"Seorang reporter berita sedang meliput sebuah kecelakaan helikopter. Ia lalu mewawancarai salah seorang regu penyelamat.Reporter: 'Apakah pilotnya selamat?'Penyelamat: 'Ya, pilotnya selamat.'Reporter: 'Apa penyebab kecelakaannya?'Penyelamat: 'Kata pilotnya, doi kedinginan, trus baling-balingnya dimatiin.'""Ketika Paul Samuelson membicarakan masalah kelangkaan, itu sebagai aktivitas kemanusiaan. Ketika hak angket ramai dibicarakan, maka beras nampak menjadi suatu kelangkaan," berkata Mapel seraya memperhatikan potret Lionel Robbins dan Thomas Robert Malthus.“Kemiskinan hampir identik dengan kelaparan, setidaknya itulah yang ada dalam benak kita. Tiada satu peristiwa pun yang berdampak pada masyarakat miskin di dunia yang dapat menarik imajinasi publik dan mendorong kemurahan hati kolektif seperti halnya kelaparan di Etiopia pada awal tahun 1980-an dan menghasilkan konser 'We Are the World' pada bulan Maret 1985 oleh supergrup USA for Africa, karya Michael Jackson dan Lionel Richie.Sebagaimana didefinisikan dalam the UN’s first Millennium Development Goal (MDG), 'Orang 'miskin' pada dasarnya seseorang yang tak punya cukup makanan.' Pengiriman bantuan pangan dalam skala besar merupakan mimpi buruk logistik. Jika pemerintah tetap memaksakan kebijakan tersebut walau terdapat limbah, itu bukanlah semata karena kelaparan dan kemiskinan diasumsikan berjalan seiring: Ketidakmampuan masyarakat miskin mendapatkan makanan yang layak juga merupakan salah satu akar penyebab jebakan kemiskinan yang paling sering disebutkan. Intuisinya sangat kuat: Masyarakat miskin tak mampu makan cukup; keadaan ini membuat mereka kurang produktif dan membuat mereka tetap miskin.Abhijit V. Banerjee dan Esther Duflo menceritakan kepada kita sebuah kisah tentang bagaimana jebakan kemiskinan bekerja: 'Pak Solhin, yang tinggal di sebuah desa kecil di Bandung, Indonesia. Orangtuanya, dulunya mempunyai sebidang tanah, namun mereka juga mempunyai tiga belas anak dan harus membangun begitu banyak rumah bagi mereka masing-masing dan keluarganya, sehingga tiada lagi tanah yang tersisa untuk bercocok tanam. Pak Solhin pernah bekerja sebagai buruh tani lepas, yang dibayar hingga 10.000 rupiah per hari ($2 USD PPP) untuk bekerja di ladang. Namun, kenaikan harga pupuk dan bahan bakar belakangan ini, telah memaksa petani berhemat. Menurut Pak Solhin, para petani setempat memutuskan tak memotong gajinya, melainkan berhenti mempekerjakan pekerja. Pak Solhin seringkali nganggur: Dalam dua bulan sebelum kami bertemu dengannya pada tahun 2008, ia belum mendapatkan satu hari pun pekerjaan di bidang pertanian. Kaum muda yang berada dalam keadaan ini, biasanya dapat memperoleh pekerjaan sebagai pekerja konstruksi. Namun, seperti yang dijelaskannya, ia terlalu lemah melakukan sebagian besar pekerjaan fisik, tak berpengalaman melakukan pekerjaan yang lebih terampil, dan pada usia empat puluh, terlalu tua bila ikut magang: tak ada yang mau mempekerjakannya.Akibatnya, keluarga Pak Solhin—ia dan istrinya, serta ketiga anaknya—terpaksa mengambil langkah drastis agar bertahan hidup. Istrinya berangkat ke Jakarta, sekitar 80 mil jauhnya, dan melalui seorang temannya, ia mendapatkan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga. Namun penghasilannya, tak cukup memberi makan anak-anaknya. Putra tertuanya, seorang murid yang baik, putus sekolah pada usia dua belas tahun dan mulai magang di sebuah lokasi konstruksi. Kedua anaknya yang masih kecil, ditinggal bersama kakek dan