Sabtu, 17 Februari 2024

Cerita Kembang Mawar: Saat Demokrasi Berhenti Bergulir (2)

"Sang bos memanggil salah seorang karyawan ke ruangan kantornya. 'Kamu telah bekerja di perusahaan ini, selama enam bulan. Kamu memulai dari bagian surat-menyurat. Hanya satu minggu kemudian, kamu dipromosikan ke posisi penjualan, dan sebulan setelahnya, kamu dipromosikan menjadi manajer penjualan distrik. Empat bulan kemudian, kamu dipromosikan menjadi wakil direktur. Sekarang saatnya aku pensiun, dan aku mau kamulah yang mengambil-alih perusahaan. Apa pendapatmu tentang hal ini?'
'Makasih,' kata sang karyawan.
'Makasih?' sahut sang bos. 'Cuma itu yang bisa kamu ucapkan?'
'Oh, maaf,' kata sang karyawan. 'Makasih, ayah.'"

"Entah seberapa efektif dirimu mengendalikan tindakan dan reaksimu, seberapa cermat engkau merencanakan hidupmu sendiri–orang lain selalu bisa ikut 'cawe-cawe' dan merusak pekerjaanmu, yang baru saja diminyaki dan berjalan lancar. Adakah sesuatu yang dapat engkau lakukan terhadap perilaku orang lain?" sang mawar meneruskan.
“Sebenarnya, dikau bakal tercengang, bahwa betapa banyak yang dapat engkau lakukan agar mendorong orang lain berperilaku dengan cara yang menguntungkan dirimu dan mereka, kata Richard Templar. Aku yakin, lanjutnya, engkau telah menyadarinya melalui hidupmu bahwa saat terbaik itu, saat dimana semua orang bekerjasama, bergiat secara harmonis, merasakan semangat gotong-royong. Biasanya—dan ini bukan roket sains kecuali bila dirimu seorang sosiopat—engkau akan lebih bahagia dikala orang-orang di sekelilingmu, bahagia. Bahwa seiring dengannya, semakin banyak yang dapat dikau lakukan agar menjadikan hidup orang lain lebih baik, bukan semata hidupmu sendiri, maka hidupmu bakal semakin mudah dan menyenangkan.
Yang dibutuhkan yalah keterampilan memunculkan orang-orang bahagia di sekelilingmu. Ya, bahkan rekan kerja yang pemarah, atau saudari perempuanmu yang stres, atau tutor kampusmu yang kritis, bisa jadi tak terlalu pemarah, stres, atau pilih-kasih jika dikau tahu cara membenahinya. Tentu saja, engkau tak bisa mengayunkan 'magic wand' dan meraibkan segala persoalan mereka, tapi setidaknya, bisa membuat waktu yang mereka habiskan bila berada di sekitarmu, lebih menyenangkan bagi semua orang.
Satu-satunya hal yang mengubah kita ialah perilaku kita. Engkau masihlah orang yang sama dan demikian pula mereka. Namun, sedikit perubahan dalam perilaku, membuat banyak perbedaan, sehingga kita saling melihat sisi yang benar-benar baru. Dan–ibarat kita baru saja memainkan peran di film sinetron–kita menjadi teman dekat, tetap bergandengan-erat, biar pun kita telah berpindah ke pekerjaan lain dan ke wilayah lain di negeri ini. Jadi, cara seseorang mengubah perilakunya dapat mempengaruhi orang yang berinteraksi dengannya.

