"Seorang pelanggan sedang mencari kain putih di toko kain. Sang pedagang menunjukkan padanya secarik kain.'Sorry, itu warna kelabu, bukan yang sa cari!' jawab sang pelanggan.'Ini kain putih kakak, coba deh perhatiin baik-baik,' kata sang pedagang sembari mengangkat kainnya.Agak bingung, sang pelanggan bertanya kepada pelanggan lain yang juga ada di sana, 'Oh, itu kain putih!' katanya. 'Iyyaaa, warnanya putih kok,' kata pelanggan berikutnya saat ditanya.Akhirnya ia menolak kain yang disodorkan sang pedagang dan meninggalkan toko dengan penuh tanda-tanya hingga tersadar bahwa ia hampir aja dikadalin, lalu bersajak, 'Malam tadi, aku bermimpi dimana aku merasakan warna yang benar-benar baru, tapi kemudian kusadari, itu semata gambaran imajinasiku.'Sementara itu, di toko, sang pedagang berkata kepada kedua konconya, 'Jangan putus asa bro, sekarang kita siap-siap, ada yang lebih baru lagi!' sambil menunjuk seseorang memasuki toko.""Selamat datang di Indonesia, negeri dengan 'ridiculous revolving-door politics', dimana hari Kasih-sayang akan menjadi hari Kematian," berkata kembang Mawar sambil memperhatikan angka-angka yang silih-berganti. Gharibnya, angka-angka tersebut, hanya bergerak di level tertentu.“Mengapa kita mempersembahkan bunga pada kematian?” lanjutnya. “Dan mengapa kita menyerahkan bunga kepada orang yang berduka, orang sakit, mereka yang kita kasihi? Bunga bukanlah simbol kekuasaan. Bunga terlalu ringkas, terlalu lemah, untuk memberikan banyak harapan akan keabadian, kata Sharman Apt Russel. Kita tahu bahwa bunga itu indah, tapi kita lupa bahwa mereka juga penting. Tema alam semesta mungkin elemen keindahan. Tentu saja, merekalah elemen bunga. Kebanyakan bunga itu, bagian dari suatu kemitraan. Mereka bergantung pada spesies yang sangat berbeda dari dirinya, sesuatu yang akan membawa sperma jantannya ke bunga lain dan membawa sperma yang sesuai ke sel telur di ovariumnya. Tetumbuhan bereaksi terhadap dunia. Tetumbuhan punya cara untuk melihat, menyentuh, mengecap, mencium, dan mendengar.Daku bunga mawar, dan asal-usulku cukup berprasejarah: ahli geologi memberi tahu kita bukti keberadaan mawar lebih dari lima puluh juta tahun yang lalu. Mawar lebih tua dari manusia itu sendiri, dan kampung asalku hanya dapat diduga. Spesies Mawar liar telah ditemukan di seluruh negeri Utara dari Greenland hingga Meksiko; dari Rusia bagian Utara dan Siberia, tempat ditemukannya anggota kelompok Rosa spinosissima, yang menarik bagi para pekebun modern; di oasis Sahara dari India dan Persia; dari Jepang, Korea dan China, yang merupakan kampung halaman bagi begitu banyak bunga mawar yang berharga, hingga Burma tempat asal R. gigantea, salah satu spesies penting dalam silsilah mawar modern. Tiada mawar liar asli yang pernah ditemukan di belahan bumi Selatan, kendati para mawar pendatang tumbuh dan berbunga dengan baik di beberapa negeri tersebut.Setangkai mawar sepertiku, selama ini menjadi maharani bunga terfavorit dan tak tertandingi di dunia. Dari ribuan tahun hingga sekarang, mungkin tiada bunga yang merupakan simbol cinta yang lebih baik dibanding mawar—buket tiga mawar mewakili pasangan dan cinta mereka bersama; untuk mengirim pesan 'Kita akan bersama selamanya,' kirimkan buket sembilan mawar. Shakespeare merenung, 'Apa itu cinta?' Penyair hebat ini, bukanlah orang pertama yang menanyakannya. Kakek-nenek moyang kita merenungkan pertanyaan ini, jutaan tahun yang lalu ketika mereka duduk di dekat api unggun atau berbaring dan mengamati bintang-bintang.Cinta acapkali turut-serta dalam titik tertinggi dan titik terendah kita yang terdalam. Dan hal ini hampir selalu dikaitkan dengan kepuasan, yang jujurly merupakan hal yang diinginkan sebagian besar kita dalam hidup. Dan kita harus melakukannya. Semuanya bermuara pada cinta. Kata empat huruf yang punya banyak puisi, cerita, dan ceramah yang ditulis tentangnya dibanding kata lainnya.Mereka bilang, cinta itu buta, dan bagi sebagian orang, kebahagiaan takkan pernah datang. Begitulah Qays, putra seorang kepala suku di Arabia kuno. Sebuah legenda Arab, yang berasal dari abad