neneknya. Pak Solhin sendiri bertahan hidup dengan sekitar 4 kg beras bersubsidi dan dari ikan yang ia tangkap dari tepi danau (ia tak bisa berenang). Saudaranya memberinya makan sesekali. Seminggu sebelum terakhir kali kami berbicara dengannya, ia makan dua kali sehari selama empat hari, dan hanya satu kali makan untuk tiga hari lainnya.Pak Solhin sepertinya tak punya pilihan, dan ia dengan jelas menghubungkan masalahnya dengan makanan (atau, lebih tepatnya, kekurangan makanan). Ia berpendapat bahwa para petani pemilik tanah memutuskan memecat para pekerjanya ketimbang memotong upah lantara mereka mengira bahwa dengan pesatnya kenaikan harga pangan akhir-akhir ini, pemotongan upah akan membuat para pekerja kelaparan, sehingga membuat mereka tak berguna di lahan. Beginilah Pak Solhin menjelaskan pada dirinya sendiri fakta bahwa ia menganggur. Kendati ia jelas-jelas ingin bekerja, kekurangan makanan membuatnya lemah dan lesu, dan depresi melemahkan keinginannya melakukan sesuatu guna menyelesaikan masalahnya.Akan tetapi, gagasan mengenai jebakan kemiskinan berbasis nutrisi, yang dijelaskan oleh Pak Solhin kepada kita, sudah sangat kuno. Pernyataan formal pertamanya di bidang ekonomi dimulai pada tahun 1958. Idenya sederhana. Tubuh manusia memerlukan sejumlah kalori semata untuk bertahan hidup. Maka, ketika seseorang sangat miskin, semua makanan yang ia mampu beli hampir tak cukup memenuhi kebutuhan hidupnya dan mungkin mendapatkan penghasilan yang sedikit, yang awalnya digunakan membeli makanan tersebut. Inilah keadaan yang dialami Pak Solhin ketika kami bertemu dengannya: makanan yang didapatnya, hampir tak cukup menjadikannya kuat menangkap ikan dari tepi sungai.Ketika orang menjadi lebih kaya, mereka bisa membeli lebih banyak makanan. Setelah kebutuhan metabolisme dasar tubuh terpenuhi, seluruh makanan tambahan tersebut digunakan membangun kekuatan, sehingga memungkinkan manusia memproduksi lebih banyak makanan daripada yang mereka butuhkan agar tetap hidup.Mekanisme biologis sederhana ini, mambangun hubungan berbentuk kurva S antara pendapatan saat ini dan pendapatan di masa depan: Masyarakat sangat miskin memperoleh penghasilan kurang dari yang mereka perlukan agar dapat melakukan pekerjaan penting, namun mereka yang mempunyai cukup makanan dapat melakukan pekerjaan pertanian yang serius. Hal ini menciptakan jebakan kemiskinan: Yang miskin menjadi semakin miskin, yang kaya menjadi semakin kaya dan mendapatkan makanan yang lebih baik, dan menjadi lebih kuat dan bahkan semakin kaya, dan kesenjangan tersebut terus meningkat.Meskipun penjelasan logis Pak Solhin tentang bagaimana seseorang bisa terjebak dalam kelaparan sangat tepat, imbuh Banerjee dan Duflo, ada sesuatu yang agak meresahkan dalam narasinya. Kami bertemu dengannya bukan di Sudan yang dilanda perang atau di daerah yang dilanda banjir di Bangladesh, namun di sebuah desa di Jawa yang makmur, dimana, jelas terdapat banyak pangan yang tersedia, dan kebutuhan pokok tak membutuhkan biaya banyak. Ia tampak tak cukup makan ketika kami bertemu dengannya, tapi ia makan cukup agar bertahan hidup; mengapa tidak ada pihak yang membayar untuk memberinya nutrisi tambahan yang akan membuatnya produktif sebagai imbalan atas kerja sehari penuh? Secara lebih umum, walau jebakan kemiskinan berbasis kelaparan merupakan sebuah kemungkinan yang logis, seberapa relevankah hal ini dalam praktiknya bagi sebagian besar masyarakat miskin saat ini?Salah satu dalil mengapa jebakan