Tiada seorang pun di dunia ini yang tak dibentuk oleh pengalaman pribadinya. Maka, saat kolegamu membentakmu, atau sahabatmu mengecewakanmu, atau pasanganmu lupa hari ulang tahunmu, camkanlah bahwa akan selalu ada latarbelakangnya. Boleh jadi, dalilnya cuma omon-omon, tapi kaan ada alesannya. So, kenali dulu alesannya, maka engkau akan lebih mudah menghadapi perilaku negatif orang lain. Kendati dikau tak dapat mengubah cara mereka bertindak, dikau akan merasa lebih mudah melakukannya jika engkau mengetahui latarbelakangnya. Dan seringkali, hanya karena engkau siap memaknainya, mereka tak lagi bersikap defensif dan memutuskan mengubah perilakunya. Ini bukan berarti membolehkan perilaku buruk. Tentu saja, tak seorang pun boleh melampiaskan stresnya, amarahnya, kecemasannya, rasa tak amannya, atau apa pun, pada seseorang yang tak pantas menerimanya. Akan tetapi, itu terjadi. Bukan pula memintamu memahami motivasi orang lain demi kepentingan mereka, melainkan demi kepentinganmu sendiri.

Low self-esteem berada di balik banyaknya ketidakbahagiaan dan, tentu saja, penyakit mental. Banyak perilaku yang membuatmu kesal pada orang lain, mulai dari penindasan hingga keanehan dalam mengontrol, dapat disebabkan atau bahkan disebabkan oleh 'self-esteem' yang buruk.
Kata 'self-esteem' semakin sering digunakan dalam beberapa tahun terakhir. Orang menggunakan istilah yang berbeda untuk mengartikan hal yang sama–harga diri. Dalam beberapa hal, daku lebih menyukai istilah lawas karena maknanya jauh lebih jelas. Ini tentang melihat dirimu sebagai orang yang berharga.
Rasa bernilai inilah sesuatu yang dibutuhkan setiap orang agar merasa nyaman dengan diri mereka sendiri. Beberapa dari kita bergumul dengan hal ini, lebih dari yang lain, dan kita semua memiliki saat-saat dalam hidup kita, ketika hal itu menjadi lebih mudah atau lebih sulit. Misalnya, orang tuamu mungkin merasa mereka berharga, penting, dan berguna tatkala mereka membesarkan sebuah keluarga, namun begitu anak-anak meninggalkan rumah dan pensiun, mereka mungkin mulai bertanya-tanya apa gunanya mereka bagi orang lain.
Engkau tak bertanggungjawab atas harga-diri orang lain–selama engkau tak meremehkannya–namun ada baiknya memahami bahwa perasaan ini dibutuhkan setiap orang. Bahkan rekan kerjamu yang sombong, karismatik, dan percaya diri. Mungkin mereka sudah mempunyai rasa harga diri yang sehat, namun jika harga diri tersebut dirusak dan dirampas, mereka akan sangat menderita.

Setiap orang ingin merasa memiliki–itulah sifat manusia. Tapi, kita milik siapa? Sebenarnya, kita semua tergabung dalam banyak suku dan kelompok, ada yang lebih besar, ada yang lebih kecil. Ada yang dekat, ada pula yang lebih jauh. Dirimu bagian dari keluargamu, desa atau kampungmu, kota atau wilayahmu, negaramu, dan sebagainya. Engkau juga bagian dari sekolahmu, atau perusahaan tempatmu bekerja, atau klub kesehatan setempat, atau grup medsosmu. Itu semua baik-baik saja, sampai terjadi konflik kepentingan di antara kelompok-kelompok ini. Inilah akar dari banyak permasalahan global. Di tingkat nasional, dikau boleh menyebutnya patriotisme, atau engkau bisa menyebutnya proteksionisme, tergantung perspektifmu. Betapapun kita ingin semua orang di dunia bahagia, jika kita merasa kebahagiaan kita terancam oleh gerakan menuju kebaikan yang lebih besar, maka akan sulit 'to vote' kebaikan yang lebih besar.

