pasar modern.
Kepercayaan dipandang remeh, padahal ia penting. Peran kepercayaan dalam perekonomian modern seringkali tak diakui baik dalam mata kuliah ilmu ekonomi maupun budaya pop. Di sebagian besar negara demokrasi modern, telah diputuskan bahwa kita tak dapat mempercayai orang-orang yang berkuasa agar mengendalikan jumlah uang beredar. Versi yang lebih baik dari pernyataan tersebut bahwa setiap orang, termasuk orang-orang yang berkuasa, akan lebih beruntung jika pejabat terpilih tak memiliki kendali langsung atas jumlah uang beredar.
Undang-undang AS mengharuskan semua mata uang AS memuat kata-kata 'In God We Trust' sejak tahun 1956, meskipun frase tersebut telah digunakan secara teratur pada koin-koin dan uang kertas AS sejak tahun 1864. Tujuannya untuk memfasilitasi kepercayaan—bukan pada Tuhan, tapi barangkali, pada uang itu sendiri—menurut Ho, mendorong banyak keputusan mengenai desain mata uang AS.
Penguasa dapat mengambil manfaat dari kemampuan menghasilkan uang ketika dibutuhkan (terutama untuk berperang), dan masyarakat juga dapat memperoleh manfaat dari jumlah uang beredar yang lebih likuid. Namun, para penguasa dibatasi oleh ketidakpercayaan. Orang-orang tahu bahwa godaan mencetak terlalu banyak uang amatlah besar. Para penguasa juga menghadapi masalah yang sama manakala harus meminjam uang. Pemerintah menerbitkan obligasi untuk meminjam uang dari warga negara. Praktik ini sangat umum terjadi pada masa perang. Menerbitkan obligasi mungkin tampak berbeda dengan mencetak uang, namun dalam praktiknya, sangat mirip.

Menurut Ronald Inglehart, tingkat kesejahteraan subjektif dan kepercayaan antarpribadi yang relatif tinggi, kondusif bagi stabilitas lembaga demokrasi. Rendahnya tingkat kesejahteraan subjektif dan kepercayaan antarpribadi mungkin memainkan peran penting dalam runtuhnya rezim otoriter. Pembangunan ekonomi kondusif bagi demokrasi tak semata karena hal tersebut memobilisasi masyarakat luas, namun juga karena hal tersebut mendorong orientasi budaya yang mendukung. Pembangunan ekonomi juga kondusif bagi perubahan budaya yang membantu menstabilkan demokrasi. Budaya politik massa sangat penting bagi stabilitas demokrasi jangka panjang: Budaya politik menstabilkan demokrasi dengan memberikan iklim kepercayaan dan basis dukungan massa yang bertahan lama.
Institusi demokrasi bergantung pada kepercayaan bahwa pihak oposisi akan menerima aturan proses demokrasi. Engkau hendaknya memandang lawan politikmu sebagai oposisi setia yang takkan memenjarakan atau mengeksekusimu jika engkau menyerahkan kekuasaan politik kepada mereka, namun dapat diandalkan untuk memerintah sesuai hukum, dan menyerahkan kekuasaan jika pihaknu memenangkan pemilu berikutnya.
Tatkala masyarakat tak puas dengan politik, tambah Inglehart, boleh jadi, mereka akan mengganti partai yang berkuasa. Disaat masyarakat tertentu merasa tak puas dengan kehidupan mereka, mereka mungkin menolak rezim–atau bahkan komunitas politik.

Banyak sosiolog berpendapat bahwa kepercayaan itu perekat kehidupan sosial. Bagi politik, ekonomi, dan well-being pribadi, kepercayaan sosial adalah sumber daya yang berharga. Menurut Trudy Govier, kepercayaan dan ketidakpercayaan terhadap politik atau pemerintah, dapat bermakna banyak hal. Sebagian besar pembicaraan mengenai ketidakpercayaan tersebut berfokus pada isu-isu integritas—kejujuran, keandalan, menepati janji, tindakan yang berprinsip, dan tiadanya kemunafikan. Hal ini merupakan tanggungjawab fidusia; orang-orang yang menduduki jabatan publik harus setia terhadap tugas dan tanggungjawab jabatannya. Namun ekspektasi terhadap kompetensi juga penting bagi kepercayaan, baik dalam politik maupun di bidang lain.
Kompetensi bukanlah sekedar persoalan intelektual atau teknis semata yang dapat dipisahkan dari aspek etika karakter. Dan agar integritas dapat bermakna, seseorang memerlukan kompetensi: ia perlu menyadari bagaimana dirinya bertindak dan apa yang dituntut oleh konteks tertentu. Integritas moral dan sifat amanah mensyaratkan kompetensi pribadi ini. Secara keseluruhan penilaian yang baik tentang prioritas dan kualitas pribadi, sangatlah penting.

Masyarakat terkadang tak mempercayai tindakan pemerintah karena mereka yakin bahwa pejabat dan pegawai negeri sipil yang diperlukan tidak kompeten—sangat tidak efisien, atau kurang berpengetahuan melaksanakan tugas yang telah mereka tetapkan sendiri. Ada berbagai orang dan institusi dalam politik dan pemerintahan, dan kita dapat membedakannya berdasarkan kepercayaan. Di tingkat nasional, kita mungkin berpikir mempercayai pemimpin, Kabinet, partai yang berkuasa, anggota terpilih dari partai yang berkuasa, seluruh badan perwakilan terpilih, atau partai politik favorit kita atau perwakilan yang dipilih secara lokal. Alternatifnya, kita mungkin memperhatikan pegawai negeri dan lembaga pemerintah yang berbeda dari wakil-wakil terpilih. Berbicara tentang mempercayai atau tidak mempercayai politisi bermakna berfokus pada wakil-wakil terpilih dan mereka yang mencalonkan diri dalam pemilu. Namun mempercayai pemerintah, dapat bermakna politisi atau pegawai sipil dan institusi.
Dalam merefleksikan kepercayaan dan politik, kita tentu saja membahas masalah kepemimpinan. Di negara demokrasi industri Barat, kata Govier, pemimpin terpilih dipilih sebagai pemimpin partai politik yang mencari mandat elektoral untuk memerintah. Seorang pemimpin politik harus memimpin dalam berbagai konteks, yang paling nyata dan penting adalah partai politik, pemerintah, dan masyarakat itu sendiri. Pemimpin politik dapat berupa pemimpin sebuah partai, kepala pemerintahan, dan, dalam pengertian yang berbeda dan kurang formal, pemimpin masyarakat. Ia punya beberapa peran kepemimpinan yang berbeda, dan konteks yang berbeda memerlukan keterampilan kepemimpinan yang berbeda. Kemampuan melakukan pendekatan, keterampilan berbicara di depan umum, dan karisma, sangat penting dalam berhubungan dengan publik, sedangkan keterampilan memfasilitasi, negosiasi, dan mediasi sangat penting dalam mengelola kaukus dalam partai politik. Ide-ide orisinal, pemahaman terhadap isu-isu, pengetahuan, dan perhatian terhadap detail merupakan hal-hal penting dalam menjalankan pemerintahan. Hanya sedikit individu yang memiliki seluruh kualitas yang diperlukan dalam berbagai konteks dimana seorang pemimpin modern berfungsi. Setiap orang mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda, yang disesuaikan dengan situasi yang berbeda. Tiada satu hal yang disebut kepemimpinan dan tiada satu cara melakukannya dengan benar. Namun siapa pun dan bagaimana pun caranya, kepemimpinan yang efektif selalu memerlukan tingkat kepercayaan yang tinggi. Secara umum, semakin besar kepercayaan, semakin efektif pemimpinnya.
Seseorang takkan menjadi pemimpin terpilih suatu partai politik kecuali sebagian besar anggota partai mempunyai kepercayaan terhadapnya. Kebutuhan akan kepercayaan semakin jelas ketika kita mempertimbangkan beberapa fungsi spesifik dari seorang pemimpin partai. Bagi masyarakat, pemimpin partai merupakan semacam komunikator kunci bagi partai. Agar dapat dipilih dan menjalankan pemerintahan, seorang pemimpin memerlukan tingkat kepercayaan publik. Ada berbagai gaya dan model kepemimpinan, namun seluruh gaya kepemimpinan mengandalkan kepercayaan pada pemimpin.