kemiskinan tidak ada, adalah karena kebanyakan orang, punya cukup makanan. Setidaknya dalam hal ketersediaan pangan, saat ini kita hidup di dunia yang mampu memberi makan setiap orang yang hidup di planet ini. Kelaparan memang terjadi di dunia saat ini, namun hal ini hanya disebabkan oleh cara kita membagi makanan. Mungkin mereka benar-benar tak terlalu lapar, meski mengonsumsi lebih sedikit kalori. Bila hal ini terjadi, barangkali karena perbaikan air dan sanitasi, mereka mengeluarkan lebih sedikit kalori saat terkena diare dan penyakit lainnya. Atau mungkin rasa lapar mereka berkurang karena berkurangnya pekerjaan fisik yang berat—dengan tersedianya air minum di desa, kaum perempuan tak perlu membawa beban berat dari jarak jauh; perbaikan transportasi telah mengurangi kebutuhan berjalan kaki; bahkan di desa termiskin sekalipun, tepung kini digiling oleh penggilingan desa dengan menggunakan penggilingan bermotor, dan bukannya digiling oleh tangan-tangan kaum perempuan. Jadi bukan berarti kekurangan pangan tak bisa menjadi masalah atau tidak menjadi masalah dari waktu ke waktu, namun dunia yang kita tinggali saat ini sebagian besar terlalu kaya untuk menjadi bagian besar dari kisah krisis pangan.'Argumen ini mempertanyakan program 'makan siang gratis' yang diagendakan oleh pasangan calon yang diendors oleh petahana dalam pemilihan presiden 2024 di Indonesia. Selain jebakan kemiskinan dan masalah ketersediaan lapangan kerja, dalam penelitian Banerjee dan Duflo di Indonesia, ditemukan bahwa kesehatan tentunya berpotensi menjadi sumber sejumlah jebakan berbeda. Misalnya, pekerja yang tinggal di lingkungan yang tiak sehat mungkin melewatkan banyak hari kerja; anak-anak sering sakit dan tak dapat berprestasi di sekolah; ibu yang melahirkan mungkin punya bayi yang sakit-sakitan. Masing-masing saluran ini, berpotensi menjadi mekanisme mengubah kemalangan saat ini menjadi kemiskinan di masa depan. Program makan siang gratis bukanlah solusi, atau jangan-jangan hanya untuk membujuk rakyat, 'makan saja, dan biarkan kami mengambilalih apa yang kami idam-idamkan.'Dari akses terhadap lahan, melalui metode pertanian, pengolahan pangan, dan akhirnya, distribusi pangan, bayangkan dirimu dapat menentukan bagaimana keseluruhan sistem pangan dirancang. Bukankah itu dahsyat? Dan itulah yang dimaksud dengan kedaulatan pangan—yakni kemampuan fokus komunitasmu, masyarakat di wilayahmu atau di negaramu, memutuskan bagaimana sistem pangan bekerja. Jika perlu, beberapa permasalahan bahkan dapat diputuskan di tingkat internasional, namun tingkat lokallah yang teramat penting. Karena sebagian besar dari kita tinggal di negara demokratis, bagaimana mungkin kita tak berperan langsung dalam pengambilan keputusan terkait pangan? Hal ini karena di sebagian besar negara yang proses demokrasinya tak terlalu demokratis. Ada pemilu setiap 4 atau 5 tahun, kita nyoblos, and that's it. Demokrasi berakhir sementara, kita bisa pulang dan politisi akan mengurus sisanya.Namun kedaulatan pangan lebih dari sekedar pengambilan keputusan, kata Marcin Gerwin. Konsep kedaulatan pangan pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 oleh organisasi petani internasional, La Via Campesina. Menurut La Via Campesina, 'Kedaulatan pangan adalah hak masyarakat atas pangan sehat dan sesuai budaya yang dihasilkan melalui metode berkelanjutan dan hak mereka untuk menentukan sistem pangan dan pertanian mereka sendiri. Pengembangan model produksinya berkelanjutan, berskala