Jumat, 23 Februari 2024

Cerita Daun Mapel: Election Fraud (4)

"Di hari anniversary perkawinan mereka yang ke-18, sepasang suami-istri merayakannya di sebuah restoran mewah.
Suami : 'Ma, kalau Papa marah sama Mama, kenapa sih Mama gak pernah ngelawan. Bagaimana cara Mama ngendaliin emosi?'
Istri: 'Mama bersihkan kamar-mandi.'
Suami: 'Ada manfaatnya?'
Istri: 'Iya, Mama ngebersihinnya pakai sikat-gigi Papa.'

“Setelah mencoblos di bilik suara, dan seusai memantau hasilnya di TPS, kita kemudian menyaksikan 'Quick Count' di Media. Jikalau daku bertanya 'Mengapa ada Quick Count?', dikau pastilah tahu jawabannya," berkata Mapel sembari memperhatikan area kecil dengan dinding di tiga sisinya.
"Kehendak rakyat sebuah negara—yang diwujudkan melalui pemilu yang jujur dan berkala—merupakan dasar kewenangan pemerintahan demokratis mana pun. Menurut Melissa Estok [dkk], hal ini diakui dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan setiap instrumen hak asasi manusia internasional utama yang menangani hak-hak sipil dan politik, sehingga membangun kewajiban perjanjian dan komitmen internasional terhadap prinsip ini. Prinsip ini diabadikan pula dalam konstitusi modern di seluruh dunia. Namun, realisasi dari ajaran demokrasi ini, acapkali sulit dipahami.
Banyak negara menyelenggarakan pemilu yang demokratis. Namun, mereka yang mengendalikan lembaga-lembaga dan sumber daya negara atau sarana suap dan intimidasi yang terorganisir, terlalu sering berupaya memanipulasi proses pemilu dengan tak memberikan hak kepada lawan untuk mencalonkan diri; menghalangi mereka mengorganisir diri berkampanye demi perolehan suara; membatasi akses terhadap media komunikasi massa; menghalangi para pemilih memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan agar membuat pilihan politik yang bebas; mengintimidasi para pemilih agar tak leluasa menentukan pilihan politiknya; dan memanipulasi batas-batas (daerah pemilihan) guna menguntungkan satu partai atau kandidat di daerah pemilihan agar menolak persamaan hak pilih. Ketika taktik ini nampak tak cukup untuk menjamin kemenangan, pelaku kecurangan seperti ini, sering berupaya memanipulasi proses hari pencoblosan dengan cara: memblokir akses ke TPS; menolak hak pemilih yang memenuhi syarat memberikan suara; mengatur pemungutan suara ilegal yang menguntungkan mereka; mengisi kotak suara; memanipulasi penghitungan suara; mencurangi tabulasi suara; mengumumkan hasil yang curang; dan menghalangi upaya hukum yang layak. Kekerasan dan pembalasan politik terkadang juga terjadi setelah pemilu. Perkembangan seperti ini, mengingkari mandat demokrasi pemerintah dan memicu ketidakstabilan politik.

