Rabu, 21 Februari 2024

Cerita Daun Mapel: Election Fraud (2)

"Di sebuah kota kecil, kepala polisi, yang juga seorang dokter hewan, terbangun dari tidurnya karena ada panggilan telepon yang kedengeran amat panik.
'Tolong cepetan dateng pak!' kata seorang wanita di telepon.
'Maaf bu, yang ibu perlukan, polisi atau dokter hewan?' tanyanya.
'Dua-duanyah deh pak,' jawab sang wanita. 'Kami gak bisa ngebukain mulut anjing kami, ada kaki pencuri di dalamnya.'”

"Salah satu dugaan Election Fraud pada pemilu 2024 di Indonesia, adalah adanya penggunaan 'Pork Barrel Politics.' Sebelum lanjut dengan konsepsi ini, perkenankan daku menyebutkan Declaration on Criteria for Free and Fair Elections yang diadopsi oleh the Inter-Parliamentary Council, dimana Indonesia merupakan salah satu anggotanya.
Di negara mana pun, wewenang pemerintah hanya dapat diperoleh dari kehendak rakyat sebagaimana dinyatakan dalam pemilihan umum yang jujur, bebas, dan adil yang diadakan secara berkala berdasarkan hak pilih yang universal, setara, dan rahasia.
Deklarasi tersebut menyebutkan hak dan tanggungjawab Negara. Bahwa (1) Negara harus mengambil langkah-langkah legislatif dan langkah-langkah lain yang diperlukan, sesuai dengan proses konstitusional mereka, untuk menjamin hak-hak dan kerangka kelembagaan bagi pemilu yang berkala dan jujur, bebas dan adil, sesuai dengan kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional. Secara khusus, Negara harus: Menetapkan prosedur pendaftaran pemilih yang efektif, tak memihak dan tak diskriminatif; Menetapkan kriteria yang jelas bagi pendaftaran pemilih, seperti usia, kewarganegaraan, dan tempat tinggal, serta memastikan bahwa ketentuan tersebut diterapkan tanpa pembedaan apa pun; Mengatur pembentukan dan kebebasan berfungsinya partai politik, mengatur pendanaan partai politik dan kampanye pemilu, menjamin pemisahan partai dan negara, dan menetapkan kondisi persaingan dalam pemilu legislatif dengan dasar yang adil; Memulai atau memfasilitasi program nasional pendidikan kewarganegaraan, guna memastikan bahwa masyarakat memahami prosedur dan permasalahan pemilu;
(2) Selain itu, Negara harus mengambil langkah-langkah kebijakan dan kelembagaan yang diperlukan untuk menjamin pencapaian progresif dan konsolidasi tujuan demokrasi, termasuk melalui pembentukan mekanisme pengelolaan pemilu yang netral, tidak memihak atau berimbang. Dalam melakukan hal ini, mereka harus melakukan hal-hal berikut ini: Menjamin bahwa mereka yang bertanggungjawab atas berbagai aspek pemilu telah mendapatkan pelatihan dan bertindak tidak memihak, dan bahwa prosedur pemungutan suara yang masuk akal ditetapkan dan diumumkan kepada masyarakat pemilih; Menjamin pendaftaran pemilih, pemutakhiran daftar pemilih dan prosedur pemungutan suara, dengan bantuan pemantau nasional dan internasional jika diperlukan; Mendorong partai, kandidat dan media agar menerima dan mengadopsi Kode Etik mengatur kampanye pemilu dan periode pemungutan suara; Menjamin integritas surat suara melalui tindakan yang tepat guna mencegah pemungutan suara ganda atau pemungutan suara oleh mereka yang tidak berhak; Menjamin integritas proses penghitungan suara.
(3) Negara harus menghormati dan menjamin hak asasi manusia setiap individu yang berada di wilayah mereka dan tunduk pada yurisdiksi mereka. Oleh karenanya, pada saat pemilu, Negara dan organ-organnya harus memastikan: Bahwa kebebasan bergerak, berkumpul, berserikat dan berekspresi dihormati, khususnya dalam konteks demonstrasi dan pertemuan politik; Bahwa partai dan kandidat bebas mengkomunikasikan pandangan mereka kepada para pemilih, dan bahwa mereka menikmati kesetaraan akses terhadap media negara dan layanan publik; Bahwa langkah-langkah yang diperlukan telah diambil guna menjamin liputan non-partisan di media negara dan media layanan publik.
(4) Agar pemilu berlangsung adil, Negara harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa partai dan kandidat menikmati kesempatan yang wajar untuk menyampaikan platform pemilu mereka.
(5) Negara harus mengambil segala tindakan yang diperlukan dan tepat guna menjamin bahwa prinsip pemungutan suara rahasia dihormati, dan bahwa para pemilih dapat memberikan suara mereka dengan bebas, tanpa rasa takut atau intimidasi.
(6) Selanjutnya, pejabat negara harus memastikan bahwa pemungutan suara dilakukan sedemikian rupa untuk menghindari kecurangan atau tindakan ilegal lainnya, bahwa keamanan dan integritas proses tetap terjaga, dan bahwa penghitungan suara dilakukan oleh personel yang terlatih, dengan pengawasan dan atau verifikasi yang tidak memihak.
(7) Negara harus mengambil semua tindakan yang diperlukan dan tepat guna menjamin transparansi seluruh proses pemilu termasuk, misalnya, melalui kehadiran agen partai dan pemantau yang terakreditasi.
(8) Negara harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa partai, kandidat dan pendukungnya, menikmati keamanan yang setara, dan bahwa otoritas Negara mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah kekerasan pemilu.
(9) Negara harus memastikan bahwa pelanggaran hak asasi manusia dan pengaduan yang berkaitan dengan proses pemilu ditentukan dengan segera dalam jangka waktu proses pemilu dan secara efektif oleh lembaga yang independen dan tidak memihak, semisal komisi pemilu atau pengadilan.