Masyarakat demokratis adalah masyarakat yang mempercayai. Kepercayaan itu penting. Orang yang mempercayai orang lain, berpandangan luas terhadap komunitasnya dan hal ini membantu menghubungkannya dengan orang yang berbeda dari dirinya. Kepercayaan juga mengarahkan masyarakat mencari titik temu manakala mereka tak sepakat mengenai solusi terhadap permasalahan publik, kata Eric M. Uslaner. Kepercayaan bukanlah solusi menyeluruh terhadap permasalahan masyarakat. Ia takkan membuat orang turut dalam kelompok sipil atau kehidupan politik. Namun ia punya konsekuensi lain, yang mungkin bahkan lebih penting. Karena kepercayaan menghubungkan kita dengan orang-orang yang berbeda dari diri kita, ia membuat kerjasama dan kompromi menjadi lebih mudah.
Masyarakat sipil adalah masyarakat yang kooperatif. Kepercayaan mungkin bukan satu-satunya jalan menuju kerjasama. Namun kepercayaan dapat mempermudah penyelesaian masalah tindakan kolektif yang berulang, karena niat baik menghilangkan banyak tawar-menawar yang sulit di awal setiap negosiasi, dan akan membuat kompromi lebih mungkin tercapai. Orang yang mempercayai orang lain, juga harus menjadi orang yang paling mungkin mendukung kode moral yang berlaku di komunitasnya. Kerjasama dan kompromi, hanya dapat berkembang bila orang-orang saling menghormati, terlepas dari perbedaan yang ada. Jadi, komunitas yang saling mempercayai adalah komunitas yang toleran, kata Uslaner, dan diskriminasi adalah sebuah anatema, sesuatu yang dijauhi.

Bilamana terjadi konflik kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara, maka perlu dilakukan tindakan nyata untuk menyelesaikannya. Kepercayaan itu inti dari keberadaan manusia. Seperti semua makhluk sosial, manusia punya kebutuhan naluriah untuk bekerjasama dan saling mengandalkan guna memenuhi kebutuhan paling dasar emosional, psikologis, dan material. Tanpa kepercayaan, kita tak semata kurang bahagia sebagai individu, namun pula, kurang produktif dalam kelompok. Penelitian telah menghubungkan keutamaan dan manfaat kepercayaan dengan kemakmuran ekonomi, stabilitas masyarakat, dan bahkan kelangsungan hidup manusia, kata Robert F. Hurley. Dampak kuat dari kepercayaan, memungkinkan terjadinya perilaku kooperatif tanpa pengawasan dan kontrak yang mahal dan rumit. Kepercayaan merupakan suatu bentuk modal sosial yang meningkatkan kinerja antar individu, di dalam dan di antara kelompok, dan secara kolektif yang lebih besar (misalnya, organisasi, institusi, dan negara).
Ketidakpercayaan bisa menjadi hal yang sehat dan disarankan, namun jika muncul dalam keadaan ekstrem dan tak adil, ia akan merusak naluri kooperatif. Keadaan ini mengubah pertukaran kolaboratif menjadi manuver perlindungan yang lambat dan penuh kegelisahan. Tanpa kepercayaan, orang akan menjadi lebih cemas dan kurang bahagia; para pengikut dari pemimpin tanpa kepercayaan, lebih lambat dan berhati-hati; organisasi tanpa kepercayaan, bersusah-payah menjadi produktif; pemerintah tanpa rasa-saling percaya, akan kehilangan kerjasama sipil yang penting; dan masyarakat tanpa kepercayaan, akan memburuk, kata Hurley. Jika kita tak bisa menghasilkan persepsi kepercayaan yang memadai dan masuk akal, melalui agen yang bertindak dengan cara yang amanah, hidup kita akan menjadi lebih bermasalah dan kurang makmur.

Kita akan teruskan bincang kita pada fragmen selanjutnya, bi 'idznillah."
Kutipan & Rujukan:
- Benjamin Ho, Why Trust Matters: An Economist's Guide to the Ties that Bind Us, 2021, Columbia University Press
- Valerie Braithwaite & Margaret Levi (Eds.), Trust and Governance, 1998, Russell Sage Foundation
- Mark E. Warren (Ed.), Democracy and Trust, 1999, Cambridge University Press
- Trudy Govier, Social Trust and Human Communities, 1997, McGill-Queen's University Press
- Eric M. Uslaner, The Moral Foundations of Trust, 2002, Cambridge University Press
- Robert F. Hurley, The Decision to Trust: How Leaders Create High-Trust Organizations, 2012, Jossey-Bass

Sabtu, 24 Februari 2024

Cerita Daun Mapel: Election Fraud (5)

"Saatnya makan malam selama penerbangan dengan sebuah maskapai kecil.
'Makan malamnya bapak?' kata sang pramugari kepada seorang bapack-bapack.
'Pilihannya apa yah jeng?' tanya sang lelaki.
'Ya atau enggak bapak,' jawab si jeng."