Bicara soal 'voting', dalam Demokrasi, kita selalu dihadapkan pada keputusan untuk memilih. Masalah awal yang dihadapi setiap pembelajar demokrasi ialah bagaimana menetapkan istilah tersebut. Demokrasi merupakan istilah yang kabur, kata Roland N. Stromberg. Menurut Stromberg, kata tersebut ada di sekitar kita; ia terus-menerus digunakan dalam media berita dan wacana sehari-hari guna mendefinisikan budaya kita sendiri dan agar membentuk kebijakan kita terhadap orang lain, yang disebut bandel jika mereka 'tak demokratis' dan bahkan mungkin perlu memaksa entitas samar-samar ini, menyerang mereka dengan paksa. Demokrasi terus menempati ruang besar dalam berita utama: ia menang atas komunisme, pulih kembali di Haiti, dipuja sebagai prinsip utama zaman kita. Salah satu dari lima tujuan aksi bersama Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang dicanangkan pada bulan Desember 1995, adalah 'development of democracy throughout the world.' Ia disajikan sebagai obat-penawar bagi segala jenis masyarakat dan wilayah yang bermasalah. Namun kegagalan atau kekurangannya, bahkan di dalam negeri juga sering disesalkan: buku-buku ditulis setiap tahun seperti The Betrayal of American Democracy (William Greider). 'Cry Democracy!' headlines The Economist edisi Desember 1987. 'Masalah politik utama di dunia saat ini adalah kemajuan demokrasi,' kata rekan Polandia Lech Walesa pada tahun 1989.
Demokrasi dirancukan dengan liberalisme atau konstitusionalisme atau kesetaraan sosial atau kemerdekaan nasional; ia dapat dimaknai sebagai kekuasaan mayoritas atau hak minoritas. Maknanya bervariasi menurut waktu dan tempat. Demokrasi digunakan sebagai model dan digunakan untuk melegitimasi berbagai tujuan dengan alasan yang berbeda-beda.
Kita dapat menambahkan tempat lain dimana kata tersebut telah mengalami transformasi yang aneh. Di seluruh dunia, semua orang menyerukannya, bahkan para tiran. Diktator lama Filipina, Ferdinand Marcos, menerbitkan sebuah buku yang membuktikan bahwa pemerintahannya, sesuai tajuknya, 'Today’s Democracy'. Negara-negara yang diperintah oleh komunis menyebut diri mereka 'people’s democracies.' Di Rusia pasca-komunis, para anggota partai nasionalis ekstrem, yang oleh banyak orang dijuluki fasis, dan yang bersama dengan mantan komunis berupaya menggulingkan pemerintahan reformasi Boris Yeltsin—seorang politisi Soviet dan Rusia yang menjabat sebagai Presiden Rusia pada tahun 1991 hingga 1999. Ia anggota Partai Komunis Uni Soviet dari tahun 1961 hingga 1990—yang menyebut diri mereka—ironisnya?—Liberal-Demokrat.
Politisi biasanya mengucapkan kata demokrasi ketika—seperti yang sering terjadi—mereka tak mampu memikirkan hal lain. Demokrasi sebuah kata hore. Sejarah umum Amerika Serikat diberi judul, misalnya, 'The Making of a Democracy.' William L. O’Neill menyebut bukunya tentang Amerika Serikat dalam Perang Dunia II sebagai A Democracy at War. Definisi istilah tersebut seringkali bergantung pada kondisi lokal dan keadaan khusus. Misalnya, ketika pada tahun 1980-an partai lama Liberal Inggris bergabung dengan unsur-unsur dari sayap kanan partai Buruh yang terpecah belah, yang menamakan diri mereka Sosialis-Demokrat, partai baru tersebut memutuskan menggunakan nama Demokrat Liberal. (Sosial Demokrat adalah nama partai-partai Marxis sebelum tahun 1914, termasuk partai Lenin di Rusia, namun dalam penggunaan di Inggris, kata ini cenderung lebih bermakna demokrat ketimbang sosialis.)