Demokrasi adalah cita-cita dan tujuan yang diakui secara universal, yang didasarkan pada nilai-nilai umum yang dianut oleh masyarakat di seluruh komunitas dunia tanpa memandang perbedaan budaya, politik, sosial dan ekonomi. Oleh sebab itu, merupakan hak dasar kewarganegaraan yang harus dilaksanakan dalam kondisi kebebasan, kesetaraan, transparansi dan tanggungjawab, dengan menghormati pluralitas pandangan, dan demi kepentingan negara.
Negara demokrasi menjamin bahwa proses dimana kekuasaan dapat diakses, digunakan dan dilakukan secara bergantian, memungkinkan terjadinya kompetisi politik yang bebas dan merupakan hasil dari partisipasi masyarakat yang terbuka, bebas dan tidak diskriminatif, yang dilaksanakan sesuai dengan supremasi hukum, baik secara tersirat maupun secara spirit.
Demokrasi dibangun atas dasar keutamaan hukum dan penegakan hak asasi manusia. Dalam negara demokrasi, tiada seorangpun yang kebal hukum dan semua orang berkedudukan yang sama di hadapan hukum.
Elemen kunci dalam pelaksanaan demokrasi adalah penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil, secara berkala, yang memungkinkan terwujudnya keinginan rakyat. Pemilu harus diselenggarakan atas dasar hak pilih yang universal, setara dan rahasia sehingga semua pemilih dapat memilih wakilnya dalam kondisi kesetaraan, keterbukaan dan transparansi yang merangsang persaingan politik. Untuk mencapai tujuan tersebut, hak-hak sipil dan politik sangatlah penting, dan yang lebih khusus lagi adalah hak untuk memilih dan dipilih, hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul, akses terhadap informasi dan hak untuk berorganisasi dalam partai politik dan melakukan kegiatan politik. Organisasi, kegiatan, keuangan, pendanaan dan etika partai, harus diatur dengan baik dan tidak memihak untuk menjamin integritas proses demokrasi. [diterjemahkan dari www.ipu.org, di retrieve tanggal 20.02.2024]