Tak setiap pemilu memerlukan quick count, tulis Estok, setidaknya, tidak dalam bentuk yang terkomprehensif. Selain itu, quick count hanya berbicara tentang proses pada hari pencoblosan dan tak menjelaskan apa pun tentang apakah perkembangan sebelum pemilu atau pasca pemilu mendukung atau meniadakan sifat demokratis pemilu.
Kebanyakan penghitungan cepat tak melibatkan pengumpulan informasi dari setiap TPS; sebaliknya, data dikumpulkan dari sampel statistik acak di TPS. Hal ini memungkinkan kelompok pemantau agar dengan cepat mengumpulkan dan melaporkan data yang dapat diandalkan dan akurat dengan margin error yang sangat kecil.
Catatan penting yang perlu diwaspadai hendaknya ditekankan. Jika proses tersebut dimanipulasi sebelum tabulasi suara, verifikasi keakuratan penghitungan suara, akan melegitimasi kecurangan yang mendasarinya. Misalnya, penimbunan kotak suara secara besar-besaran pada pemilihan presiden di Nigeria tahun 1999, atau kemungkinan adanya kesalahan penyajian suara ketika para pejabat memanggil dan mencatatnya pada pemilihan presiden Belarus tahun 2001, takkan tercermin dalam tabulasi hasil yang dicatat dari TPS. Karenanya, quick count hendaknya mengkaji pula aspek kualitatif dalam proses pemungutan dan penghitungan suara.
Selain itu, mengingat sifat perhitungan cepat yang sangat ketat dan besarnya risiko yang dihadapi, maka yang terbaik ialah tak melakukan quick count kecuali organisasi tersebut yakin dan sangat percaya bahwa mereka dapat melaksanakannya dengan berjaya. Di banyak negara, telah diputuskan dengan bijaksana agar tak melakukan quick count oleh dalil-dalil ini, dan dalam beberapa kasus, organisasi pemantau pemilu telah memutuskan menjelang akhir periode pra-pemilu agar tak berupaya membuat proyeksi numerik, kendati mereka berharap melakukan quick count dengan lengkap. Quick count bersifat netral secara politik—tapi pihak yang melakukan penghitungan cepat, hendaklah mempertimbangkan dengan cermat, lingkungan politik. Konteks politik lokal memfasilitasi atau menghambat persiapan hitung cepat dan pertimbangan politik seyogyanya ikut berperan, sehingga ketidakberpihakan dan keakuratan hitung cepat, tak perlu dipertanyakan lagi.

Sebuah Quick Count (Hitung Cepat), menurut Estok, adalah proses pengumpulan informasi yang dikumpulkan oleh ratusan, atau ribuan relawan. Segala informasi atau data, berasal dari pengamatan langsung terhadap proses pemilu. Para pemantau mengawasi otoritas pemilu saat mereka mengatur proses pemungutan suara dan menghitung surat suara. Mereka mencatat informasi, termasuk penghitungan suara sebenarnya, pada formulir standar dan mengkomunikasikan temuan mereka ke pusat pengumpulan suara.
Quick count tak sama dengan riset opini politik atau exit poll. Penghitungan cepat tak bergantung pada pertanyaan kepada pemilih, atau siapa pun, bagaimana mereka dapat memilih atau mengharuskan pemilih mengungkapkan cara mereka memilih. Tak ada pendapat yang diungkapkan dan tak ada yang diminta dari siapa pun.
Kebanyakan quick count mempunyai dua komponen: pemeriksaan independen terhadap total suara resmi; dan analisis sistematis terhadap aspek kualitatif proses pemilu. Penghitungan cepat digunakan memantau perolehan suara sebagai penerapan aritmatika yang cukup mudah.

Sejarah hitung cepat dapat ditelusuri kembali ke penyelenggara NAMFREL, yang dikenal luas sebagai pionir hitung cepat di negara-negara demokrasi baru. Bertahun-tahun sejak pengalaman pertama mereka, penghitungan cepat telah berkembang, telah diuji secara menyeluruh dan kini menjadi praktik terbaik bagi masyarakat sipil guna mengawasi proses pemungutan dan tabulasi suara.
Pada pemilu Filipina tahun 1986, hasil yang dilaporkan oleh Presiden Filipina Ferdinand Marcos pada tahun 1984, dipandang dengan rasa tak percaya yang besar. Ketika Marcos menyerukan pemilihan Presiden serentak pada tahun 1986, National Citizens Movement for Free Elections (NAMFREL) memprakarsai 'Operation Quick Count' sebagai upaya komprehensif agar mencerminkan penghitungan resmi di seluruh 90.000 TPS. Tak seperti kebanyakan penghitungan cepat berikutnya, yang mengumpulkan informasi dari sampel statistik acak di TPS, NAMFREL melakukan tugas luar biasa dalam mengumpulkan data di sebagian besar TPS. Organisasi ini, berperan penting dalam membantu mengungkap kecurangan penghitungan suara besar-besaran yang dilakukan oleh pendukung Marcos.

