Kamis, 22 Februari 2024

Cerita Daun Mapel: Election Fraud (3)

"Seorang lelaki masuk ke bank buat narik duit dan memberikan catatan kepada teller, yang berbunyi, 'Ini perampokan bersenjata. Serahkan seluruh uangmu.'
Sang teller mengembalikan catatan tersebut padanya, bertuliskan, 'Maaf bapak, mohon dasinya dibenerin. Kami sedang memotret bapak.'"

"Mengapa dalam Demokrasi, kita sering berbicara tentang Kesetaraan?” lanjut Mapel.
"Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan, telah menjadi moto lebih dari satu Republik. Hal ini sesungguhnya lebih dari sekedar moto: tiga kredo Demokratis. Kebebasan sipil atau sosial, kata James Fitzpmes Stephen, berbeda dengan 'bebas berkehendak'. Ungkapan ini, awalnya bermakna perlindungan terhadap tirani penguasa politik. Kekuasaannya diakui sebagai kejahatan yang tak perlu, dan pembatasannya, baik dengan perlakuan hak istimewa maupun pengawasan konstitusional itulah yang dimaksud dengan Kebebasan. Rakyat pada saatnya, memandang penguasa mereka sebagai agen dan penyimpan kekuasaan ketimbang sebagai kekuatan antagonis yang harus diawasi, dan tak terpikir oleh mereka bahwa kekuasaannya, kekuasaan yang dijalankan melalui agen-agennya, mungkin sama menindasnya dengan kekuasaan penguasa yang dibatasi dalam batas yang lebih sempit atau lebih luas.
Persaudaraan menyiratkan cinta terhadap seseorang—keinginan meningkatkan kebahagiaan seseorang. Setiap orang tertarik mengembangkan perasaan ini pada orang lain meskipun ia memilikinya, tak semata bagi dirinya sendiri. Kebaikan orang lain baginya menjadi sesuatu yang wajar dan perlu diperhatikan seperti halnya kondisi fisik keberadaan kita.
Kesetaraan merupakan doktrin yang sangat tegas dan tak jauh berbeda dari dua doktrin yang menjadi dasar keyakinan tersebut. Ia dapat bermakna bahwa semua orang hendaknya sama-sama tunduk pada hukum yang berlaku bagi semua orang. Ia mungkin bermakna bahwa hukum hendaklah dijalankan secara tak memihak. Ia dapat bermakna bahwa seluruh keuntungan masyarakat, semua yang telah ditaklukkan oleh manusia dari alam, seyogyanya dimasukkan ke dalam satu sumber daya bersama, dan dibagi merata di antara mereka. Boleh jadi dalam banyak persoalan, ia tak lebih dari sekedar ungkapan rasa-iri yang samar-samar di pihak mereka yang tak punya uang, terhadap mereka yang punya uang, dan aspirasi yang samar-samar terhadap keadaan masyarakat yang seharusnya terjadi lebih sedikit perbedaan dibanding yang ada saat ini, antara nasib seseorang dan nasib orang lain. Semua ini, amat buram dan tak memuaskan, sehingga sulit direduksi menjadi bentuk yang cukup pasti bila diperbincangkan. Tak mungkin membantah suatu sentimen selain dengan mengulangi hal-hal biasa yang kemungkinan besar takkan meyakinkan orang-orang yang dituju jika hal tersebut perlu diyakinkan, dan yang tak diperlukan oleh mereka yang sudah yakin.