kecil, yang memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Penempatan aspirasinya, kebutuhan dan penghidupan mereka yang memproduksi, mendistribusikan dan mengkonsumsi pangan sebagai inti dari sistem pangan dan kebijakan daripada tuntutan pasar dan perusahaan. Kedaulatan pangan mengutamakan produksi dan konsumsi pangan lokal. Ia memberi sebuah negara hak melindungi produsen lokalnya dari impor murah dan mengendalikan produksi. Ia memastikan bahwa hak menggunakan dan mengelola tanah, wilayah, air, benih, ternak dan keanekaragaman hayati, berada di tangan mereka yang memproduksi pangan dan bukan sektor korporasi.'Apa yang dicanangkan La Via Campesina merupakan visi pertanian dan ekonomi yang lebih luas, yang mencakup keadilan sosial, demokrasi nyata, dan kepedulian terhadap lingkungan.Reformasi manajemen dalam dua dekade terakhir berasumsi bahwa kinerja akan meningkat ketika (1) manajer punya tujuan yang jelas dan hasilnya ditakar berdasarkan tujuan tersebut, (2) manajer punya fleksibilitas dalam penggunaan sumber daya, (3) keputusan pemerintah berfokus pada keluaran dan hasil dibandingkan daripada masukan dan prosedur, dan (4) manajer bertanggungjawab atas penggunaan sumber daya dan mengejawantahkan hasilnya.Dalam hal pemilu, keempat tujuan tersebut dapat dicapai, namun hanya jika petugas pemilu telah memikirkan manajemen kinerja sejak awal. Dalam pemilu, petugas pemungutan suara hanya akan mampu melakukan tugasnya dengan baik jika prosedur dan prosesnya memungkinkan. Pemilu mempunyai tujuan yang jelas, kelompok pelanggan yang jelas, dan banyak peluang untuk pengumpulan dan perbaikan data. Dengan memiliki serangkaian data, di seluruh spektrum proses dan kegiatan terkait pemilu, petugas pemilu dapat berkomunikasi secara efektif tentang apa yang mereka lakukan, sumber daya apa yang mereka perlukan untuk menyelesaikan pekerjaan, dan bagaimana kebijakan dapat ditingkatkan agar aktivitas dan prosesnya berjalan dengan lebih baik.Kepresidenan merupakan simbol utama persatuan nasional kita. Pemilihan presiden (bersama alternatenya, wakil presiden) merupakan salah satu aksi politik yang kita lakukan bersama sebagai sebuah bangsa: nyoblos pada pemilu presiden tentunya merupakan pilihan politik yang amat penting bagi masyarakat. Sebuah pertanyaan penting yang perlu kita ajukan: Apakah pemilu telah diselenggarakan dengan integritas tinggi, bebas dari kecurangan?Landasan standar internasional adalah artikel 21(3) the Universal Declaration of Human Rights (1948). Menetapkan: 'Kehendak rakyat haruslah menjadi dasar wewenang pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang berkala dan jujur, yang dilakukan melalui hak pilih yang universal dan setara, serta dilaksanakan melalui pemungutan suara rahasia atau melalui prosedur bebas memilih yang setara.Kesepakatan mengenai prinsip-prinsip yang mengatur penyelenggaraan pemilu selanjutnya dijabarkan dalam artikel 25 the UN International Covenant for Civil and Political Rights (ICCPR tahun 1966), yaitu perlunya: Pemilu yang rutin dan berkala; Hak pilih universal, yang mencakup seluruh sektor masyarakat; Hak pilih yang setara, dalam gagasan satu orang, satu suara; Hak mencalonkan diri dalam jabatan publik dan ikut serta dalam pemilu; Hak seluruh pemilih yang memenuhi syarat memilih; Penggunaan proses pemungutan suara secara rahasia; Pemilu yang benar; dan bahwa Pemilu harus mencerminkan kebebasan berekspresi atas keinginan masyarakat.Menurut Pippa Norris, boleh jadi, pemilu gagal