"Mereka yang berada di lingkungan terdekat kita, di tempat kerja, dalam kehidupan dan keadaan sosial, berpengaruh besar terhadap pemikiran dan perilaku kita. Karenanya, kita seyogyanya sangat berhati-hati saat memutuskan siapa yang akan dan tak akan kita perkenankan masuk ke dalam lingkaran kawan karib kita," ucap Mapel sambil mengamati lambang rantai emas di perisai sang Garuda.
“Ada satu hal yang umum bagi setiap individu, jalinan-hubungan, satuan-kerja, keluarga, organisasi, bangsa, perekonomian, dan peradaban di seluruh dunia—sesuatu yang, jika disingkirkan, bakal mengambyarkan pemerintahan yang amat berkuasa, bisnis yang sangat sukses, dan perusahaan yang betul-betul berjaya, persahabatan yang bestie banget, karakter yang terkuat, cinta yang terdalam. Sebaliknya jika dikembangkan dan diberdayakan, ia berpotensi membangun kesuksesan dan kemakmuran tiada tara, di setiap dimensi kehidupan. Namun, ia kemungkinan kurang dipahami, sangat diabaikan, dan sungguh diremehkan di zaman kita. Yang satu itu, menurut Stephen M.R. Covey, ialah 'trust' atau kepercayaan.

Kepercayaan itu, harapan yang muncul dalam komunitas akan perilaku yang harmonis, jujur, dan kooperatif, berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, di pihak anggota komunitas lainnya. Norma-norma tersebut dapat berupa pertanyaan-pertanyaan 'value' yang mendalam seperti hakikat Tuhan atau keadilan, namun norma-norma tersebut, mencakup pula norma-norma sekuler semisal standar profesional dan kaidah perilaku, kata Francis Fukuyama. Maknanya, kita mempercayai seorang dokter takkan melukai kita dengan sengaja karena kita berharap ia hidup berdasarkan sumpah Hipokrates dan standar profesi medis. Kepercayaan tak terletak pada sirkuit terpadu atau kabel serat optik. Meski melibatkan pertukaran informasi, kepercayaan tak bisa direduksi menjadi informasi.
Social capital atau modal sosial merupakan kemampuan yang muncul dari tingginya kepercayaan pada suatu masyarakat atau bagian tertentu dari masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan dalam kelompok sosial terkecil dan paling mendasar, keluarga, serta kelompok terbesar, bangsa, dan semua kelompok lain di antaranya. Modal sosial berbeda dari bentuk modal manusia lainnya karena modal ini, biasanya dibangun dan disalurkan melalui mekanisme budaya seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah. Orang-orang yang saling tak percaya, imbuh Fukuyama, pada akhirnya hanya akan bekerjasama di bawah sistem aturan dan regulasi formal, yang harus dinegosiasikan, disetujui, diadili, dan ditegakkan, terkadang dengan cara yang bersifat memaksa. Perlengkapan legal ini, yang berfungsi sebagai pengganti kepercayaan, menimbulkan apa yang oleh para ekonom sebut sebagai 'transaction costs' [biaya-biaya transaksi]. Dengan kata lain, ketidakpercayaan yang meluas dalam suatu masyarakat, membebankan semacam pajak pada seluruh bentuk aktivitas perekonomian, pajak yang tak perlu dibayar oleh masyarakat dengan kepercayaan tinggi.

Menurut Covey, kepercayaan mendasari dan mempengaruhi kualitas setiap hubungan, setiap komunikasi, setiap proyek kerja, setiap usaha bisnis, setiap upaya yang kita lakukan. Ia mengubah kualitas setiap momen saat ini dan mengubah lintasan serta hasil setiap momen masa depan dalam hidup kita—baik secara pribadi maupun profesional.
Bertentangan dengan apa yang diyakini kebanyakan orang, kepercayaan bukanlah kualitas lampas dan khayali yang engkau miliki atau tidak; sebaliknya, kepercayaan merupakan aset pragmatis, nyata, dan dapat ditindaklanjuti, yang dapat engkau bangun—jauh lebih cepat dari yang mungkin engkau bayangkan.
Meskipun skandal perusahaan, ancaman teroris, politik jabatan, dan rusaknya hubungan telah memunculkan rendahnya kepercayaan di hampir segala aspek, bahwa kemampuan membangun, menumbuhkan, memperluas, dan memulihkan kepercayaan, tak hanya penting bagi well-being pribadi dan interpersonal kita; ia adalah kompetensi kepemimpinan utama dalam perekonomian global yang baru.

So what is trust? Sederhananya, kepercayaan bermakna keyakinan diri. Lawan dari kepercayaan—ketidakpercayaan—adalah kecurigaan. Dikau mengenalinya saat dirimu merasakannya. Saat engkau mempercayai orang lain, dirimu berkeyakinan pada mereka—pada integritas dan kemampuan mereka. Manakala engkau tak mempercayai orang lain, dirimu curiga terhadap mereka—terhadap integritas, agenda, kemampuan, atau rekam jejak mereka. Simpel kaan.
​Perbedaan antara hubungan dengan tingkat kepercayaan tinggi dan rendah, amatlah gamblang! Ambil contoh, komunikasi. Pada jalinan dengan kepercayaan tinggi, dirimu dapat keseleo lidah, tapi orang lain akan tetap memahami maksudmu. Pada hubungan dengan tingkat kepercayaan yang rendah, kendati engkau mungkin ngomong dengan sangat terukur, bahkan cermat, namun mereka masih saja, gagal paham padamu.
Kebanyakan kita, cenderung memikirkan kepercayaan dalam kaitannya dengan karakter—menjadi orang yang baik atau tulus atau beretika atau berintegritas. Dan karakter sangatlah mendasar dan penting. Namun anggapan bahwa kepercayaan semata didasarkan pada karakter, hanyalah sebuah mitos. Kepercayaan itu, fungsi dari dua hal: karakter dan kompetensi. Karakter mencakup integritasmu, motifmu, niatmu terhadap orang lain. Kompetensi mencakup kemampuanmu, keterampilanmu, hasilmu, rekam jejakmu. Keduanya penting.
Dengan meningkatnya fokus pada etika dalam masyarakat kita, sisi karakter dari kepercayaan dengan cepat menjadi harga tiket masuk dalam perekonomian global yang baru. Namun, sisi kepercayaan yang membedakan dan sering diabaikan, yakni kompetensi, sama pentingnya. Dirimu mungkin menganggap seseorang itu tulus, bahkan jujur, namun dikau takkan mempercayai orang tersebut sepenuhnya, jika ia tak sukses. Dan yang terjadi, justru sebaliknya. Boleh jadi, seseorang punya keterampilan dan bakat hebat, serta rekam jejak yang baik, namun jika ia tak jujur, dirimu takkan mempercayainya.