Penghitungan cepat yang berhasil dimulai dengan pemahaman yang jelas dan pernyataan mengenai tujuan proyek. Dalil paling mendasar dilakukannya quick count ialah mencegah terjadinya kecurangan. Penghitungan cepat yang dipublikasikan secara luas dan dilaksanakan oleh organisasi atau partai politik yang kredibel, dapat menghalangi atau menggagalkan penghitungan suara yang curang.
Agar memenuhi fungsi pencegahan tersebut, quick count hendaknya dipublikasikan dengan baik dan dilakukan secara transparan. Proyek ini seyogyanya digalakkan guna meningkatkan kesadaran bahwa pelanggaran pemilu bakal terdeteksi. Metodologi proyek hendaknya dipahami dan diyakini. Rencana harus dipublikasikan dan terbuka guna pengawasan dan perdebatan, dan materi tertulis seperti manual dan formulir pelatihan pengamat harus didistribusikan. Sebagai contoh: Chile, 1988. Dalam jajak pendapat yang menentukan apakah akan melanjutkan kepresidenan Jenderal Pinochet,Committee for Free Elections (CEL) menggunakan penghitungan cepat berbasis statistik untuk memperkirakan hasil dari 22.000 TPS di Chile. Berdasarkan sampel 10 persen tempat pemungutan suara, CEL secara akurat memperkirakan kemenangan pasukan anti-Pinochet. Penghitungan cepat menghasilkan pernyataan dari salah satu anggota junta yang berkuasa, yang mengakui kekalahan. Para ahli berspekulasi bahwa kemungkinan besar rezim Pinochet akan memanipulasi penghitungan suara dengan menyatakan kemenangan jika tak ada verifikasi independen terhadap penghitungan tersebut.
Apabila penghitungan cepat tak mampu mencegah terjadinya kecurangan, maka data yang diperoleh minimal dapat mendeteksi adanya kecurangan dalam penghitungan suara. Seringkali, kecurangan terungkap ketika hasil proses tabulasi resmi berbeda dengan hasil penghitungan cepat atau perkiraan statistik. Contoh, di Panama, 1989, ketika Presiden Panama Manuel Noriega menyadari bahwa wakilnya dalam pemilihan presiden kalah dalam perolehan suara, pemerintah menunda tabulasi hasil di tingkat regional dan berusaha mengumumkan hasil yang curang. Sebuah organisasi Gereja Katolik, Archdiocese Commission for the Coordination of Laity (pendahulu Commission for Justice and Peace), menggunakan penghitungan cepat (didukung dengan penghitungan komprehensif yang dilakukan oleh oposisi politik) untuk memperkirakan hasil pemungutan surat suara telah dihitung dengan benar dan lengkap. Hasil independen ini, menunjukkan bahwa calon Noriega justru kalah dalam pemilu, yang merupakan faktor utama melemahnya rezim Noriega.

Di negara demokrasi transisi, penghitungan suara resmi seringkali memerlukan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, guna diumumkan kepada publik. Keterlambatan waktu yang lama antara selesainya pemungutan suara dan pengumuman hasil resmi, dapat menimbulkan ketidakpastian iklim politik atau kekosongan politik yang mengancam stabilitas. Penghitungan cepat yang akurat dan kredibel dapat memperkirakan hasil pemilu secara tepat waktu, membantu mengurangi ketegangan pasca pemilu, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap hasil pemilu. Contoh: Indonesia, 1999. Dalam pemilu pertama yang benar-benar bebas dalam sejarah Indonesia, penghitungan cepat yang dilakukan Forum Rektor Indonesia terbukti krusial. Geografi fisik Indonesia yang buruk dan terbatasnya infrastruktur pedesaan mengakibatkan hampir runtuhnya mekanisme penghitungan suara pemerintah. Satu-satunya hasil pemilu yang kredibel yang tersedia selama beberapa minggu adalah hasil penghitungan cepat Forum Rektor.