ke-7 Masehi, mengatakan bahwa Qays seorang anak lelaki yang cakep dan cemerlang—sampai ia bertemu Layla, yang bermakna 'malam' oleh rambut hitam-legamnya. Begitu mabuknya Qays sehingga suatu hari ia melompat dari kursi sekolahnya dan berlari di jalanan sambil meneriakkan namanya. Sejak saat itu, ia dikenal dengan sebutan Majnun, atau orang gila.Dalam dongeng Tiongkok abad ke-12 M 'Dewi Giok', Meilan putri pejabat tinggi Kaifeng berusia lima belas tahun yang dimanjakan—sampai ia jatuh cinta pada Chang Po, seorang pemuda lincah dengan jari-jari panjang yang meruncing dan mengukirkan hadiah ukiran batu giok. 'Sejak langit dan bumi diciptakan, dirimu diciptakan untukku dan diriku diciptakan untukmu dan daku takkan membiarkanmu pergi,' kata Chang Po kepada Meilan suatu pagi di taman keluarganya. Sepasang kekasih ini, berasal dari kelas yang berbeda di Tiongkok. namun tatanan sosial yang kaku dan hierarkis. Putus asa, mereka kawin lari—kemudian segera ditemukan. Sang lelaki berlari pergi. Sang wanita dikubur hidup-hidup di kebun ayahnya. Kisah Meilan masih menghantui jiwa banyak orang Chinese.Romeo dan Juliet, Paris dan Helen of Troy, Orpheus dan Eurydice, Abelard dan Eloise, Troilus dan Cressida, Tristan dan Iseult, Rara Mendut dan Pranacitra, Siti Nurbaya dan Samsulbahri, Bandung Bondowoso dan Rara Jonggrang: ribuan puisi, lagu, dan cerita romantis datang selama berabad-abad dari leluhur Eropa, serta Timur Tengah, Jepang, China, India, dan setiap masyarakat lain yang telah meninggalkan catatan tertulis. Bahkan ketika masyarakat tak punya dokumen tertulis, mereka meninggalkan bukti semangat ini.Cinta—yaitu cinta romantis—masih menjadi salah satu topik yang paling obsesif di zaman kita. Barangkali ada yang berpendapat bahwa obsesi kita sendiri merupakan produk dari fakta bahwa kita mengagung-agungkan cinta dan karenanya, menyiksa diri kita sendiri, sehingga kita memunculkan kebutuhan yang membingungkan dan ilusi yang tak mungkin kita penuhi atau sadari. Menurutku, cinta romantis itu, salah satu dari tiga jaringan otak primordial yang berevolusi untuk mengarahkan perkawinan dan reproduksi, kata Helen Fisher.Beberapa penulis ternama mengenai topik ini, menganggap cinta sebagai suatu penderitaan, semacam kegilaan, bahkan penyakit fatal. Namun, cinta itu nyata. Ia berharga dan dapat dicapai. Akan tetapi, hanya setelah kita berhasil melewati kabut metafisik, mitos-mitos yang menyesatkan dan metafora berbahaya, yang telah membuat cinta begitu sulit dipahami, hingga romansa menjadi dapat dipahami dan pantas dengan kehidupan yang waras dan bahagia. Dan sekali lagi, meskipun tak menghilangkan sedikit pun gairah besar cinta dan romansa, kita harus mencatat betapa dahsyatnya kita meninggikan sebuah emosi ini, jauh melampaui emosi lainnya dalam daftar emosi kita.Emosi datang dan pergi. Kita tak menjadi emosional terhadap segala hal; kita tak selalu berada dalam cengkeraman emosi, kata Paul Ekman. Emosi itu, reaksi terhadap hal-hal yang nampak sangat penting bagi kesejahteraan kita, dan emosi seringkali muncul begitu cepat sehingga kita tak menyadari proses dalam pikiran kita, yang memicu emosi tersebut. Hal ini terjadi kala kita merasakan, benar atau salah, bahwa sesuatu yang berdampak serius terhadap kesejahteraan kita, baik atau buruk, sedang atau akan terjadi. Emosi berevolusi untuk mempersiapkan kita menghadapi peristiwa paling penting dalam hidup kita dengan cepat.Kita dilahirkan dalam keadaan siaga, dengan kepekaan yang terbuka terhadap peristiwa-peristiwa yang relevan dengan kelangsungan hidup spesies kita di lingkungan leluhurnya sebagai pemburu dan pengumpul. Tema-tema yang terus-menerus dipindai oleh penilai otomatis terhadap lingkungan kita, biasanya tanpa kita sadari, dipilih selama evolusi kita.Sepanjang hidup, kita menjumpai banyak peristiwa spesifik yang kita pelajari untuk diinterpretasikan sedemikian rupa untuk menakut-nakuti, membuat marah, merasa jijik, sedih, mengejutkan, atau menyenangkan kita, dan ini ditambahkan ke peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya secara universal, memperluas