mencapai tujuannya. Berbagai jenis undang-undang dan ketidakmampuannya, melemahkan pemilu. Dalam beberapa perlagaan, lawan didiskualifikasi. Batas-batas distrik telah dikecoh. Kampanye memberikan peluang yang tak seimbang bagi partai tertentu. Media independen diberangus. Masyarakat kurang mendapat informasi mengenai pilihan. Pemungutan suara terganggu oleh pertumpahan darah. Kotak suara sudah penuh. Penghitungan suara kacau. Partai oposisi mundur. Para pesaing menolak menerima pilihan rakyat. Protes mengganggu pemungutan suara. Pejabat menyalahgunakan sumber daya negara. Daftar pemilih sudah kadaluwarsa. Kandidat bagi-bagi amplop tebal. Suara dibeli. Gelombang udara berpihak pada petahana. Kampanye dibanjiri dengan uang tunai yang tersembunyi. Aturan keuangan politik lemah. Pejabat daerah yang tak kompeten kehabisan surat suara. Petahana kebal terhadap penantang yang efektif. Demonstrasi memicu kerusuhan. Kandidat perempuan menghadapi diskriminasi. Etnis minoritas teraniaya. Mesin pemungutan suara macet. Antrian memanjang. Segel kotak suara rusak. Seorang warga boleh nyoblos berkali-kali. Undang-undang menekan hak pilih. Tempat pemungutan suara tak dapat diakses. Perangkat lunak mogok. Tinta 'pengaman' mudah dihapus. Pengadilan menyelesaikan keluhan secara tak berimbang. Setiap masalah ini dapat menimbulkan perselisihan dalam pemilu yang ditandai dengan tuntutan pengadilan yang panjang, boikot oposisi, protes publik, atau, yang paling buruk, bila para aparat mengancam dengan pengerahan kekerasan, maka akan sangat mungkin rakyat akan menanggapinya dengan kekerasan yang lebih membagongkan. Dalam beberapa kasus, kegagalan memang disengaja; di tempat lain, muncul secara kebetulan, kendati syulit menentukan, which is which, yang mana yang bener.Integritas pemilu mengacu pada kontes yang menghormati standar internasional dan norma-norma global yang mengatur penyelenggaraan pemilu yang tepat. Kurangnya integritas mempunyai banyak konsekuensi serius, yang dapat melemahkan legitimasi otoritas terpilih, mengikis kepuasan terhadap demokrasi, mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan parlemen, dan melemahkan partisipasi pemilih. Protes dengan kekerasan dapat mengganggu stabilitas negara, terutama di rezim hibrida yang tak berkekuatan koersif seperti otokrasi absolut dan legitimasi demokrasi yang sudah matang. Di negara-negara berkembang seperti Kenya dan Thailand, sengketa prosedur telah menimbulkan ketidakstabilan dan melemahkan kepercayaan investor. Pemilu multipartai yang kompetitif merupakan landasan bagi akuntabilitas demokrasi, menghubungkan warga negara dan negara, memberdayakan para pemilih 'mengusir para bajingan' jika mereka tak puas dengan para pemimpin yang tak populer. Namun, jika pemilu yang kontroversial benar-benar diatur, atau bahkan gagal, mekanisme ini takkan cukup untuk menyingkirkan para penguasa yang korup, mudah disuap, atau tak kompeten, sehingga mendorong warga negara yang kritis untuk menggunakan barikade dibanding melalui pemungutan suara. Rantai vertikal akuntabilitas pemilu yang menghubungkan warga negara dan pihak berwenang menjadi terkorosi atau terputus. Pemilu saja tak cukup menjamin terwujudnya pemerintahan yang demokratis, karena saluran-saluran akuntabilitas publik horizontal lainnya masih lemah, namun tetap menjadi fondasinya.Pelanggaran yang paling gawat biasanya terjadi di negara-negara 'otokrasi elektoral'–sebuah rezim yang berpenampilan kompetisi multipartai namun dengan