Sepanjang sejarah, telah terjadi gerakan jangka panjang menuju kesetaraan sosial, ekonomi, dan politik. Walau demikian, setidaknya sejak akhir abad kedelapan belas, telah terjadi gerakan historis menuju kesetaraan. Dunia pada awal tahun 2020-an, betapapun tak adilnya, lebih egaliter [bersifat sama; sederajat] dibanding tahun 1950 atau 1900, yang dalam banyak hal, lebih egaliter dibanding tahun 1850 atau 1780. Perkembangan sebenarnya berbeda-beda tergantung periodenya. Dalam jangka panjang, apa pun kriteria yang kita gunakan, kita sampai pada kesimpulan yang sama. Antara tahun 1780 dan 2020, kita melihat perkembangan yang cenderung menuju kesetaraan status, properti, pendapatan, gender, dan ras di sebagian besar wilayah dan masyarakat di planet ini, dan sampai batas tertentu, ketika kita membandingkan masyarakat-masyarakat tersebut dalam skala global. Jika kita mengadopsi perspektif global dan multidimensi mengenai kesenjangan, kita dapat melihat bahwa, dalam beberapa hal, kemajuan menuju kesetaraan juga terus berlanjut selama periode 1980 hingga 2020, yang ternyata lebih kompleks dan beragam dibanding yang selama ini diperkirakan.
Sejak akhir abad kedelapanbelas, terdapat kecenderungan nyata dan berjangka panjang menuju kesetaraan, namun cakupannya masih terbatas. Ketimpangan yang berbeda-beda masih terjadi pada tingkat yang cukup besar dan tak dapat dibenarkan dalam seluruh dimensi ini—status, properti, kekuasaan, pendapatan, gender, asal-usul, dan sebagainya—dan, terlebih lagi, setiap individu seringkali menghadapi ketidaksetaraan secara bersamaan.

Thomas Piketti berpendapat bahwa kemajuan manusia sesungguhnya ada: gerakan menuju kesetaraan merupakan perjuangan yang bisa dimenangkan, namun inilah perjuangan yang hasilnya tak dapat ditentukan, sebuah proses sosial dan politik yang getas, yang selalu berlangsung dan dipertanyakan. Saat ini, umat manusia berada dalam kondisi kesehatan yang lebih baik dibandingkan sebelumnya; terdapat pula lebih banyak akses terhadap pendidikan dan budaya ketimbang sebelumnya. Pada awal abad kesembilan belas, hampir 10 persen penduduk dunia yang berusia di atas lima belas tahun, dapat membaca dan menulis, sedangkan saat ini, lebih dari 85% penduduknya mampu membaca dan menulis. Pada tahun 1820, kurang dari 10 persen penduduk dunia bersekolah di sekolah dasar; pada tahun 2020, lebih dari separuh generasi muda di negara-negara kaya, kuliah di perguruan tinggi.
Rata-rata, angka harapan hidup saat lahir telah meningkat di seluruh dunia, dari sekitar dua puluh enam tahun pada tahun 1820 menjadi tujuh puluh dua tahun pada tahun 2020. Pada awal abad kesembilan belas, sekitar 20 persen bayi baru lahir di planet ini meninggal pada usia pertama mereka, dibandingkan dengan kurang dari 1 persen saat ini. Jika kita fokus pada penduduk yang mencapai usia satu tahun, angka harapan hidup saat lahir telah meningkat dari sekitar tiga puluh dua tahun pada tahun 1820 menjadi tujuh puluh tiga tahun pada tahun 2020. Dua abad yang lalu, hanya sebagian kecil penduduk yang dapat berharap hidup sampai usia lima puluh atau enam puluh tahun; saat ini, hak istimewa tersebut telah menjadi hal yang lumrah. Yang pasti, lompatan besar ini hanya menggeser kesenjangan ke tingkat yang lebih tinggi.
Ketika akses terhadap hak-hak dan barang-barang fundamental tertentu (seperti melek huruf atau layanan kesehatan dasar) secara bertahap diperluas ke seluruh masyarakat, kesenjangan baru muncul di tingkat yang lebih tinggi dan memerlukan respons baru. Seperti halnya upaya mencapai demokrasi ideal, yang tak lain adalah upaya menuju kesetaraan politik, upaya menuju kesetaraan dalam segala bentuknya (sosial, ekonomi, pendidikan, budaya, politik) merupakan sebuah proses berkelanjutan yang takkan pernah berakhir.