Sekarang, kita balik ke 'Pork Barrel Politics' [politik tong daging-babi]. Menurut Andrew H. Sidman, 'Pork Barrel' [atau cukup 'Pork'] merupakan istilah peyoratif kumpulan proyek-proyek yang didanai pemerintah federal di Amerika Serikat yang dianggap boros—boros dalam artian bahwa manfaat dari proyek-proyek ini, terkonsentrasi secara geografis, maknanya bahwa pembayar pajak terpaksa mendanai banyak proyek yang mana mereka hanya menerima sedikit atau tidak sama sekali, manfaat langsungnya. 'Pork Barreling' merupakan pula sebuah proses, sarana memunculkan dan mengesahkan undang-undang. Mencela pertumbuhan jumlah pork barrel di awal abad kedua puluh, Chester Maxey menyamakan jumlah uang pork barrel dengan penggunaan RUU Omnibus sebagai sarana mengalokasikan uang bagi proyek sungai dan pelabuhan. Dalam pengertian ini, pembuatan 'Pork' merupakan proses dimana berbagai proyek digabungkan menjadi satu undang-undang untuk meningkatkan prospek setiap proyek secara berarti. Ketika proyek-proyek ini dipilih secara individual, banyak di antara proyek-proyek tersebut yang gagal, mungkin karena sifat manfaat yang sangat terkonsentrasi.

Kisah Pork Barrel dalam perpolitikan Amerika bukan sekedar kisah tentang sikap pribadi seseorang, namun opini dan perilaku masyarakat massa memang memainkan peran yang penting. Petahana, penantang, dan donor kampanye semuanya merespons konteks pemilu dimana pemilih menentukan hasilnya—pemilih yang dapat tergerak atau dibujuk dalam kondisi yang tepat. Sidman berpendapat bahwa pork tak pernah menjadi isu yang menonjol, namun pada tingkat polarisasi yang tinggi, terdapat hubungan sistematis antara pork dan sikap terhadap belanja pemerintah. Ketika polarisasi meningkat, belanja distributif menyebabkan meningkatnya dukungan terhadap petahana di kalangan partai liberal dan berkurangnya dukungan di kalangan partai konservatif.
Pengeluaran untuk pekerjaan umum mewakili proyek pork yang klasik (misalnya, kantor pos baru, pemeliharaan jembatan) yang diasumsikan disukai oleh para konstituen terlepas dari kecenderungan politik mereka. Membangun proyek-proyek ini berarti menciptakan lapangan kerja di masyarakat, membeli dari pemasok lokal, dan menghasilkan produk jadi yang akan bermanfaat bagi penduduk lokal. Kendati demikian, belanja pekerjaan umum, seperti halnya pengeluaran untuk pork barrel, berakar pada konflik ideologi.
Pernyataan Mayhew bahwa pork merupakan sumber penting dalam klaim kredit, ditambah dengan pengamatan terhadap universalisme, telah menghasilkan argumen teoritis yang mendukung asumsi bahwa para pemilih pada umumnya lebih menyukai manfaat yang partikularistik dan memberikan penghargaan kepada legislator yang mendapatkan manfaat tersebut. Asumsi manfaat pemilu mendapat pembenaran dalam penelitian yang menemukan bahwa legislator yang rentan dalam pemilu cenderung mendapatkan bagian belanja yang lebih besar dan dalam penelitian yang mengamati bahwa para pemimpin partai menggunakan pork untuk mendukung kebijakan dan tujuan pemilu. Kebanyakan pakar berasumsi ada hubungan positif antara pork dan kemungkinan terpilihnya petahana, namun hubungan umum tersebut sulit diverifikasi secara empiris atau mungkin disebabkan oleh faktor-faktor di tingkat individu semisal ideologi.

Polarisasi merupakan katalis yang diperlukan untuk mempengaruhi hasil pemilu. Hanya ketika dunia politik menjadi semakin terpecah dalam berbagai hal, rata-rata pemilih akan lebih memperhatikan belanja distributif, dan menghubungkannya dengan preferensi mereka yang lebih umum mengenai belanja pemerintah. Selama periode polarisasi rendah, efek umum sistematis dari pork barrel hampir tiada. Disaat polarisasi tinggi, belanja pork mempengaruhi persaingan utama, belanja kampanye, dan pada akhirnya, perolehan suara dalam pemilihan umum.
Motivasi pemilu merupakan inti dari pemahaman kita mengenai politik distributif. Polarisasi dan pemilihan pemilih yang bersifat partisan-ideologis yang menyertainya, tak semata mengkondisikan dampak elektoral dari pork barel tersebut, namun polarisasi juga membentuk pork barrel itu sendiri. Dampak buruk terhadap persaingan dalam pemilihan tak hanya terbatas pada pemilu pendahuluan saja. Hubungan antara pork barrel dan hasil pemilu ditentukan oleh polarisasi politik dan konsisten dengan pandangan yang berdasarkan ideologi tentang pork barrel.