pembatasan yang ketat dan terus-menerus terhadap lembaga-lembaga hak asasi manusia dan demokrasi, dimana kekuasaan berada di tangan partai berkuasa secara tak proporsional. Semakin banyak penelitian yang berupaya menjelaskan mengapa para pemimpin otoriter mengambil risiko ketidakpastian dalam menyelenggarakan pemilu multipartai dan bagaimana pemilu ini berfungsi untuk melegitimasi partai yang berkuasa, menangkis kritik internasional, dan melemahkan perbedaan pendapat dari pihak oposisi. Akan menjadi sebuah kesalahan besar jika kita berasumsi bahwa masalah integritas pemilu hanya terjadi pada negara-negara autokrasi pemilu saja, karena beberapa jenis penyimpangan, termasuk protes, paling sering terjadi di banyak rezim hibrida.Di Indonesia, DPR diperkuat dalam sistem ketatanegaraan setelah adanya perubahan pada Undang-Undang Dasar 1945. Amandemen UUD 1945 menyatakan bahwa fungsi pengawasan DPR dilakukan melalui pengawasan atas pelaksanaan kebijakan, yaitu pelaksanaan undang-undang dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Secara kelembagaan, DPR memiliki tiga hak utama dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan, yaitu hak meminta keterangan kepada eksekutif (hak interpelasi), hak mengadakan penyelidikan (hak angket), dan hak menyatakan pendapat terhadap kebijakan eksekutif.Ketiga fungsi pengawasan ini—hak interpelasi, hak angket dan menyatakan pendapat—berbeda dengan 'Impeachment' atau 'Pemakzulan'. Menurut Charles L. Black, Jr., sebenarnya, 'impeachment' bermakna 'gugatan' atau 'tuduhan'. Di Amerika, the House of Representatives, berdasarkan Konstitusi, mempunyai 'satu-satunya Kekuasaan Pemakzulan'—yaitu, kekuasaan mengajukan tuntutan atas tindakan satu atau lebih pelanggaran yang dapat dimakzulkan. Tuduhan ini secara konvensional disebut 'Pasal Pemakzulan'. The House 'memakzulkan' cukup dengan suara mayoritas dari mereka yang hadir. Senat 'mengadili' semua pemakzulan—ia menentukan, berdasarkan bukti-bukti yang diajukan, apakah dakwaan dalam setiap Pasal Pemakzulan benar, dan apakah, jika dakwaan itu benar, tindakan yang terbukti merupakan pelanggaran yang dapat dimakzulkan. Temuan afirmatif seperti ini disebut 'conviction' atas Pasal Pemakzulan yang telah dipilih. Diperlukan dua pertiga mayoritas senator yang hadir untuk menetapkan hukumannya.Prosedur dua tahap ini dipinjam dari model Inggris (pemakzulan oleh House of Commons dan persidangan serta penghukuman oleh House of Lords). Hal ini jelas pula analog dengan dua tahap dalam hukum pidana tradisional Inggris dan Amerika—'indictment' (atau dakwaan) oleh the grand jury, dan 'trial' (persidangan') oleh juri lain.Menurut Lili Romli, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif, selain memiliki fungsi dalam pembentukan undang-undang (fungsi legislasi) dan penganggaran (fungsi budgeting), juga punya fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan DPR merupakan alat kontrol terhadap lembaga eksekutif atau pemerintah. Melalui fungsi ini, mekanisme checks and balances, saling kontrol dan saling imbang, antara DPR dan eksekutif dapat ditegakkan dan terwujud dengan baik.Keberadaan fungsi pengawasan DPR terhadap eksekutif merupakan sesuatu yang vital karena untuk memastikan dan mewujudkan agar kekuasaan dan kebijakan eksekutif tidak disalahgunakan dan/atau diselewengkan, sesuai dengan konstitusi dan undang-undang. Karenanya, keberadaaan fungsi pengawasan DPR merupakan upaya mencegah agar tak terjadi pemusatan atau penyalahgunaan kekuasaan