Walau mungkin lebih wajar bagi kita, memikirkan kepercayaan dalam kaitannya dengan karakter, sama pentingnya bagi kita belajar berpikir dalam kaitannya dengan kompetensi. Coba pikirkan—masyarakat mempercayai orang yang membuat sesuatu terjadi. Mereka memberikan kurikulum baru kepada instrukturnya yang paling kompeten. Mereka memberikan proyek atau prospek penjualan yang menjanjikan kepada mereka yang telah berhasil melakukannya di masa lalu. Mengenali peran kompetensi, membantu kita mengidentifikasi dan menjelaskan masalah kepercayaan mendasar, yang tak dapat kita tangani. Dari sudut pandang pemimpin lini, dimensi kompetensi menyempurnakan dan membantu memberikan kepercayaan pada sisi yang lebih tegas dan pragmatis.
Berikut cara lain melihatnya: Meningkatnya kepedulian terhadap etika berdampak baik bagi masyarakat kita. Etika (yang merupakan bagian dari karakter) adalah dasar dari kepercayaan, namun, itu saja tak cukup. Dirimu tak bisa punya kepercayaan, tanpa etika, namun dikau dapat beretika tanpa kepercayaan. Kepercayaan, yang mencakup etika, merupakan gagasan yang lebih besar. Sekali lagi, karakter dan kompetensi sama-sama diperlukan. Karakter itu, sesuatu yang konstan; ia penting bagi kepercayaan dalam keadaan apa pun. Kompetensi bersifat situasional; ia tergantung pada apa yang dibutuhkan oleh keadaan.
Setelah engkau menyadari bahwa karakter dan kompetensi sangat penting bagi kepercayaan, dirimu dapat melihat bagaimana kombinasi kedua dimensi ini, tercermin dalam pendekatan pemimpin dan pengamat yang efektif di mana pun. Orang mungkin menggunakan kata-kata yang berbeda untuk mengungkapkan gagasannya, namun jika engkau mengikis kata-kata tersebut hingga sampai ke intisarinya, yang muncul adalah keseimbangan antara karakter dan kompetensi. Kepercayaan merupakan karakter dan kompetensi yang setara. Keduanya mutlak diperlukan. Dari ruang keluarga hingga ruang rapat, engkau dapat melihat kegagalan kepemimpinan apa pun, dan kegagalan tersebut selalu salah satunya dari karakter atau kompetensi.

Bagi seseorang, lebih baik menjadi orang baik daripada menjadi orang jahat—lebih baik menjadi orang yang amanah daripada tidak, kata Linda K. Stroh. Ada sisi terbalik dari rumus persamaan orang baik-orang jahat. Jika jalinan-hubungan tak memenuhi standar amanah, kita dapat menderita dampak negatif dari bekerja, menetap bersama-sama, atau berbagi waktu dengan orang yang tak dapat kita percayai.
Dalam istilah ekonomi, kerugian akibat ketidakpercayaan—yaitu waktu, uang, energi mental, serta kesehatan fisik dan emosional yang terbuang sia-sia—sangat besar. Alih-alih menikmati hidup, kita fokus melindungi diri dari pengaruh negatif—orang jahat—yang mungkin ngibul atau berbuat curang demi mendapatkan sesuatu yang sebenarnya milik kita: sumber daya, uang, waktu, persahabatan, atau, yang teramat penting, ketenangan pikiran.
Kepercayaan itu laksana air, udara, dan listrik, sesuatu yang kita remehkan; jika kita kehilangannya—bagaikan kehilangan listrik atau air—kita menyadari betapa pentingnya ia bagi kehidupan kita. Kita boleh hidup tanpanya, tapi terasa kurang menyenangkan. Segala sesuatu yang harus kita lakukan, jadi lebih lama, dan kita harus belajar bagaimana hidup dan/atau bekerja, mulai dari awal lagi. Kepercayaan merupakan fondasi dari segala hubungan antarmanusia yang berhasil. Disaat kepercayaan ada, hubungan profesional dan pribadi berkembang. Tatkala kepercayaan tercederai, jalinan-hubungan akan terputus.
Kepercayaan itu, kerelaan menjadi rentan—bersedia mengambil risiko agar seseorang tak merugikan kita, Stroh menambahkan. Disaat kita menaruh kepercayaan pada orang lain, kita membiarkan diri kita menjadi rentan, lantaran kita berekspektasi positif terhadap perilaku orang lain.
Tak semata ada harapan bahwa orang-orang yang kita percayai takkan menyakiti kita, bahkan dikala kita tak hadir memantau perilaku mereka, namun kita juga berasumsi bahwa mereka akan membantu kita, walaupun manakala kita tak hadir mengingatkan mereka. Harapannya ialah, pihak yang dipercaya akan berupaya melindungi—dan bahkan memajukan—kepentingan kita, atau, paling tidak, tak beraktivitas yang akan merugikan kita dengan cara apa pun. Kita cenderung berpikir bahwa orang kepercayaan kita akan benar-benar memajukan tujuan kita, kendati kita tak berada di hadapan mereka. Mereka akan menyebut kita secara positif kepada orang lain, merekomendasikan kita pekerjaan, atau memberitahukan kira, dimana membeli sepasang sepatu.

Kepercayaan lebih dari sekedar naluri, kata Stroh. Memahami konsep amanah, mungkin tampak jelas dan sederhana—tetapi sebenarnya tidak! Kepercayaan itu rumit. Banyak orang mengklaim bahwa mereka punya naluri yang kuat tentang siapa yang dapat dan tak dapat mereka percayai, hampir merupakan keyakinan bahwa mereka dapat merasakan siapa yang dapat diberi mandat dan siapa yang tidak. Apa yang disebut sebagian orang sebagai naluri, sebenarnya merupakan produk pengalaman hidup yang dipadukan dengan observasi reflektif—dengan kata lain, pembelajaran berdasarkan pengalaman. Naluri [atau insting, menurut KBBI. Terdapat perbedaan antara naluri dan firasat; naluri adalah dorongan hati atau nafsu yang dibawa sejak lahir; pembawaan alami yang tak disadari mendorong untuk berbuat sesuatu. Firasat merupakan keadaan yang dirasakan (diketahui) akan terjadi sesudah melihat gelagat; kecakapan mengetahui (memprediksi) sesuatu dengan melihat keadaan (muka dan sebagainya). Dalam perspektif Islam, firasat atau firasah diasah dan dipertajam dengan memperluas wawasan berbasiskan ilmu, terutama dalam nilai-nilai ilmu agama kemudian ditambah dengan nilai-nilai ilmu lainnya. Tanpa ilmu, manusia mengandalkan naluri atau insting atau intuisi belaka] pada manusia, tak seperti naluri pada spesies lain, sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal—pendidikan kita, lingkaran dalam teman, keluarga, tetangga, lingkungan sekitar, dan segala sesuatu yang menyentuh kehidupan kita—yang dianggap bersih.
Naluri atau intuisi [daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari] dapat dengan mudah menjadi dasar stereotip. Contohnya, beberapa orang mungkin punya intuisi (yang kemudian berkembang menjadi stereotip) bahwa kaum perempuan tak memiliki stamina fisik dan disiplin mental yang diperlukan memimpin negara. Orang lain mungkin keliru mempercayai bahwa kebanyakan orang dapat dipercaya dalam pekerjaan dan kehidupan. Dalam bentuknya yang paling murni, naluri itu bermanfaat. Namun, naluri kita bisa menjadi cacat seiring berjalannya waktu, sebagaimana tercermin dari banyaknya orang yang terluka, terkejut, terperangah, atau kecewa, manakala mereka dikhianati oleh seseorang yang mereka percayai. Insting saja, amat jarang dapat memprediksi sifat amanah.