Lantas, apa implikasi konsepsi ini terhadap Election Fraud di Indonesia? Sebelum pemilu tahun 2014, polarisasi ideologi yang terjadi di Indonesia, relatif rendah, sehingga penyaluran bantuan sosial semisal 'BLT,' belum di pandang sebagai fraud. Setelah pemilu tahun 2014 dan bahkan tahun 2019, polarisasi merangkak naik, sehingga, seperti yang diutarakan Sidman, preferensi keterpilihan petahana, terbuka lebar. Dalam pemilu 2024, petahana memang tak mencalonkan diri, namun terdapat unsur Nepotisme dalam konteks kandidatnya.

Tantangan untuk memastikan integritas dan kualitas pemilu, tak lagi terbatas pada negara demokrasi yang telah mapan dan baru berkembang. Pemilu kini berlangsung di lingkungan yang semakin menantang, termasuk wilayah yang berada di bawah pendudukan militer. Kasus-kasus ini menimbulkan pertanyaan penting mengenai pemahaman kita tentang kecurangan pemilu dan integritas pemilu, serta pemahaman kita mengenai peran pemilu dalam kehidupan politik masyarakat.
Pemilu merupakan hal yang penting bagi pemahaman kita tentang demokrasi. Semisal definisi Robert Dahl tentang poliarki mencakup lima kriteria terkait pemilu: pemerintah harus dikendalikan oleh pejabat terpilih; pejabat terpilih harus dipilih dan diberhentikan melalui pemilihan umum yang bebas, adil, dan sering dilakukan, dimana tak boleh ada paksaan; semua orang dewasa harus mempunyai hak memilih dan sebagian besar harus dapat mencalonkan diri; dan warga negara harus mempunyai hak kebebasan berekspresi dan berserikat serta sumber informasi alternatif. Dalam konteks ini, kecurangan pemilu biasanya didefinisikan dalam istilah prosedural.
Dalam bentuknya yang paling sempit, konsep kecurangan pemilu dapat dipahami sebagai 'korupsi dalam proses pemberian dan penghitungan suara.' Namun, banyak analis yang mendefinisikan kecurangan secara lebih luas yang mencakup aktivitas 'di setiap tahap proses pemilu, mulai dari pendaftaran pemilih hingga penghitungan akhir surat suara.' Seperti yang dikatakan Larry Diamond, 'Pemilu dianggap adil jika diselenggarakan oleh otoritas yang netral; apabila penyelenggara pemilu mempunyai kompetensi dan akal yang cukup untuk mengambil tindakan pencegahan khusus terhadap kecurangan dalam pemungutan suara dan penghitungan suara; ketika polisi, militer, dan pengadilan memperlakukan kandidat dan partai yang bersaing secara tak memihak selama proses berlangsung; ketika semua peserta yang terkait mempunyai akses terhadap media publik; ketika daerah pemilihan dan peraturan tak secara sistematis merugikan pihak oposisi; ketika pemantauan independen terhadap pemungutan suara dan penghitungan suara diperbolehkan di semua lokasi; ketika kerahasiaan pemungutan suara dilindungi; ketika hampir semua orang dewasa dapat memilih; apabila prosedur pengorganisasian dan penghitungan suara transparan dan diketahui semua orang; dan ketika terdapat prosedur yang jelas dan tak memihak guna menyelesaikan keluhan dan perselisihan.'