eksekutif.Sebagai alat kontrol, setiap anggota DPR berhak mengajukan pertanyaan kepada pemerintah mengenai suatu masalah. Pertanyaan biasanya diajukan secara lisan atau tertulis dalam rapat umum atau rapat kerja dengan pemerintah yang diwakili oleh menteri. Dalam rapat-rapat tersebut, menteri akan memberikan jawaban secara lisan atau tertulis.Terkait dengan hak interpelasi, pihak eksekutif wajib memberi penjelasan dalam sidang pleno, kemudian dibahas oleh anggota-anggota dan diakhiri dengan pemungutan suara mengenai apakah keterangan pemerintah memuaskan atau tidak. jika hasil pemungutan suara bersifat negatif, hal ini merupakan tanda peringatan bagi pemerintah bahwa kebijakannya diragukan.Dalam penggunaan hak angket, dibentuk suatu panitia angket yang melaporkan hasil penyelidikannya kepada anggota DPR lain, yang selanjutnya merumuskan pendapatnya mengenai masalah ini dengan harapan agar diperhatikan oleh pemerintah. Adapun hak menyatakan pendapat adalah hak untuk menyatakan gagasan atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di Tanah Air atau dunia internasional. Hak ini juga digunakan sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket atau dugaan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum, baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau presiden dan/atau wakil presiden tak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.Maka, tiada persoalan yang lebih penting secara politik mengenai pertimbangan kita, apakah dalam keadaan tertentu, hasil dari aksi nyoblos kita, harus dibatalkan, dengan konsekuensi terburuk bahwa presiden terpilih diberhentikan dari jabatannya dengan cara yang memfadihatkan. Setiap orang tentulah akan mengernyitkan kening bila menghadapi tindakan yang teramat drastis ini. Para perumus Konstitusi kita telah dengan sangat jelas membayangkan perlunya langkah tak menyenangkan ini. Akan tetapi, langkah ini memang perlu diambil, guna mencegah matinya demokrasi. Wallahu a'lam."Karena 'winter had not yet come', musim panas masih berlangsung, daun mapel berubah warna saat ia berdendang,Sing, "Hello world, it feels so good to be home"[Nyanyikan, "Halo dunia, rasanya seneng banget pulang ke rumah"]Lost in the dark, but I'll never be alone[Tersasar dalam gelap, namun ku takkan pernah sendirian]Sing, "Hello world, it feels so good to be home"[Nyanyikan, "Halo dunia, rasanya seneng banget pulang ke rumah"]Hello, hello, hello world[Halo, halo, halo dunia]I open my eyes and said hello to the world *)[Kubuka mataku dan menyapa halo pada dunia]
Kutipan & Rujukan:
- Abhijit V. Banerjee & Esther Duflo, Poor Economics: A Radical Rethinking of the Way to Fight Global Poverty, 2011, Public Affairs
- Marcin Gerwin (ed.), Introduction to Food Sovereignty: Food and Democracy, 2011, Alliance of Associations Polish Green Network
- Philip Bobbit & Charles L. Black, Impeachment: A Handbook New Edition, 2018, Yale University Press
- R. Michael Alvarez, Lonna Rae Atkeson & Thad E. Hall, Evaluating Elections: A Handbook of Methods and Standards, 2013, Cambridge University Press
- Pippa Norris, Why Elections Fail, 2015, Cambridge University Press
- Wawan Ichwanuddin & Syamsuddin Harris (Eds.), Pengawasan DPR Era Reformasi: Realitas Penggunaan Hak Interpelasi, Angket dan Menyatakan Pendapat, 2014, LIPI
*) "Hello World" karya Mats Lie Skare, Alan Walker, Oyvind Sauvik, Anders Froen, Gunnar Greve, Fredrik Borch Olsen, Jim Bergsted, Marcus Arnbekk, Sander Meland, Rosanna Ener & Torine Bjaland