Acapkali kita menjumpai istilah demokrasi liberal. Ada dua hal yang secara samar-samar digabungkan dan dulunya dipandang tak semata berbeda, tapi juga antagonis. Intinya adalah 'Demokrasi,' menurut pendapat London Economist (1995), 'tak semata soal pemberian suara, kendati itu penting. Demokrasi juga soal kebebasan berpendapat, toleransi beragama, dan supremasi hukum.' Dalam bahasa barat yang populer. Dalam penggunaannya saat ini, demokrasi liberal mungkin sering membahas hal-hal tersebut, namun secara historis dan konseptual masing-masing hal tersebut merupakan hal yang terpisah.Toleransi beragama dan kebebasan pers muncul pada waktu yang berbeda, jauh sebelum ada demokrasi dalam artian memperbolehkan masyarakat memberikan suara yang berarti. Konstitusionalisme, atau 'negara hukum', berakar yang lebih lama lagi. Hal-hal ini takkan disebut demokrasi paling awal sebelum akhir abad ke-19. Menggunakan sebuah kata secara sembarangan berisiko mengubahnya menjadi suku kata yang tak masuk akal. Orang mungkin merasa, seperti J.R.R. Tolkien berkomentar tentang kebebasan, bahwa 'kata tersebut telah disalahgunakan oleh propaganda sehingga tak lagi bernilai apa pun bagi akal-sehat.'
Tak satu pun kritik terhadap demokrasi, apa pun definisi istilahnya, yang kita jumpai saat ini merupakan hal yang baru. Semuanya telah terdengar berkali-kali sebelumnya. Tidak efisien, sekolah bagi para tiran, ketidakmungkinan (banyak orang tak dapat memerintah), penipuan, tipuan yang mempermainkan rakyat; atau gejala disintegrasi budaya, dominasi pihak yang lebih rendah, penurunan nilai budaya dan pemikiran—demokrasi selalu menerima teguran yang sama, betapapun tak konsistennya teguran tersebut.

Ada dua makna yang lebih luas dari demokrasi, yang secara kasar berhubungan dengan tahap-tahap perkembangan sejarah: pertama, demokrasi organik 'totaliter', yang ditandai dengan konsensus dan hierarki, yang ditemukan di antara orang-orang yang berbudaya dan bersistem nilai yang erat. Beroperasi dalam komunitas tertutup, sistem ini bisa mendekati demokrasi yang sempurna, dengan sedikit proses dan institusi yang mengasingkan diri—seperti dalam pemilu. Visi komunitas pastoral yang indah ini, merupakan sumber idealisme demokrasi awal. Hal ini masih bertahan hingga saat ini, dalam tingkat yang lebih besar atau lebih kecil, di antara masyarakat yang kurang termodernisasi, bahkan di antara mereka yang paling termodernisasi, sebagai suatu pengaruh pola dasar yang berulang.
Berikutnya, sistem parlementer elektif, yang terutama berasal dari Inggris, yang dikembangkan di Amerika pada abad kesembilan belas dan sebagian Eropa Barat dalam konteks negara-bangsa, yang bertumpu pada keseimbangan antara pluralisme dan komunitas. Meskipun hal ini mengecewakan karena terbukti dapat dilaksanakan, dan diserang oleh kaum rasionalis dan idealis karena oportunisme pragmatisnya dan elitisme yang tersembunyi, namun hal ini secara teoritis mempunyai kelemahan namun sukses secara praktis. Kaum intelektual mungkin mengidentifikasi demokrasi semacam ini dengan ekonomi kapitalis atau budaya nasionalis rendahan. Ia kehilangan pesonanya, secara sistematis direndahkan, dan tampaknya hanya bertahan dalam faute de mieux [tiadanya sesuatu yang lebih baik atau lebih diinginkan]; namun ia memimpin era paling sukses dalam sejarah Barat. Dalam penerapan praktisnya, hal ini bervariasi dari satu negara ke negara lain, diintegrasikan ke dalam adat istiadat khusus budaya nasional. Memang benar, hal ini tampak berbahaya; seperti yang dikatakan oleh pakar demokrasi terkemuka Robert Dahl, 'kondisi yang paling menguntungkan bagi poliarki [demokrasi pluralistik yang sukses] jarang terjadi dan tak mudah diciptakan.'
Demokrasi jenis kedua ini, menjawab bahwa demokrasi langsung sama sekali tak dapat diterapkan di negara besar dan setiap upaya sungguh-sungguh untuk menerapkannya di luar tingkat lokal akan mengarah pada kediktatoran yang represif. Demokrasi organik merupakan sebuah paham kesukuan yang sudah ketinggalan zaman, sangat tak toleran bahkan pada masanya dan saat ini, yang kemungkinan besar akan mengarah pada penganiayaan terhadap kelompok minoritas dalam skala nasional. Contoh utamanya di era modern adalah Jerman pada masa Hitler. Sebaliknya, demokrasi perwakilan, yang memang tak sempurna, mampu bertahan di komunitas-komunitas yang paling maju. Tiada yang bisa menggantikannya karena ia amat beradab.
Barangkali ada jenis demokrasi yang ketiga, yaitu tatanan politik masyarakat global yang sepenuhnya modern, plural, urban, rasional, konsumerisasi, sekuler, dan homogen secara budaya. Pemerintahan ini bersifat demokratis karena tak bisa menoleransi otoritas apa pun atau percaya pada mitos-mitos yang melegitimasinya, namun telah kehilangan disiplin mental dan semangat komunitas yang tanpanya, pemerintahan elektif takkan mungkin terjadi. Oleh karenanya, mereka terhukum bolak-balik antara rezim yang bebas dan tak bebas sambil mencari rahasia yang masih belum diketahui oleh umat manusia: bagaimana individu yang sepenuhnya otonom dapat hidup bersama secara harmonis dalam komunitas yang adil dan bebas. 'Penyakit peradaban kita baik di sisi komunis maupun kapitalis,' tulis seorang Yugoslavia, 'adalah ketidakberdayaan warga negara yang teralienasi dalam menghadapi mesin pemerintah yang terlalu luas dan kompleks.'
Terlepas dari semua ini, Demokrasi telah dinyatakan mati secara prematur, tak hanya sekali seperti yang dialami Mark Twain, namun berkali-kali, bahkan hampir setiap dekade sejak tahun 1790-an. Hal ini masih berlangsung: kita punya karya terbaru yang berjudul The Death of Democracy, The Death of British Democracy, The Collapse of American Democracy. Tak semata risalah populer yang ditulis oleh mereka yang sangat kecewa, namun perlakuan serius terhadap subjek tersebut, juga harus mempertimbangkan kemungkinan kematian tersebut. Demikian pula demokrasi selalu mengalami 'krisis'. Pada tahun 1975 diterbitkan sebuah buku tentang 'krisis demokrasi massa' di Perancis pada akhir abad kesembilan belas dan buku bertajuk The Crisis of Democracy.