Kepercayaan diakui secara luas sebagai hal yang penting, menurut Cam Caldwell, dalam hubungan kerjasama dan merupakan variabel kunci dalam pencapaian organisasi. Kepercayaan mengintegrasikan keyakinan, sikap, serta niat individu, dan pada akhirnya terwujud sebagai perilaku. Kepercayaan pada akhirnya, merupakan penyerahan kendali pribadi kepada orang lain dengan harapan bahwa pihak lain akan menghormati kewajiban yang dianggap terutang.
Pemimpin beroleh kepercayaan dari orang-orang yang mereka layani dengan dianggap amanah, dan tingkat kepercayaan tersebut membangun respons subjektif, yang mencerminkan komitmen atau kepatuhan individu yang melihatnya. Kepercayaan, sebagaimana keyakinan beragama, memerlukan kemauan bertindak, yang pada akhirnya harus dilaksanakan agar efektif secara optimal dalam kehidupan pribadi, jalinan-hubungan, dan organisasi. Bukan rahasia lagi bahwa para pemimpin dan organisasi telah berjuang sepanjang waktu agar memperoleh kepercayaan dari orang lain–baik 'orang lain' tersebut pelanggan, kolega, atau karyawan. Memimpin itu sulit. Ia membutuhkan keseimbangan dan kemampuan memahami apa yang perlu dilakukan dan cara terefektif mempertahankan hubungan kolaboratif guna membangun komitmen dan kepercayaan satuan-kerja. Kegagalan kepemimpinan adalah hal biasa. Pemimpin yang sukses dan efektif amat dihargai.
Disaat para pengikut mempercayai seorang pemimpin, hubungan mereka tak semata mencerminkan perbedaan dalam pola pikir mental dan perasaan emosional para pengikut, melainkan pula dalam perilaku pengikut. Para pemimpin yang bijak, menyadari pentingnya membangun budaya organisasi dengan kepercayaan tinggi guna melahirkan respons-respons ini. Bukti empiris secara konsisten menegaskan bahwa organisasi dengan kepercayaan tinggi, lebih menguntungkan, lebih efektif dalam menjalin hubungan dengan pihak lain, dan lebih inovatif.
Kepercayaan sangatlah penting dalam hubungan pemimpin-pengikut, memahami sifat amanah, atau penting pula, apa yang diperlukan agar seorang pemimpin dianggap 'layak' diberi mandat. Pemimpin yang berkemampuan menerima mandat, membedakan dirinya dari calon pemimpin yang berjuang mendapatkan rasa hormat dan komitmen, yang diperlukan agar berhasil dalam dunia yang sulit saat ini.

Sifat amanah mencerminkan persepsi subyektif orang yang mempercayai perilaku, reputasi, dan/atau komitmen pemimpin dalam beberapa cara yang sangat spesifik. Kepercayaan pada tingkat individu dan organisasi terdiri dari lima faktor.
Kemampuan atau Kompetensi–Pemimpin yang amanah menunjukkan pemahaman mendalam tentang kebutuhan pelanggan mereka, sifat industri mereka, konteks perekonomian, dan sistem yang diperlukan untuk memproduksi dan mengirimkan produk dan layanan di pasar. Standar keunggulan ini memerlukan pemahaman tentang 'pengetahuan mendalam' yang jarang dimiliki orang lain.
Integritas atau Karakter–Ketika pemimpin menepati komitmennya, mengatakan kebenaran dan menghormati hubungan, mereka mendapatkan rasa hormat dari orang lain. Integritas dan karakter merupakan atribut pribadi yang sangat diinginkan seorang pemimpin.
Kedermawanan atau Kepedulian–Komitmen pemimpin terhadap kesejahteraan, pertumbuhan, dan keutuhan orang lain, ditunjukkan dengan memperlakukan orang lain dengan baik, santun, dan hormat. Pemimpin menghasilkan kepercayaan dengan menilai orang lain sebagai tujuan penting, bukan sebagai alat untuk mencapai agenda kepemimpinan. Kebajikan, perilaku, mencerminkan niat baik.
Eksekusi atau Kapasitas–Pemimpin menunjukkan kapasitas mengintegrasikan upaya organisasi agar membuahkan hasil. Eksekusi mengharuskan para pemimpin mencapai hasil dan perolehan yang diinginkan, dengan memahami bagaimana menerapkan rencana ke dalam tindakan. Meskipun kemampuan mengembangkan rencana aksi atau strategi yang jelas, penting bagi keberhasilan, namun pelaksanaan rencana yang efektif jauh lebih penting.
Keberimbangan atau Sempena Hati–Pemimpin yang memperlakukan orang lain dengan adil mengakui kewajiban moral mereka agar membuat pilihan yang melindungi hak-hak orang lain, memperlakukannya secara setara, dan mengakui kebutuhan masing-masing. Saat para pemimpin menjelaskan dalil keputusan yang mereka buat, mereka mengomunikasikan tanggungjawabnya atas dampak tindakannya. Sempena hati merupakan perasaan moral dalam diri seseorang, yang membimbing seseorang agar berperilaku bajik dan memperlakukan orang lain dengan wajar.

Para pemimpin melemahkan kepercayaan pengikutnya tatkala mereka dipandang bertindak dengan cara yang tak memiliki unsur-unsur yang amanah. Dengan demikian, kepercayaan akan hilang ketika pemimpin tak menunjukkan kompetensi pribadi, mencederai komitmen atau kewajiban, memperlakukan orang lain sebagai objek dan bukan individu, berkinerja buruk dalam memastikan bahwa organisasi mencapai tujuannya, atau melanggar standar perilaku etis yang diharapkan.

Mengenai implikasi Trust atau Kepercayaan terhadap Demokrasi dan Pemerintah, kita bincangkan dalam sesi selanjutnya yaq, bi 'idznillah."
Kutipan & Rujukan:
- Francis Fukuyama, Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, 1995, Free Press
- Stephen M.R. Covey & Rebecca R. Merril, The Speed of Trust: The One Thing That Changes Everything, 2006, Free Press
- Linda K. Stroh, Trust rules: How to Tell the Good Guys from the Bad Guys in Work and Life, 2007, Praeger
- Cam Caldwell, Leadership, Ethics, and Trust, 2018, Cambridge Scholars Publishing

Jumat, 23 Februari 2024

Cerita Daun Mapel: Election Fraud (4)

"Di hari anniversary perkawinan mereka yang ke-18, sepasang suami-istri merayakannya di sebuah restoran mewah.
Suami : 'Ma, kalau Papa marah sama Mama, kenapa sih Mama gak pernah ngelawan. Bagaimana cara Mama ngendaliin emosi?'
Istri: 'Mama bersihkan kamar-mandi.'
Suami: 'Ada manfaatnya?'
Istri: 'Iya, Mama ngebersihinnya pakai sikat-gigi Papa.'