Populasi manusia dan pendapatan rata-rata meningkat lebih dari sepuluh kali lipat sejak abad kedelapan belas. Jumlah penduduk telah meningkat dari sekitar 600 juta pada tahun 1700 menjadi lebih dari 7,5 miliar pada tahun 2020, sedangkan penduduk berikutnya, berdasarkan data historis, walaupun kurang sempurna, mengenai gaji dan upah, produksi, dan harga, telah meningkat dari rata-rata daya beli kurang dari 100 juta euro per bulan per penduduk di planet ini pada abad kedelapan belas menjadi sekitar 1.000 euro per bulan per penduduk pada awal abad kedua puluh satu.
Bisakah peningkatan sepuluh kali lipat ini, digambarkan sebagai kemajuan manusia? Interpretasi terhadap transformasi ini, pada kenyataannya jauh lebih kompleks ketimbang interpretasi terhadap layanan kesehatan dan pendidikan. Pertumbuhan populasi dunia yang spektakuler, mencerminkan, tentu saja, perbaikan nyata dalam kondisi kehidupan individu, terutama berkat kemajuan di bidang pertanian dan pasokan pangan, yang memungkinkan kita melepaskan diri dari siklus kelebihan populasi dan kekurangan. Hal ini juga disebabkan oleh menurunnya angka kematian bayi dan fakta bahwa semakin banyak orangtua yang mampu hidup lebih tua bersama anak-anak mereka yang masih hidup, yang jumlahnya tak sedikit.
Peningkatan populasi, produksi, dan pendapatan secara umum sejak abad ke-18 terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, dan perlunya mengkaji keberlanjutan proses tersebut serta mekanisme kelembagaan yang memungkinkan terjadinya reorientasi radikal.
Kita hendaknya berhati-hati: solusinya tak dapat ditemukan semata pada indikator-indikator lingkungan, dengan mengesampingkan indikator-indikator sosio-ekonomi, termasuk pendapatan. Alasannya sederhana: manusia perlu hidup selaras dengan alam, namun mereka juga membutuhkan tempat tinggal, pangan, sandang, dan akses terhadap budaya. Yang terpenting, mereka memerlukan keadilan. Kecuali kita mampu mengukur pendapatan, ketimpangan distribusinya, dan perkembangannya dari waktu ke waktu, sulit melihat bagaimana kita bisa mengembangkan norma-norma keadilan yang memungkinkan kita, memusatkan upaya kita pada orang-orang terkaya dan memikirkan kembali hal-hal yang berkaitan dengan pendapatan. pengorganisasian sistem ekonomi global, dengan cara yang dapat diterima oleh kelompok paling sederhana. Tanpa adanya tindakan tegas untuk mengurangi kesenjangan sosio-ekonomi secara drastis, maka krisis lingkungan dan iklim, takkan ada solusinya. Agar mencapai kemajuan dalam hal ini, kita seyogyanya menggabungkan berbagai indikator—misalnya lingkungan hidup dan ekonomi—dan secara mandiri, menetapkan target emisi karbon atau keanekaragaman hayati, dan pada saat yang sama, merumuskan tujuan yang mencakup pengurangan kesenjangan pendapatan dan distribusi sumber daya manusia, pemotongan fiskal dan sosial dan pengeluaran publik. Dengan cara ini, kita dapat membandingkan serangkaian kebijakan publik yang berbeda, yang memungkinkan kita mencapai tujuan lingkungan hidup.

Properti dan distribusinya, memainkan peran penting dalam topik kita. Berbeda dengan pendapatan, yang mewakili penghasilan seseorang selama periode waktu tertentu, properti mengacu pada segala sesuatu yang dimiliki seseorang pada waktu tertentu. Seperti pendapatan, properti adalah sebuah hubungan sosial, dalam artian bahwa ia memperoleh makna sepenuhnya hanya dalam masyarakat tertentu yang dicirikan oleh seperangkat aturan dan hubungan kekuasaan tertentu, antar kelompok sosial. Properti merupakan sebuah gagasan yang terletak secara historis: ia bergantung pada cara masing-masing masyarakat menetapkan bentuk kepemilikan yang sah (tanah, rumah, pabrik, mesin, laut, gunung, monumen, aset keuangan, pengetahuan, budak, dan sebagainya), serta prosedur dan praktik hukum yang menyusun dan membatasi hubungan properti dan hubungan kekuasaan di antara kelompok sosial yang bersangkutan.
Dalam perolehan kekayaan di dunia Barat, perbudakan dan kolonialisme memainkan peran penting. Saat ini, distribusi kekayaan antar negara, dan juga di dalam negara tersebut, masih sangat dipengaruhi oleh warisan ini. Perkembangan kapitalisme industri Barat terkait erat dengan pembagian kerja internasional, eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali, dan dominasi militer dan kolonial yang berkembang secara bertahap antara kekuatan Eropa dan di seluruh planiet ini mulai abad ke-15 dan ke-16 dan berkembang pesat pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas.