Jadi, apa yang bisa kita harapkan dari pemilu yang kompetitif? Pemilu tidaklah ayu, kata Przeworski. Meski para politisi harus berpura-pura inspiratif, mengklaim bahwa cita-cita mulia mereka akan membawa kita menuju masa depan yang cerah, mereka menggunakan segala cara untuk menang. Mereka terkadang membuat janji-janji yang mereka tahu tak mungkin dipenuhi, mengutak-atik peraturan saat mereka bisa dan menghindarinya kala mereka tak bisa melakukannya, dan berupaya membungkam suara orang-orang yang mungkin menentang mereka. Tak mengherankan bila banyak orang yang tak tertarik atau bermimpi menghilangkan ciri-ciri pemilu yang merugikan, namun tetap menjaga mekanisme pemilihan penguasa.
Akan tetapi, tak semua dalil masyarakat mengeluhkan pemilu merupakan alasan yang baik: beberapa di antaranya didasarkan pada kegagalpahaman tentang pemilu sebagai mekanisme pengambilan keputusan kolektif. Memang benar bahwa para politisi berusaha membujuk dan merayu, namun mereka melakukan penjajakan dan pertemuan kelompok, mereka mengukur arah opini publik, dan kemudian mencoba menebak apa yang kita inginkan. Mereka menawarkannya karena mereka yakin bahwa kebijakan-kebijakan ini merupakan keinginan sebagian besar dari kita. Partai-partai menjanjikan apa yang menurut mereka akan membuat mereka berpeluang besar untuk menang. Bila mayoritas menginginkan sesuatu yang berbeda, partai-partai pesaing akan menawarkan sesuatu yang berbeda. Karenanya, para pemilih, sebagai suatu kolektivitas, tetap memilih walau tiada satu pun dari kita yang mempunyai pilihan di tempat pemungutan suara.
Kita menghargai pemilu karena pemilu merupakan pilihan terbaik kedua setelah pemilu yang benar-benar kita inginkan: kemerdekaan bagi setiap orang melakukan apa pun yang diinginkannya. Kita seyogyanya hidup bersama dan agar hidup bersama kita harus diperintah. Tiada seorang pun yang suka diperintah agar melakukan apa yang tak hendak dilakukannya atau dilarang melakukan apa yang ingin dilakukannya, akan tetapi, seyogyanya memang kita harus diperintah. Dan karena kita tak bisa memerintah pada saat yang sama, kita bisa memilih oleh siapa dan bagaimana kita akan diperintah, sehingga kita berhak menyingkirkan pemerintahan yang tak kita sukai. Inilah yang memungkinkan kita melakukan pemilu.

Ada yang menarik dari surat Cicero kepada Quintus Marco Fratri:
'Et petitio magistratus divisa est in duarum rationum diligentiam, quarum al-tera in amicorum studiis, altera in populari voluntate ponenda est. amicorum studia beneficiis et officiis et vetustate et facilitate ac iucunditate naturae parta esse oportet. Sed hoc nomen amicorum in petitione latius patet quam in cetera vita. Quisquis est enim qui ostendat aliquid in te voluntatis, qui colat, qui domum ventitet, is in amicorum numero est habendus. Sed tamen, qui sunt amici ex causa iustiore cognationis aut adfinitatis aut sodalitatis aut alicuius necessitudinis, iis carum et iucundum esse maxime prodest.'
['Mencalonkan diri dalam jabatan dapat dibagi menjadi dua jenis aktivitas: mendapatkan dukungan dari rekan-rekanmu dan memenangkan hati masyarakat umum. Engkau mendapatkan niat baik dari teman melalui kebaikan, bantuan, koneksi lama, ketersediaan, dan pesona yang ada. Namun dalam pemilu, engkau perlu memikirkan persahabatan dalam konteks yang lebih luas dibanding dalam kehidupan sehari-hari. Bagi seorang kandidat, teman adalah siapa pun yang menunjukkan niat-baik atau yang membersamaimu. Namun jangan mengabaikan mereka yang merupakan temanmu dalam pengertian tradisional melalui ikatan solidaritas atau hubungan sosial. Semua ini seyogyanya terus engkau kembangkan dengan hati-hati.']

Kita teruskan lagi pada sesi selanjutnya, bi 'idznillah."

Dan sebelum beranjak ke fragmen selanjutnya, Mapel berkidung,

Have you seen the little piggies
[Pernahkah dikau melihat babi-babi kecil]
crawling in the dirt?
[merangkak dalam lumpur?]
And for all the little piggies
[Dan bagi semua babi kecil]
life is getting worse
[hidup semakin buruk]
Always having dirt to play around in *)
[Selalu pakai lumpur buat bermain didalamnya]
Kutipan & Rujukan:
- Guy S. Goodwin-Gill, Free and Fair Elections, 2006, Inter-Parliamentary Union
- Andrew H. Sidman, Pork Barrel Politics: How Government Spending Determines Elections in a Polarized Era, 2019, Columbia University Press
- Quintus Tullius Cicero, How to Win an Election: An ancient Guide for Modern Politicians, translated and with an introduction by Philip Freeman, 2012, Princeton University Press
*) "Piggies" karya George Harrison