“Setelah mencoblos di bilik suara, dan seusai memantau hasilnya di TPS, kita kemudian menyaksikan 'Quick Count' di Media. Jikalau daku bertanya 'Mengapa ada Quick Count?', dikau pastilah tahu jawabannya," berkata Mapel sembari memperhatikan area kecil dengan dinding di tiga sisinya.
"Kehendak rakyat sebuah negara—yang diwujudkan melalui pemilu yang jujur dan berkala—merupakan dasar kewenangan pemerintahan demokratis mana pun. Menurut Melissa Estok [dkk], hal ini diakui dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan setiap instrumen hak asasi manusia internasional utama yang menangani hak-hak sipil dan politik, sehingga membangun kewajiban perjanjian dan komitmen internasional terhadap prinsip ini. Prinsip ini diabadikan pula dalam konstitusi modern di seluruh dunia. Namun, realisasi dari ajaran demokrasi ini, acapkali sulit dipahami.
Banyak negara menyelenggarakan pemilu yang demokratis. Namun, mereka yang mengendalikan lembaga-lembaga dan sumber daya negara atau sarana suap dan intimidasi yang terorganisir, terlalu sering berupaya memanipulasi proses pemilu dengan tak memberikan hak kepada lawan untuk mencalonkan diri; menghalangi mereka mengorganisir diri berkampanye demi perolehan suara; membatasi akses terhadap media komunikasi massa; menghalangi para pemilih memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan agar membuat pilihan politik yang bebas; mengintimidasi para pemilih agar tak leluasa menentukan pilihan politiknya; dan memanipulasi batas-batas (daerah pemilihan) guna menguntungkan satu partai atau kandidat di daerah pemilihan agar menolak persamaan hak pilih. Ketika taktik ini nampak tak cukup untuk menjamin kemenangan, pelaku kecurangan seperti ini, sering berupaya memanipulasi proses hari pencoblosan dengan cara: memblokir akses ke TPS; menolak hak pemilih yang memenuhi syarat memberikan suara; mengatur pemungutan suara ilegal yang menguntungkan mereka; mengisi kotak suara; memanipulasi penghitungan suara; mencurangi tabulasi suara; mengumumkan hasil yang curang; dan menghalangi upaya hukum yang layak. Kekerasan dan pembalasan politik terkadang juga terjadi setelah pemilu. Perkembangan seperti ini, mengingkari mandat demokrasi pemerintah dan memicu ketidakstabilan politik.

Tak setiap pemilu memerlukan quick count, tulis Estok, setidaknya, tidak dalam bentuk yang terkomprehensif. Selain itu, quick count hanya berbicara tentang proses pada hari pencoblosan dan tak menjelaskan apa pun tentang apakah perkembangan sebelum pemilu atau pasca pemilu mendukung atau meniadakan sifat demokratis pemilu.
Kebanyakan penghitungan cepat tak melibatkan pengumpulan informasi dari setiap TPS; sebaliknya, data dikumpulkan dari sampel statistik acak di TPS. Hal ini memungkinkan kelompok pemantau agar dengan cepat mengumpulkan dan melaporkan data yang dapat diandalkan dan akurat dengan margin error yang sangat kecil.
Catatan penting yang perlu diwaspadai hendaknya ditekankan. Jika proses tersebut dimanipulasi sebelum tabulasi suara, verifikasi keakuratan penghitungan suara, akan melegitimasi kecurangan yang mendasarinya. Misalnya, penimbunan kotak suara secara besar-besaran pada pemilihan presiden di Nigeria tahun 1999, atau kemungkinan adanya kesalahan penyajian suara ketika para pejabat memanggil dan mencatatnya pada pemilihan presiden Belarus tahun 2001, takkan tercermin dalam tabulasi hasil yang dicatat dari TPS. Karenanya, quick count hendaknya mengkaji pula aspek kualitatif dalam proses pemungutan dan penghitungan suara.
Selain itu, mengingat sifat perhitungan cepat yang sangat ketat dan besarnya risiko yang dihadapi, maka yang terbaik ialah tak melakukan quick count kecuali organisasi tersebut yakin dan sangat percaya bahwa mereka dapat melaksanakannya dengan berjaya. Di banyak negara, telah diputuskan dengan bijaksana agar tak melakukan quick count oleh dalil-dalil ini, dan dalam beberapa kasus, organisasi pemantau pemilu telah memutuskan menjelang akhir periode pra-pemilu agar tak berupaya membuat proyeksi numerik, kendati mereka berharap melakukan quick count dengan lengkap. Quick count bersifat netral secara politik—tapi pihak yang melakukan penghitungan cepat, hendaklah mempertimbangkan dengan cermat, lingkungan politik. Konteks politik lokal memfasilitasi atau menghambat persiapan hitung cepat dan pertimbangan politik seyogyanya ikut berperan, sehingga ketidakberpihakan dan keakuratan hitung cepat, tak perlu dipertanyakan lagi.

Sebuah Quick Count (Hitung Cepat), menurut Estok, adalah proses pengumpulan informasi yang dikumpulkan oleh ratusan, atau ribuan relawan. Segala informasi atau data, berasal dari pengamatan langsung terhadap proses pemilu. Para pemantau mengawasi otoritas pemilu saat mereka mengatur proses pemungutan suara dan menghitung surat suara. Mereka mencatat informasi, termasuk penghitungan suara sebenarnya, pada formulir standar dan mengkomunikasikan temuan mereka ke pusat pengumpulan suara.
Quick count tak sama dengan riset opini politik atau exit poll. Penghitungan cepat tak bergantung pada pertanyaan kepada pemilih, atau siapa pun, bagaimana mereka dapat memilih atau mengharuskan pemilih mengungkapkan cara mereka memilih. Tak ada pendapat yang diungkapkan dan tak ada yang diminta dari siapa pun.
Kebanyakan quick count mempunyai dua komponen: pemeriksaan independen terhadap total suara resmi; dan analisis sistematis terhadap aspek kualitatif proses pemilu. Penghitungan cepat digunakan memantau perolehan suara sebagai penerapan aritmatika yang cukup mudah.