Keluar dari perbudakan dan kolonialisme, sebuah langkah besar dalam perjalanan panjang menuju kesetaraan, melibatkan konflik dan perjuangan, pembebasan dan ketidakadilan. Pemberontakan budak di Saint-Domingue pada tahun 1791 membuka jalan bagi berakhirnya perbudakan dan kolonialisme, namun perjuangan bagi kesetaraan ras masih terus dilakukan. Hal yang sama juga terjadi pada kesenjangan status secara umum: pada tahun 1789, Revolusi Perancis mengambil langkah penting dengan menghapuskan hak-hak istimewa kaum bangsawan, namun hal ini tak menghapuskan berbagai hak istimewa atas uang—jauh dari itu.
Perjuangan untuk mencapai kesetaraan belum berakhir. Ia harus dilanjutkan dengan mendorong sampai pada kesimpulan logisnya gerakan menuju negara kesejahteraan, perpajakan progresif, kesetaraan nyata, dan perjuangan melawan segala jenis diskriminasi. Perjuangan ini juga, dan khususnya, melibatkan transformasi struktural sistem ekonomi global. Berakhirnya kolonialisme telah memungkinkan dimulainya proses pemerataan, namun perekonomian dunia masih sangat hierarkis dan tak setara dalam cara kerjanya.
Perjuangan untuk mencapai kesetaraan akan terus berlanjut di abad kedua puluh satu, dengan mendasarkan perjuangannya pada kenangan akan perjuangan di masa lalu. Jika sebuah gerakan historis menuju kesetaraan sosial, ekonomi, dan politik telah dimungkinkan selama dua abad terakhir, hal ini terutama disebabkan oleh serangkaian pemberontakan, revolusi, dan gerakan politik yang berskala besar. Hal serupa juga akan terjadi di masa depan.

Lalu, apa implikasinya terhadap dugaan kecurangan pemilu 2024 di Indonesia? Fraud seperti ini bertentangan dengan Kesetaraan Politik dan Hak Asasi Manusia. Sebuah sistem itu demokratis bila seluruh anggota masyarakat, berkekuatan politik mendasar yang setara. Bahwa demokrasi itu baik, terutama karena ia berjalan dengan baik. Misalnya, dengan analogi sebuah palu. Kita memberi nilai pada sebuah palu bukan sebagai tujuan akhir, namun karena memang palunya berfungsi dengan baik. Kita takkan memaksakan penggunaan palu yang kualitasnya lebih rendah ketimbang palu yang lebih baik. Kita takkan memaksakan diri menggunakan palu saat kita membutuhkan kunci pas. Jika rakyat Indonesia membiarkan fraud pemilu terus terjadi, maka mereka akan tertinggal dalam memperjuangkan Keadilan Sosial dan Kesetaraan, yang dicita-citakan para founding parents bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kita lanjutkan lagi perbincangan kita pada fragmen berikutnya, bi 'idznillah.”

Kemudian Mapel ngerap tembangnya Linkin Park,

All I know
[Yang kutahu]
Time is a valuable thing
[Waktu adalah sesuatu yang berharga]
Watch it fly by as the pendulum swings
[Saksikan ia terbang saat pendulum berayun]
Watch it count down to the end of the day
[Saksikan ia menghitung mundur hingga penghujung hari]
The clock ticks life away *)
[Jam itu mendetakkan kehidupan]
Kutipan & Rujukan:
- James Fitzpmes Stephen, Liberty, equality, Fraternity, and Three Brief Essays, 1991, The University of Chicago
- Thomas Piketti, A Brief History of Equality, 2022, Harvard College
*) "In The End" karya Joseph Hahn, Brad Delson, Mike Shinoda, Robert G. Bourdon & Chester Charles Bennington