Di Indonesia, potensi 'fraud' telah terlihat jauh sebelum pemilu diselenggarakan, di hari pencoblosan, dan sesudahnya. When things go wrong, who do you blame? The fish rots from the head down, telah lama digunakan sebagai metafora bagi kepemimpinan. Jika penanggungjawab melakukan pekerjaannya dengan buruk, hal itu akan berdampak negatif bagi semua orang yang bekerja di bawahnya. Akan sangat mungkin, 'kepala ikan' ini, diamankan terlebih dahulu.
Jika kita mengetahui apa itu kehidupan yang baik, dari sumber apa pun, maka kita akan berusaha mewujudkannya. Tak seorang pun menyepakati penegakan kejahatan dengan cara-cara demokratis, atau menolak berbuat kebaikan dengan cara-cara yang tak demokratis, jika sudah jelas bagi semua orang apa itu kebaikan dan kejahatan. Dalam kata-kata Emil Brunner, 'pertanyaan tentang hukum yang adil atau tak adil, lebih penting daripada pertanyaan tentang demokrasi atau bukan demokrasi.'
Kita akan teruskan bincang kita di fragmen berikutnya, bi 'idznillah."

Lalu, sang mawar pun bersenandung,

Malu aku malu
pada semut merah
yang berbaris di dinding
Menatapku curiga
seakan penuh tanya
'Sedang apa di sini?' *)
Kutipan & Rujukan:
- Richard Templar, The Rules of People, 2022, Pearson Education
- Roland N. Stromberg, Democracy: A Short, Analytical History, 2015, Routledge
*) "Kisah-kasih di Sekolah" karya Obbie Messakh