Sejarah hitung cepat dapat ditelusuri kembali ke penyelenggara NAMFREL, yang dikenal luas sebagai pionir hitung cepat di negara-negara demokrasi baru. Bertahun-tahun sejak pengalaman pertama mereka, penghitungan cepat telah berkembang, telah diuji secara menyeluruh dan kini menjadi praktik terbaik bagi masyarakat sipil guna mengawasi proses pemungutan dan tabulasi suara.
Pada pemilu Filipina tahun 1986, hasil yang dilaporkan oleh Presiden Filipina Ferdinand Marcos pada tahun 1984, dipandang dengan rasa tak percaya yang besar. Ketika Marcos menyerukan pemilihan Presiden serentak pada tahun 1986, National Citizens Movement for Free Elections (NAMFREL) memprakarsai 'Operation Quick Count' sebagai upaya komprehensif agar mencerminkan penghitungan resmi di seluruh 90.000 TPS. Tak seperti kebanyakan penghitungan cepat berikutnya, yang mengumpulkan informasi dari sampel statistik acak di TPS, NAMFREL melakukan tugas luar biasa dalam mengumpulkan data di sebagian besar TPS. Organisasi ini, berperan penting dalam membantu mengungkap kecurangan penghitungan suara besar-besaran yang dilakukan oleh pendukung Marcos.

Penghitungan cepat yang berhasil dimulai dengan pemahaman yang jelas dan pernyataan mengenai tujuan proyek. Dalil paling mendasar dilakukannya quick count ialah mencegah terjadinya kecurangan. Penghitungan cepat yang dipublikasikan secara luas dan dilaksanakan oleh organisasi atau partai politik yang kredibel, dapat menghalangi atau menggagalkan penghitungan suara yang curang.
Agar memenuhi fungsi pencegahan tersebut, quick count hendaknya dipublikasikan dengan baik dan dilakukan secara transparan. Proyek ini seyogyanya digalakkan guna meningkatkan kesadaran bahwa pelanggaran pemilu bakal terdeteksi. Metodologi proyek hendaknya dipahami dan diyakini. Rencana harus dipublikasikan dan terbuka guna pengawasan dan perdebatan, dan materi tertulis seperti manual dan formulir pelatihan pengamat harus didistribusikan. Sebagai contoh: Chile, 1988. Dalam jajak pendapat yang menentukan apakah akan melanjutkan kepresidenan Jenderal Pinochet,Committee for Free Elections (CEL) menggunakan penghitungan cepat berbasis statistik untuk memperkirakan hasil dari 22.000 TPS di Chile. Berdasarkan sampel 10 persen tempat pemungutan suara, CEL secara akurat memperkirakan kemenangan pasukan anti-Pinochet. Penghitungan cepat menghasilkan pernyataan dari salah satu anggota junta yang berkuasa, yang mengakui kekalahan. Para ahli berspekulasi bahwa kemungkinan besar rezim Pinochet akan memanipulasi penghitungan suara dengan menyatakan kemenangan jika tak ada verifikasi independen terhadap penghitungan tersebut.
Apabila penghitungan cepat tak mampu mencegah terjadinya kecurangan, maka data yang diperoleh minimal dapat mendeteksi adanya kecurangan dalam penghitungan suara. Seringkali, kecurangan terungkap ketika hasil proses tabulasi resmi berbeda dengan hasil penghitungan cepat atau perkiraan statistik. Contoh, di Panama, 1989, ketika Presiden Panama Manuel Noriega menyadari bahwa wakilnya dalam pemilihan presiden kalah dalam perolehan suara, pemerintah menunda tabulasi hasil di tingkat regional dan berusaha mengumumkan hasil yang curang. Sebuah organisasi Gereja Katolik, Archdiocese Commission for the Coordination of Laity (pendahulu Commission for Justice and Peace), menggunakan penghitungan cepat (didukung dengan penghitungan komprehensif yang dilakukan oleh oposisi politik) untuk memperkirakan hasil pemungutan surat suara telah dihitung dengan benar dan lengkap. Hasil independen ini, menunjukkan bahwa calon Noriega justru kalah dalam pemilu, yang merupakan faktor utama melemahnya rezim Noriega.

Di negara demokrasi transisi, penghitungan suara resmi seringkali memerlukan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, guna diumumkan kepada publik. Keterlambatan waktu yang lama antara selesainya pemungutan suara dan pengumuman hasil resmi, dapat menimbulkan ketidakpastian iklim politik atau kekosongan politik yang mengancam stabilitas. Penghitungan cepat yang akurat dan kredibel dapat memperkirakan hasil pemilu secara tepat waktu, membantu mengurangi ketegangan pasca pemilu, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap hasil pemilu. Contoh: Indonesia, 1999. Dalam pemilu pertama yang benar-benar bebas dalam sejarah Indonesia, penghitungan cepat yang dilakukan Forum Rektor Indonesia terbukti krusial. Geografi fisik Indonesia yang buruk dan terbatasnya infrastruktur pedesaan mengakibatkan hampir runtuhnya mekanisme penghitungan suara pemerintah. Satu-satunya hasil pemilu yang kredibel yang tersedia selama beberapa minggu adalah hasil penghitungan cepat Forum Rektor.

Sebagian besar tantangan terhadap proses pemilu didasarkan pada anekdot. Misalnya, sebuah partai mungkin menuduh bahwa pendukungnya terhalang memberikan suara; dalam kasus lain suatu partai dapat menghadirkan saksi yang menyatakan bahwa mereka dibayar untuk memilih calon tertentu. Tanpa dokumentasi dan analisis dampak permasalahan seperti ini, sangat sulit untuk mendapatkan perbaikan.
Penghitungan cepat dirancang untuk mengumpulkan informasi yang sistematis dan dapat diandalkan mengenai aspek kualitatif dari proses tersebut. Partai politik oposisi dan pemantau independen seharusnya dapat mengandalkan metode statistik yang digunakan oleh penghitungan cepat untuk memberikan bukti yang dapat dipercaya dan valid mengenai proses pemungutan suara dan penghitungan suara.

Penyelenggara quick count mengerahkan ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu warga. Seringkali mereka adalah individu-individu yang tak tertarik berpartisipasi dalam politik partisan namun tetap ingin secara aktif mendukung pengembangan sistem politik demokratis. Mereka berperan sebagai pelatih hitung cepat, pengamat, pengolah data, dan peran pendukung lainnya. Mereka menjadi sangat berpengalaman dalam proses pemilu di negara tersebut dan seringkali tetap turut dalam proyek serupa setelah pemilu.