apa yang telah penilai otomatis kita lihat sebelumnya, berwaspada. Peristiwa-peristiwa yang dipelajari ini, mungkin amat dekat atau berjarak dengan peristiwa-peristiwa yang semula tersimpan. Peristiwa-peristiwa tersebut, merupakan penjabaran atau tambahan terhadap peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya secara universal. Gejala-gejala tersebut tak sama pada semua orang, namun berbeda-beda sesuai dengan apa yang kita alami.Banyak buku self-help dan strategi bisnis berfokus pada pengurangan peran emosi dalam keputusan keuangan dan bisnis, namun sebenarnya, emosi berkontribusi pada proses pengambilan keputusan. Bisakah kita mengambil manfaat dari bertindak lebih, seperti Mr. Spock, murni logis di Star Trek, dan tak seperti Kapten Kirk yang emosional? Menurut Justin Reber dan Daniel Tranel, emosi, terutama emosi negatif seperti rasa bersalah dan malu, dianggap sebagai faktor pendorong keputusan moral. Namun, emosi dan hasrat dasar id, perannya berkebalikan dalam teori Freud. Menurut Freud, keputusan moral dibuat ketika individu mampu mengesampingkan emosi dan keinginan dasar mereka yang tak bermoral.Berbicara tentang moral, ada topik menarik antara demokrasi dan moral. Demokrasi sedang dalam krisis, kata Robert B. Talisse. Demikian kita diberitahu oleh hampir setiap saluran komentar politik, mulai dari politisi dan pakar hingga akademisi dan warga negara biasa. Hal ini tak mengherankan, mengingat bahwa milenium baru tampak akan dimulai dengan sebuah awal yang membingungkan dan penuh kekerasan: genosida, penyiksaan, pembunuhan, perang saudara, pelanggaran hak asasi manusia, kemiskinan, perubahan iklim, bencana lingkungan hidup, dan ketegangan hubungan internasional, semuanya merupakan pertanda ketidakpastian masa depan bagi demokrasi. Beberapa orang berpendapat bahwa demokrasi sedang goyah karena kehilangan kejelasan moral yang diperlukan untuk memimpin di dunia yang rumit. Ada pula yang berpendapat bahwa 'kejelasan moral' tak lebih dari kebutaan moral terhadap kompleksitas dunia masa kini, dan oleh karenanya, yang dibutuhkan adalah lebih banyak refleksi, kritik terhadap diri sendiri, dan kerendahan hati. Tak ada pihak yang terlalu memikirkan pihak lain. Akibatnya, politik demokrasi kerakyatan kita didorong oleh penghinaan, skandal, pencemaran nama baik, rasa-takut, ketidakpercayaan, tuduhan kemunafikan, dan hal-hal yang lebih buruk lagi.Terlebih lagi, apa yang dianggap sebagai kebenaran kini sebagian besar dibentuk oleh loyalitas dan keberpihakan kelompok. Kita tak percaya—yakni, memandang benar—bahwa siapa pun di tim kita dapat melakukan sesuatu yang ilegal atau mengatakan sesuatu yang memperdaya, walau telah ditunjukkan buktinya. Itu karena tak sesuai dengan jalan cerita yang kita kehendaki. Dimana-mana, politik partisan yang ekstrem tampak menggerogoti kebenaran yang diyakini secara umum, baik oleh masyarakat awam maupun para ahli dan perwakilan negara, yang seolah-olah dibutuhkan oleh ruang publik demokratis yang kuat.Kita cukupkan dulu episode ini dan akan lanjut ke sesi berikutnya, bi 'idznillah."Sebelum beranjak ke fragmen selanjutnya, bunga mawar melagukan tembangnya Adele,But there's a side to you[Tapi ada sisi lain dari loe]That I never knew, never knew[yang gak pernah gua tahu, gak pernah paham]All the things you'd say[Segala hal yang loe omongin]They were never true, never true *)[Semuanya gak pernah pas, gak pernah betul]
Kutipan & Rujukan:
- Sharman Apt Russel, Anatomy of a Rose, 2001, Perseus
- Supriya Kumar Bhattacharjee & B. K. Banerji, The Complete Book of Roses, 2010, Aavishkar Publishers
- Robert C. Solomon, About Love: Reinventing Romance for Our Times, 2001, Madison
- Helen Fisher, Why We Love: The Nature and Chemistry of Romantic Love, 2004, Owl Books
- Andrew S. Fox, The Nature of Emotion: Fundamental Questions, 2018, Oxford University Press
- Robert B. Talisse, Democracy and Moral Conflict, 2009, Cambridge University Press
- Alan F. Hattersley, A Short History of Democracy, 1930, Cambridge University Press
*) "Set Fire to the Rain" karya Adele Adkins & Fraser T Smith