Sebagian besar tantangan terhadap proses pemilu didasarkan pada anekdot. Misalnya, sebuah partai mungkin menuduh bahwa pendukungnya terhalang memberikan suara; dalam kasus lain suatu partai dapat menghadirkan saksi yang menyatakan bahwa mereka dibayar untuk memilih calon tertentu. Tanpa dokumentasi dan analisis dampak permasalahan seperti ini, sangat sulit untuk mendapatkan perbaikan.
Penghitungan cepat dirancang untuk mengumpulkan informasi yang sistematis dan dapat diandalkan mengenai aspek kualitatif dari proses tersebut. Partai politik oposisi dan pemantau independen seharusnya dapat mengandalkan metode statistik yang digunakan oleh penghitungan cepat untuk memberikan bukti yang dapat dipercaya dan valid mengenai proses pemungutan suara dan penghitungan suara.

Penyelenggara quick count mengerahkan ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu warga. Seringkali mereka adalah individu-individu yang tak tertarik berpartisipasi dalam politik partisan namun tetap ingin secara aktif mendukung pengembangan sistem politik demokratis. Mereka berperan sebagai pelatih hitung cepat, pengamat, pengolah data, dan peran pendukung lainnya. Mereka menjadi sangat berpengalaman dalam proses pemilu di negara tersebut dan seringkali tetap turut dalam proyek serupa setelah pemilu.

Quick count dapat menjadi landasan bagi kelompok-kelompok sponsor untuk melakukan kegiatan pembangunan demokrasi di luar pemilu. Keberhasilan penghitungan cepat menjadi preseden bagi warga negara yang mempengaruhi proses politik. Organisasi masyarakat sipil muncul dari pengalaman penghitungan cepat yang bereputasi jujur dan efektif, dan masyarakat menginginkan dan mengharapkan mereka agar melanjutkan pekerjaan serupa. Organisasi-organisasi ini, diperlengkapi untuk melakukan hal tersebut karena pengorganisasian penghitungan cepat membangun keterampilan yang dapat digunakan dalam berbagai macam kegiatan. Faktanya, banyak organisasi yang proyek pertamanya penghitungan cepat, kemudian mengambil program mendorong akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan, untuk mendidik masyarakat tentang prinsip-prinsip latarbelakang dan mekanisme demokrasi, dan mendukung reformasi demokrasi atau reformasi kebijakan tertentu.

Walau penghitungan cepat mungkin merupakan taktik yang penting, metodologi ini bukanlah pengganti pemantauan pemilu yang lebih komprehensif. Penghitungan cepat merupakan salah satu dari banyak alat yang tersedia bagi pemantau pemilu. Berdasarkan definisinya, penghitungan cepat berfokus pada tugas memverifikasi bahwa surat suara yang masuk ke kotak suara telah dihitung secara akurat pada tahap pertama dan bahwa suara tersebut tetap menjadi bagian dari penghitungan akhir pemilu. Jika surat suara dimasukkan ke dalam kotak suara secara tidak sah, penghitungan cepat akan menghitungnya dengan pasti sebagai suara yang sah (kecuali jika terdeteksi ada pengisian kotak suara.) Jika suara pemilih telah terbeli, penghitungan cepat akan menghitungnya sama seperti penghitungan suara lainnya. Jika para pemilih diintimidasi agar tak hadir di tempat pemungutan suara atau mendukung suatu partai atau kandidat, penghitungan cepat takkan melaporkan masalah tersebut. Lantaran itulah, penghitungan cepat tak dapat menggantikan aspek lain yang lebih kualitatif dalam pemantauan pemilu.

Penghitungan cepat dapat memproyeksikan atau memverifikasi hasil resmi, mendeteksi dan melaporkan ketidakberesan, atau mengungkap kecurangan. Pada sebagian besar kasus, penghitungan cepat membangun kepercayaan terhadap kinerja petugas pemilu dan legitimasi proses pemilu.
Meskipun hampir setiap negara di dunia menyelenggarakan pemilu multipartai, pemilu ini acapkali sangat tidak adil. Bagi pemerintah, pelanggaran pemilu merupakan praktik yang menggiurkan namun juga berisiko, sebab sangat jelas merupakan pelanggaran terhadap standar internasional bagi pemilu yang bebas dan adil.
Masyarakat demokratis yang efektif, bergantung pada kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya. Pembayaran pajak, penerimaan keputusan legislatif dan yudisial, kepatuhan terhadap program pelayanan sosial, dan dukungan terhadap tujuan militer hanyalah beberapa contoh perlunya kerjasama publik dalam memenuhi tuntutan negara. Pada saat yang sama, pemilih mengharapkan pejabatnya berperilaku etis dan bertanggungjawab.