Quick count dapat menjadi landasan bagi kelompok-kelompok sponsor untuk melakukan kegiatan pembangunan demokrasi di luar pemilu. Keberhasilan penghitungan cepat menjadi preseden bagi warga negara yang mempengaruhi proses politik. Organisasi masyarakat sipil muncul dari pengalaman penghitungan cepat yang bereputasi jujur dan efektif, dan masyarakat menginginkan dan mengharapkan mereka agar melanjutkan pekerjaan serupa. Organisasi-organisasi ini, diperlengkapi untuk melakukan hal tersebut karena pengorganisasian penghitungan cepat membangun keterampilan yang dapat digunakan dalam berbagai macam kegiatan. Faktanya, banyak organisasi yang proyek pertamanya penghitungan cepat, kemudian mengambil program mendorong akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan, untuk mendidik masyarakat tentang prinsip-prinsip latarbelakang dan mekanisme demokrasi, dan mendukung reformasi demokrasi atau reformasi kebijakan tertentu.

Walau penghitungan cepat mungkin merupakan taktik yang penting, metodologi ini bukanlah pengganti pemantauan pemilu yang lebih komprehensif. Penghitungan cepat merupakan salah satu dari banyak alat yang tersedia bagi pemantau pemilu. Berdasarkan definisinya, penghitungan cepat berfokus pada tugas memverifikasi bahwa surat suara yang masuk ke kotak suara telah dihitung secara akurat pada tahap pertama dan bahwa suara tersebut tetap menjadi bagian dari penghitungan akhir pemilu. Jika surat suara dimasukkan ke dalam kotak suara secara tidak sah, penghitungan cepat akan menghitungnya dengan pasti sebagai suara yang sah (kecuali jika terdeteksi ada pengisian kotak suara.) Jika suara pemilih telah terbeli, penghitungan cepat akan menghitungnya sama seperti penghitungan suara lainnya. Jika para pemilih diintimidasi agar tak hadir di tempat pemungutan suara atau mendukung suatu partai atau kandidat, penghitungan cepat takkan melaporkan masalah tersebut. Lantaran itulah, penghitungan cepat tak dapat menggantikan aspek lain yang lebih kualitatif dalam pemantauan pemilu.

Penghitungan cepat dapat memproyeksikan atau memverifikasi hasil resmi, mendeteksi dan melaporkan ketidakberesan, atau mengungkap kecurangan. Pada sebagian besar kasus, penghitungan cepat membangun kepercayaan terhadap kinerja petugas pemilu dan legitimasi proses pemilu.
Meskipun hampir setiap negara di dunia menyelenggarakan pemilu multipartai, pemilu ini acapkali sangat tidak adil. Bagi pemerintah, pelanggaran pemilu merupakan praktik yang menggiurkan namun juga berisiko, sebab sangat jelas merupakan pelanggaran terhadap standar internasional bagi pemilu yang bebas dan adil.
Masyarakat demokratis yang efektif, bergantung pada kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya. Pembayaran pajak, penerimaan keputusan legislatif dan yudisial, kepatuhan terhadap program pelayanan sosial, dan dukungan terhadap tujuan militer hanyalah beberapa contoh perlunya kerjasama publik dalam memenuhi tuntutan negara. Pada saat yang sama, pemilih mengharapkan pejabatnya berperilaku etis dan bertanggungjawab.

Rezim kita demokratis, namun kita tak diperintah secara demokratis. Paradoks yang tampak ini, menurut Pierre Rosanvallon, akar dari kekecewaan dan kecemasan yang dirasakan secara luas saat ini. Rezim kita bersifat demokratis dalam makna bahwa kekuasaan berasal dari kotak suara pada akhir kompetisi terbuka, dan bahwa kita hidup dalam negara yang sah, yang mengakui dan melindungi kebebasan individu. Memang benar, demokrasi belum sepenuhnya tercapai. Masyarakat seringkali merasa ditinggalkan oleh wakil-wakil mereka yang terpilih; setelah kampanye berakhir, mereka menyadari bahwa mereka sudah tak lagi lebih berdaulat dibanding sebelumnya. Namun kenyataan ini, tak boleh dibiarkan menutupi fenomena umum lainnya: pemerintahan yang buruk. Walau hal ini masih kurang dipahami, tiada yang meragukan kekuatannya dalam mengikis fondasi masyarakat kita.
Kehidupan politik diatur di sekitar lembaga-lembaga yang, secara bersama-sama, menentukan suatu jenis rezim. Namun hal ini juga terikat dengan tindakan pemerintah, yaitu dengan pengelolaan urusan negara sehari-hari, kewenangan memutuskan dan memerintah. Di sinilah kekuasaan—yang dalam istilah konstitusional berarti kekuasaan eksekutif—dilaksanakan. Politik mempengaruhi masyarakat secara langsung, setiap hari dalam kehidupan mereka. Demikian pula, pusat gravitasi politik dalam masyarakat demokratis telah mengalami pergeseran: sampai saat ini, pusat gravitasi tersebut terletak pada hubungan antara perwakilan dan mereka yang diwakili; sekarang yang penting adalah hubungan antara yang mengatur dan mereka yang mengatur. Namun, pergeseran ini tak berarti perpisahan total dengan masa lalu. Persoalan keterwakilan terus mendapat tempat penting dalam diskusi publik; memang, kita selalu diberitahu bahwa ada 'krisis keterwakilan' saat ini. Kegagalan utama demokrasi dalam benak banyak orang adalah suara mereka tak didengar. Mereka melihat para pemimpinnya mengambil keputusan tanpa konsultasi, tak bertanggungjawab atas tindakan mereka, berbohong tanpa mendapat hukuman, hidup berbual—singkatnya, pemerintahan yang terisolasi dari dunia, sebuah sistem yang cara kerjanya tak jelas.
Politik tak pernah dipikirkan seperti ini. Demokrasi secara tradisional dipahami sebagai semacam rezim, jarang sekali dipahami sebagai cara pemerintahan yang spesifik. Fakta bahwa, secara historis, kata 'rezim' dan 'pemerintah' digunakan kurang lebih secara sinonim adalah buktinya. Kepercayaan dan pemerintah, sepertinya bertolakbelakang.

Di episode berikutnya, kita akan lanjut membahas tentang 'Kepercayaan', bi 'idznillah."

Dan sebelum masuk ke dalam fragmen selanjutnya, Mapel pun berdendang,

Is there anybody out there?
[Adakah orang di sana?]
Is there anybody left who cares?
[Masih adakah yang peduli?]
All I wanna do is dance
[Yang ingin kulakukan hanyalah berdansa]
Here in Wonderland *)
[Di sini, di Negeri Ajaib]
​Kutipan & Rujukan:
- Melissa Estok, Neil Nevitte & Glenn Cowan, The Quick Count and Election Observation: An NDI Handbook for Civic Organizations and Political Parties, 2002, National Democratic Institute for International Affair
- Pierre Rosanvallon, Good Government: Democracy Beyond Elections, Translated by Malcolm DeBevoise, 2018, Harvard University Press
*) "Wonderland" karya Roxanne Emery, Sean Mcdonagh, Daniel Oestergaard & Dom Liu