Rezim kita demokratis, namun kita tak diperintah secara demokratis. Paradoks yang tampak ini, menurut Pierre Rosanvallon, akar dari kekecewaan dan kecemasan yang dirasakan secara luas saat ini. Rezim kita bersifat demokratis dalam makna bahwa kekuasaan berasal dari kotak suara pada akhir kompetisi terbuka, dan bahwa kita hidup dalam negara yang sah, yang mengakui dan melindungi kebebasan individu. Memang benar, demokrasi belum sepenuhnya tercapai. Masyarakat seringkali merasa ditinggalkan oleh wakil-wakil mereka yang terpilih; setelah kampanye berakhir, mereka menyadari bahwa mereka sudah tak lagi lebih berdaulat dibanding sebelumnya. Namun kenyataan ini, tak boleh dibiarkan menutupi fenomena umum lainnya: pemerintahan yang buruk. Walau hal ini masih kurang dipahami, tiada yang meragukan kekuatannya dalam mengikis fondasi masyarakat kita.
Kehidupan politik diatur di sekitar lembaga-lembaga yang, secara bersama-sama, menentukan suatu jenis rezim. Namun hal ini juga terikat dengan tindakan pemerintah, yaitu dengan pengelolaan urusan negara sehari-hari, kewenangan memutuskan dan memerintah. Di sinilah kekuasaan—yang dalam istilah konstitusional berarti kekuasaan eksekutif—dilaksanakan. Politik mempengaruhi masyarakat secara langsung, setiap hari dalam kehidupan mereka. Demikian pula, pusat gravitasi politik dalam masyarakat demokratis telah mengalami pergeseran: sampai saat ini, pusat gravitasi tersebut terletak pada hubungan antara perwakilan dan mereka yang diwakili; sekarang yang penting adalah hubungan antara yang mengatur dan mereka yang mengatur. Namun, pergeseran ini tak berarti perpisahan total dengan masa lalu. Persoalan keterwakilan terus mendapat tempat penting dalam diskusi publik; memang, kita selalu diberitahu bahwa ada 'krisis keterwakilan' saat ini. Kegagalan utama demokrasi dalam benak banyak orang adalah suara mereka tak didengar. Mereka melihat para pemimpinnya mengambil keputusan tanpa konsultasi, tak bertanggungjawab atas tindakan mereka, berbohong tanpa mendapat hukuman, hidup berbual—singkatnya, pemerintahan yang terisolasi dari dunia, sebuah sistem yang cara kerjanya tak jelas.
Politik tak pernah dipikirkan seperti ini. Demokrasi secara tradisional dipahami sebagai semacam rezim, jarang sekali dipahami sebagai cara pemerintahan yang spesifik. Fakta bahwa, secara historis, kata 'rezim' dan 'pemerintah' digunakan kurang lebih secara sinonim adalah buktinya. Kepercayaan dan pemerintah, sepertinya bertolakbelakang.

Di episode berikutnya, kita akan lanjut membahas tentang 'Kepercayaan', bi 'idznillah."

Dan sebelum masuk ke dalam fragmen selanjutnya, Mapel pun berdendang,

Is there anybody out there?
[Adakah orang di sana?]
Is there anybody left who cares?
[Masih adakah yang peduli?]
All I wanna do is dance
[Yang ingin kulakukan hanyalah berdansa]
Here in Wonderland *)
[Di sini, di Negeri Ajaib]
​Kutipan & Rujukan:
- Melissa Estok, Neil Nevitte & Glenn Cowan, The Quick Count and Election Observation: An NDI Handbook for Civic Organizations and Political Parties, 2002, National Democratic Institute for International Affair
- Pierre Rosanvallon, Good Government: Democracy Beyond Elections, Translated by Malcolm DeBevoise, 2018, Harvard University Press
*) "Wonderland" karya Roxanne Emery, Sean Mcdonagh, Daniel Oestergaard & Dom Liu